“Sam, bagaimana keadaanmu saat ini?” tanya Baswara melalui gawainya.
Bukannya menjawab, Sam malah tertawa terbahak hingga sulit berhenti. Sedangkan Baswara hanya diam, tidak seperti biasa akan kembali meledek Sam.
“Kau sudah menanyakan ini sejam yang lalu, Bas. Apakah kau begitu gerogi untuk bertemu dengan Kana?” tanya Sam dengan begitu yakin.
“Andai kau bisa keluar dari rumah sakit dan menemaniku di sini, Sam,” ungkap Baswara dengan nada yang bergetar.
“Hahahaha, Baswara Sanjaya. Aku tidak menyangka, dibalik kesempurnaan yang kau miliki. Ada kekurangan yang begitu mempermalukan, terlebih mengingat status playboy-mu di masa lalu.”
Wajah Baswara memerah bukan karena marah, melainkan malu akan kejujuran Sam yang begitu mengenal baik dirinya.
“Aku harus kembali, sepertinya Kana sudah tiba. Aku harap semua berjalan lancar,” ucap Baswara sebelum memutus panggilannya.
Gemuruh menghiasi hati Baswara, napas yang mendadak sesak diikuti irama jantung yang berdegum tidak karuan semakin membuat Baswara salah tingkah. Langkahnya terlihat sempoyongan seperti orang mabuk. Meskipun begitu, ia berusaha menenangkan diri dengan cara mengeluarkan napas dari mulutnya secara berulang kali.
Langkah Baswara terhenti pada salah satu meja, duduk bersandar menunggu kedatangan Kana. Matanya terpana akan sebuah bunga melati putih yang tersusun di tengah meja. Bunga itu asli dan masih mengeluarkan aroma. Tatapan kosong mengarah bunga melati membawa Baswara akan kejadian yang terjadi tadi malam.
“Krak!”
Pintu terbuka, ternyata Alea mengikuti mereka dan menggagalkan rencana Jane. Sambil berdiri di depan pintu, Alea menatap dengan rasa tidak senang akan sikap Jane saat ini. Dengan segera Jane turun dari atas meja dan merapikan pakaiannya, lalu melangkah keluar ruangan setelah menabrak kuat lengan Alea.
“Hampir saja, aku tidak tahu apa jadinya jika Alea tidak membuka pintu,” gumam Baswara dengan tatapan penuh syukur.
“Ayo! Aku antarkan kamu ke apartemen,” ucap Baswara dengan nada tegas, semua ini ia lakukan untuk menutupi rasa tegang yang ada dalam dirinya.
Baswara tersenyum, ia tidak menyangka Jane berani melakukan hal itu kepadanya. Terlebih Baswara tahu, kalau Jane merupakan anak pengusaha ternama dan memiliki tingkat pendidikan yang tinggi.
“Sebegitu buruknya wanita pebisnis, aku tidak menyangka ia merendahkan dirinya sendiri demi sebuah ambisi.”
Kedatangan seorang wanita yang kini duduk tepat di depannya, membuyarkan lamunan Baswara. Dengan segera ia memperbaiki duduknya dan menatap kaku ke arah wanita yang selama ini ia cari.
“Hai, Bas. Apa kabar?” tanya Kana dengan dahi mengernyit. Ia terlihat bingung akan sikap Baswara yang terlihat kaku menatapnya.
“Ya, seperti yang kau lihat saat ini. Apakah undangan makan siangku mengganggumu?” tanya Baswara sambil berusaha menenangkan jantungnya yang berasa ingin copot.
“Tidak, Bas. Sama sekali tidak. Aku hanya tidak menyangka seseorang yang mengundangku itu, kamu.”
Baswara tersenyum, namun kali ini terlalu mengembang. Sepertinya ia begitu senang hingga tidak lagi bisa menjaga sikapnya. Meskipun begitu, ia berusaha menyembunyikan ketegangannya. Menggenggam erat kain meja bagian bawah, berharap bisa menutupi tangannya yang gemetar.
