Setelah kelas berakhir, para mahasiswa mulai beranjak pulang. Arka, Zaki, dan Reza sudah menghilang dari ruangan setelah berpamitan. Syifa masih sibuk merapikan alat tulisnya ke dalam tas. Ia sengaja memperlambat gerakannya, berharap bisa menghindari suasana canggung setelah kejadian kemarin dengan Angga. Sementara itu, Angga, yang biasanya paling cepat keluar kelas, justru hari ini masih berdiri di dekat mejanya, tampak gelisah.
Angga merapikan buku-buku dan catatannya dengan perlahan, mencuri pandang ke arah Syifa yang tampak fokus memasukkan alat tulis ke tas. Dadanya berdegup kencang. Setiap detik yang berlalu membuatnya semakin gugup. “Harusnya aku ngomong sekarang,” pikirnya. “Kalau enggak, makin lama makin susah.” Setelah mejanya rapi, Angga menarik napas panjang dan menguatkan dirinya. Dia melangkah mendekat ke meja Syifa dengan langkah yang agak kaku. Matanya tidak lepas dari Syifa yang masih tidak menyadari keberadaannya. “Syifa...” panggil Angga dengan suara yang rendah dan agak serak karena gugup. Syifa menghentikan kegiatannya sejenak, tapi tidak menoleh. Ia pura-pura sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya. “Ada apa?” jawab Syifa akhirnya, suaranya terdengar datar dan dingin. Dia tidak ingin memberikan kesempatan kepada Angga untuk mempermainkan perasaannya lagi. "Kalau kamu mau ngomong sesuatu, cepat saja," lanjutnya, tetap menatap ke dalam tasnya, berusaha terlihat tidak peduli. Angga merasa semakin tegang. "Aku... mau minta maaf soal kejadian kemarin," ucap Angga, berusaha tetap tenang meski hatinya berdebar kencang. "Aku nggak bermaksud kasar sama kamu, Syifa." Namun, Syifa tidak bergeming. Dia menghela napas panjang, menutup tasnya dengan gerakan cepat. “Nggak usah, Angga,” katanya singkat, masih tidak memandang Angga. “Aku udah nggak peduli lagi soal itu. Jadi, kalau cuma itu yang mau kamu omongin, aku pergi dulu.” Melihat respons dingin dari Syifa, Angga merasa panik. Ini bukan seperti yang ia bayangkan. Dia ingin Syifa mendengarnya, mengerti alasan di balik kemarahannya. Tapi, melihat Syifa yang sudah bersiap pergi, Angga tahu dia harus bertindak sekarang atau tidak sama sekali. Tanpa pikir panjang, ia langsung melangkah maju dan memegang lembut wajah Syifa dengan kedua tangannya. Syifa terkejut. Ia refleks ingin menghindar, tapi sentuhan Angga menahannya. Jantungnya berdegup kencang. Tatapannya yang semula tertuju ke lantai kini bertemu langsung dengan mata Angga. Matanya melebar, dan wajahnya memerah dalam sekejap. Ia merasa sulit bernapas, napasnya terhenti sejenak. “Dengerin aku dulu, Syifa,” bisik Angga, nadanya memohon. Wajahnya dekat sekali, dan Syifa bisa merasakan detak jantung Angga yang juga berdetak kencang. "Aku beneran minta maaf soal kemarin. Aku cuma... aku cuma nggak suka ngelihat kamu jadi perantara buat cewek-cewek lain, apalagi buat aku.” Syifa masih terpaku. Dia merasakan tangan Angga yang sedikit bergetar. Ada kerentanan yang jarang sekali ia lihat dari Angga. Biasanya, dia selalu tampak dingin dan tak tergoyahkan, tapi kali ini... dia terlihat berbeda. Dalam keheningan yang mencekam itu, dia menyadari bahwa Angga sedang jujur padanya. Namun, Syifa masih bingung dengan semua ini. "Kenapa?" gumam Syifa, suaranya nyaris tak terdengar. Matanya masih terkunci pada mata Angga, yang menunjukkan emosi campur aduk—antara marah, cemburu, dan ketakutan kehilangan. Angga menelan ludah, gugup. “Karena... karena aku suka sama kamu, Syifa,” akhirnya dia mengakui, suaranya rendah namun penuh kejujuran. Wajahnya memerah, tapi matanya tidak berpaling dari Syifa. “Aku nggak suka lihat kamu dekat sama cowok lain. Apalagi... apalagi kalau itu Reza.” Mata Syifa membesar. