Share

Bab 2. Selalu

Penulis: Rri
last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-28 19:14:14

I Love You.

Are you listening? Only you.

_Always_

Aku menatap rumah di depanku dengan heran, tidak biasanya rumah yang kutempati terlihat sesepi ini. Kemana semua orang? Kurasa ada cukup banyak orang yang tinggal didalamnya, tapi kenapa mereka semua tidak memberi kabar apapun kepadaku? Lalu apa gunanya ponsel canggih yang mereka miliki?

“Pak.. yang lain kemana?” Tanyaku pada Pak Harto, selaku satpam yang bekerja di rumah. Dia yang membukakan gerbang untukku tadi.

“Ibu sama Bapak pergi, Ra. Mereka bilang mau ke Bogor, Eyang sakit.” Jelas pria berusia setengah abad itu.

Ahh.. pantas saja tidak ada mobil di garasi. Eyang sakit? Aku tidak peduli, toh aku juga bukan cucu kesayangan untuknya.

Jujur saja, aku kurang dekat dengan keluarga dari Ayah. Mereka memang berlimpah untuk harta, namun minim fungsi hati nurani. Kebanyakan dari mereka jenis manusia yang paling kuhindari. Sombong dan tidak beretika. Huh.. aku tidak menyukainya.

Aku mengangguk, “Makasih infonya, Pak.”

“Iya, Ra.. sama-sama.”

Aku lebih memilih berjalan masuk kedalam rumah lewat pintu garasi. Aku tidak mau membuat lantai rumah kotor karena ulahku yang berjalan dengan baju basah.

Hujan yang turun ternyata benar-benar awet hingga malam hari. Aku terjebak di dalam cafe selama seharian penuh. Sebenarnya bisa saja aku memesan taksi online, namun menunggu hujan reda dengan laki-laki asing yang baru kukenal ternyata menyenangkan.

Aldo, ahh.. laki-laki itu, apa dia sudah sampai di rumahnya sekarang?

Sebenarnya, ide gila untuk pulang dengan menerobos hujan menggunakan sepeda motor milik laki-laki humoris itu. Dan aku lebih gila lagi karena menerima idenya. Aku tertawa kecil mengingat betapa anehnya aku hari ini. Memperkenalkan diri kepada orang asing, mengobrol dan tertawa dengan orang yang baru dikenal, serta menghabiskan hampir sebagian besar waktu liburku di luar rumah.

Apa ada yang tahu kalimat selain aneh?

“Kenapa ketawa sendiri kayak gitu?”

Aku tersentak ketika mendengar suara laki-laki yang amat kukenal. Alvin, pria yang menjadi tunanganku selama 2 tahun itu menatapku yang tengah mengeringkan rambut dengan penuh selidik. Tangannya menyilang didepan dada, wajahnya menuntut meminta jawaban atas pertanyaannya.

“Kamu disini? Gak ada mobil di depan.” Ucapku keheranan. Biasanya jika laki-laki itu datang, mobil bercat hitam jelas terparkir di depan rumahku.

“Aku naik taksi. Kamu dari mana aja seharian?”

“Rumah temen. Ada urusan.” Lebih baik berbohong demi kebaikan daripada mendengarnya marah. Aku sungguh lelah hari ini, mendengarkan Alvin yang marah tentu bukan termasuk daftar hal yang akan kulakukan setelah sampai di rumah.

“Sekali lagi aku tanya, kamu dimana seharian ini?”

Pertanyaan yang sama terulang kembali dari dirinya. Jika sudah seperti ini, aku yakin sebenarnya dia tahu kemana perginya aku selama seharian ini. Dia hanya menuntutku untuk berbicara jujur padanya.

Aku menghela nafas lalu menjemur kembali handuk yang sebelumnya kupakai pada tempatnya semula.

“Cafe.” Singkatku. Sungguh, aku lelah untuk berdebat dengannya. Aku mendelik saat Alvin yang sengaja menghalangi pintu hingga aku tetap terjebak di ruangan yang sama.

