Share

Batas kesabaran

Keesokan harinya, Syifa tiba di kampus dengan perasaan yang masih campur aduk. Kejadian kemarin masih membekas dalam pikirannya, terutama tatapan dingin Angga dan bagaimana dia menghancurkan bunga itu di depan matanya. Syifa masih tidak bisa mengerti apa salahnya. Pagi ini, sebelum masuk kelas, seorang mahasiswi dari jurusan lain menghampiri Syifa dengan senyum lebar.

"Syifa, bisa tolong kasih ini ke Angga nggak?" tanya mahasiswi itu sambil menyerahkan sebuah kotak kecil yang dihias dengan pita merah muda. “Aku tahu kamu sering sekelas sama dia.”

Syifa memandang kotak itu dengan ragu, lalu mengingat kembali kejadian kemarin. Ia menarik napas panjang, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. "Maaf ya, tapi sebaiknya kamu berikan sendiri ke Angga," jawab Syifa, senyum tipis di wajahnya. "Aku nggak mau kejadian seperti kemarin terulang lagi."

Mahasiswi itu terlihat kecewa, namun ia mengangguk mengerti. "Oke deh, makasih ya, Syifa." Ia pun pergi meninggalkan Syifa yang kini merasa sedikit lega. Syifa tak ingin lagi menjadi 'tukang pos' untuk Angga—terutama jika reaksinya akan sekeras kemarin.

---

Di dalam kelas, suasana sedikit tegang. Angga duduk di pojok ruangan, wajahnya tampak muram. Zaki yang duduk di sebelahnya mencoba menasihati, meski ia tahu bahwa Angga bukan tipe yang mudah mendengarkan.

“Gue ngerti, lo mungkin punya alasan sendiri buat marah kemarin,” kata Zaki pelan, menatap Angga yang sedang menulis di buku catatannya tanpa peduli. “Tapi kalau lo sampai nyakitin Syifa, gue rasa itu udah kelewatan, Ga. Dia nggak salah apa-apa.”

Angga tetap diam, tangannya terus menulis. Namun, matanya sedikit menyipit, menunjukkan ketegangan di balik sikap acuhnya. “Lo nggak ngerti, Zaki,” jawab Angga akhirnya, suaranya datar namun terdengar jelas kemarahan yang tertahan di baliknya.

Zaki hendak menjawab lagi ketika tiba-tiba pintu kelas terbuka. Syifa masuk bersama Reza, keduanya tampak bercanda kecil. Melihat mereka berdua masuk bersama, senyum di wajah Arka langsung melebar. Ia mengangkat tangannya ke udara, seolah memberi sinyal, dan berseru dengan nada menggoda.

"Cieh, cieh... pasangan baru, nih? Pajak jadian doang," goda Arka dengan tawa kecil yang segera diikuti Zaki.

Syifa langsung melotot ke arah Arka, wajahnya memerah. "Enggak, ah! Kita nggak jadian, kok!" ujarnya cepat, sambil melambaikan tangan seolah menolak dugaan tersebut. Namun, berbeda dengan Reza yang tiba-tiba menjadi salah tingkah. Ia hanya tersenyum canggung, tidak tahu harus merespons bagaimana. Pipinya tampak sedikit memerah, membuat Arka dan Zaki tertawa semakin keras.

Angga, yang dari tadi hanya diam, kini melihat ke arah Syifa dan Reza dengan tatapan tajam. Ia merasa darahnya mendidih melihat Syifa dan Reza begitu dekat. Tangan Angga mengepal erat di bawah meja, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak senang yang jelas terlihat. Arka yang melihat perubahan di wajah Angga hanya menggelengkan kepalanya pelan.

“Angga, lo nggak bisa terus begini. Syifa nggak bersalah,” ujar Zaki lagi, kali ini suaranya lebih rendah agar hanya Angga yang bisa mendengar. “Kalau lo ada masalah, lo harus ngomong, jangan didiemin.”

Angga menoleh ke arah Zaki, matanya menyiratkan kemarahan. “Gue nggak ada masalah, Zaki. Jangan ikut campur urusan gue,” balasnya dingin.

Sementara itu, Syifa mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia mendekati Zaki dan Arka, berpura-pura tidak mendengar perbincangan mereka barusan. "Eh, Zaki, Arka, gimana progress tugas kelompok kita? Sudah pada selesai belum?" tanyanya dengan senyum lebar, berusaha menghilangkan suasana canggung.

“Udah mau selesai, kok,” jawab Arka dengan cepat. “Tinggal bagian akhir aja. Oh, tapi kita butuh referensi tambahan deh, Fi. Kayaknya lo yang paling ngerti soal itu.”

Syifa mengangguk, senang akhirnya ada topik yang bisa dibahas tanpa harus menyinggung perasaan siapa pun. “Oke, nanti aku bantu cari di perpustakaan ya.”

Namun, percakapan mereka masih tetap mengganggu Angga. Setiap kali Syifa tertawa bersama Reza atau Arka, ia merasa kesal. Ada rasa cemburu yang ia sendiri tidak bisa jelaskan. Dia tidak bisa membiarkan perasaannya ini terus mengendalikan dirinya, tapi dia juga tidak tahu bagaimana harus mengatasinya.

---

Seiring berjalannya waktu, suasana di kelas mulai kembali normal. Namun, bagi Syifa, ketegangan dengan Angga masih terasa menggantung. Dia berharap bisa bicara dengan Angga untuk menyelesaikan masalah ini, tetapi setiap kali dia mencoba mendekat, Angga selalu menjauh.

Di sisi lain, Reza semakin sering mengajak Syifa berbicara dan bercanda. Dia tampak lebih bersemangat akhir-akhir ini, meskipun Syifa tidak sepenuhnya mengerti kenapa. Mungkin karena Reza merasa ada kesempatan lebih besar untuk mendekati Syifa, mengingat hubungan Syifa dan Angga yang kini agak merenggang.

Angga yang melihat kedekatan mereka semakin tumbuh, merasa semakin tak nyaman. Namun, bukannya mencoba menyelesaikan masalah dengan Syifa, ia malah semakin menarik diri.

"Aku nggak bisa terus begini," gumam Angga pelan pada dirinya sendiri. Dia tahu, jika tidak segera diatasi, perasaannya ini akan menggerogoti dirinya lebih jauh. Dia harus berbicara dengan Syifa—menjelaskan semuanya sebelum semuanya terlambat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status