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Ini pengakuan yang sama sekali tidak dia duga dari Angga. Angga yang selalu dingin dan acuh, kini mengungkapkan perasaannya dengan cara yang begitu... nyata. Ia bisa merasakan tangan Angga yang semakin erat memegang wajahnya, seolah tak ingin dia berpaling. Syifa merasa dunia di sekelilingnya berhenti. Ia mencoba mencari kata-kata, namun lidahnya kelu. Ada rasa hangat yang menjalar di pipinya, membuatnya semakin salah tingkah. Dia tidak tahu bagaimana harus merespons, dan detik-detik yang berlalu terasa seperti menit-menit yang panjang. Angga yang menyadari wajah Syifa semakin memerah, perlahan melepaskan tangannya. Ia menundukkan kepala, merasa malu atas keberaniannya tadi. “Maaf kalau aku buat kamu nggak nyaman,” ujarnya pelan. “Aku cuma... aku cuma nggak bisa nahan perasaan ini lagi.” Syifa menelan ludah, mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup tak karuan. “Aku... aku butuh waktu, Angga,” jawabnya dengan suara bergetar. “Ini... ini terlalu tiba-tiba.” Angga mengangguk, paham bahwa ini bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dalam satu kali pembicaraan. “Aku ngerti,” katanya sambil melangkah mundur perlahan. “Tapi, aku harap kamu tahu, aku benar-benar minta maaf dan... aku akan nunggu jawaban kamu.” Syifa hanya bisa mengangguk pelan, masih dalam keadaan terpana. Angga lalu berbalik dan meninggalkan kelas, meninggalkan Syifa sendirian dengan perasaan yang berkecamuk. --- **Bersambung...** Apakah Syifa akan menerima perasaan Angga? Bagaimana reaksi Reza jika mengetahui pengakuan Angga kepada Syifa? Apa yang akan terjadi selanjutnya di antara mereka? Nantikan kelanjutannya di bab berikutnya!Syifa berdiri di tengah kelas, terdiam dengan hati yang masih berdebar kencang. Setiap kali dia mencoba memproses apa yang baru saja diungkapkan Angga, ia merasa seperti berada dalam mimpi. “Hah? Angga? Si batu es itu suka? Sama-sama aku?” gumamnya pada dirinya sendiri. Ia menepuk-nepuk pipinya, mencoba memastikan bahwa ini bukanlah khayalan.Angga sudah pergi, meninggalkan Syifa dalam keadaan bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Setiap kali ia berpikir tentang ekspresi Angga dan pengakuannya, wajahnya memerah. Selama ini Angga dikenal sebagai sosok yang dingin dan sulit didekati. Tapi kini, Angga ternyata memiliki perasaan yang dalam, dan ini membuat Syifa merasa tidak siap.Tiba-tiba, bunyi dering ponselnya mengejutkan Syifa. Dia melihat layar ponsel dan melihat nama Reza tertera di situ. Syifa langsung meraih ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Dia menekan tombol jawab, mencoba menyembunyikan kegugupannya.“Hallo, Reza?” suaranya terdengar lebih ceria dari yang ia ra
Seminggu telah berlalu sejak pengakuan Angga yang mengejutkan Syifa. Selama waktu itu, Syifa merasa terjebak dalam kebingungan. Dia belum dapat memutuskan bagaimana ia harus menanggapi perasaan Angga, dan ketidakpastian itu membuatnya semakin cemas. Selama seminggu itu, Angga telah berusaha untuk menghubungi Syifa melalui pesan singkat, menanyakan tentang bagaimana perasaannya. Namun, Syifa memilih untuk tidak membalas pesan-pesan tersebut. Ia merasa tidak siap untuk membahas perasaan ini dan ingin menjaga jarak untuk sementara waktu.Keesokan harinya, Angga memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih langsung. Pagi itu, Angga datang lebih awal ke kelas, berharap untuk berbicara dengan Syifa secara pribadi. Ia tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk memperjelas keadaan dan memecahkan kebuntuan ini.Sambil menunggu kedatangan teman-teman sekelasnya, Angga memutuskan untuk mengirim pesan kepada Arka, Reza, dan Zaki. Dalam pesan tersebut, ia memberi tahu mereka bahwa hari ini kela
Pagi itu, Syifa melangkah dengan langkah ringan menuju kampus. Rambut panjangnya terurai, menari-nari ditiup angin pagi yang segar. Senyumnya lebar, seperti biasa, memancarkan semangat dan keceriaan yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Meskipun dirinya adalah satu-satunya mahasiswi di kelasnya, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk mengejar cita-cita menjadi seorang wartawan."Selamat pagi, dunia!" serunya riang saat melangkah masuk ke gedung fakultas komunikasi Universitas Merdeka.Jurusan komunikasi memang bukan jurusan yang populer di kampus ini. Hanya lima mahasiswa saja yang memilih jurusan ini: Arka, Zaki, Reza, Angga, dan tentu saja, Syifa. Namun, Syifa tidak pernah merasa canggung. Ia justru merasa bersemangat karena dikelilingi teman-teman yang unik dengan karakter masing-masing.Syifa masuk ke ruang kelas kecil yang biasanya menjadi tempat berkumpul mereka berlima. Di dalam, sudah ada Arka dan Reza yang duduk berdampingan sambil mengobrol.