“Siapa laki-laki itu? Kalian keliatan akrab.” Tanyanya sinis. Tatapannya menyiratkan peringatan jika aku memang harus menjawab dengan jujur pertanyaan ini.

Aku tidak terkejut mendengar pertanyaannya. Sikap Alvin memang terkadang kelewat gila jika berkaitan denganku.

“Cuma kenalan doang.” Sahutku malas.

“Kenalan sampai tukeran nomer telepon gitu?”

Aku menatapnya jengah. Apa dia tidak merasa lelah setelah seharian bekerja dan sekarang malah mengajak ribut seperti ini?

Aku yakin, dia langsung ke rumahku selepasnya pulang kerja, buktinya kemeja lengkap dengan celana bahan masih menjadi pakaian yang digunakannya.

“Aku capek Al, jangan ngajak ribut. Aku sama dia gak ada apa-apa, murni cuma temenan.” Jelasku mencoba bersabar. Aku bukan orang yang sabar, tapi laki-laki ini selalu menguji batas kesabaranku. Laki-laki menjengkelkan yang membuatku rela melakukan hal-hal bodoh yang tidak pernah kulakukan sebelumnya.

“Kamu pikir kamu doang yang capek? Kamu yang ngajak ribut kenapa nyalahin orang?!” Ucapnya mulai meninggi.

Memangnya aku menyalahkan dia? Aku rasa tidak.

Mataku memicing kearahnya. “Berhenti mata-matain aku. Aku bukan anak kecil yang harus selalu kamu awasin, Al!” Tegasku.

“Cih, diawasin aja kamu masih berani deketin laki-laki lain apalagi gak diawasin. Bisa-bisa kamu selingkuh!” Tuduhnya.

Hilang sudah batas pengendalian diriku. Aku menatapnya marah, persetan dengan leherku yang akan sakit nantinya karena terlalu lama mendongak karena perbedaan tinggi kami.

Selingkuh katanya? Bagaimana bisa aku melihat laki-laki lain sementara dirinya masih jadi penghuni abadi di hatiku?

Dia laki-laki yang berhasil membuatku terlihat bodoh selama belasan tahun hanya karena mencintainya. Seharusnya dia percaya jika aku tidak mungkin melakukan hal-hal aneh seperti itu. Seharusnya dia mengenalku seperti aku mengenalnya.

“Mau kamu apa sih, Al?! Aku nungguin kamu di cafe selama hampir 3 jam tanpa ada kejelasan dan sekarang aku pulang, kamu malah marah-marah gak jelas? Seolah-olah aku yang salah di sini! Don’t playing victim, Al!” Ucapku meninggi.

Rahangnya mengetat, dia benar-benar marah padaku. Selama hampir 2 tahun kami menjalin hubungan, aku memang lebih banyak mengalah disaat kami bertengkar. Tapi hari ini adalah pengecualian. Aku lelah dengan hubungan satu arah ini.

Playing victim, huh? Baru satu hari kenal laki-laki lain aja kamu udah berani ngejawab, Ra?!”

Aku terdiam. Dia benar-benar buta atas kesalahannya sendiri. Ya Tuhan, mencintai laki-laki ini malah terlihat seperti kutukan untukku.

“Mulai besok, aku suruh orang untuk antar jemput kamu di kampus. Kamu gak boleh pergi tanpa supir ataupun aku, Ra!” Lanjutnya tak ingin dibantah.

Aku menatapnya nyalang. “Kamu pikir kamu siapa bisa kekang aku kayak gini, Al?! Ayah sama Ibu aku aja gak kayak gini kok! Aku gak mau!” Teriakku kesal.

Alvin menaikan sebelah alisnya. “Aku? Aku tunangan kamu kalau kamu lupa. Dan aku gak terima penolakan. Suka gak suka, aku tetep suruh orang buat jagain kamu. Nggak ada bantahan!”

