Aku mencintaimu dan kau mencintaiku, itu yang kutahu.
Namun kenyataan memang tak selalu berpihak.
Aku... meragu.
_Ragu_
Matahari sudah mulai naik ke peraduannya ketika aku baru saja menyelesaikan urusanku di kamar mandi. Hari ini tidaklah terlalu sibuk untukku jadi aku bisa sedikit lebih siang untuk pergi ke kampus.
Lagipula tadi pagi sekali, Alvin memberiku kabar jika dirinya tidak bisa mengantar dan menjemputku seperti kemarin. Laki-laki itu bilang jika dia memiliki urusan penting yang harus segera ditanganinya.
Aku menuruni anak tangga menuju ruang makan rumahku. Kamarku memang berada di lantai dua rumah ini sementara kamar Ibu dan Ayah berada di lantai satu bersama dengan ruangan-ruangan lainnya. Di lantai 2 ini aku merasa bebas karena hanya berisi perpustakaan, kamar adik laki-lakiku serta kamarku. Adikku jarang bermain di lantai 2, dia hanya akan berada di kamarnya ketika tidur di malam hari.
“Pagi, Bu.” Sapaku pada Ibu yang tengah merapikan piring-piring sisa sarapan tadi.
Dia menoleh padaku lalu tersenyum. “Pagi, Kak. Baru bangun? Gak kesiangan?”
Aku menggeleng kemudian memilih duduk di salah satu kursi di meja itu untuk memulai sarapan. “Hari ini aku masuk kelasnya agak siang jadi bisa sedikit lebih santai.” Jelasku.
“Yaudah sarapan dulu. Nih ada nasi goreng buatan Bibi. Kalau gak mau, kamu bisa makan roti sama selainya.” Aku meraih roti dengan selai cokelat kesukaanku yang Ibu tunjuk sebelumnya. Beliau tahu jika aku tidak akan memakan nasi goreng buatan orang lain selain buatan dirinya.
Ibu berdecak kecil. “Sekali-kali cobain nasi goreng buatan Bibi, Kak. Gak kalah enak kok sama buatan Ibu. Kasian Bibi udah masak banyak.” Nasihatnya.
Aku tersenyum. “Iya, Bu. Nanti, kapan-kapan.”
“Kamu tuh, ya! Eehh iya, semalam kamu pulang jam berapa? Diantar Alvin, kan?”
Aku menelan kunyahan roti yang berada di mulutku sebelum mengangguk menjawab pertanyaan Ibu. “Iya, diantar Alvin. Aku pulang sekitar jam 10. Semua udah pada tidur, jadi gak enak kalo bangunin cuma buat salam.”
Ibu mengangguk. Beliau menaruh piring-piring itu di wastafel lalu duduk di kursi yang berada di depanku. Matanya menyipit penuh selidik kearahku.
Aku berdehem. “Ada apa, Bu? Kenapa ngeliatinnya gitu banget?” Tanyaku.
Matanya menyipit. “Kamu yakin Alvin laki-laki yang terbaik buat kamu?” Tanyanya penuh selidik.
Aku terdiam sejenak. Tidak biasanya Ibu membicarakan laki-laki itu seperti ini. Ibu dan Ayah bukan orang yang memaksakan kehendak mereka kepada anak-anaknya. Aku dan Ryan, adikku diberikan kebebasan untuk menentukan jalan kami masing-masing termasuk pilihan untuk urusan pasangan kami.
Aku mengambil segelas air yang telah disiapkan Ibu lalu meminumnya. “Dia laki-laki yang baik kok.” Jawabku mencoba bijak dengan pertanyaannya.
Ibu menghela nafas lalu memilih bangkit dari kursi. “Yaudah terserah kamu. Semoga kamu sama Alvin bisa bahagia nantinya.” Ucapnya sambil berlalu.
Ucapan Ibu membuatku kembali mengingat acara makan malam bersama keluarga laki-laki itu semalam. Ada sedikit kejadian tidak mengenakan yang terjadi hingga makan malam itu berakhir dengan kecanggungan antara diriku dengan keluarganya. Kecanggungan yang terjadi karena ucapan Alvin padaku dan keluarganya.
“Rania..” Panggil seorang wanita paruh baya kepadaku.
“Iya, Bu?” Jawabku sopan.
Wanita itu menatapku lalu Alvin bergantian. Wanita itu adalah Ibu dari Alvin, laki-laki yang menjadi tunanganku.