Hari-hari berlalu dengan keceriaan yang tak pernah padam di antara lima mahasiswa jurusan komunikasi Universitas Merdeka ini. Meskipun jumlah mereka hanya berlima, kekompakan dan keakraban di antara mereka membuat suasana kelas selalu hidup. Dalam kesibukan perkuliahan yang padat, mereka tetap punya waktu untuk saling mendukung dan menghibur satu sama lain. Bahkan, Syifa sering kali mendapat peran unik sebagai “tukang pos” bagi teman-temannya.Kehadiran Syifa sebagai satu-satunya perempuan di kelas membuatnya menjadi pusat perhatian banyak mahasiswi lain di kampus. Mereka sering datang kepadanya untuk menitipkan pesan, menanyakan hal-hal kecil, atau sekadar menggoda teman-temannya, terutama tentang Angga yang populer. Syifa dengan senang hati menjadi perantara, menyampaikan salam dan pesan dari para mahasiswi yang ingin mendekati salah satu dari mereka. Kadang-kadang hal itu membuatnya kewalahan, tetapi ia tetap melakukannya dengan senang hati. Pagi itu, ketika Sy
Hari itu, matahari bersinar cerah di kampus Universitas Merdeka. Seperti biasa, Syifa sudah bersiap dengan penuh semangat untuk menghadiri kelas komunikasi. Namun, ada yang berbeda pagi ini. Tepat saat ia sedang berjalan menuju ruang kelas, seorang mahasiswi dari jurusan psikologi bernama Amel menghampirinya dengan wajah penuh harap."Syifa, tolong sampaikan ini ke Angga, ya," ucap Amel, menyerahkan buket bunga mawar merah yang indah. "Bilang saja, ini dari seseorang yang sangat mengaguminya."Syifa menerima bunga itu dengan senyum. "Baik, Amel. Aku akan sampaikan. Semoga berhasil, ya!" jawabnya dengan nada menggoda, membuat Amel tersipu malu.Syifa segera menuju kelas dengan bunga di tangannya. Sesampainya di kelas, suasana sudah riuh seperti biasa. Zaki dan Arka sedang bercanda sambil tertawa terbahak-bahak, sementara Reza, dengan kacamata bulatnya, sedang membaca buku sambil sesekali melirik ke arah Syifa. Namun, perhatian Syifa tertuju pada Angga yang
Syifa masih duduk di bangku taman dengan pandangan kosong. Sore itu, sinar matahari mulai redup, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan setapak. Suara daun yang bergesekan dihembus angin sesekali terdengar, namun pikiran Syifa terlalu penuh dengan kata-kata dingin Angga yang terus terngiang di telinganya.Saat itulah Reza datang, berjalan perlahan mendekati Syifa. Ia tahu Syifa pasti merasa sangat terpukul dengan kejadian tadi di kelas. Melihatnya duduk sendirian, Reza tidak bisa menahan diri untuk tidak menghampiri.“Syifa,” panggil Reza pelan saat ia sudah dekat. Ia kemudian duduk di samping Syifa dengan hati-hati, menjaga jarak agar tidak membuat Syifa semakin tidak nyaman. “Kamu nggak apa-apa?”Syifa menoleh, matanya terlihat merah dan berkaca-kaca. Tanpa berkata apa-apa, tiba-tiba ia meraih Reza dan memeluknya erat. Reza tersentak sejenak, tak menyangka Syifa akan bertindak seperti itu. Namun, detik berikutnya ia membalas pelukan itu dengan l
Reza mengantarkan Syifa pulang ke rumah dengan perasaan cemas yang sulit diabaikan. Sepanjang perjalanan, Syifa hanya diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Reza sesekali melirik ke arahnya, berharap bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menghiburnya. Namun, setiap kali ia mencoba bicara, Syifa hanya memberikan senyuman kecil, seolah-olah berkata, "Aku baik-baik saja," meskipun jelas sekali ia tidak.Begitu mereka tiba di depan rumah Syifa, Reza mematikan mesin motornya dan menoleh ke arah Syifa. “Kalau kamu butuh seseorang untuk bicara, aku selalu ada untuk kamu, Syifa,” ujarnya lembut. Syifa tersenyum tipis, meski matanya masih terlihat sembab dan lelah. "Terima kasih, Reza. Kamu sudah sangat baik hari ini," katanya pelan sebelum turun dari motor.Ketika Syifa sampai di depan pintu, ibunya, Bu Farida, sudah berdiri di sana. Wajahnya langsung berubah khawatir saat melihat putrinya dengan mata bengkak dan raut wajah yang tampak kusut. "Syifa, kamu