“Mau kamu apa sih, Al? Lebih baik kita putus aja..” Lirihku. Dia tidak bisa selamanya memaksakan keinginannya padaku. Hubungan yang sehat itu harus berjalan 2 arah. Saling menerima dan menghargai. Tapi dia tidak pernah memberikan itu kepadaku.

Ada keterkejutan yang aku tangkap di matanya ketika aku mengucapkan kalimat terakhir itu. Aura gelap semakin menguar di tubuhnya, rahangnya mengetat dengan kedua telapak tangan yang mengepal di sisi tubuhnya.

“Putus? Kamu pikir kita pacaran? Kita udah tunangan, Ra. Gak ada kata putus di dalamnya.” Ucapnya egois.

Air mata yang sejak tadi kutahan pun mengalir keluar melewati pipiku. Aku menatap sedih kearahnya. Semakin hari bersama dengannya malah semakin membuatku ragu bahwa dia juga mencintaiku. Aku tidak pernah mengerti jalan pikirannya, kadang dia bertindak seolah-olah takut kehilanganku tapi dilain waktu benar-benar acuh padaku.

“Aku capek, Al..” Lirihku.

Dia merengkuh tubuhku yang bergetar karena tangis kedalam pelukannya. Aku tidak suka jika orang lain melihatku menangis, tapi dia selalu menjadi orang pertama untuk hidupku, untuk semua hal yang kulakukan.

“Jangan ngomong kayak gitu lagi, Ra. Aku gak suka.” Ucapnya lembut namun tak ingin dibantah.

Aku mengangguk.

Katakan saja aku bodoh. Dari awal sudah kukatakan, sekalinya aku menyayangi seseorang maka aku akan benar-benar jatuh untuknya. Dan aku sadar, akan sulit bagiku untuk bangkit kembali.

“Maaf, gara-gara aku kamu harus nunggu berjam-jam di sana.” Aku mengangguk. Dia masih setia memeluk tubuhku. Tangannya bergerak untuk mengelus rambutku secara perlahan.

“Banyak pasien yang gak bisa aku tinggalin di rumah sakit, Ra. Itu juga yang buat aku lupa sama janji kita.” Jelasnya.

Apakah aku sudah memberitahu kalian bahwa Alvin adalah seorang dokter? Tidak seperti adiknya yang memutuskan untuk memimpin perusahaan keluarga, laki-laki itu lebih memilih menjadi dokter spesialis anak di salah satu rumah sakit swasta. Dia sangat menyukai anak kecil, dia juga yang membuatku peduli terhadap anak kecil.

Aku merengut mendengarnya. Terlalu banyak pasien yang dia tangani selalu menjadi alasan andalannya ketika dia membatalkan janji pertemuan kami. “Kamu bisa kabarin aku lebih awal.” Ucapku.

Dia melepas pelukannya. Senyum terpatri di wajah tampannya. “Maaf, kamu mau maafin aku, kan?” Tanyanya tanpa menghiraukan ucapanku sebelumnya.

“Permintaan maaf diterima.” Balasku. Alvin yang tersenyum lembut memang selalu berhasil meluluhkan rasa amarahku sebesar apapun kesalahan yang laki-laki itu perbuat. Aku tersenyum ketika dia menghapus sisa air mata di pipiku.

Selalu seperti ini akhirnya. Aku yang mengalah dan hubungan ini akan baik-baik saja seolah-olah tidak pernah terjadi pertengkaran diantara kami.

“Baju kamu basah. Ganti bajunya, nanti kamu sakit.” Perintahnya. Dia membalikkan tubuhku dan mendorongku masuk ke dalam rumah.

“Baju kamu juga basah gara-gara aku peluk.” Ucapku mengingatkannya.

Dia tersenyum. “Kamu lebih gampang sakit dibanding aku.” Dia mengambil tempat duduk di sofa ruang keluarga dengan aku yang berdiri di depannya.

