Syifa masih duduk di bangku taman dengan pandangan kosong. Sore itu, sinar matahari mulai redup, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan setapak. Suara daun yang bergesekan dihembus angin sesekali terdengar, namun pikiran Syifa terlalu penuh dengan kata-kata dingin Angga yang terus terngiang di telinganya.
Saat itulah Reza datang, berjalan perlahan mendekati Syifa. Ia tahu Syifa pasti merasa sangat terpukul dengan kejadian tadi di kelas. Melihatnya duduk sendirian, Reza tidak bisa menahan diri untuk tidak menghampiri. “Syifa,” panggil Reza pelan saat ia sudah dekat. Ia kemudian duduk di samping Syifa dengan hati-hati, menjaga jarak agar tidak membuat Syifa semakin tidak nyaman. “Kamu nggak apa-apa?” Syifa menoleh, matanya terlihat merah dan berkaca-kaca. Tanpa berkata apa-apa, tiba-tiba ia meraih Reza dan memeluknya erat. Reza tersentak sejenak, tak menyangka Syifa akan bertindak seperti itu. Namun, detik berikutnya ia membalas pelukan itu dengan lembut, tangannya menepuk punggung Syifa untuk menenangkan. "Reza, apa salahku? Mengapa Angga semarah itu padaku?" suara Syifa terdengar parau, terisak di bahu Reza. Air matanya mulai membasahi baju Reza, namun ia tak peduli. Rasa sakit di hatinya jauh lebih besar dari apa pun yang bisa ia tahan saat ini. Reza menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk meredakan hati Syifa. “Syifa, kamu nggak salah apa-apa. Angga mungkin lagi ada masalah lain, makanya dia jadi kayak gitu. Tapi percayalah, ini semua bukan salahmu,” ujar Reza lembut, matanya menatap penuh perhatian pada Syifa. Syifa menggeleng pelan, air matanya masih mengalir. “Tapi kenapa dia begitu kasar? Aku cuma mau membantu… aku cuma mau semua orang bahagia. Kenapa malah jadi seperti ini?” katanya, suaranya mulai pecah di tengah isakan. Reza kembali menenangkan Syifa, menepuk punggungnya dengan lembut. “Angga itu orangnya susah ditebak, kamu juga tahu kan? Tapi aku yakin, dia nggak benar-benar marah sama kamu. Mungkin ada hal lain yang mengganggu pikirannya. Yang jelas, kamu nggak perlu menyalahkan diri sendiri.” Dari kejauhan, Angga berdiri di balik pohon besar, matanya tak lepas memandang ke arah Syifa dan Reza. Melihat Syifa yang menangis di pelukan Reza membuat dada Angga terasa panas. Tangannya mengepal kuat, bibirnya mengatup rapat. Ada perasaan tak nyaman yang bergolak di dalam hatinya, sebuah rasa cemburu yang tak bisa ia jelaskan. Ia tahu ia sudah bertindak terlalu kasar pada Syifa tadi. Namun, melihat Syifa menangis seperti itu membuat hatinya semakin sakit. "Sial," gumam Angga pelan, memalingkan wajahnya sejenak. Pandangan itu membuatnya marah pada dirinya sendiri. Reza, sementara itu, merasa ada hal yang harus ia katakan. “Dengar, Syifa. Aku nggak suka lihat kamu menangis seperti ini. Kamu berhak bahagia dan nggak usah pikirin Angga. Kalau dia memang nggak bisa menghargai kamu, itu masalah dia, bukan kamu,” katanya tegas. Nada suaranya menunjukkan ketulusan dan kekhawatirannya. Syifa perlahan melepaskan pelukannya, meski matanya masih memerah. Ia menatap Reza dengan lemah. “Kamu selalu baik padaku, Reza. Terima kasih sudah ada di sini.” Reza tersenyum kecil. “Aku selalu ada buat kamu, Syifa. Jangan pernah ragu soal itu.” Tepat saat itu, terdengar suara langkah kaki mendekat. Angga muncul di hadapan mereka, wajahnya tampak kaku dan serius. Ia berhenti beberapa meter di depan Syifa dan Reza, matanya menatap tajam ke arah mereka