Share

Ada cinta di dalam kelas
Ada cinta di dalam kelas
Penulis: Biru_Langit

Awal yang berbeda

Pagi itu, Syifa melangkah dengan langkah ringan menuju kampus. Rambut panjangnya terurai, menari-nari ditiup angin pagi yang segar. Senyumnya lebar, seperti biasa, memancarkan semangat dan keceriaan yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Meskipun dirinya adalah satu-satunya mahasiswi di kelasnya, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk mengejar cita-cita menjadi seorang wartawan.

"Selamat pagi, dunia!" serunya riang saat melangkah masuk ke gedung fakultas komunikasi Universitas Merdeka.

Jurusan komunikasi memang bukan jurusan yang populer di kampus ini. Hanya lima mahasiswa saja yang memilih jurusan ini: Arka, Zaki, Reza, Angga, dan tentu saja, Syifa. Namun, Syifa tidak pernah merasa canggung. Ia justru merasa bersemangat karena dikelilingi teman-teman yang unik dengan karakter masing-masing.

Syifa masuk ke ruang kelas kecil yang biasanya menjadi tempat berkumpul mereka berlima. Di dalam, sudah ada Arka dan Reza yang duduk berdampingan sambil mengobrol. Arka adalah teman yang paling mudah diajak bercanda. Pintar, tampan, dan humoris, membuatnya selalu berhasil membuat suasana kelas menjadi hidup. Sedangkan Reza, dengan gaya parlente dan kacamata khasnya, adalah sosok yang tak kalah menarik. Kaya dan royal, Reza selalu tahu cara memperlakukan teman-temannya dengan baik, apalagi kepada Syifa. Diam-diam, Reza punya perasaan lebih terhadap Syifa, dan itu membuatnya sering menggombal.

"Heh, cewek satu-satunya di kelas kita sudah datang nih," sapa Reza sambil tersenyum lebar, menggoda seperti biasa. "Syifa, apa kamu tahu kenapa matahari itu cemburu sama kamu?"

Syifa mengernyitkan dahi sambil tertawa. "Kenapa coba?"

"Karena senyummu lebih terang dari sinarnya," jawab Reza sambil berkedip nakal. Arka yang mendengar itu langsung tertawa terbahak-bahak.

"Reza, gombalanmu hari ini makin tidak masuk akal," kata Arka sambil menepuk bahu Reza. "Tapi bagus lah, setidaknya pagi ini kita sudah dihibur."

Syifa hanya menggelengkan kepala dengan senyum. Ia sudah terbiasa dengan gombalan Reza yang beragam. "Pagi, Arka. Pagi, Reza. Kalian sudah siap untuk kelas hari ini?"

"Siap, dong!" jawab Arka penuh semangat. "Meskipun kita cuma berlima, tapi kelas kita tetap yang paling seru, kan?"

Tak lama kemudian, Zaki datang. Dengan sikap tenang dan senyum yang menenangkan, ia menyapa mereka semua. "Assalamualaikum, pagi, teman-teman," katanya lembut. Zaki, meski lebih pendiam dibandingkan Arka atau Reza, memiliki aura yang membuat orang nyaman. Ia selalu menjadi tempat bertanya dan teman diskusi yang baik, terutama bagi Syifa yang sering bertanya tentang hal-hal yang ia tidak mengerti.

Kemudian, hadir Angga. Berbeda dengan yang lainnya, Angga selalu datang dengan sikap dingin dan wajah datar. Popularitasnya di kampus membuatnya selalu jadi bahan pembicaraan, terutama di kalangan mahasiswi. Dengan wajah tampan dan sikap cueknya, Angga berhasil mencuri perhatian banyak orang. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa di balik sikap dinginnya itu, Angga diam-diam memperhatikan Syifa. Ada perasaan yang ia sembunyikan jauh di lubuk hatinya, tapi ia terlalu takut untuk menunjukkannya.

"Halo, Angga," sapa Syifa dengan senyum hangatnya. Angga hanya mengangguk kecil, sedikit terkejut oleh tatapan mata Syifa yang penuh semangat. Syifa memang selalu menyapa semua orang dengan ramah, membuat Angga sering kali tidak tahu bagaimana harus merespon. Tapi, jauh di dalam hatinya, sapaan Syifa selalu menjadi alasan mengapa ia tidak pernah absen ke kelas.

Kelas dimulai dengan suasana yang biasa: penuh canda, diskusi, dan kadang sedikit perdebatan. Syifa menjadi satu-satunya mahasiswi yang selalu aktif bertanya dan berdiskusi. Ia tahu, meskipun kelas mereka kecil, kualitas pendidikan yang mereka terima tetap yang terbaik.

Saat sesi diskusi dimulai, Syifa mengangkat tangannya. "Pak, saya ingin tahu, bagaimana cara kita bisa menjaga integritas saat menjadi wartawan? Karena saya sering dengar kalau jurnalis sekarang sering ditekan untuk menulis berita yang tidak sesuai fakta."

Angga, yang duduk di pojok kelas, diam-diam memperhatikan Syifa. Ia kagum dengan cara Syifa berbicara. Ketika Syifa berbicara, matanya selalu berbinar, menunjukkan betapa bersemangatnya ia dengan topik tersebut.

Reza, yang duduk di sebelahnya, berbisik pelan. "Angga, kenapa tatapannya seperti itu? Naksir ya?" goda Reza.

Angga menoleh cepat, wajahnya sedikit memerah. "Diam, Reza," jawabnya singkat dengan nada dingin.

Reza terkekeh. "Iya, iya, maaf."

Sesi kelas berakhir, dan mereka semua beranjak untuk makan siang bersama di kantin. Meskipun hanya lima orang, mereka selalu makan bersama. Saat mereka sedang makan, Reza kembali menggoda Syifa dengan gombalannya.

"Kamu tahu, Syifa," kata Reza, "kalau kamu jadi wartawan, aku yakin berita yang kamu buat pasti selalu viral. Bukan karena isinya, tapi karena yang nulis itu kamu."

Syifa tertawa kecil. "Ah, Reza. Kamu memang tidak pernah habis ide ya buat gombalin aku."

Sementara itu, Angga diam-diam menatap Syifa dari seberang meja. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin menyampaikan perasaannya yang terpendam. Tapi, seperti biasa, keberanian itu tak pernah datang. Di balik tatapan dinginnya, ada hati yang mulai hangat setiap kali melihat Syifa tertawa.

Bagi Angga, Syifa adalah sosok yang berbeda. Seorang gadis yang membuatnya ingin membuka diri dan menunjukkan sisi lain dari dirinya. Namun, mungkin hari itu belum saatnya.

Syifa mungkin tak pernah sadar bahwa ada dua hati yang diam-diam tertarik padanya. Namun, satu hal yang pasti, perjalanan di jurusan komunikasi ini baru saja dimulai, dan banyak cerita menarik yang menunggu di depan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status