Langit berwarna kemerahan dengan awan yang bergerak secara perlahan, dedaunan pun terjatuh dari dahannya karena hembusan angin yang kencang.
Dua orang berbeda jenis kelamin itu duduk dengan tenang di salah satu kursi taman yang ada.
Salah seorang mengenakan pakaian putih abu-abu khas seorang pelajar menengah atas sementara salah seorang lagi mengenakan seragam putih birunya.
“Kenapa bisa?” Tanya Alvin. Matanya menatap lurus ke depan tanpa memperhatikan seorang gadis kecil yang duduk di sampingnya.
“Karena aku gak sepinter kamu, Al.” Jawab gadis itu.
Sebenarnya dia cukup ragu, terlihat dari jari jemarinya yang saling bertautan di atas rok biru yang dikenakannya. Dia takut laki-laki yang sudah ia anggap sahabat itu marah padanya.
“Terus mau masuk mana?” Kini matanya melihat tepat di mata si gadis, wajah seriusnya menantikan jawaban yang akan diberikan gadis itu.
Gadis itu menunduk menghindari tatapan yang Alvin berikan padanya. “Ya sekolah biasa aja.”
Alvin mengangkat sebelah alisnya, "Katanya mau jadi dokter, kenapa gak belajar yang bener?”
“Aku gak mau, kamu aja yang jadi dokter. Kamu kan pinter, pasti bisa kok.” Ucap gadis itu dengan senyuman.
Alvin mengangguk mantap. “Oke, aku bakal jadi dokter sesuai kemauan kamu.” Kemudian mengacak rambut si gadis kesayangannya.
Gadis itu tersenyum dengan mata berbinar. Sebenarnya ia berbohong dengan mengatakan bahwa dirinya enggan menjadi seorang dokter.
Nyatanya dia tahu jika dirinya tidak akan mampu menjadi dokter, selain karena biaya sekolahnya yang cukup mahal, dia juga merasa terlalu bodoh untuk dapat menjadi seorang dokter.
Keduanya terdiam menikmati senja di pertengahan musim panas tanpa tahu jika hari itu adalah akhir pertemuan mereka.
Mereka hanya tengah menikmati momen mereka bersama, seperti yang sering mereka lakukan.
“Makasih, Al..”
“Sama-sama, Rania.”
***
8 tahun kemudian...
Rania berjalan tergesa-gesa menuju sebuah gedung yang menjadi tempatnya menimba ilmu. Rambutnya berantakan dengan keringat yang mengalir di keningnya, beberapa buah buku didekapnya erat dengan tas ransel di pundaknya.
Ia sudah terlambat hampir 10 menit dari jam yang sudah ditentukan dosen pembimbing untuk mendiskusikan tema yang akan dia bahas didalam tesisnya.
Gadis itu menghela nafas ketika gerbang kampus sudah terlihat di depan matanya, hanya tinggal menyeberangi jalan raya satu arah maka dia akan sampai.
Kepalanya menengok melihat keadaan sekitar sebelum kakinya memutuskan untuk melangkah.
Tinn.. Tinn..
Suara klakson mobil yang kencang membuat Rania memejamkan matanya dengan kedua tangan menutup telinga, bahkan buku-buku yang sempat didekapnya pun sudah jatuh berantakan di atas jalanan beraspal hitam tersebut.
Dalam hati dia menghitung mundur, dia yakin dirinya akan tertabrak mobil itu sebentar lagi.
“Mbak..” Suara seseorang membuat Rania memutuskan untuk membuka matanya perlahan.
Dalam hati dia mencoba ikhlas jika si pengendara mobil memakinya karena menyeberang jalan sembarangan.
Seketika dirinya terpaku ketika melihat si pengendara yang tak lain adalah seorang laki-laki yang sangat dikenalnya dulu.
Hatinya berdesir menyerukan kata rindu saat matanya menatap wajah yang telah lama menghilang dari kehidupannya.
Dengan jas putih dan kemeja hitam, Rania bersumpah jika laki-laki ini terlihat semakin tampan dari waktu terakhir kali mereka bertemu.
“A..Alvin?” Gumamnya.
Laki-laki itu tersenyum kemudian berjalan mendekat kearahnya.
“Hai Rania, apa kabar?”