“Cepet sana ganti baju!” Suruhnya lagi ketika melihatku bergeming di tempat. “Aku buatin teh hangat, ya.” Laki-laki itu kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dapur seolah ini adalah rumahnya sendiri, meninggalkanku sendirian di ruang keluarga.

“Eumm.. boleh kopi aja gak, Al?” Tanyaku agak keras saat Alvin sudah berada cukup jauh dari posisiku semula. Dia berbalik dan memandangku datar. Aku mengangguk kecil, mengerti penolakan yang dia berikan dan mulai berjalan menuju kamarku yang berada di lantai dua.

Love you, Rania.” Ucap Alvin agak keras.

Aku tersenyum dan berbalik kembali. “Love you too, Alvin.” Balasku.

___---___

Rania menatap bocah laki-laki di depannya dengan sebal. Sudah hampir seminggu sejak pertemuan pertama mereka berlalu, sejak itu pula bocah laki-laki yang memperkenalkan dirinya dengan nama Alvin mengikutinya.

“Ngapain sih ngikutin mulu? Rania kasih tau Ibu nih!” Ancamnya jengkel.

Rania, si gadis kecil dengan pipi gembul serta rambut berponi yang pendiam itu mendumal saat melihat Alvin malah cengengesan di depannya. Kakinya menyentak kesal lalu pergi berlalu meninggalkan Alvin.

“Iiihhh... jangan ngikutin!!” Teriaknya ketika mendapati si bocah laki-laki itu malah berdiri di belakangnya persis.

“Kita kan temenan. Kemana-mana harus barengan.” Alvin bersuara. Bocah kecil itu tidak terima jika harus diusir kembali oleh Ranianya.

“Siapa sih yang bilang kita temenan? Rania gak mau temenan sama kamu!” Ucap Rania keras kepala.

“Aku yang bilang.”

Bibir kecil Rania mengerut sebal. “Mereka aja gak mau temenan sama Rania, kenapa Alvin mau? Rania itu jahat, nakutin, sombong, aneh, pendiem. Nanti kamu ketularan lho..”

Alvin, si bocah laki-laki yang lebih tua satu tahun itu tertawa. “Mana ada. Kata Mama, kalo mau jadi anak yang pinter harus temenan sama anak yang pinter juga. Nah, Rania kan pinter, nanti Alvin ketularan pinternya Rania juga dong!” Bantahnya tak mau kalah.

Gadis itu melotot tak percaya. “Bukan ketularan itu maksudnya! Nanti kamu dijauhin juga lho, nanti kamu gak punya temen kayak Rania, nanti kamu diejek juga sama mereka, nanti__”

“Bawel! Gak usah dipikirin. Itu kan nanti, bukan sekarang.” Potong Alvin.

Rania menunduk sedih. Kedua matanya yang sipit memejam. Tak ada lagi rona kesal di raut wajahnya.

“Kamu kenapa?” Tanya Alvin yang kebingungan.

“Alvin jangan deket-deket Rania, nanti Alvin dijauhin juga.”

“Kan ada kamu, temen Alvin.”

Rania, si gadis kecil itu menatap Alvin tak mengerti. “Terus? Kita beda kelas.”

Alvin tersenyum. “Kamu ada buat aku, aku ada buat kamu. Kita main berdua aja, gak masalah kok.” Ucapnya polos.

“Beneran?”   

Alvin mengangguk mantap.

“Makasih, Al...”

“Sama-sama, Rania.”

*

*

*

Haii... Welcome to Nemoo's world..

Hmm.. ini cerita pertama Rri..

Nggak berharap banyak sih, dibaca aja udah bersyukur banget. Hehehe...

