Share

Bunga yang tercabik

Hari itu, matahari bersinar cerah di kampus Universitas Merdeka. Seperti biasa, Syifa sudah bersiap dengan penuh semangat untuk menghadiri kelas komunikasi. Namun, ada yang berbeda pagi ini. Tepat saat ia sedang berjalan menuju ruang kelas, seorang mahasiswi dari jurusan psikologi bernama Amel menghampirinya dengan wajah penuh harap.

"Syifa, tolong sampaikan ini ke Angga, ya," ucap Amel, menyerahkan buket bunga mawar merah yang indah. "Bilang saja, ini dari seseorang yang sangat mengaguminya."

Syifa menerima bunga itu dengan senyum. "Baik, Amel. Aku akan sampaikan. Semoga berhasil, ya!" jawabnya dengan nada menggoda, membuat Amel tersipu malu.

Syifa segera menuju kelas dengan bunga di tangannya. Sesampainya di kelas, suasana sudah riuh seperti biasa. Zaki dan Arka sedang bercanda sambil tertawa terbahak-bahak, sementara Reza, dengan kacamata bulatnya, sedang membaca buku sambil sesekali melirik ke arah Syifa. Namun, perhatian Syifa tertuju pada Angga yang duduk di sudut kelas, sibuk dengan laptopnya, tatapannya dingin dan tak acuh seperti biasa.

“Angga,” panggil Syifa sambil mendekat. “Ada kiriman untukmu.”

Angga mendongak sekilas, matanya menyapu wajah Syifa sebelum beralih ke buket bunga yang ia bawa. “Apa itu?”

“Bunga dari seseorang yang mengagumimu,” kata Syifa dengan senyum tulus. Ia berharap kali ini Angga tidak akan terlalu reaktif. Namun, ekspresi wajah Angga tetap datar.

Tanpa berkata apa-apa, Angga tiba-tiba berdiri. Ia mengambil buket bunga dari tangan Syifa dan, tanpa peringatan, langsung melemparkannya ke lantai. Dengan kasar, ia menginjak-injak bunga itu hingga kelopaknya hancur, membuat suara berderak yang memekakkan telinga di dalam kelas. Semua mata langsung tertuju ke arah mereka, terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.

Syifa tertegun, jantungnya berdegup kencang. “Angga… kenapa?” tanyanya pelan, matanya masih terpaku pada bunga yang kini sudah menjadi serpihan di bawah sepatu Angga.

Wajah Angga menegang, matanya bersinar tajam penuh ketidaksukaan. “Kamu pikir aku suka dengan semua ini? Kamu pikir aku senang menjadi bahan candaan dan menjadi pusat perhatian para gadis itu?” suaranya dingin, nada bicaranya memotong seperti pisau.

Syifa terdiam, lidahnya kelu. Ia tidak pernah melihat Angga sefrustrasi ini. “Aku… aku hanya ingin membantu mereka, Angga. Aku tidak tahu kalau ini membuatmu kesal,” jawab Syifa pelan.

Angga mendekat sedikit, menatap Syifa dengan mata yang penuh dengan amarah tersembunyi. “Kamu tidak pernah berpikir, ya? Tidak semua orang suka diperhatikan seperti itu. Dan aku benci ketika orang menggunakanmu sebagai alat untuk mendekati aku.”

Air mata mulai menggenang di sudut mata Syifa. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia hanya ingin membantu dan bersikap baik. Namun, kenyataan ini seperti tamparan yang keras baginya.

Reza yang sedari tadi memperhatikan langsung berdiri dan menghampiri Syifa. Ia menepuk bahu Syifa dengan lembut, berusaha menenangkan. “Hei, tidak apa-apa, Syifa. Jangan ambil hati,” kata Reza dengan nada lembut. Ia menatap Angga dengan tatapan penuh peringatan. “Angga, kamu nggak harus sekejam itu.”

Arka dan Zaki yang melihat kejadian itu juga bangkit. Arka melangkah mendekati Angga, ekspresinya serius. “Angga, kamu keterlaluan. Kalau kamu nggak suka, bicarakan baik-baik, bukan dengan cara seperti ini,” tegur Arka, suaranya tegas.

Namun, Angga hanya mengangkat bahu. “Kalian nggak ngerti apa yang aku rasakan,” gumamnya sebelum mengambil tasnya dan berjalan keluar dari kelas tanpa melihat ke belakang.

Suasana di kelas berubah menjadi sunyi setelah Angga pergi. Syifa berdiri mematung, masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Ia tidak pernah menyangka Angga akan bereaksi sekeras itu. Ketidaksukaan Angga selama ini rupanya jauh lebih dalam dari yang ia kira.

Reza yang masih berdiri di sebelah Syifa berusaha mengalihkan perhatiannya. “Syifa, ayo duduk dulu. Jangan dipikirkan. Angga memang sering sulit dimengerti.”

Syifa mengangguk pelan, matanya masih merah. “Aku cuma… aku nggak tahu kalau dia akan marah seperti itu. Aku cuma ingin membantu,” bisiknya.

Zaki, yang biasanya tenang, mencoba menenangkan situasi. “Angga memang sering terlalu dingin dan tertutup. Mungkin dia hanya perlu waktu untuk menenangkan diri,” ujarnya sambil merangkul bahu Syifa dengan lembut.

Arka menambahkan, “Kamu nggak salah, Syifa. Kita semua tahu kamu cuma ingin membuat semua orang bahagia. Jangan merasa bersalah karena itu.”

Namun, kejadian itu tetap meninggalkan bekas di hati Syifa. Ia tidak bisa menghilangkan bayangan wajah Angga yang marah dan ucapan-ucapan tajamnya yang menusuk. Ada rasa sakit yang tak bisa ia jelaskan. Sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak.

Setelah kelas usai, Syifa memutuskan untuk pergi ke taman kampus sendirian, mencoba menenangkan pikirannya. Ia duduk di bangku panjang di bawah pohon rindang, memandangi bunga-bunga yang bermekaran. Namun, pikirannya terus kembali pada Angga dan reaksi kerasnya tadi.

“Kenapa, Angga?” bisik Syifa lirih pada dirinya sendiri. “Kenapa kamu begitu marah?”

Tak jauh dari tempat Syifa duduk, ternyata Angga memperhatikannya dari kejauhan, berdiri di balik pohon besar. Wajahnya masih tegang, namun ada sesuatu di matanya yang mencerminkan penyesalan. Ia tahu bahwa caranya tadi mungkin terlalu berlebihan, tapi ia tidak bisa mengontrol perasaannya. Ia hanya tidak suka melihat Syifa, gadis yang diam-diam ia sukai, selalu menjadi 'perantara' bagi orang lain untuk mendekatinya. Rasa cemburu dan kesal berkecamuk di dalam dirinya, membuatnya meledak tanpa ia sadari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status