“Kamu tuh, Ra! Dibilang panggil Mama aja, kamu tuh udah Mama anggap anak sendiri.” Sewot wanita paruh baya itu. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi kalimatnya.
“Mama tuh bingung sama kalian berdua. Kamu sama Alvin itu udah saling kenal dari dulu, udah hampir satu tahun lebih tunangan, tapi gak pernah ada omongan kapan hubungan kalian mau diresmikan ke jenjang yang lebih serius. Umur kalian udah cukup buat nikah. Hubungan kalian ini serius, kan?” Tanyanya.
Kedua orang tua Alvin, dan adik laki-lakinya melihat kearahku menunggu jawaban. Semua mata menatap kearahku, kecuali mata laki-laki itu. Dia masih setia untuk terus fokus pada piring makannya. Mungkin pertanyaan itu memang harus aku yang menjawabnya.
“A_”
Baru saja aku membuka mulut untuk berbicara, Alvin telah lebih dulu menyela ucapanku.
“Aku serius, tapi Rania gak seserius itu untuk hubungan ini.” Selanya membuat semua orang termasuk diriku mengernyitkan kening kebingungan.
Apa maksud kalimat itu?
Aku menatapnya penuh pertanyaan sementara laki-laki itu lebih memilih menatap semua orang dan berakhir menatapku. Laki-laki itu tersenyum kecil yang lebih mirip seringai.
“Iya kan, Rania?” Tanyanya sinis.
“Huh?” Hanya itu yang bisa kuucapkan dengan wajah bodoh. Apa yang laki-laki ini bicarakan? Tidak seserius itu katanya? Tidakkah dia tahu bahwa hatiku seperti ingin meledak ketika dia melamarku tahun lalu?
Bahkan aku masih bisa merasakan euphoria-nya sampai sekarang.
“Benar begitu, Rania?” Suara penuh wibawa itu mengejutkanku. Seorang pria paruh baya yang duduk di kursi pertama memberikan pertanyaan padaku.
Aku menarik nafas lalu menghembuskannya pelan. “Saya seserius Alvin untuk hubungan ini.” Jawabku mantap.
Alvin berdecih setelah mendengar jawaban dariku. Ada apa sebenarnya dengan laki-laki ini? Dia terlihat seperti mengibarkan bendera perang denganku. Di depan keluarganya sendiri.
“Kamu mau kemana, Al?” Tanya Ibunya ketika melihat laki-laki itu pergi menjauh dari meja makan.
“Kamar.” Singkatnya.
Aku menunduk menatap piring dengan tatapan kosong. Alvin kini berubah menjadi sosok yang tidak kukenali. Alvin-ku telah berubah. Jika saja aku tidak mengingat dimana tempat kuberada, mungkin aku telah menangis karena perlakuan dinginnya padaku.
“Rania..”
Aku menatap sang kepala keluarga dengan mata yang berkaca-kaca. Setidaknya aku masih bisa menahan tangis walau mataku menunjukkan sebaliknya.
“Lanjutkan makannya.” Perintahnya yang langsung kulakukan.
Selepas kepergian laki-laki itu, tidak ada satu pun orang yang membuka suaranya. Kecanggungan benar-benar terasa mewarnai makan malam ini. Alvin tidak kembali sampai acara makan malam selesai. Ia bahkan baru muncul kembali ketika Ibunya menyuruhnya mengantarku pulang. Perjalanan menuju rumahku pun benar-benar terasa menyesakkan untukku.
“Heh!”
Suara Ibu membuatku sadar dari lamunanku. Ia menatapku dengan heran. “Pagi-pagi udah ngelamun. Mikirin apa sih, Kak?” Tanyanya.
Aku menggeleng. “Aku berangkat ya, Bu.” Pamitku kemudian mencium telapak tangannya.
“Ya.. hati-hati di jalan.” Pesannya.
“Oke, Assalamualaikum..”
“W*’alaikumsalam.”
***
Hari sudah semakin siang ketika aku memasuki cafe tempatku bertemu dengan kedua sahabatku. Semalam kami memang membuat janji untuk makan siang bersama disebuah cafe yang sering kami kunjungi.
Aku tersenyum ketika menemukan mereka yang melambaikan tangannya kearahku. Ahh... sudah lama sekali aku tidak bertemu mereka.
“Rania!!!” Heboh Nissa. Perempuan berhijab itu langsung memelukku erat.