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cahaya Sasuke
Semangat nulisnya kakak...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Ada apa dengan tunanganku?   Bab 3. Orang Asing

    Not friends, not enemies.Just strangers with his smile._The Strangers_Aku menatap laju mobil Alvin yang semakin menjauh. Tadi pagi, laki-laki itu datang ke rumah dan mengatakan bahwa dia sendiri yang akan mengantarku ke kampus.Jujur saja, aku senang mendengarnya tapi ternyata saat di jalan, dia mengeluh karena belum menemukan orang yang tepat untuk menjadi supirku. Aku tersenyum bodoh mendengarnya, kukira memang inisiatif dia untuk menjemputku.“Hei.. ngeliatin siapa?”Aku menoleh menatap laki-laki yang berada di sampingku. Tertegun sejenak melihat kehadirannya di sini. Sudah hampir 3 tahun aku berada di kampus ini, tapi aku

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-29
  • Ada apa dengan tunanganku?   Bab 4. Mengantarmu

    It’s fine, you don’t have to say sorry.It’s enough just having you by myside.You don’t need to say it._Take You Home_Aku menatap gerbang kampusku yang sudah mulai sepi. Duduk sendirian di sebuah halte tanpa kegiatan berarti membuatku terlihat bodoh.Matahari pun sudah mulai tenggelam untuk berganti tempat dengan sang rembulan. Hari sudah kian sore tapi belum ada tanda-tanda Alvin akan datang menjemputku seperti yang dia katakan satu setengah jam yang lalu.Aku menghela nafas, semakin hari bersamanya semakin besar pula aku menyadari kebodohanku. Mengapa aku harus selalu menunggu jika bersama Alvin? Tidakkah laki-laki itu juga berpikir bahwa hubungan kami terlihat seperti dipaksakan?Padahal kenyataannya, sama sekali tidak ada paksaan diantara kami.Alvin, pria dengan sejuta pesona dan segudang misteri. Mengapa aku haru

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-30
  • Ada apa dengan tunanganku?   Bab 5. Ragu

    Aku mencintaimu dan kau mencintaiku, itu yang kutahu.Namun kenyataan memang tak selalu berpihak.Aku... meragu._Ragu_Matahari sudah mulai naik ke peraduannya ketika aku baru saja menyelesaikan urusanku di kamar mandi. Hari ini tidaklah terlalu sibuk untukku jadi aku bisa sedikit lebih siang untuk pergi ke kampus.Lagipula tadi pagi sekali, Alvin memberiku kabar jika dirinya tidak bisa mengantar dan menjemputku seperti kemarin. Laki-laki itu bilang jika dia memiliki urusan penting yang harus segera ditanganinya.Aku menuruni anak tangga menuju ruang makan rumahku. Kamarku memang berada di lantai dua rumah ini sementara kamar Ibu dan Ayah berada di lanta

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-01
  • Ada apa dengan tunanganku?   Bab 6. Pembohong

    I said I was fine.But I never said it didn’t hurt._Liar_Matahari sudah menghilang dari tempatnya. Kini sang rembulan lah yang bersinar ketika aku baru saja sampai di rumahku. Setelah pertemuan dengan kedua sahabatku siang tadi, aku memutuskan berjalan-jalan sendirian tanpa kembali lagi ke kampus. Aku butuh ketenangan tanpa beban pikiran yang mengikat kepalaku.“Assalamualakum.. aku pulang.” Salamku. Aku mencium tangan kedua orang tuaku yang tengah berkumpul di ruang keluarga lalu berlalu menuju kamar tanpa berbicara apa pun lagi.“Kamu kenapa, Kak?” Tanya Ayah yang menyadari raut wajahku.Aku menggeleng. &ldq

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-04
  • Ada apa dengan tunanganku?   Bab 7. Pernahkah kamu berpikir tentang kita?

