Reza mengantarkan Syifa pulang ke rumah dengan perasaan cemas yang sulit diabaikan. Sepanjang perjalanan, Syifa hanya diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Reza sesekali melirik ke arahnya, berharap bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menghiburnya. Namun, setiap kali ia mencoba bicara, Syifa hanya memberikan senyuman kecil, seolah-olah berkata, "Aku baik-baik saja," meskipun jelas sekali ia tidak.
Begitu mereka tiba di depan rumah Syifa, Reza mematikan mesin motornya dan menoleh ke arah Syifa. “Kalau kamu butuh seseorang untuk bicara, aku selalu ada untuk kamu, Syifa,” ujarnya lembut. Syifa tersenyum tipis, meski matanya masih terlihat sembab dan lelah. "Terima kasih, Reza. Kamu sudah sangat baik hari ini," katanya pelan sebelum turun dari motor. Ketika Syifa sampai di depan pintu, ibunya, Bu Farida, sudah berdiri di sana. Wajahnya langsung berubah khawatir saat melihat putrinya dengan mata bengkak dan raut wajah yang tampak kusut. "Syifa, kamu kenapa, Nak? Ada apa di kampus?" tanya Bu Farida dengan nada penuh kekhawatiran. Syifa hanya menggeleng pelan, mencoba tersenyum meski wajahnya tak bisa menyembunyikan kesedihannya. "Nggak apa-apa, Mah. Syifa cuma capek," jawabnya singkat. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera masuk ke dalam rumah, meninggalkan ibunya yang masih berdiri di ambang pintu dengan perasaan bingung. Melihat ekspresi Syifa yang berbeda dari biasanya, Bu Farida memandang ke arah Reza yang masih duduk di atas motornya, seolah menuntut penjelasan. “Reza, ada apa dengan Syifa? Kenapa dia kelihatan habis menangis?” tanya Bu Farida langsung, suaranya terdengar cemas. Reza terdiam sejenak, menelan ludah. Ia bingung harus menjawab apa. Tentu, ia tidak ingin membuat Bu Farida semakin khawatir, tapi ia juga tidak bisa berbohong sepenuhnya. "E-e... tidak ada apa-apa, Tante," jawabnya terbata-bata. “Hanya ada sedikit... masalah di kampus, tapi aku yakin Syifa akan baik-baik saja.” Mata Bu Farida memperhatikan Reza dengan tajam. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar "masalah di kampus". Namun, ia juga paham bahwa mendesak Reza tidak akan membantu. “Baiklah, Reza. Terima kasih sudah mengantar Syifa pulang,” ujarnya akhirnya, meski raut wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran. Reza mengangguk, merasa lega karena tidak harus menjelaskan lebih banyak. “Sama-sama, Tante. Kalau begitu, saya pamit dulu,” katanya sebelum menyalakan kembali motornya dan pergi. Tapi sepanjang jalan, pikirannya masih tertuju pada Syifa dan apa yang terjadi tadi. --- Di dalam rumah, Syifa berjalan menuju kamarnya dengan langkah gontai. Ia menutup pintu dengan perlahan dan menundukkan kepala, memandang lantai kayu yang dingin. Hatinya masih terasa berat, dan kata-kata Angga terus terngiang di kepalanya. Air mata yang tadinya sudah berhenti kembali mengalir, meski kali ini ia mencoba menahannya. Ia duduk di pinggir ranjang, memeluk lututnya sendiri. "Kenapa aku begitu peduli dengan pendapatnya? Kenapa dia harus bersikap seperti itu padaku?" pikirnya. Syifa tidak pernah berpikir bahwa Angga, yang selama ini dikenal dingin namun tetap profesional, bisa bertindak begitu kasar terhadap dirinya. Apalagi hanya karena masalah kecil seperti ini. Di luar kamar, Bu Farida berdiri di depan pintu, telinganya menempel ke permukaan kayu. Ia mendengar suara isakan Syifa yang teredam, membuat hatinya semakin tak tenang. Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk tidak mengetuk pintu atau memaksa masuk. Mungkin, pikirnya, Syifa butuh waktu untuk menenangkan diri. --- Di tempat lain, Angga duduk di kursi kamarnya, menatap lurus ke depan dengan wajah penuh amarah yang bercampur frustrasi. Ia menyesali perbuatannya tadi. Bukan karena ia membuang bunga itu—ia tidak peduli soal bunga—tapi karena ia telah melukai hati Syifa. Ia bisa melihat betapa terkejut dan sedihnya gadis itu saat ia bertindak seperti itu. Namun, rasa cemburu yang menguasai dirinya membuatnya tidak bisa berpikir jernih. “Apa yang aku lakukan…” gumamnya pada dirinya sendiri. Ia mengambil ponselnya dan membuka galeri, menatap foto-foto yang pernah diambil bersama teman-temannya, termasuk Syifa. Angga memang terkenal dengan sikap dinginnya, tapi Syifa... Syifa berbeda. Kehadirannya selalu memberi warna lain dalam hidupnya yang monoton. Angga tahu bahwa perasaannya terhadap Syifa lebih dari sekadar teman. Tapi ia terlalu angkuh untuk mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri. Sekarang, melihat Syifa begitu dekat dengan Reza, rasa takut akan kehilangan yang tak pernah ia sadari kini menyeruak dengan jelas. “Mungkin aku harus bicara dengannya,” pikir Angga akhirnya. Tapi ia tidak tahu harus mulai dari mana atau bagaimana cara memperbaiki apa yang telah ia lakukan. Namun, satu hal yang pasti, ia tidak bisa membiarkan kesalahpahaman ini berlanjut. --- Malam semakin larut, Syifa masih belum bisa tidur. Matanya yang sembab membuat kepalanya terasa berat. Ia mengambil ponselnya, membuka aplikasi chat, dan menatap lama kontak Angga yang ada di sana. Jari-jarinya bergerak lambat di atas keyboard, berusaha mengetik pesan, tetapi tak ada satu pun kata yang bisa ia tulis. Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk mengirim pesan singkat kepada Reza, mengucapkan terima kasih untuk hari ini. _"Reza, makasih udah ada buat aku hari ini. Maaf kalau aku nyusahin."_ Tak lama kemudian, balasan dari Reza masuk. _"Kamu nggak pernah nyusahin, Syifa. Kapan pun kamu butuh, aku akan selalu ada. Jangan pikirin Angga terlalu dalam, oke? Kamu harus fokus sama kebahagiaan kamu sendiri."_ Syifa membaca pesan itu dan merasa sedikit lega. Meski masih ada rasa sakit di hatinya, setidaknya ia tahu bahwa ada seseorang yang selalu mendukungnya. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia berharap bisa menyelesaikan semua ini dengan Angga.Keesokan harinya, Syifa tiba di kampus dengan perasaan yang masih campur aduk. Kejadian kemarin masih membekas dalam pikirannya, terutama tatapan dingin Angga dan bagaimana dia menghancurkan bunga itu di depan matanya. Syifa masih tidak bisa mengerti apa salahnya. Pagi ini, sebelum masuk kelas, seorang mahasiswi dari jurusan lain menghampiri Syifa dengan senyum lebar."Syifa, bisa tolong kasih ini ke Angga nggak?" tanya mahasiswi itu sambil menyerahkan sebuah kotak kecil yang dihias dengan pita merah muda. “Aku tahu kamu sering sekelas sama dia.”Syifa memandang kotak itu dengan ragu, lalu mengingat kembali kejadian kemarin. Ia menarik napas panjang, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. "Maaf ya, tapi sebaiknya kamu berikan sendiri ke Angga," jawab Syifa, senyum tipis di wajahnya. "Aku nggak mau kejadian seperti kemarin terulang lagi."Mahasiswi itu terlihat kecewa, namun ia mengangguk mengerti. "Oke deh, makasih ya, Syifa." Ia pun pergi meninggalka