berdua. “Kamu selesai menangis?” tanyanya dingin, suaranya terdengar lebih tenang dari sebelumnya, namun tetap ada nada sarkasme yang tersirat. Syifa terkejut melihat Angga tiba-tiba muncul. Ia segera menyeka air matanya dan berdiri. “Angga, aku nggak tahu apa salahku sampai kamu—” “Sudah cukup,” potong Angga, nadanya tegas. “Aku sudah bilang tadi. Aku nggak suka kamu jadi perantara untuk hal-hal seperti itu. Kamu tahu apa yang mereka pikirkan? Mereka cuma menganggap kamu sebagai cara untuk mendekati aku atau yang lain. Aku benci itu.” Reza yang berada di samping Syifa tidak bisa menahan diri lagi. “Angga, cukup! Kamu nggak lihat kalau Syifa udah cukup tersakiti? Kamu bisa bicara lebih baik, kan?” suaranya meninggi, menunjukkan bahwa ia benar-benar marah kali ini. Angga menatap Reza, rahangnya mengeras. “Ini bukan urusanmu, Reza,” balasnya tajam. Reza bangkit berdiri, kini ia berdiri tepat di depan Angga. “Kalau ini tentang Syifa, ini urusanku. Aku nggak akan diam saja kalau kamu menyakitinya.” Suasana semakin tegang. Angga dan Reza saling berhadapan, mata mereka saling mengunci seolah ada pertarungan yang tak terlihat di antara keduanya. Syifa yang berada di tengah-tengah mereka merasa semakin bingung dan tertekan. “Cukup! Aku nggak mau kalian bertengkar karena aku!” seru Syifa akhirnya, suaranya bergetar. “Angga, kalau kamu nggak suka aku melakukan itu, aku minta maaf. Aku nggak tahu kalau itu akan membuatmu marah seperti ini.” Angga menghela napas panjang, mencoba meredakan emosinya. Ia tahu ia terlalu keras. “Lupakan saja,” katanya akhirnya, nadanya lebih tenang. “Aku hanya tidak suka saja. Itu saja.” Syifa mengangguk pelan, meskipun hatinya masih terasa sakit. “Baik, aku mengerti.” Reza masih berdiri dengan tubuh yang tegang, matanya masih menatap Angga dengan penuh amarah. Namun, ia tahu bahwa tidak ada gunanya memperpanjang masalah ini. “Syifa, kalau kamu mau, aku bisa antar kamu pulang,” tawarnya dengan lembut, mengabaikan keberadaan Angga sejenak. Syifa mengangguk. “Ya, terima kasih, Reza.” Tanpa berkata apa-apa lagi, Reza menggandeng tangan Syifa, membawanya pergi dari tempat itu. Angga hanya bisa melihat mereka berdua pergi, perasaannya campur aduk. Ada sesuatu yang merongrong hatinya saat melihat Syifa bersama Reza, dan ia benci perasaan itu. Ia tahu ia harus melakukan sesuatu, tapi ia tidak tahu harus mulai dari mana.Reza mengantarkan Syifa pulang ke rumah dengan perasaan cemas yang sulit diabaikan. Sepanjang perjalanan, Syifa hanya diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Reza sesekali melirik ke arahnya, berharap bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menghiburnya. Namun, setiap kali ia mencoba bicara, Syifa hanya memberikan senyuman kecil, seolah-olah berkata, "Aku baik-baik saja," meskipun jelas sekali ia tidak.Begitu mereka tiba di depan rumah Syifa, Reza mematikan mesin motornya dan menoleh ke arah Syifa. “Kalau kamu butuh seseorang untuk bicara, aku selalu ada untuk kamu, Syifa,” ujarnya lembut. Syifa tersenyum tipis, meski matanya masih terlihat sembab dan lelah. "Terima kasih, Reza. Kamu sudah sangat baik hari ini," katanya pelan sebelum turun dari motor.Ketika Syifa sampai di depan pintu, ibunya, Bu Farida, sudah berdiri di sana. Wajahnya langsung berubah khawatir saat melihat putrinya dengan mata bengkak dan raut wajah yang tampak kusut. "Syifa, kamu