    Do you think about ‘us’?Cause I do, think about you._Do You Think About Us_Aku menghela nafas keras. Sejak satu jam yang lalu mereka sibuk merundingkan kapan tanggal yang menurut mereka ‘baik’ untuk pernikahanku dan Alvin tanpa bertanya padaku apakah aku bersedia menikah dengan laki-laki itu atau tidak.“Gimana, Rania? Setuju, kan?” Tanya Ibu laki-laki itu. Wajah berseri-serinya menatapku penuh harap. Kini semua mata tertuju padaku, menuntut jawaban yang aku sendiri saja tidak tahu apa pertanyaannya.Aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak mencintaiku, apalagi ketika aku tahu bahwa ada kemungkinan dia berselingkuh di belakangku. Aku ingin pernikahan kami

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-07
  • Ada apa dengan tunanganku?   Bab 8. Jika kamu

    If you do it always becomes the right words. If you do I can never win.Every day, every night feel like a fool. You gotta know.Suddenly you become a different person._If You Do_Aku tertawa kecil ketika mataku tak sengaja menemukan laki-laki yang telah seminggu lebih tidak kulihat itu berada di perpustakaan. Agak sedikit tidak percaya bahwa laki-laki seperti dirinya kini tengah memegang sebuah buku dengan raut wajah yang kelewat serius, berbeda sekali dengan raut wajah ceria penuh cengirannya.Aku memutuskan mendekat kearahnya dan duduk didepannya. Dia masih belum menyadari kehadiranku hingga aku mengetuk-ngetukkan sebuah pulpen yang kubawa diatas buku yang tengah dibacanya. Dia terlihat mengernyit tidak suka.

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-13
  • Ada apa dengan tunanganku?   Bab 9. Berhenti berharap

    I must be a fool who can’t helped.For you, I’m okay with being hurt._Hope Not_Jalanan sudah semakin sepi ketika jarum jam di tanganku menunjukkan tepat pukul 10 malam. Ponsel yang seharusnya ingin kugunakan untuk memesan taksi online malah mati karena kehabisan daya baterainya. Hingga aku memutuskan untuk mencari kendaraan umum agar bisa sampai ke rumah.Sebenarnya jarak antara Mall dengan rumahku hanya menempuh waktu satu jam jika menggunakan kendaraan. Namun tidak dengan berjalan kaki, apalagi dengan kedua tangan penuh paper bag seperti ini. Ditambah dengan tidak adanya satu pun taksi yang lewat. Aku tidak mungkin naik angkutan umum, aku tidak tahu mana yan

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-14
  • Ada apa dengan tunanganku?   Bab 10. Tersenyum

    Today I smile.When I’m with you as if nothing happened, as if I’m doing fine._I Smile_“Semalam kamu dari mana, Kak?” Tanya Ayah padaku.Aku duduk tepat di kursi yang berhadapan dengan Ryan. Aku terkekeh melihat laki-laki itu masih menatapku kesal karena kemarin malam. Uhh.. Jika saja ini bukan di meja makan, aku pasti tengah mengejek laki-laki muda itu.“Malam mingguan.” Jawabku santai.“Sama siapa?!”Aku terkejut ketika mendengar mereka semua kompak bertanya dengan pertanyaan yang sama padaku. Aku mengerjap pelan ketika mereka semu

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-17

Bab terbaru

  • Ada apa dengan tunanganku?   Extra Part

    Hari yang ditunggu pun tiba. Setelah memutuskan untuk mengurusnya dengan sabar dan menetapkan tanggal pernikahannya bertepatan dengan tanggal kelahiran sang mempelai wanita, Alvin akhirnya bisa bernapas lega dan tersenyum bahagia.Senyum lebar tak pernah lepas dari bibir pria itu yang tengah berdiri di depan kaca rias itu. Tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu melekat pas di tubuhnya. Sekali lagi Alvin tertawa untuk hal yang hanya dimengerti olehnya.“Bibir lo bisa robek kalo kebanyakan senyum, Bang.”Cibiran itu membuat Alvin menoleh menatap pintu masuk. Seorang pria yang usianya jauh dibawah dirinya melangkah mendekat padanya.“Gue ikhlas kakak gue nikah sama lo. Jaga dia baik-baik, sekali gue denger lo buat kakak gue nangis, saat itu juga gue buat lo ke IGD, Bang.”Alvin tertawa mendengar ancaman tersebut. “Pukulan lo sama sekali nggak sakit buat gue.”“Sialan lo, Bang!” Ryan menyentak Al