“Hai, Tiara.. apa kabar? Tante kangen deh sama kamu..” Ucapku sembari memeluk seorang anak perempuan berusia dibawah 6 tahun setelah Nissa melepaskan pelukannya kepadaku.
Anak itu tersenyum memperlihatkan lesung dikedua pipinya. “Baik.. Tiara juga kangen sama Tante.” Ucap gadis manis itu membuatku tersenyum lebar.
“Paling juga kamu kangen dibeliin mainan sama Tante Rania.” Cibir Nissa pada puteri kecilnya.
Tiara langsung cemberut. “Biarin aja, Tante Ran kan baik.” Balas anak itu tak mau kalah dari Ibunya.
“Sama Tante Dewi tadi gak bilang kangen.” Ucap Dewi.
“Kalo sama Tante Dewi mah Tiara gak kangen. Abis setiap ketemu pasti Tiara dikasih obat vitamin, Tiara kan gak suka minum obat.” Jelas Anak itu penuh kejujuran.
Aku tertawa melihat Dewi yang cemberut. Dewi dan Nissa sudah menikah lebih dulu dibandingkan diriku. Berbeda dengan Nissa, Dewi dan suaminya belum diberikan kepercayaan untuk memiliki seorang anak ditengah pernikahan mereka.
“Duduk sini, Ra.” Ucap Dewi sembari menepuk pelan kursi disebelahnya. Aku mengangguk dan duduk di sampingnya.
“Apa kabar, Ra? Gue pikir lo lupa sama kita.” Ucap Dewi. Perempuan dengan kaca matanya itu meminum minuman yang telah dipesannya.
“Udah sih, biar si Rania pesen makan dulu. Lo gak liat badannya kurus kering gitu kayak orang kurang gizi? Padahal cowoknya dokter juga.” Cibir Nissa.
“Hahaha.. iya bener, Niss. Dari jaman kita sekolah sampai udah pada tua begini, badan si Bu dosen emang yang paling rata. Triplek aja kalah ratanya sama dia..” Timpal Dewi. Lalu mereka berdua pun tertawa dengan bahagianya.
“Sialan!” Makiku. Tidak ada kegiatan lain yang kami lakukan jika berkumpul selain mengejek satu sama lain. Namun mereka lebih sering mengejekku, mereka bilang aku lebih mudah untuk diejek dibandingkan mereka. Sialan memang!
Aku pun memanggil seorang pelayan dan memesan makanan yang akan menjadi menu makan siangku kali ini.
“Eh iya, Ra. Gue punya sesuatu buat lo, tapi janji ya jangan marah atau kesel sama gue?” Ucap Dewi setelah pelayan tadi pergi dari meja kami.
Aku melihat kearah Nissa namun perempuan itu memilih mengendikkan bahunya. Ada apa sebenarnya? Wajah Dewi terlihat sangat cemas.
“Oke, lo kayak gak kenal gue aja, Wi.” Jawabku mencoba santai.
Perempuan berkaca mata itu mengeluarkan ponsel canggihnya dari dalam tas lalu memainkannya sebentar sebelum memberikannya padaku.
“Maaf sebelumnya, Ra. Lo liat aja videonya sendiri.” Ucapnya tidak enak.
Aku pun menekan tanda play pada video tersebut. Video yang berdurasi kurang lebih 1 setengah menit. Video yang menampilkan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tengah berbicara disebuah tempat makan.
“Alvin?” Gumamku ketika menyadari siapa laki-laki yang ada pada video tersebut.
Nissa mendekat kearahku meninggalkan puteri kecilnya yang tengah asik menyantap makanannya. Gadis berhijab biru dongker itu merapat kearahku demi melihat video tersebut.
“Jujur Vin, aku masih suka sama kamu.” Ucap perempuan dalam video itu.
Oke, ini hanya sekedar pernyataan. Perasaan seseorang tidak berhak orang lain tentukan. Tenangkan dirimu, Rania!
“Tolong, Vin. Kamu mau ya balikan lagi sama aku demi Papa?” Lanjutnya.
Aku tertegun. Permintaan bodoh macam apa itu? Apa wanita itu tidak bisa melihat cincin yang jelas-jelas melingkar di jari tengah tangan kanan Alvin? Laki-laki tidak mungkin memakai perhiasan jika tidak memiliki suatu ikatan asmara dibaliknya.
Laki-laki itu diam tak bereaksi. Perempuan berambut hitam sepunggung itu meraih tangan Alvin untuk digenggamnya. “Tolong aku, Vin..” Lirihnya semakin memohon.