Keesokan harinya, Syifa tiba di kampus dengan perasaan yang masih campur aduk. Kejadian kemarin masih membekas dalam pikirannya, terutama tatapan dingin Angga dan bagaimana dia menghancurkan bunga itu di depan matanya. Syifa masih tidak bisa mengerti apa salahnya. Pagi ini, sebelum masuk kelas, seorang mahasiswi dari jurusan lain menghampiri Syifa dengan senyum lebar."Syifa, bisa tolong kasih ini ke Angga nggak?" tanya mahasiswi itu sambil menyerahkan sebuah kotak kecil yang dihias dengan pita merah muda. “Aku tahu kamu sering sekelas sama dia.”Syifa memandang kotak itu dengan ragu, lalu mengingat kembali kejadian kemarin. Ia menarik napas panjang, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. "Maaf ya, tapi sebaiknya kamu berikan sendiri ke Angga," jawab Syifa, senyum tipis di wajahnya. "Aku nggak mau kejadian seperti kemarin terulang lagi."Mahasiswi itu terlihat kecewa, namun ia mengangguk mengerti. "Oke deh, makasih ya, Syifa." Ia pun pergi meninggalka
Seminggu telah berlalu sejak pengakuan Angga yang mengejutkan Syifa. Selama waktu itu, Syifa merasa terjebak dalam kebingungan. Dia belum dapat memutuskan bagaimana ia harus menanggapi perasaan Angga, dan ketidakpastian itu membuatnya semakin cemas. Selama seminggu itu, Angga telah berusaha untuk menghubungi Syifa melalui pesan singkat, menanyakan tentang bagaimana perasaannya. Namun, Syifa memilih untuk tidak membalas pesan-pesan tersebut. Ia merasa tidak siap untuk membahas perasaan ini dan ingin menjaga jarak untuk sementara waktu.Keesokan harinya, Angga memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih langsung. Pagi itu, Angga datang lebih awal ke kelas, berharap untuk berbicara dengan Syifa secara pribadi. Ia tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk memperjelas keadaan dan memecahkan kebuntuan ini.Sambil menunggu kedatangan teman-teman sekelasnya, Angga memutuskan untuk mengirim pesan kepada Arka, Reza, dan Zaki. Dalam pesan tersebut, ia memberi tahu mereka bahwa hari ini kela
Syifa berdiri di tengah kelas, terdiam dengan hati yang masih berdebar kencang. Setiap kali dia mencoba memproses apa yang baru saja diungkapkan Angga, ia merasa seperti berada dalam mimpi. “Hah? Angga? Si batu es itu suka? Sama-sama aku?” gumamnya pada dirinya sendiri. Ia menepuk-nepuk pipinya, mencoba memastikan bahwa ini bukanlah khayalan.Angga sudah pergi, meninggalkan Syifa dalam keadaan bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Setiap kali ia berpikir tentang ekspresi Angga dan pengakuannya, wajahnya memerah. Selama ini Angga dikenal sebagai sosok yang dingin dan sulit didekati. Tapi kini, Angga ternyata memiliki perasaan yang dalam, dan ini membuat Syifa merasa tidak siap.Tiba-tiba, bunyi dering ponselnya mengejutkan Syifa. Dia melihat layar ponsel dan melihat nama Reza tertera di situ. Syifa langsung meraih ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Dia menekan tombol jawab, mencoba menyembunyikan kegugupannya.“Hallo, Reza?” suaranya terdengar lebih ceria dari yang ia ra