* * *
Seseorang yang menurunkan egonya untuk peduli selalu jauh lebih menarik dibandingkan seseorang yangberusaha terlihat sempurna._Peduli_Riuh suara hujan benar-benar terdengar jelas ditelingaku. Aku menatap tetesan air hujan yang turun dari balik dinding kaca cafe tempatku menunggu seseorang untuk datang. Semua orang di luar terlihat kalang kabut ketika hujan langsung turun dengan derasnya.Beberapa pengendara motor memilih turun demi memasang jas hujan di tubuhnya, namun sebagian lagi memilih untuk mempercepat laju kendaraannya dan menerjang hujan.Aku tersenyum ketika melihat seorang Bapak diseberang jalan sana memaki pengendara mobil yang lewat. Meski tidak jelas apa yang dia bicarakan, namun ekspresinya tertangkap dengan jelas bahwa Bap
I Love You.Are you listening? Only you._Always_Aku menatap rumah di depanku dengan heran, tidak biasanya rumah yang kutempati terlihat sesepi ini. Kemana semua orang? Kurasa ada cukup banyak orang yang tinggal didalamnya, tapi kenapa mereka semua tidak memberi kabar apapun kepadaku? Lalu apa gunanya ponsel canggih yang mereka miliki?“Pak.. yang lain kemana?” Tanyaku pada Pak Harto, selaku satpam yang bekerja di rumah. Dia yang membukakan gerbang untukku tadi.“Ibu sama Bapak pergi, Ra. Mereka bilang mau ke Bogor, Eyang sakit.” Jelas pria berusia setengah abad itu.Ahh.. pantas saja tidak ada mobil di garasi. Eyang
Not friends, not enemies.Just strangers with his smile._The Strangers_Aku menatap laju mobil Alvin yang semakin menjauh. Tadi pagi, laki-laki itu datang ke rumah dan mengatakan bahwa dia sendiri yang akan mengantarku ke kampus.Jujur saja, aku senang mendengarnya tapi ternyata saat di jalan, dia mengeluh karena belum menemukan orang yang tepat untuk menjadi supirku. Aku tersenyum bodoh mendengarnya, kukira memang inisiatif dia untuk menjemputku.“Hei.. ngeliatin siapa?”Aku menoleh menatap laki-laki yang berada di sampingku. Tertegun sejenak melihat kehadirannya di sini. Sudah hampir 3 tahun aku berada di kampus ini, tapi aku
It’s fine, you don’t have to say sorry.It’s enough just having you by myside.You don’t need to say it._Take You Home_Aku menatap gerbang kampusku yang sudah mulai sepi. Duduk sendirian di sebuah halte tanpa kegiatan berarti membuatku terlihat bodoh.Matahari pun sudah mulai tenggelam untuk berganti tempat dengan sang rembulan. Hari sudah kian sore tapi belum ada tanda-tanda Alvin akan datang menjemputku seperti yang dia katakan satu setengah jam yang lalu.Aku menghela nafas, semakin hari bersamanya semakin besar pula aku menyadari kebodohanku. Mengapa aku harus selalu menunggu jika bersama Alvin? Tidakkah laki-laki itu juga berpikir bahwa hubungan kami terlihat seperti dipaksakan?Padahal kenyataannya, sama sekali tidak ada paksaan diantara kami.Alvin, pria dengan sejuta pesona dan segudang misteri. Mengapa aku haru
Aku mencintaimu dan kau mencintaiku, itu yang kutahu.Namun kenyataan memang tak selalu berpihak.Aku... meragu._Ragu_Matahari sudah mulai naik ke peraduannya ketika aku baru saja menyelesaikan urusanku di kamar mandi. Hari ini tidaklah terlalu sibuk untukku jadi aku bisa sedikit lebih siang untuk pergi ke kampus.Lagipula tadi pagi sekali, Alvin memberiku kabar jika dirinya tidak bisa mengantar dan menjemputku seperti kemarin. Laki-laki itu bilang jika dia memiliki urusan penting yang harus segera ditanganinya.Aku menuruni anak tangga menuju ruang makan rumahku. Kamarku memang berada di lantai dua rumah ini sementara kamar Ibu dan Ayah berada di lanta
I said I was fine.But I never said it didn’t hurt._Liar_Matahari sudah menghilang dari tempatnya. Kini sang rembulan lah yang bersinar ketika aku baru saja sampai di rumahku. Setelah pertemuan dengan kedua sahabatku siang tadi, aku memutuskan berjalan-jalan sendirian tanpa kembali lagi ke kampus. Aku butuh ketenangan tanpa beban pikiran yang mengikat kepalaku.“Assalamualakum.. aku pulang.” Salamku. Aku mencium tangan kedua orang tuaku yang tengah berkumpul di ruang keluarga lalu berlalu menuju kamar tanpa berbicara apa pun lagi.“Kamu kenapa, Kak?” Tanya Ayah yang menyadari raut wajahku.Aku menggeleng. &ldq
Do you think about ‘us’?Cause I do, think about you._Do You Think About Us_Aku menghela nafas keras. Sejak satu jam yang lalu mereka sibuk merundingkan kapan tanggal yang menurut mereka ‘baik’ untuk pernikahanku dan Alvin tanpa bertanya padaku apakah aku bersedia menikah dengan laki-laki itu atau tidak.“Gimana, Rania? Setuju, kan?” Tanya Ibu laki-laki itu. Wajah berseri-serinya menatapku penuh harap. Kini semua mata tertuju padaku, menuntut jawaban yang aku sendiri saja tidak tahu apa pertanyaannya.Aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak mencintaiku, apalagi ketika aku tahu bahwa ada kemungkinan dia berselingkuh di belakangku. Aku ingin pernikahan kami
If you do it always becomes the right words. If you do I can never win.Every day, every night feel like a fool. You gotta know.Suddenly you become a different person._If You Do_Aku tertawa kecil ketika mataku tak sengaja menemukan laki-laki yang telah seminggu lebih tidak kulihat itu berada di perpustakaan. Agak sedikit tidak percaya bahwa laki-laki seperti dirinya kini tengah memegang sebuah buku dengan raut wajah yang kelewat serius, berbeda sekali dengan raut wajah ceria penuh cengirannya.Aku memutuskan mendekat kearahnya dan duduk didepannya. Dia masih belum menyadari kehadiranku hingga aku mengetuk-ngetukkan sebuah pulpen yang kubawa diatas buku yang tengah dibacanya. Dia terlihat mengernyit tidak suka.