  • Ada apa dengan tunanganku?   Other Side 19. Allzavian

    “Jadi kapan mau diresmiin?”“Tiga tahun lagi, Yah.”Alvin yang mendengar sontak melotot terkejut. “Lho kok gitu, Ra? Nggak bisa gitu dong!” Pria itu menyahut tak terima.Rania terkekeh, “Ya biar pas umurnya, kamu jadi 33 aku 32.”“Nggak sekalian aja nunggu 40 tahun.” Cibir Alvin.Ryan yang mendengarnya pun mendengus tak suka. “Apa sih lu, Bang. Suka-suka kakak gue lah, udah untung diterima lagi!”Semua yang awalnya tertawa dan tersenyum pun memilih terdiam, termasuk Alvin yang raut wajahnya berubah tak terbaca.“Mending diem kalo emang buka mulut cuma buat bi

  • Ada apa dengan tunanganku?   Othe Side 18. Allzavian

    “Aku... beneran masih suka sama kamu, Ra..” Alvin menarik napasnya, “Aku tau kamu nggak bisa terima aku lagi, aku cuma mau kamu tau kalo perasaan aku masih sama.”Suasana sore di salah satu taman di kota hujan itu menjadi saksi bagaimana Alvin mengungkapkan perasaannya dengan ikhlas dan tak menuntut balas.3 bulan sudah berlalu sejak usahanya untuk membuat Rania kembali bersamanya namun selama waktu itu juga ia sama sekali tak mendapat balasan.Dan Alvin mencoba menyerah untuk itu.Bukan, bukan karena ia pengecut, namun pria itu hanya berusaha untuk mengikhlaskan Rania jika memang tak ditakdirkan bersama.Sikap Rania yang terkadang berubah dingin setelah ramah padanya membuat Alvin ragu jika wanita itu memang masih mencintainya dan akan kembali padanya. Alvin mencoba untuk menekan perasaannya meski rasa kecewa mulai menyapanya.“Terus?”“Aku... mau coba ikhlasin kamu.” Alvin menunduk den

  • Ada apa dengan tunanganku?   Other Side 17. Allzavian

    “Pagi, Ra..”Alvin menyapa Rania yang baru saja membuka pintu rumahnya dan siap untuk berangkat mengajar.Rania yang sudah biasa melihat kehadiran Alvin selama dua minggu sejak pria itu menjadi tamu di taman kanak-kanak hanya tersenyum kecil.“Kamu nggak jawab?”“Pagi, Mas.”Alvin tersenyum lebar. Meski Rania masih sering kali berbicar formal dengannya, namun harus ia akui dirinya begitu menyukai Rania yang memanggilnya dengan embel-embel di depan namanya.“Mau berangkat?”Rania mengangguk.“Aku anter, ya?”“Nggak usah, makasih. Saya biasa jalan kaki.”Alvin menggeleng, “Nggak, aku anterinnya juga jalan kaki kok. Aku lagi nggak bawa mobil.”Kening Rania mengernyit bingung.

  • Ada apa dengan tunanganku?   Other Side 16. Allzavian

    Dua tahun kemudian... Jantung Alvin berdegup kencang, kedua telapak tangannya saling bertautan dengan keringat dingin. Hari ini, tepat hari pertama pria itu memutuskan untuk bertemu dengan Rania untuk pertama kalinya setelah pembatalan pernikahan mereka dua tahun yang lalu. Hari ini, ia memutuskan untuk menjadi seorang tamu di taman kanak-kanak tempat Rania mengajar. Padahal hanya dua tahun, namun mengapa rasa gugupnya melebihi saat ia memutuskan untuk melamar Rania untuk menjadi miliknya? Pria itu menghembuskan napasnya, dibukanya pintu mobil itu dan melangkah keluar meski ia tahu pagar sekolah bahkan masih dalam keadaan terkunci. Siapa yang peduli? Ia memang