“Bagaimana bisa kau mengetahui tempat tinggalku, Bas?” tanya Kana dengan suara lembutnya. Meskipun lembut, namun pertanyaan ini membuat Baswara menjadi semakin gugup. Ia tidak ingin terlihat sebagai pengintai, namun juga ia tidak mungkin mengakui kalau ia mencari Kana selama ini.
“Aku melihatmu, yah, di sebuah taman. Lalu aku menemukan alamat rumahmu dari salah satu pelayan. Awalnya aku mengira itu tidak bebar-benar kau, Kana. Hingga saat ini kita bertemu,” ucapan Baswara terhenti. Ia sepertinya tidak tahu mau mengatakan apa lagi. “Sialan! Bisa tidak kau bersikap tenang, Bas? Jangan mempermalukan dirimu sendiri,” gumam Baswara yang kini semakin erat menggenggam kain pelapis meja.
“Benarkah? Aku tidak menyangka seorang Baswara menyukai taman bunga,” ledek Kana sambil menunjukkan senyum manis yang selalu dirindukan Baswara.
“Sialan! Senyuman itu lagi. Bagaimana jika aku ingin terus melihatnya? Jika begini terus, ingin rasanya aku menikahimu malam ini juga.”
“Bas, ada apa? Mengapa kau terdiam? Apakah ucapanku menyakitimu?” tanya Kana sembari menggerak-gerakkan tangannya di hadapan Baswara.
“Ah, tidak. Aku hanya merasa senang bisa kembali bertemu denganmu.”
“Oh ya, bagaimana kabar Samudera?” tanya Kana dengan wajah penasaran.
Baswara terdiam, entah mengapa ia merasa nyeri pada ulu hati mendengar pertanyaan ini. Rasa tidak senang terlihat jelas dari perubahan mimik wajah yang mendadak kaku.
“Dia bekerja denganku saat ini.”
“Ya, aku mendengar kabar yang sama. Itulah mengapa aku menanyakannya padamu. Terlebih kalian begitu dekat dulunya,” ungkap Kana yang kini kembali menunjukkan senyumannya.
“Hentikan Kana, hentikan senyuman itu. Aku tidak bisa mengontrol diri setiap kali melihat senyuman manis itu terkembang,” bisik Baswara dalam hati.
“Apa kegiatanmu saat ini, Bas?”
“Aku? Oh, menjadi karyawan di perusahaan ayahku. Terdengar tidak buruk bukan?” tanya Baswara kembali, namun kali ini dengan senyuman penuh percaya diri. “Kamu tidak boleh tahu apa yang aku miliki saat ini Kana, karena aku ingin kamu menyukai diriku bukan harta dan tahtaku,” bisik Baswara kembali.
“Yah, apapun itu pekerjaan yang kita jalani. Selama kau menikmatinya dan menjalani dengan senang hati, maka tidak akan ada beban selama melewatinya. Sedangkan untuk perkara nominal, semua itu kembali ke gaya hidup kita,” jelas Kana dengan penuh percaya diri. Namun, seketika ia tersadar kala melihat tatapan takjub Baswara ke arahnya.
“Maafkan aku, Baswara. Aku tidak bermaksud menasehatimu,” jelas Kana dengan wajah malu.
“Tidak, semua yang kau katakan itu benar. Sepertinya aku harus belajar banyak darimu. Dari dulu hingga kini, kau masih menjadi Kanaku yang cerdas,” ucap Baswara yang kemudian tersadar akan perkataannya, lalu tertunduk malu menyembunyikan wajahnya. Begitu pula Kana yang merasa mendengar jelas Baswara memanggilnya dengan Kanaku, namun ia segera meyakinkan diri bahwa ia telah salah mendengar.
Percakapan yang begitu menyenangkan, dilengkapi dengan menu makanan yang berhasil memuaskan lidah. Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat, sudah dua jam berlalu, namun Baswara masih saja enggan untuk mengakhiri pertemuan ini. Hingga dering gawai Kana berbunyi.