Alvin menatap perempuan itu dengan tatapan yang sulit kuartikan. Dia tidak pernah menatapku dengan pandangan itu sebelumnya.
Nafasku tercekat seolah ada beban berat yang menimpa tubuh, hatiku terasa sesak melihat Alvin yang mengangguk menyetujui permintaan wanita dalam video itu.
“Oke, aku mau.” Jawabnya mantap.
Detak jantungku seolah berhenti seketika.
Alvin, ia mengkhianatiku?
* * *
Haii... Rii disini~~
Ini cerita pertama Rii yang di publish di GoodNovel.
Semoga kalian suka... ^^
I said I was fine.But I never said it didn’t hurt._Liar_Matahari sudah menghilang dari tempatnya. Kini sang rembulan lah yang bersinar ketika aku baru saja sampai di rumahku. Setelah pertemuan dengan kedua sahabatku siang tadi, aku memutuskan berjalan-jalan sendirian tanpa kembali lagi ke kampus. Aku butuh ketenangan tanpa beban pikiran yang mengikat kepalaku.“Assalamualakum.. aku pulang.” Salamku. Aku mencium tangan kedua orang tuaku yang tengah berkumpul di ruang keluarga lalu berlalu menuju kamar tanpa berbicara apa pun lagi.“Kamu kenapa, Kak?” Tanya Ayah yang menyadari raut wajahku.Aku menggeleng. &ldq
Do you think about ‘us’?Cause I do, think about you._Do You Think About Us_Aku menghela nafas keras. Sejak satu jam yang lalu mereka sibuk merundingkan kapan tanggal yang menurut mereka ‘baik’ untuk pernikahanku dan Alvin tanpa bertanya padaku apakah aku bersedia menikah dengan laki-laki itu atau tidak.“Gimana, Rania? Setuju, kan?” Tanya Ibu laki-laki itu. Wajah berseri-serinya menatapku penuh harap. Kini semua mata tertuju padaku, menuntut jawaban yang aku sendiri saja tidak tahu apa pertanyaannya.Aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak mencintaiku, apalagi ketika aku tahu bahwa ada kemungkinan dia berselingkuh di belakangku. Aku ingin pernikahan kami
If you do it always becomes the right words. If you do I can never win.Every day, every night feel like a fool. You gotta know.Suddenly you become a different person._If You Do_Aku tertawa kecil ketika mataku tak sengaja menemukan laki-laki yang telah seminggu lebih tidak kulihat itu berada di perpustakaan. Agak sedikit tidak percaya bahwa laki-laki seperti dirinya kini tengah memegang sebuah buku dengan raut wajah yang kelewat serius, berbeda sekali dengan raut wajah ceria penuh cengirannya.Aku memutuskan mendekat kearahnya dan duduk didepannya. Dia masih belum menyadari kehadiranku hingga aku mengetuk-ngetukkan sebuah pulpen yang kubawa diatas buku yang tengah dibacanya. Dia terlihat mengernyit tidak suka.
I must be a fool who can’t helped.For you, I’m okay with being hurt._Hope Not_Jalanan sudah semakin sepi ketika jarum jam di tanganku menunjukkan tepat pukul 10 malam. Ponsel yang seharusnya ingin kugunakan untuk memesan taksi online malah mati karena kehabisan daya baterainya. Hingga aku memutuskan untuk mencari kendaraan umum agar bisa sampai ke rumah.Sebenarnya jarak antara Mall dengan rumahku hanya menempuh waktu satu jam jika menggunakan kendaraan. Namun tidak dengan berjalan kaki, apalagi dengan kedua tangan penuh paper bag seperti ini. Ditambah dengan tidak adanya satu pun taksi yang lewat. Aku tidak mungkin naik angkutan umum, aku tidak tahu mana yan
Today I smile.When I’m with you as if nothing happened, as if I’m doing fine._I Smile_“Semalam kamu dari mana, Kak?” Tanya Ayah padaku.Aku duduk tepat di kursi yang berhadapan dengan Ryan. Aku terkekeh melihat laki-laki itu masih menatapku kesal karena kemarin malam. Uhh.. Jika saja ini bukan di meja makan, aku pasti tengah mengejek laki-laki muda itu.“Malam mingguan.” Jawabku santai.“Sama siapa?!”Aku terkejut ketika mendengar mereka semua kompak bertanya dengan pertanyaan yang sama padaku. Aku mengerjap pelan ketika mereka semu