Hari yang ditunggu pun tiba. Setelah memutuskan untuk mengurusnya dengan sabar dan menetapkan tanggal pernikahannya bertepatan dengan tanggal kelahiran sang mempelai wanita, Alvin akhirnya bisa bernapas lega dan tersenyum bahagia.Senyum lebar tak pernah lepas dari bibir pria itu yang tengah berdiri di depan kaca rias itu. Tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu melekat pas di tubuhnya. Sekali lagi Alvin tertawa untuk hal yang hanya dimengerti olehnya.“Bibir lo bisa robek kalo kebanyakan senyum, Bang.”Cibiran itu membuat Alvin menoleh menatap pintu masuk. Seorang pria yang usianya jauh dibawah dirinya melangkah mendekat padanya.“Gue ikhlas kakak gue nikah sama lo. Jaga dia baik-baik, sekali gue denger lo buat kakak gue nangis, saat itu juga gue buat lo ke IGD, Bang.”Alvin tertawa mendengar ancaman tersebut. “Pukulan lo sama sekali nggak sakit buat gue.”“Sialan lo, Bang!” Ryan menyentak Al
“Jadi kapan mau diresmiin?”“Tiga tahun lagi, Yah.”Alvin yang mendengar sontak melotot terkejut. “Lho kok gitu, Ra? Nggak bisa gitu dong!” Pria itu menyahut tak terima.Rania terkekeh, “Ya biar pas umurnya, kamu jadi 33 aku 32.”“Nggak sekalian aja nunggu 40 tahun.” Cibir Alvin.Ryan yang mendengarnya pun mendengus tak suka. “Apa sih lu, Bang. Suka-suka kakak gue lah, udah untung diterima lagi!”Semua yang awalnya tertawa dan tersenyum pun memilih terdiam, termasuk Alvin yang raut wajahnya berubah tak terbaca.“Mending diem kalo emang buka mulut cuma buat bi
“Aku... beneran masih suka sama kamu, Ra..” Alvin menarik napasnya, “Aku tau kamu nggak bisa terima aku lagi, aku cuma mau kamu tau kalo perasaan aku masih sama.”Suasana sore di salah satu taman di kota hujan itu menjadi saksi bagaimana Alvin mengungkapkan perasaannya dengan ikhlas dan tak menuntut balas.3 bulan sudah berlalu sejak usahanya untuk membuat Rania kembali bersamanya namun selama waktu itu juga ia sama sekali tak mendapat balasan.Dan Alvin mencoba menyerah untuk itu.Bukan, bukan karena ia pengecut, namun pria itu hanya berusaha untuk mengikhlaskan Rania jika memang tak ditakdirkan bersama.Sikap Rania yang terkadang berubah dingin setelah ramah padanya membuat Alvin ragu jika wanita itu memang masih mencintainya dan akan kembali padanya. Alvin mencoba untuk menekan perasaannya meski rasa kecewa mulai menyapanya.“Terus?”“Aku... mau coba ikhlasin kamu.” Alvin menunduk den
“Pagi, Ra..”Alvin menyapa Rania yang baru saja membuka pintu rumahnya dan siap untuk berangkat mengajar.Rania yang sudah biasa melihat kehadiran Alvin selama dua minggu sejak pria itu menjadi tamu di taman kanak-kanak hanya tersenyum kecil.“Kamu nggak jawab?”“Pagi, Mas.”Alvin tersenyum lebar. Meski Rania masih sering kali berbicar formal dengannya, namun harus ia akui dirinya begitu menyukai Rania yang memanggilnya dengan embel-embel di depan namanya.“Mau berangkat?”Rania mengangguk.“Aku anter, ya?”“Nggak usah, makasih. Saya biasa jalan kaki.”Alvin menggeleng, “Nggak, aku anterinnya juga jalan kaki kok. Aku lagi nggak bawa mobil.”Kening Rania mengernyit bingung.