“Ya, aku masih berada di kafe. Baiklah, terima kasih,” ucap Kana melalui gawainya.
Kana dan Baswara saling menatap. Terlihat jelas kalau Baswara begitu penasaran akan sosok yang menghubungi Kana, namun ia begitu enggan mempertanyakannya. Begitu pula dengan Kana yang terlihat peka dan menyadari hal itu. Namun, ia juga tidak percaya diri untuk memberitahukan begitu saja.
“Apakah kau sudah harus pulang?” tanya Baswara menghilangkan keheningan.
“Sepertinya begitu, mungkin kita bisa kembali mengatur pertemuan.”
“Aku bisa mengantarkanmu pulang, Kana,” tawar Baswara dengan nada penuh harap.
“Terima kasih, Bas. Akan ada yang menjemputku.”
Beberapa saat terdengar suara langkah kaki mendekati keduanya. Ternyata itu si bocah kecil-Soga dan seorang pria yang ditemui Baswara di kafe tempo hari.
“Bunda ..,” ucap Soga yang kemudian segera memeluk tubuh Kana. Namun, ia terlihat kaget melihat Baswara yang juga berada di sana.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya dengan wajah tidak senang.
“Soga, mengapa kamu berkata begitu?” tanya Kana dengan wajah bingung sembari menatap ke arah Baswara dan Soga bergantian.“Bunda, dia pria yang sempat aku ceritakan kemarin,” jelas Soga dengan sedikit merengek.Kana terdiam dan mencoba mengingat, sedangkan Baswara menatap kaku setelah mendengar Soga memanggil Kana dengan sebutan Bunda.“Bunda? Jangan bilang kalau bocah ini adalah anak dari Kana,” gumam Baswara dengan rasa nyeri dihatinya.Begitu pula Kana yang kini menatap balik ke arah Baswara, sepertinya ia merasa tidak yakin bahwa sosok yang diceritakan Soga tempo hari adalah Baswara.“Sepertinya terjadi kesalah pahaman,” ucap Baswara yang mencoba mencairkan suasana.“Kana, Soga, ayo kita pulang!” ajak seorang pria dengan tatapan penuh kasih.Belum lagi Baswara bisa mengontrol hatinya, pria itu datang dan menambah ketegangan.“Bukankah anda yang kemarin tempo
Baswara tiba di apartemen dan menemui petugas apartemen yang merupakan orang suruhannya. Keduanya telah membuat janji bertemu di area parkir. “Informasi apa yang ingin kau katakan padaku?” tanya Baswara dengan wajah yang begitu ketat. Sangkin ketatnya, cukup membuat si petugas apartemen menjadi gugup dan sedikit takut. “Begini Tuan, saya memperhatikan bahwa ada dua orang pria yang sering mengunjungi apartemen anda. Salah satu dari mereka tidak pernah lagi terlihat datang,” jelasnya dengan wajah serius. “Pria yang kau maksud, ini bukan?” tanya Baswara sambil menunjukkan wajah Sam yang ada di layar gawainya. Kedua mata si petugas terbelalak, ia menatap takjub ke arah Baswara sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak menyangka, Baswara memiliki foto pria yang ia maksud. “Namun, masih ada satu orang pria lain yang juga sering berkunjung kemari. Dia selalu mengenakan baju kaos dan topi hitam lengkap dengan maskernya. Saya berusaha memperhatik