Keesokan harinya, Syifa tiba di kampus dengan perasaan yang masih campur aduk. Kejadian kemarin masih membekas dalam pikirannya, terutama tatapan dingin Angga dan bagaimana dia menghancurkan bunga itu di depan matanya. Syifa masih tidak bisa mengerti apa salahnya. Pagi ini, sebelum masuk kelas, seorang mahasiswi dari jurusan lain menghampiri Syifa dengan senyum lebar."Syifa, bisa tolong kasih ini ke Angga nggak?" tanya mahasiswi itu sambil menyerahkan sebuah kotak kecil yang dihias dengan pita merah muda. “Aku tahu kamu sering sekelas sama dia.”Syifa memandang kotak itu dengan ragu, lalu mengingat kembali kejadian kemarin. Ia menarik napas panjang, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. "Maaf ya, tapi sebaiknya kamu berikan sendiri ke Angga," jawab Syifa, senyum tipis di wajahnya. "Aku nggak mau kejadian seperti kemarin terulang lagi."Mahasiswi itu terlihat kecewa, namun ia mengangguk mengerti. "Oke deh, makasih ya, Syifa." Ia pun pergi meninggalka
Setelah kelas berakhir, para mahasiswa mulai beranjak pulang. Arka, Zaki, dan Reza sudah menghilang dari ruangan setelah berpamitan. Syifa masih sibuk merapikan alat tulisnya ke dalam tas. Ia sengaja memperlambat gerakannya, berharap bisa menghindari suasana canggung setelah kejadian kemarin dengan Angga. Sementara itu, Angga, yang biasanya paling cepat keluar kelas, justru hari ini masih berdiri di dekat mejanya, tampak gelisah.Angga merapikan buku-buku dan catatannya dengan perlahan, mencuri pandang ke arah Syifa yang tampak fokus memasukkan alat tulis ke tas. Dadanya berdegup kencang. Setiap detik yang berlalu membuatnya semakin gugup. “Harusnya aku ngomong sekarang,” pikirnya. “Kalau enggak, makin lama makin susah.”Setelah mejanya rapi, Angga menarik napas panjang dan menguatkan dirinya. Dia melangkah mendekat ke meja Syifa dengan langkah yang agak kaku. Matanya tidak lepas dari Syifa yang masih tidak menyadari keberadaannya.“Syifa...” panggil Angga
Syifa berdiri di tengah kelas, terdiam dengan hati yang masih berdebar kencang. Setiap kali dia mencoba memproses apa yang baru saja diungkapkan Angga, ia merasa seperti berada dalam mimpi. “Hah? Angga? Si batu es itu suka? Sama-sama aku?” gumamnya pada dirinya sendiri. Ia menepuk-nepuk pipinya, mencoba memastikan bahwa ini bukanlah khayalan.Angga sudah pergi, meninggalkan Syifa dalam keadaan bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Setiap kali ia berpikir tentang ekspresi Angga dan pengakuannya, wajahnya memerah. Selama ini Angga dikenal sebagai sosok yang dingin dan sulit didekati. Tapi kini, Angga ternyata memiliki perasaan yang dalam, dan ini membuat Syifa merasa tidak siap.Tiba-tiba, bunyi dering ponselnya mengejutkan Syifa. Dia melihat layar ponsel dan melihat nama Reza tertera di situ. Syifa langsung meraih ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Dia menekan tombol jawab, mencoba menyembunyikan kegugupannya.“Hallo, Reza?” suaranya terdengar lebih ceria dari yang ia ra
Seminggu telah berlalu sejak pengakuan Angga yang mengejutkan Syifa. Selama waktu itu, Syifa merasa terjebak dalam kebingungan. Dia belum dapat memutuskan bagaimana ia harus menanggapi perasaan Angga, dan ketidakpastian itu membuatnya semakin cemas. Selama seminggu itu, Angga telah berusaha untuk menghubungi Syifa melalui pesan singkat, menanyakan tentang bagaimana perasaannya. Namun, Syifa memilih untuk tidak membalas pesan-pesan tersebut. Ia merasa tidak siap untuk membahas perasaan ini dan ingin menjaga jarak untuk sementara waktu.Keesokan harinya, Angga memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih langsung. Pagi itu, Angga datang lebih awal ke kelas, berharap untuk berbicara dengan Syifa secara pribadi. Ia tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk memperjelas keadaan dan memecahkan kebuntuan ini.Sambil menunggu kedatangan teman-teman sekelasnya, Angga memutuskan untuk mengirim pesan kepada Arka, Reza, dan Zaki. Dalam pesan tersebut, ia memberi tahu mereka bahwa hari ini kela