Dua tahun kemudian... Jantung Alvin berdegup kencang, kedua telapak tangannya saling bertautan dengan keringat dingin. Hari ini, tepat hari pertama pria itu memutuskan untuk bertemu dengan Rania untuk pertama kalinya setelah pembatalan pernikahan mereka dua tahun yang lalu. Hari ini, ia memutuskan untuk menjadi seorang tamu di taman kanak-kanak tempat Rania mengajar. Padahal hanya dua tahun, namun mengapa rasa gugupnya melebihi saat ia memutuskan untuk melamar Rania untuk menjadi miliknya? Pria itu menghembuskan napasnya, dibukanya pintu mobil itu dan melangkah keluar meski ia tahu pagar sekolah bahkan masih dalam keadaan terkunci. Siapa yang peduli? Ia memang
Satu tahun kemudian...Alvin tersenyum kecil menatap seorang gadis dengan rambut panjangnya tengah mempraktikan gerakan-gerakan senam sederhana kepada anak-anak kecil di depannya.Pria yang menopang wajahnya dengan telapak tangan dan asik memperhatikan itu terkekeh melihat nafas gadis itu memburu sedikit lebih laju dari sebelumnya setelah melompat beberapa kali.“Seharusnya jangan terlalu diforsir, Ra.. kamu nggak biasa olahraga.” Ucapnya tak bertuan.Kedua matanya menatap sendu pada gadis yang mulai membubarkan barisan anak-anak kecil itu. Seandainya saja setahun yang lalu dia tidak mencari masalah, mungkin kini ia bisa melihat wajah itu dari jarak dekat. Bukan malah memilih bersembunyi dibalik kaca hitam mobil mili
Lagi, Alvin kembali ditampar oleh penyesalan saat tau Rania menutupi aibnya. Dia baru tahu jika Rania merahasiakan alasan dibalik pembatalan pernikahan mereka setelah dua bulan kejadian itu berlalu. Rania dan isi kepalanya. Hanya satu hal yang Alvin tak pernah bisa mengerti mengenai gadis itu. Terlalu abu-abu untuk dibacanya, pikiran Rania sangat sulit untuk ditebak. Kadang terlalu abstrak, dilain waktu bisa terlalu mudah ditebak, namun dilain kesempatan pula terlalu sulit dimengerti. Mereka saling mencintai, namun justru terpisah karena kebodohannya sendiri. Haruskah ia tertawa untuk kebodohannya yang berulang kali ini?
“Alvin... ini Mama..”Nyonya Pratama membuka pintu kamar sang putra sepelan mungkin. Beliau berjalan masuk dan menemukan kamar Alvin yang berantakan juga sang putra yang tengah duduk melamun di depan jendela kamarnya.“Alvin nggak mau terima apapun pemberian Amanda, Mama bisa keluar sekarang.” Pria itu berbicara setenang mungkin, kedua matanya memandang kosong halaman belakang rumahnya.Rania sudah pergi...Mungkin ia memang bisa melacak keberadaan gadis itu, namun Rania belum tentu mau menerimanya kembali. Ia sadar, teramat sadar jika Rania sudah terlalu banyak terluka selama hubungan mereka berjalan sebagai sepasang kekasih.Mungkin memang benar kata orang, sebaiknya memang tidak pernah melibatkan hati dalam pertemanan antara pria dan wanita. Namun ia terlalu egois, terlalu menginginkan gadis itu menjadi miliknya seorang diri.
Beberapa bulan setelah pembatalan...“Kamu mau kemana, Alvin?”Alvin menoleh, Nyonya Pratama menatap putra sulungnya dengan cemas. Setelah dua bulan lamanya putranya hanya bisa mengamuk di kamarnya, memilih tidak keluar dari rumah, ini adalah kali pertama ia melihat anaknya berpakaian rapi dan hendak pergi.Alvin menyeringai, “Having fun.”Nyonya Pratama bangkit dari duduknya dan menghampiri sang putra, wanita paruh baya itu mengelus rambut anaknya dengan kasih sayang. “Jangan berbuat macam-macam, Al.. Mama yakin Rania tetap bakal jadi istri kamu.” Nasihatnya.“Nggak bisa. Dia emang harus mati.” Alvin menggeleng, wajahnya berseri-seri kontras dengan perasaan marah yang tersirat di kedua matanya. “Dia yang bikin aku kehilangan Rania. Mata dibalas mata, Mama.”“Al.. dengar Mama.. ap