Bel apartemen berbunyi, dengan segera perawat itu bangkit dan membukakan pintu. Kedua matanya terlihat memerah, masih dengan tubuh gemetar ia menyambut kedatangan Alea.“Ada apa?” tanya Alea dengan wajah bingung.“Baswara mencarimu, ia menekanku akan kepergianmu yang tanpa pengawasanku,” jelas perawat itu sambil menyeka air matanya.“Tenang saja, biar aku yang menghadapinya!” ucap Alea dengan langkah mantap menuju ruang tengah.“Apakah anda sudah lama datang dan ... apakah anda datang untuk menemuiku?” tanya Alea dengan raut wajah tidak merasa bersalah.“Tidak, aku datang untuk menemui perawatmu. Aku ingin tahu seperti apa perkembanganmu. Sebagai pelaku, bukankah ini merupakan hal yang wajar untuk aku lakukan?” tanya Baswara dengan lantangnya. Matanya terus menatap tajam keseluruh sikap tubuh Alea.“Kau sedikit berbeda hari ini, Alea. Kau tidak lagi bersikap lugu dan mal
Sam disambut hangat oleh banyak karyawan. Ternyata ketidakhadirannya selama ini cukup dinanti banyak orang. Meskipun dirinya tidak setampan dan berkarisma seperti Baswara, namun sikap lembut dan senyumnya yang ramah selalu berhasil menyegarkan penat pagi karyawati di sana.“Pak Sam! Saya tidak menyangka anda sudah bisa kembali hadir. Di mana Tuan Baswara? Mengapa anda datang seorang diri?” tanya gadis tinggi yang tidak lain sekretarisnya sendiri.“Tuan Baswara mungkin akan datang terlambat. Apakah semua berjalan dengan lancar?” tanya Sam dengan tatapan meledek.“Jika boleh berkata jujur, saya merasa takut dan cemas selama melayani Tuan Baswara. Saya harap, Bapak selalu dalam keadaan sehat. Sepertinya hanya Bapak yang paling baik dalam mengurusi semua kebutuhan Tuan Baswara,” ungkap gadis itu dengan wajah sedikit cemberut.Sam hanya tersenyum, kini ia telah tiba di ruangan kerjanya. Sepuluh hari berada di rumah sakit mem
Baswara kini terbaring di atas ranjang dan tertidur begitu lelap, sepertinya suntikan perawat berhasil mengusir rasa sakitnya. Wajahnya sedikit memucat dengan banyak bulir keringat membasahi tubuhnya.Kana hanya bisa duduk memandangi wajah tampan Baswara. Rasa hawatir yang begitu berlebihan terekam jelas di wajahnya.“Bunda, mengapa Bunda memasang wajah seperti itu?” tanya Soga yang ternyata sedari tadi terus memperhatikan wajah Kana.Kana hanya tersenyum, menggelengkan kepala sambil mengelus lembut rambut Soga.“Apakah dia pria baik? Mengapa Bunda terlihat begitu hawatir?” tanyanya kembali yang seakan tidak puas akan jawaban Kana.“Ya, dia pria yang baik, sayang.”Soga terdiam, matanya memandang tajam ke arah Kana. Sepertinya ia menyadari suatu hal, namun ia tidak yakin akan apa yang ia rasa.“Mengapa kau memandangku seperti itu?” tanya Kana yang kini justru memperlihatkan wajah bingung
Baswara masih terbaring dengan kedua mata terpejam. Namun, bibirnya melengkung tanda bahagia. Tidak hanya itu, bahkan kedua pipinya terlihat merona saat ini.“Apakah kau tahu apa yang ia lakukan selama aku pingsan?” tanya Baswara yang sepertinya sedang menghadirkan bayangan Kana dalam ingatannya.“Tidak, aku tidak tahu,” ungkap Sam dengan tenangnya.“Apakah perawat di sini mengatakan sesuatu tentangnya, mungkin dia hawatir atau terlihat sedih mungkin?”“Tidak, Bas,” jawab Sam dengan nada seakan menunjukkan rasa bosan akan pertanyaan yang dilontarkan.“Apakah kau bertemu dengannya?”“Tidak, aku datang dan menemukanmu seorang diri di kamar ini.”“Apakah dia meninggalkanku begitu saja setelah perawat menanganiku?” tanya Baswara, namun kali ini dengan nada sedikit kecewa.“Aku rasa tidak begitu, dia hanya harus pergi.”“Sam,