  • Ada apa dengan tunanganku?   Other Side 15. Allzavian

    Satu tahun kemudian...Alvin tersenyum kecil menatap seorang gadis dengan rambut panjangnya tengah mempraktikan gerakan-gerakan senam sederhana kepada anak-anak kecil di depannya.Pria yang menopang wajahnya dengan telapak tangan dan asik memperhatikan itu terkekeh melihat nafas gadis itu memburu sedikit lebih laju dari sebelumnya setelah melompat beberapa kali.“Seharusnya jangan terlalu diforsir, Ra.. kamu nggak biasa olahraga.” Ucapnya tak bertuan.Kedua matanya menatap sendu pada gadis yang mulai membubarkan barisan anak-anak kecil itu. Seandainya saja setahun yang lalu dia tidak mencari masalah, mungkin kini ia bisa melihat wajah itu dari jarak dekat. Bukan malah memilih bersembunyi dibalik kaca hitam mobil mili

  • Ada apa dengan tunanganku?   Other Side 14. Allzavian

    Lagi, Alvin kembali ditampar oleh penyesalan saat tau Rania menutupi aibnya. Dia baru tahu jika Rania merahasiakan alasan dibalik pembatalan pernikahan mereka setelah dua bulan kejadian itu berlalu. Rania dan isi kepalanya. Hanya satu hal yang Alvin tak pernah bisa mengerti mengenai gadis itu. Terlalu abu-abu untuk dibacanya, pikiran Rania sangat sulit untuk ditebak. Kadang terlalu abstrak, dilain waktu bisa terlalu mudah ditebak, namun dilain kesempatan pula terlalu sulit dimengerti. Mereka saling mencintai, namun justru terpisah karena kebodohannya sendiri. Haruskah ia tertawa untuk kebodohannya yang berulang kali ini?

  • Ada apa dengan tunanganku?   Other Side 13. Allzavian

    “Alvin... ini Mama..”Nyonya Pratama membuka pintu kamar sang putra sepelan mungkin. Beliau berjalan masuk dan menemukan kamar Alvin yang berantakan juga sang putra yang tengah duduk melamun di depan jendela kamarnya.“Alvin nggak mau terima apapun pemberian Amanda, Mama bisa keluar sekarang.” Pria itu berbicara setenang mungkin, kedua matanya memandang kosong halaman belakang rumahnya.Rania sudah pergi...Mungkin ia memang bisa melacak keberadaan gadis itu, namun Rania belum tentu mau menerimanya kembali. Ia sadar, teramat sadar jika Rania sudah terlalu banyak terluka selama hubungan mereka berjalan sebagai sepasang kekasih.Mungkin memang benar kata orang, sebaiknya memang tidak pernah melibatkan hati dalam pertemanan antara pria dan wanita. Namun ia terlalu egois, terlalu menginginkan gadis itu menjadi miliknya seorang diri.

  • Ada apa dengan tunanganku?   Other Side 12. Allzavian

    Beberapa bulan setelah pembatalan...“Kamu mau kemana, Alvin?”Alvin menoleh, Nyonya Pratama menatap putra sulungnya dengan cemas. Setelah dua bulan lamanya putranya hanya bisa mengamuk di kamarnya, memilih tidak keluar dari rumah, ini adalah kali pertama ia melihat anaknya berpakaian rapi dan hendak pergi.Alvin menyeringai, “Having fun.”Nyonya Pratama bangkit dari duduknya dan menghampiri sang putra, wanita paruh baya itu mengelus rambut anaknya dengan kasih sayang. “Jangan berbuat macam-macam, Al.. Mama yakin Rania tetap bakal jadi istri kamu.” Nasihatnya.“Nggak bisa. Dia emang harus mati.” Alvin menggeleng, wajahnya berseri-seri kontras dengan perasaan marah yang tersirat di kedua matanya. “Dia yang bikin aku kehilangan Rania. Mata dibalas mata, Mama.”“Al.. dengar Mama.. ap

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status