Setelah kelas berakhir, para mahasiswa mulai beranjak pulang. Arka, Zaki, dan Reza sudah menghilang dari ruangan setelah berpamitan. Syifa masih sibuk merapikan alat tulisnya ke dalam tas. Ia sengaja memperlambat gerakannya, berharap bisa menghindari suasana canggung setelah kejadian kemarin dengan Angga. Sementara itu, Angga, yang biasanya paling cepat keluar kelas, justru hari ini masih berdiri di dekat mejanya, tampak gelisah.Angga merapikan buku-buku dan catatannya dengan perlahan, mencuri pandang ke arah Syifa yang tampak fokus memasukkan alat tulis ke tas. Dadanya berdegup kencang. Setiap detik yang berlalu membuatnya semakin gugup. “Harusnya aku ngomong sekarang,” pikirnya. “Kalau enggak, makin lama makin susah.”Setelah mejanya rapi, Angga menarik napas panjang dan menguatkan dirinya. Dia melangkah mendekat ke meja Syifa dengan langkah yang agak kaku. Matanya tidak lepas dari Syifa yang masih tidak menyadari keberadaannya.“Syifa...” panggil Angga
Keesokan harinya, Syifa tiba di kampus dengan perasaan yang masih campur aduk. Kejadian kemarin masih membekas dalam pikirannya, terutama tatapan dingin Angga dan bagaimana dia menghancurkan bunga itu di depan matanya. Syifa masih tidak bisa mengerti apa salahnya. Pagi ini, sebelum masuk kelas, seorang mahasiswi dari jurusan lain menghampiri Syifa dengan senyum lebar."Syifa, bisa tolong kasih ini ke Angga nggak?" tanya mahasiswi itu sambil menyerahkan sebuah kotak kecil yang dihias dengan pita merah muda. “Aku tahu kamu sering sekelas sama dia.”Syifa memandang kotak itu dengan ragu, lalu mengingat kembali kejadian kemarin. Ia menarik napas panjang, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. "Maaf ya, tapi sebaiknya kamu berikan sendiri ke Angga," jawab Syifa, senyum tipis di wajahnya. "Aku nggak mau kejadian seperti kemarin terulang lagi."Mahasiswi itu terlihat kecewa, namun ia mengangguk mengerti. "Oke deh, makasih ya, Syifa." Ia pun pergi meninggalka
Reza mengantarkan Syifa pulang ke rumah dengan perasaan cemas yang sulit diabaikan. Sepanjang perjalanan, Syifa hanya diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Reza sesekali melirik ke arahnya, berharap bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menghiburnya. Namun, setiap kali ia mencoba bicara, Syifa hanya memberikan senyuman kecil, seolah-olah berkata, "Aku baik-baik saja," meskipun jelas sekali ia tidak.Begitu mereka tiba di depan rumah Syifa, Reza mematikan mesin motornya dan menoleh ke arah Syifa. “Kalau kamu butuh seseorang untuk bicara, aku selalu ada untuk kamu, Syifa,” ujarnya lembut. Syifa tersenyum tipis, meski matanya masih terlihat sembab dan lelah. "Terima kasih, Reza. Kamu sudah sangat baik hari ini," katanya pelan sebelum turun dari motor.Ketika Syifa sampai di depan pintu, ibunya, Bu Farida, sudah berdiri di sana. Wajahnya langsung berubah khawatir saat melihat putrinya dengan mata bengkak dan raut wajah yang tampak kusut. "Syifa, kamu
