Share

Ketika Mata Berbicara

Setelah kelas berakhir, para mahasiswa mulai beranjak pulang. Arka, Zaki, dan Reza sudah menghilang dari ruangan setelah berpamitan. Syifa masih sibuk merapikan alat tulisnya ke dalam tas. Ia sengaja memperlambat gerakannya, berharap bisa menghindari suasana canggung setelah kejadian kemarin dengan Angga. Sementara itu, Angga, yang biasanya paling cepat keluar kelas, justru hari ini masih berdiri di dekat mejanya, tampak gelisah.

Angga merapikan buku-buku dan catatannya dengan perlahan, mencuri pandang ke arah Syifa yang tampak fokus memasukkan alat tulis ke tas. Dadanya berdegup kencang. Setiap detik yang berlalu membuatnya semakin gugup. “Harusnya aku ngomong sekarang,” pikirnya. “Kalau enggak, makin lama makin susah.”

Setelah mejanya rapi, Angga menarik napas panjang dan menguatkan dirinya. Dia melangkah mendekat ke meja Syifa dengan langkah yang agak kaku. Matanya tidak lepas dari Syifa yang masih tidak menyadari keberadaannya.

“Syifa...” panggil Angga dengan suara yang rendah dan agak serak karena gugup. Syifa menghentikan kegiatannya sejenak, tapi tidak menoleh. Ia pura-pura sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya.

“Ada apa?” jawab Syifa akhirnya, suaranya terdengar datar dan dingin. Dia tidak ingin memberikan kesempatan kepada Angga untuk mempermainkan perasaannya lagi. "Kalau kamu mau ngomong sesuatu, cepat saja," lanjutnya, tetap menatap ke dalam tasnya, berusaha terlihat tidak peduli.

Angga merasa semakin tegang. "Aku... mau minta maaf soal kejadian kemarin," ucap Angga, berusaha tetap tenang meski hatinya berdebar kencang. "Aku nggak bermaksud kasar sama kamu, Syifa."

Namun, Syifa tidak bergeming. Dia menghela napas panjang, menutup tasnya dengan gerakan cepat. “Nggak usah, Angga,” katanya singkat, masih tidak memandang Angga. “Aku udah nggak peduli lagi soal itu. Jadi, kalau cuma itu yang mau kamu omongin, aku pergi dulu.”

Melihat respons dingin dari Syifa, Angga merasa panik. Ini bukan seperti yang ia bayangkan. Dia ingin Syifa mendengarnya, mengerti alasan di balik kemarahannya. Tapi, melihat Syifa yang sudah bersiap pergi, Angga tahu dia harus bertindak sekarang atau tidak sama sekali. Tanpa pikir panjang, ia langsung melangkah maju dan memegang lembut wajah Syifa dengan kedua tangannya.

Syifa terkejut. Ia refleks ingin menghindar, tapi sentuhan Angga menahannya. Jantungnya berdegup kencang. Tatapannya yang semula tertuju ke lantai kini bertemu langsung dengan mata Angga. Matanya melebar, dan wajahnya memerah dalam sekejap. Ia merasa sulit bernapas, napasnya terhenti sejenak.

“Dengerin aku dulu, Syifa,” bisik Angga, nadanya memohon. Wajahnya dekat sekali, dan Syifa bisa merasakan detak jantung Angga yang juga berdetak kencang. "Aku beneran minta maaf soal kemarin. Aku cuma... aku cuma nggak suka ngelihat kamu jadi perantara buat cewek-cewek lain, apalagi buat aku.”

Syifa masih terpaku. Dia merasakan tangan Angga yang sedikit bergetar. Ada kerentanan yang jarang sekali ia lihat dari Angga. Biasanya, dia selalu tampak dingin dan tak tergoyahkan, tapi kali ini... dia terlihat berbeda. Dalam keheningan yang mencekam itu, dia menyadari bahwa Angga sedang jujur padanya. Namun, Syifa masih bingung dengan semua ini.

"Kenapa?" gumam Syifa, suaranya nyaris tak terdengar. Matanya masih terkunci pada mata Angga, yang menunjukkan emosi campur aduk—antara marah, cemburu, dan ketakutan kehilangan.

Angga menelan ludah, gugup. “Karena... karena aku suka sama kamu, Syifa,” akhirnya dia mengakui, suaranya rendah namun penuh kejujuran. Wajahnya memerah, tapi matanya tidak berpaling dari Syifa. “Aku nggak suka lihat kamu dekat sama cowok lain. Apalagi... apalagi kalau itu Reza.”

Mata Syifa membesar. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Ini pengakuan yang sama sekali tidak dia duga dari Angga. Angga yang selalu dingin dan acuh, kini mengungkapkan perasaannya dengan cara yang begitu... nyata. Ia bisa merasakan tangan Angga yang semakin erat memegang wajahnya, seolah tak ingin dia berpaling.

Syifa merasa dunia di sekelilingnya berhenti. Ia mencoba mencari kata-kata, namun lidahnya kelu. Ada rasa hangat yang menjalar di pipinya, membuatnya semakin salah tingkah. Dia tidak tahu bagaimana harus merespons, dan detik-detik yang berlalu terasa seperti menit-menit yang panjang.

Angga yang menyadari wajah Syifa semakin memerah, perlahan melepaskan tangannya. Ia menundukkan kepala, merasa malu atas keberaniannya tadi. “Maaf kalau aku buat kamu nggak nyaman,” ujarnya pelan. “Aku cuma... aku cuma nggak bisa nahan perasaan ini lagi.”

Syifa menelan ludah, mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup tak karuan. “Aku... aku butuh waktu, Angga,” jawabnya dengan suara bergetar. “Ini... ini terlalu tiba-tiba.”

Angga mengangguk, paham bahwa ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dalam satu kali pembicaraan. “Aku ngerti,” katanya sambil melangkah mundur perlahan. “Tapi, aku harap kamu tahu, aku benar-benar minta maaf dan... aku akan nunggu jawaban kamu.”

Syifa hanya bisa mengangguk pelan, masih dalam keadaan terpana. Angga lalu berbalik dan meninggalkan kelas, meninggalkan Syifa sendirian dengan perasaan yang berkecamuk.

---

**Bersambung...**

Apakah Syifa akan menerima perasaan Angga? Bagaimana reaksi Reza jika mengetahui pengakuan Angga kepada Syifa? Apa yang akan terjadi selanjutnya di antara mereka? Nantikan kelanjutannya di bab berikutnya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status