Sam harus kembali ke kantor untuk menyerahkan berkas laporan, namun ia berjanji segera kembali ke rumah sakit setelah membeli makan malam kesukaan Baswara.“Sepertinya aku harus membayar perhatianmu Bas, baru kemarin kau menghawatirkanku. Sekarang, aku yang kembali menghawatirkanmu. Bisa tidak, sesekali kau saja yang berkorban untukku tanpa harus kubalas,” gumam Sam diikuti gelengan kepala. Meskipun gumamannya terkesan tidak senang, namun sedikitpun tidak tergambar pada wajahnya. Bagi Sam, Baswara keluarga terdekatnya.Sebuah pelastik berisi makanan hangat sudah siap diserahkan. Namun, langkah Sam terhenti ketika menyadari keberadaan Kana di ruangan Baswara.“O ow, aku datang diwaktu yang tidak tepat. Sebaiknya aku pergi ke kantin dan membiarkan kalian berdua. Sepertinya kau sedang merasa benar-benar senang, Bas. Sesuai perkataanku, jika Kana menyukaimu dia akan kembali mengunjungimu ke sini. Yah, mungkinkah cinta lama bisa kembali mekar? Ah ..
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan, namun Sam masih terlihat betah bermain dengan game online-nya. Tetapi semua terhenti kala seorang pelayan wanita datang menghampirinya.“Maaf, Mas. Kantin mau tutup,” ucapnya yang berhasil mengagetkan Sam.Seketika jari Sam bergerak mengarahkan jam pada gawainya.“Ma, maaf, Mba. Saya keasikan. Terima kasih,” ucap Sam sambil terburu-buru pergi, hingga tanpa sadar meninggalkan sesuatu di atas meja.“Sialan! Aku jadi keasikan main. Aku rasa Kana sudah pergi meninggalkan Baswara. Sudah terlalu malam, aku harap Baswara tidak marah karena aku yang terlalu lama datang,” gumam Sam disepanjang jalan menuju ruangan Baswara.Sesuai dugaan, Baswara hanya sendiri di dalam kamar. Setelah Sam mengintip terlebih dahulu.“Ada apa dengan wajahmu? Mengapa kedua pipimu memerah, Bas?” tanya Sam yang kini duduk di bibir ranjang.“Benarkah? Aku merasa lebih baik ma
Kana dan Soga dibawa ke sebuah tempat di kota kecil. Mereka melakukan perjalanan delapan jam lamanya. Menelusuri jalan sempit dengan banyak pohon tinggi di sekitaran. Jalanan yang menanjak dan udara yang sejuk seperti menuju puncak.“Bas, kita mau ke mana?” tanya Nesa yang merasa bingung akan jalan yang tengah mereka tuju.“Ke rumah kita,” sahut Baswara dengan senyuman.“Rumah kita? Maksudnya kamu beli rumah baru untuk kita?” tanya Kana yang merasa tak mengerti akan maksud ucapan Baswara.“Daddy ingin beri kejutan loh, Bun. Iya kan Dad?” sahut Soga yang kini mulai menikmati perjalanan. Bibirnya terus tersenyum. Sesekali ia membuka kaca jendela dan membiarkan angin menyapu lembut rambut merahnya.“Soga apa kamu siap?” tanya Baswara.“Oke, Dad.”Mobil pun berhenti di te
Baswara tak sadarkan diri. Ia pun kini terbaring lemas di atas ranjang. Tertidur dengan wajah memucat dan pipi memerah. Bingung, Kana meminta dokter pribadi keluarga Soga untuk datang memeriksakan Baswara.“Semuanya baik-baik saja. Tidak ada masalah yang berarti. Suhu tubuhnya pun normal, begitu pula dengan tekanan darahnya. Saya rasa Tuan Baswara hanya sedang kejang otot saat berenang. Yang kemungkinan karena tidak melakukan pemanasan sebelumnya,” jelas Dokter yang kemudian memberikan obat lalu permisi pulang.“Dad, rencana kita berhasil,” bisik Soga yang sedari tadi berdiri di samping Baswara. Sedangkan kana keluar kamar untuk mengantarkan dokter pulang.Baswara mengedipkan matanya. Lalu keduanya kembali berakting saat Kana memasuki kamar.“Soga ambilkan air hangat ya untuk Bunda,” ucap Soga yang dengan sengaja meninggalkan Baswara dan Kana berdua. Tak lupa ia me
