Share

Tukang pos yang sibuk

Hari-hari berlalu dengan keceriaan yang tak pernah padam di antara lima mahasiswa jurusan komunikasi Universitas Merdeka ini. Meskipun jumlah mereka hanya berlima, kekompakan dan keakraban di antara mereka membuat suasana kelas selalu hidup. Dalam kesibukan perkuliahan yang padat, mereka tetap punya waktu untuk saling mendukung dan menghibur satu sama lain. Bahkan, Syifa sering kali mendapat peran unik sebagai “tukang pos” bagi teman-temannya.

Kehadiran Syifa sebagai satu-satunya perempuan di kelas membuatnya menjadi pusat perhatian banyak mahasiswi lain di kampus. Mereka sering datang kepadanya untuk menitipkan pesan, menanyakan hal-hal kecil, atau sekadar menggoda teman-temannya, terutama tentang Angga yang populer. Syifa dengan senang hati menjadi perantara, menyampaikan salam dan pesan dari para mahasiswi yang ingin mendekati salah satu dari mereka. Kadang-kadang hal itu membuatnya kewalahan, tetapi ia tetap melakukannya dengan senang hati.

Pagi itu, ketika Syifa baru saja tiba di kampus, seorang mahasiswi dari fakultas ekonomi, Nia, menghampirinya dengan wajah berbinar-binar.

“Syifa, aku dengar kamu dekat sama Reza, ya?” Nia membuka percakapan dengan antusias.

Syifa mengangguk sambil tersenyum. “Iya, bisa dibilang begitu. Ada apa, Nia?”

“Ehm, aku mau nitip ini buat dia.” Nia mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi brownies. “Bilang saja ini dari penggemar rahasianya. Kamu tahu kan, Reza suka makanan manis?”

Syifa tertawa kecil. “Oh, aku tahu sekali. Tenang saja, nanti aku sampaikan.”

Mereka berjalan menuju kelas bersama, dan sesampainya di sana, Syifa langsung memberikan kotak brownies itu kepada Reza. “Ini, Za. Ada kiriman dari penggemar rahasiamu.”

Reza tersenyum lebar dan berusaha menebak-nebak siapa pengirimnya. “Hmm, brownies favoritku, ya? Kalau saja setiap hari aku bisa dapat kiriman seperti ini, mungkin aku akan jadi pria paling bahagia di kampus.”

Arka tertawa mendengar komentar Reza. “Kamu tuh memang paling jago memanfaatkan keadaan, ya, Za. Untung ada Syifa yang jadi tukang pos kita.”

Syifa hanya menggeleng sambil tersenyum. “Kalian beruntung punya aku, kan?”

Namun, di balik semua keceriaan itu, ada sesuatu yang mengganggu pikiran Syifa. Beberapa hari terakhir, ia merasa Angga semakin menjauh. Angga yang biasanya hanya cuek, kini lebih sering menghindar dan tampak enggan berbicara dengan Syifa, bahkan saat Syifa mencoba memulai percakapan. Syifa bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?

Siang itu, setelah kelas selesai, Syifa memutuskan untuk berbicara dengan Angga. Ia menunggu sampai teman-temannya yang lain pergi, menyisakan hanya mereka berdua di kelas.

“Angga, boleh aku bicara sebentar?” tanya Syifa dengan nada serius.

Angga yang sedang merapikan buku-bukunya, mendongak. Tatapan matanya masih dingin seperti biasa, tapi ada kilatan bingung di sana. “Ada apa?”

“Aku merasa akhir-akhir ini kamu menghindar dariku. Ada yang salah? Atau… ada sesuatu yang membuatmu marah padaku?” Syifa bertanya hati-hati, matanya menatap lurus ke arah Angga.

Angga terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. “Tidak ada apa-apa, Syifa. Mungkin cuma perasaanmu saja.”

“Tapi…” Syifa ragu sejenak, “Aku merasa kamu benar-benar berbeda. Kalau ada yang salah, aku harap kamu bisa bicara langsung padaku. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman di antara kita.”