Syifa masih duduk di bangku taman dengan pandangan kosong. Sore itu, sinar matahari mulai redup, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan setapak. Suara daun yang bergesekan dihembus angin sesekali terdengar, namun pikiran Syifa terlalu penuh dengan kata-kata dingin Angga yang terus terngiang di telinganya.Saat itulah Reza datang, berjalan perlahan mendekati Syifa. Ia tahu Syifa pasti merasa sangat terpukul dengan kejadian tadi di kelas. Melihatnya duduk sendirian, Reza tidak bisa menahan diri untuk tidak menghampiri.“Syifa,” panggil Reza pelan saat ia sudah dekat. Ia kemudian duduk di samping Syifa dengan hati-hati, menjaga jarak agar tidak membuat Syifa semakin tidak nyaman. “Kamu nggak apa-apa?”Syifa menoleh, matanya terlihat merah dan berkaca-kaca. Tanpa berkata apa-apa, tiba-tiba ia meraih Reza dan memeluknya erat. Reza tersentak sejenak, tak menyangka Syifa akan bertindak seperti itu. Namun, detik berikutnya ia membalas pelukan itu dengan l
Hari itu, matahari bersinar cerah di kampus Universitas Merdeka. Seperti biasa, Syifa sudah bersiap dengan penuh semangat untuk menghadiri kelas komunikasi. Namun, ada yang berbeda pagi ini. Tepat saat ia sedang berjalan menuju ruang kelas, seorang mahasiswi dari jurusan psikologi bernama Amel menghampirinya dengan wajah penuh harap."Syifa, tolong sampaikan ini ke Angga, ya," ucap Amel, menyerahkan buket bunga mawar merah yang indah. "Bilang saja, ini dari seseorang yang sangat mengaguminya."Syifa menerima bunga itu dengan senyum. "Baik, Amel. Aku akan sampaikan. Semoga berhasil, ya!" jawabnya dengan nada menggoda, membuat Amel tersipu malu.Syifa segera menuju kelas dengan bunga di tangannya. Sesampainya di kelas, suasana sudah riuh seperti biasa. Zaki dan Arka sedang bercanda sambil tertawa terbahak-bahak, sementara Reza, dengan kacamata bulatnya, sedang membaca buku sambil sesekali melirik ke arah Syifa. Namun, perhatian Syifa tertuju pada Angga yang
Hari-hari berlalu dengan keceriaan yang tak pernah padam di antara lima mahasiswa jurusan komunikasi Universitas Merdeka ini. Meskipun jumlah mereka hanya berlima, kekompakan dan keakraban di antara mereka membuat suasana kelas selalu hidup. Dalam kesibukan perkuliahan yang padat, mereka tetap punya waktu untuk saling mendukung dan menghibur satu sama lain. Bahkan, Syifa sering kali mendapat peran unik sebagai “tukang pos” bagi teman-temannya.Kehadiran Syifa sebagai satu-satunya perempuan di kelas membuatnya menjadi pusat perhatian banyak mahasiswi lain di kampus. Mereka sering datang kepadanya untuk menitipkan pesan, menanyakan hal-hal kecil, atau sekadar menggoda teman-temannya, terutama tentang Angga yang populer. Syifa dengan senang hati menjadi perantara, menyampaikan salam dan pesan dari para mahasiswi yang ingin mendekati salah satu dari mereka. Kadang-kadang hal itu membuatnya kewalahan, tetapi ia tetap melakukannya dengan senang hati. Pagi itu, ketika Sy
Pagi itu, Syifa melangkah dengan langkah ringan menuju kampus. Rambut panjangnya terurai, menari-nari ditiup angin pagi yang segar. Senyumnya lebar, seperti biasa, memancarkan semangat dan keceriaan yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Meskipun dirinya adalah satu-satunya mahasiswi di kelasnya, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk mengejar cita-cita menjadi seorang wartawan."Selamat pagi, dunia!" serunya riang saat melangkah masuk ke gedung fakultas komunikasi Universitas Merdeka.Jurusan komunikasi memang bukan jurusan yang populer di kampus ini. Hanya lima mahasiswa saja yang memilih jurusan ini: Arka, Zaki, Reza, Angga, dan tentu saja, Syifa. Namun, Syifa tidak pernah merasa canggung. Ia justru merasa bersemangat karena dikelilingi teman-teman yang unik dengan karakter masing-masing.Syifa masuk ke ruang kelas kecil yang biasanya menjadi tempat berkumpul mereka berlima. Di dalam, sudah ada Arka dan Reza yang duduk berdampingan sambil mengobrol.