Pagi itu, Syifa melangkah dengan langkah ringan menuju kampus. Rambut panjangnya terurai, menari-nari ditiup angin pagi yang segar. Senyumnya lebar, seperti biasa, memancarkan semangat dan keceriaan yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Meskipun dirinya adalah satu-satunya mahasiswi di kelasnya, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk mengejar cita-cita menjadi seorang wartawan."Selamat pagi, dunia!" serunya riang saat melangkah masuk ke gedung fakultas komunikasi Universitas Merdeka.Jurusan komunikasi memang bukan jurusan yang populer di kampus ini. Hanya lima mahasiswa saja yang memilih jurusan ini: Arka, Zaki, Reza, Angga, dan tentu saja, Syifa. Namun, Syifa tidak pernah merasa canggung. Ia justru merasa bersemangat karena dikelilingi teman-teman yang unik dengan karakter masing-masing.Syifa masuk ke ruang kelas kecil yang biasanya menjadi tempat berkumpul mereka berlima. Di dalam, sudah ada Arka dan Reza yang duduk berdampingan sambil mengobrol.
Hari-hari berlalu dengan keceriaan yang tak pernah padam di antara lima mahasiswa jurusan komunikasi Universitas Merdeka ini. Meskipun jumlah mereka hanya berlima, kekompakan dan keakraban di antara mereka membuat suasana kelas selalu hidup. Dalam kesibukan perkuliahan yang padat, mereka tetap punya waktu untuk saling mendukung dan menghibur satu sama lain. Bahkan, Syifa sering kali mendapat peran unik sebagai “tukang pos” bagi teman-temannya.Kehadiran Syifa sebagai satu-satunya perempuan di kelas membuatnya menjadi pusat perhatian banyak mahasiswi lain di kampus. Mereka sering datang kepadanya untuk menitipkan pesan, menanyakan hal-hal kecil, atau sekadar menggoda teman-temannya, terutama tentang Angga yang populer. Syifa dengan senang hati menjadi perantara, menyampaikan salam dan pesan dari para mahasiswi yang ingin mendekati salah satu dari mereka. Kadang-kadang hal itu membuatnya kewalahan, tetapi ia tetap melakukannya dengan senang hati. Pagi itu, ketika Sy
Hari itu, matahari bersinar cerah di kampus Universitas Merdeka. Seperti biasa, Syifa sudah bersiap dengan penuh semangat untuk menghadiri kelas komunikasi. Namun, ada yang berbeda pagi ini. Tepat saat ia sedang berjalan menuju ruang kelas, seorang mahasiswi dari jurusan psikologi bernama Amel menghampirinya dengan wajah penuh harap."Syifa, tolong sampaikan ini ke Angga, ya," ucap Amel, menyerahkan buket bunga mawar merah yang indah. "Bilang saja, ini dari seseorang yang sangat mengaguminya."Syifa menerima bunga itu dengan senyum. "Baik, Amel. Aku akan sampaikan. Semoga berhasil, ya!" jawabnya dengan nada menggoda, membuat Amel tersipu malu.Syifa segera menuju kelas dengan bunga di tangannya. Sesampainya di kelas, suasana sudah riuh seperti biasa. Zaki dan Arka sedang bercanda sambil tertawa terbahak-bahak, sementara Reza, dengan kacamata bulatnya, sedang membaca buku sambil sesekali melirik ke arah Syifa. Namun, perhatian Syifa tertuju pada Angga yang