Angga mengalihkan pandangannya, seolah berusaha menghindari tatapan Syifa. “Aku... cuma lagi banyak pikiran saja,” jawabnya singkat.

Syifa tahu ada sesuatu yang disembunyikan Angga, tapi ia memutuskan untuk tidak memaksa. “Baiklah, kalau begitu. Kalau ada yang ingin kamu bicarakan, aku selalu ada di sini.”

Saat Syifa berbalik hendak pergi, Angga tiba-tiba berkata, “Syifa, kamu senang ya jadi tukang pos untuk kami semua?”

Pertanyaan itu mengejutkan Syifa. “Maksudmu?”

“Ya, setiap hari kamu sibuk menyampaikan salam, pesan, dan hadiah dari cewek-cewek buat kami. Kamu tidak pernah merasa terganggu?”

Syifa tertawa kecil. “Tidak, aku senang melakukannya. Lagipula, aku senang melihat kalian semua bahagia.”

Angga terdiam, bibirnya mengatup rapat. Ia tahu bahwa perasaan cemburu yang merayap di hatinya adalah hal yang seharusnya tidak perlu. Tapi, setiap kali melihat Syifa dengan senyum lebarnya menjadi perantara untuk Reza, Arka, atau Zaki, ada perasaan tidak nyaman yang menghantui. Apalagi ketika Reza selalu menggoda Syifa atau saat Arka dan Zaki sering bercanda dengannya, Angga merasa ingin menjauh.

Keesokan harinya, Syifa kembali bertugas sebagai “tukang pos” ketika seorang mahasiswi jurusan hukum, Maya, mendatanginya.

“Syifa, aku dengar kamu bisa bantu aku titip salam ke Zaki, ya?” tanya Maya dengan mata berbinar.

Syifa mengangguk. “Iya, aku bisa bantu. Ada pesan khusus?”

Maya tersenyum malu-malu. “Hmm, mungkin tanyakan saja apa dia suka kopi atau teh? Aku ingin memberinya sesuatu.”

Syifa tersenyum dan menjawab, “Oke, aku pasti sampaikan.”

Namun, di kelas hari itu, situasi menjadi tegang. Saat Syifa menyampaikan pesan Maya kepada Zaki, tiba-tiba Reza tertawa dan berkata, “Wah, Syifa, kamu memang jadi 'mak comblang' nomor satu di sini, ya? Kira-kira kapan kamu mulai buka jasa perjodohan?”

Arka menimpali dengan tawa. “Iya nih, kita semua bisa jadi klien pertamanya!”

Angga yang mendengar percakapan itu hanya diam. Namun, setelah beberapa saat, ia berdiri dan berjalan keluar kelas tanpa mengatakan apa-apa. Syifa yang melihat Angga pergi dengan wajah muram merasa semakin bingung.

"Angga, tunggu!" panggil Syifa sambil mengejarnya keluar. "Apa kamu benar-benar marah padaku?"

Angga berhenti, lalu berbalik. "Syifa, kamu tidak paham, ya? Aku sudah muak melihat kamu jadi tukang pos untuk cewek-cewek yang suka sama mereka."

Syifa terkejut mendengar nada suara Angga yang tajam. "Tapi kenapa? Aku hanya membantu mereka, Angga. Aku pikir ini hal yang menyenangkan."

"Hal yang menyenangkan?" Angga mendekat, matanya menatap tajam ke arah Syifa. "Apa kamu tidak pernah berpikir kalau mungkin, ada seseorang yang merasa tidak nyaman dengan semua ini? Apa kamu pernah berpikir kalau ada yang menyukaimu dan tidak suka melihatmu melakukan semua ini?"

Syifa terdiam, mencoba mencerna kata-kata Angga. "Maksudmu... ada yang suka padaku? Siapa?"

Angga terdiam sesaat, lalu menggeleng. "Lupakan. Aku hanya butuh waktu untuk sendiri."

Angga pergi meninggalkan Syifa yang masih berdiri kaku di tempatnya. Hatinya kacau, mencoba mengerti apa maksud dari semua ini. Syifa mulai merasa ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang ia lewatkan selama ini.

**Bersambung...**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status