Setelah kelas berakhir, para mahasiswa mulai beranjak pulang. Arka, Zaki, dan Reza sudah menghilang dari ruangan setelah berpamitan. Syifa masih sibuk merapikan alat tulisnya ke dalam tas. Ia sengaja memperlambat gerakannya, berharap bisa menghindari suasana canggung setelah kejadian kemarin dengan Angga. Sementara itu, Angga, yang biasanya paling cepat keluar kelas, justru hari ini masih berdiri di dekat mejanya, tampak gelisah.Angga merapikan buku-buku dan catatannya dengan perlahan, mencuri pandang ke arah Syifa yang tampak fokus memasukkan alat tulis ke tas. Dadanya berdegup kencang. Setiap detik yang berlalu membuatnya semakin gugup. “Harusnya aku ngomong sekarang,” pikirnya. “Kalau enggak, makin lama makin susah.”Setelah mejanya rapi, Angga menarik napas panjang dan menguatkan dirinya. Dia melangkah mendekat ke meja Syifa dengan langkah yang agak kaku. Matanya tidak lepas dari Syifa yang masih tidak menyadari keberadaannya.“Syifa...” panggil Angga
Syifa berdiri di tengah kelas, terdiam dengan hati yang masih berdebar kencang. Setiap kali dia mencoba memproses apa yang baru saja diungkapkan Angga, ia merasa seperti berada dalam mimpi. “Hah? Angga? Si batu es itu suka? Sama-sama aku?” gumamnya pada dirinya sendiri. Ia menepuk-nepuk pipinya, mencoba memastikan bahwa ini bukanlah khayalan.Angga sudah pergi, meninggalkan Syifa dalam keadaan bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Setiap kali ia berpikir tentang ekspresi Angga dan pengakuannya, wajahnya memerah. Selama ini Angga dikenal sebagai sosok yang dingin dan sulit didekati. Tapi kini, Angga ternyata memiliki perasaan yang dalam, dan ini membuat Syifa merasa tidak siap.Tiba-tiba, bunyi dering ponselnya mengejutkan Syifa. Dia melihat layar ponsel dan melihat nama Reza tertera di situ. Syifa langsung meraih ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Dia menekan tombol jawab, mencoba menyembunyikan kegugupannya.“Hallo, Reza?” suaranya terdengar lebih ceria dari yang ia ra
Seminggu telah berlalu sejak pengakuan Angga yang mengejutkan Syifa. Selama waktu itu, Syifa merasa terjebak dalam kebingungan. Dia belum dapat memutuskan bagaimana ia harus menanggapi perasaan Angga, dan ketidakpastian itu membuatnya semakin cemas. Selama seminggu itu, Angga telah berusaha untuk menghubungi Syifa melalui pesan singkat, menanyakan tentang bagaimana perasaannya. Namun, Syifa memilih untuk tidak membalas pesan-pesan tersebut. Ia merasa tidak siap untuk membahas perasaan ini dan ingin menjaga jarak untuk sementara waktu.Keesokan harinya, Angga memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih langsung. Pagi itu, Angga datang lebih awal ke kelas, berharap untuk berbicara dengan Syifa secara pribadi. Ia tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk memperjelas keadaan dan memecahkan kebuntuan ini.Sambil menunggu kedatangan teman-teman sekelasnya, Angga memutuskan untuk mengirim pesan kepada Arka, Reza, dan Zaki. Dalam pesan tersebut, ia memberi tahu mereka bahwa hari ini kela
Pagi itu, Syifa melangkah dengan langkah ringan menuju kampus. Rambut panjangnya terurai, menari-nari ditiup angin pagi yang segar. Senyumnya lebar, seperti biasa, memancarkan semangat dan keceriaan yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Meskipun dirinya adalah satu-satunya mahasiswi di kelasnya, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk mengejar cita-cita menjadi seorang wartawan."Selamat pagi, dunia!" serunya riang saat melangkah masuk ke gedung fakultas komunikasi Universitas Merdeka.Jurusan komunikasi memang bukan jurusan yang populer di kampus ini. Hanya lima mahasiswa saja yang memilih jurusan ini: Arka, Zaki, Reza, Angga, dan tentu saja, Syifa. Namun, Syifa tidak pernah merasa canggung. Ia justru merasa bersemangat karena dikelilingi teman-teman yang unik dengan karakter masing-masing.Syifa masuk ke ruang kelas kecil yang biasanya menjadi tempat berkumpul mereka berlima. Di dalam, sudah ada Arka dan Reza yang duduk berdampingan sambil mengobrol.