Hari-hari dilalui dengan senyuman dan kebahagiaan. Kana tak menyangka kehdarian Baswara di rumah mereka mberhasil menyempurnakan hidup mereka. Pagi ini Kana telat bangun, betapa kagetnya ia saat melihat ke arah jam dinding.“Telat!” gumam Kana yang segera melompat dari tempat tidur. Ia merasa bingung sendiri harus ngapain. Terlebih Baswara sudah tak lagi ada di atas ranjang.“Tenang, tenangkan dirimu Kana. Basuh wajah dan ke dapur. Oke!” ucapnya yang kemudian lari ke kamar mandi.Kini Kana terduduk di depan cermin. Matanya terlihat sendu menatap wajahnya. Berulang kali jemarinya menyentuh bagian pipi dan mata.“Pucat banget yah, sembab gitu matanya. Apa aku pakai make up aja? Tapi aku enggak biasa pakai begituan. Aku ... ah, udah ah. Begini aja,” gumam Kana yang kemudian pergi meninggalkan kamar.Kakinya melangkah membawa menuju dapur, te
“Pagi sayang,” sapa Baswara yang kini tersenyum menatap wajah Kana.“Udah jam berapa?” tanya Kana yang seketika kaget melihat Baswara sudah mengenakan kemeja rapi.“Kamu bobok aja. Aku harus melakukan panggilan video ke klien. Jadi aku harus mengenakan kemeja yang rapi kan?” ucap Baswara.Kana hanya bisa tersenyum geli melihat keadaan Baswara saat ini. Mengenakan kemeja dengan celana olahraga di bawahnya. Kana hanya bisa menggeleng kepala melihat tingkah Baswara.“Jam empat?” gumam Kana yang tak menyangka bahwa ini masih pagi buta.“Yah, maaf kalau ganggu tidur kamu,” ucap Baswara yang kini kembali membuka kemejanya. Ia pun menaiki ranjang dan kembali berbaring. Tangannya memeluk manja tubuh Kana dengan kepala yang bersanda menyentuh lengan Kana.“Aku masih ingin tidur,” sambungnya setela
Tiada hari tanpa kemesraan dan kini Kana mulai terbiasa dengan hal ini. Tak hanya melakukannya di kamar, bahkan kini mereka berani melakukannya di banyak tempat. Seperti yang terjadi saat ini.Kana yang tengah asik duduk di taman pun dikejutkan akan kedatangan Baswara. Ia hadir membawa nampan berisi buah dan segelas jus jeruk. Bak pelayan yang sedang melayani putri raja, Baswara merundukkan badan untuk menyerahkan nampan.Seakan memainkan peran, Kana pun dengan angkuhnya berucap, “Sulangi saya!”Baswara pun tersenyum. Ia meletakkan nampan dan duduk di samping Kana. Tangan kanannnya siap hendak menyulangkan. Namun, bukannya mengangakan mulut. Kana justru kembali berlakon. Ia menunjuk ke arah lantai seraya berkata, “Enggak ada pelayan yang duduk sebangku dengan tuan putri!”“Ba, baik, Tuan putri,” ucap Baswara yang kini bangkit dan bersiap hendak berdiri dengan kedua