Hari-hari berlalu dengan keceriaan yang tak pernah padam di antara lima mahasiswa jurusan komunikasi Universitas Merdeka ini. Meskipun jumlah mereka hanya berlima, kekompakan dan keakraban di antara mereka membuat suasana kelas selalu hidup. Dalam kesibukan perkuliahan yang padat, mereka tetap punya waktu untuk saling mendukung dan menghibur satu sama lain. Bahkan, Syifa sering kali mendapat peran unik sebagai “tukang pos” bagi teman-temannya.Kehadiran Syifa sebagai satu-satunya perempuan di kelas membuatnya menjadi pusat perhatian banyak mahasiswi lain di kampus. Mereka sering datang kepadanya untuk menitipkan pesan, menanyakan hal-hal kecil, atau sekadar menggoda teman-temannya, terutama tentang Angga yang populer. Syifa dengan senang hati menjadi perantara, menyampaikan salam dan pesan dari para mahasiswi yang ingin mendekati salah satu dari mereka. Kadang-kadang hal itu membuatnya kewalahan, tetapi ia tetap melakukannya dengan senang hati. Pagi itu, ketika Sy
Hari itu, matahari bersinar cerah di kampus Universitas Merdeka. Seperti biasa, Syifa sudah bersiap dengan penuh semangat untuk menghadiri kelas komunikasi. Namun, ada yang berbeda pagi ini. Tepat saat ia sedang berjalan menuju ruang kelas, seorang mahasiswi dari jurusan psikologi bernama Amel menghampirinya dengan wajah penuh harap."Syifa, tolong sampaikan ini ke Angga, ya," ucap Amel, menyerahkan buket bunga mawar merah yang indah. "Bilang saja, ini dari seseorang yang sangat mengaguminya."Syifa menerima bunga itu dengan senyum. "Baik, Amel. Aku akan sampaikan. Semoga berhasil, ya!" jawabnya dengan nada menggoda, membuat Amel tersipu malu.Syifa segera menuju kelas dengan bunga di tangannya. Sesampainya di kelas, suasana sudah riuh seperti biasa. Zaki dan Arka sedang bercanda sambil tertawa terbahak-bahak, sementara Reza, dengan kacamata bulatnya, sedang membaca buku sambil sesekali melirik ke arah Syifa. Namun, perhatian Syifa tertuju pada Angga yang
Syifa masih duduk di bangku taman dengan pandangan kosong. Sore itu, sinar matahari mulai redup, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan setapak. Suara daun yang bergesekan dihembus angin sesekali terdengar, namun pikiran Syifa terlalu penuh dengan kata-kata dingin Angga yang terus terngiang di telinganya.Saat itulah Reza datang, berjalan perlahan mendekati Syifa. Ia tahu Syifa pasti merasa sangat terpukul dengan kejadian tadi di kelas. Melihatnya duduk sendirian, Reza tidak bisa menahan diri untuk tidak menghampiri.“Syifa,” panggil Reza pelan saat ia sudah dekat. Ia kemudian duduk di samping Syifa dengan hati-hati, menjaga jarak agar tidak membuat Syifa semakin tidak nyaman. “Kamu nggak apa-apa?”Syifa menoleh, matanya terlihat merah dan berkaca-kaca. Tanpa berkata apa-apa, tiba-tiba ia meraih Reza dan memeluknya erat. Reza tersentak sejenak, tak menyangka Syifa akan bertindak seperti itu. Namun, detik berikutnya ia membalas pelukan itu dengan l