Kana masih tidak menyangka ia telah menikah dengan Baswara. Hampir setiap malam ia tidak merasa tenang. Tidur dengan Baswara masih terasa asing untuk dirinya. Ia berulang kali menatap diri di cermin dengan jutaan perasaan yang bercampur aduk.“Kok aku jadi begini? Kenapa enggak bisa bersikap biasa aja?” gumamnya yang terus merasa ada sesuatu yang kurang dari wajahnya.Kembali teringat akan pembicaraan mereka di malam pertama. Saat itu Kana terlihat tak siap untuk tidur bersama Baswara. Sikapnya yang menjaga jarak dengan pria membuat ia bingung sendiri. Namun, ia sangat bersyukur karena Baswara sangat mengerti dirinya.“Kamu malu?” tanya Baswara sembari menatap genit Kana.“Ah, kamu udah makan?” tanya Kana mengalihkan pembicaraan.“Aku belum selera. Tapi aku mau makan yang ada di sini,” ledek Baswara. Ia semakin senang menggoda Kana
“Aku mengirim seseorang untuk bekerja di sana. Ia orang yang cerdas. Dengan mudah ia bisa mengetahui semua informasi tentang perusahaan. Membaca kinerja dan cara kerja mereka. Dari dia pula, aku tahu kamu dipaksa menikah dengan Arya.”“Kenapa kamu diam aja? Apa kamu mau aku menikah dengan Arya?” ungkap Kana kesal. Ternyata selama ia terjepit keadaan, Baswara mengetahui dan memilih diam. Betapa kesalnya ia. Padahal ia begitu berharap akan kedatangan Baswara untuk membantunya.“Jangan begitu, wajah itu membuat aku ingin menciummu lagi dan lagi,” ucap Baswara dengan tangan menyentuh dagu Kana.Wajah cemberut Kana pun seketika berubah menjadi malu. Pipinya memerah, entah sejak kapan Baswara menjadi lembut dan perhatian begini. Hingga membuat Kana bertanya-tanya dalam hati, “Ini Baswara kan?”“Nah, gitu dong. Kan manis.”Kana
Mulai terbiasa disentuh Baswara. Kini Kana tak lagi malu jika bermanja di rumah. Bahkan di setiap saat, keduanya terus lengket seperti perangko. Duduk di ruang tengah sambil membaca majalah, Baswara senang menjadikan paha Kana sebagai bantal. Begitu pula saat di taman, Baswara yang duduk bersandar pada bangku membiarkan lengannya menjadi sandaran Kana.Kebahagiaan yang Kana rasa ternyata juga dirasakan penghuni rumah lainnya. Mereka pun mulai mengatakan apa yang mereka ketahui tentang Arya.“Bun, maaf ya, Bun. Maaf banget. Sebenernya ...”Si Mbok pun membuka cerita. Ia berulang kali mendengar Arya menghubungi seseorang dan membahas harta yang akan didapatkan Soga. Arya berniat merubah jumlah itu dan membiarkan ia mendapat jatah cukup banyak setelah menjadi orang tua asuh Soga.“Kenapa Mbok baru cerita sekarang?” tanya Kana dengan nada sedikit kecewa. Meskipun begitu, ia tidak
Baswara memutuskan untuk tinggal di rumah Soga. Mengawali hari yang baru di sana. Sebagai keluarga, Soga sudah menerima Baswara sepernuh hatinya. Bahkan mereka begitu dekat dan kerap menghabiskan waktu bersama. Membuat Kana geleng-geleng kepala melihatnya.“Bun, Soga berangkat dulu yah!” ucapnya sembari memberi kecupan pada Kana. Lalu berjalan mendekati Baswara melayangkan tinju yang kemudian dibalas dengan tinju Baswara. Lalu tersenyum dan melambaikan tangan seraya berkata, “Bye, Dad!”Terperangah, Kana merasa tak salah mendengar. Hingga ia pun mendekati Baswara yang sedang duduk di meja makan.“Daddy? Soga panggil kamu Daddy?” tanya Kana dengan wajah polos dan lugunya.“Kamu salah dengar kali,” jawab Baswara dengan cueknya.“Enggak kok. Aku dengar jelas tadi dia bilang ‘bye,dad’.”&ldqu