If it’s not you, I’m not._Gotta be You_Aku memperhatikan wajah serius Alvin ketika laki-laki itu memperhatikan kedua cincin dengan model yang berbeda di tangannya. Dengan alis yang tebal dan mata tajam yang mempesona serta rahang tegas yang semakin menambah sempurna wajahnya. Aku jatuh berkali-kali karenanya.Diam-diam aku tersenyum ketika dia memilih sepasang cincin yang telah kupilih sebelumnya. Kukira Alvin akan mengabaikan cincin pilihanku karena dirinya memiliki cincin pilihan sendiri, tetapi ternyata Alvin memilihnya, dia menyukai pilihanku.Alvin menoleh ke arahku yang duduk di sebelahnya. “Suka yang model itu, kan?” Tanyanya.Aku mengangguk penuh semang
Why I do still love you when you’re the reason for this pain?Why can’t I just say goodbye when all you do is make me cry?_I Need You_Seminggu sudah terlewati sejak terakhir kali aku bertemu Alvin ketika kami memutuskan untuk memesan cincin untuk pernikahan kami nanti. Tak terasa waktu pernikahan kami semakin dekat. Semua hal yang menyangkut pernikahan telah mulai dipersiapkan oleh kedua orang tuaku dan Alvin. Ibu dan Mama sangat antusias dengan pernikahan ini karena pernikahan ini adalah pernikahan pertama untuk keluargaku dan keluarganya.Sebenarnya Alvin memiliki seorang saudara laki-laki yang usianya terpaut 2 tahun lebih muda dibandingkan dirinya bernama Althaf. Laki-laki yang tak kalah tampan dari Alvin itu memiliki karakter yang sangat ja
Lampu yang redup serta suara yang bising menjadi pemandangan pertama yang kujumpai ketika masuk ke dalam sebuah klub. Kedua mataku berkeliling mencari seseorang yang telah mengajakku datang ke tempat ini, tempat yang belum pernah kudatangi sepanjang hidupku. Lambaian tangan seseorang yang tengah duduk di sofa di sudut ruangan membuatku melangkah mendekat kearahnya. Matanya menyapu menilai penampilanku yang berdiri di depannya lalu terkekeh seolah kemeja dengan celana jeans yang kukenakan adalah hal yang salah. Aku mendelik kesal, namun tak urung tetap duduk di sampingnya. “Kemeja? Come on! Ini club, Mbak. Salah kostum, ya?” Ledeknya. Matanya masih menatapku geli dengan senyum yang cenderung meremehkan.
Hari yang ditunggu pun tiba. Setelah memutuskan untuk mengurusnya dengan sabar dan menetapkan tanggal pernikahannya bertepatan dengan tanggal kelahiran sang mempelai wanita, Alvin akhirnya bisa bernapas lega dan tersenyum bahagia.Senyum lebar tak pernah lepas dari bibir pria itu yang tengah berdiri di depan kaca rias itu. Tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu melekat pas di tubuhnya. Sekali lagi Alvin tertawa untuk hal yang hanya dimengerti olehnya.“Bibir lo bisa robek kalo kebanyakan senyum, Bang.”Cibiran itu membuat Alvin menoleh menatap pintu masuk. Seorang pria yang usianya jauh dibawah dirinya melangkah mendekat padanya.“Gue ikhlas kakak gue nikah sama lo. Jaga dia baik-baik, sekali gue denger lo buat kakak gue nangis, saat itu juga gue buat lo ke IGD, Bang.”Alvin tertawa mendengar ancaman tersebut. “Pukulan lo sama sekali nggak sakit buat gue.”“Sialan lo, Bang!” Ryan menyentak Al
“Jadi kapan mau diresmiin?”“Tiga tahun lagi, Yah.”Alvin yang mendengar sontak melotot terkejut. “Lho kok gitu, Ra? Nggak bisa gitu dong!” Pria itu menyahut tak terima.Rania terkekeh, “Ya biar pas umurnya, kamu jadi 33 aku 32.”“Nggak sekalian aja nunggu 40 tahun.” Cibir Alvin.Ryan yang mendengarnya pun mendengus tak suka. “Apa sih lu, Bang. Suka-suka kakak gue lah, udah untung diterima lagi!”Semua yang awalnya tertawa dan tersenyum pun memilih terdiam, termasuk Alvin yang raut wajahnya berubah tak terbaca.“Mending diem kalo emang buka mulut cuma buat bi
“Aku... beneran masih suka sama kamu, Ra..” Alvin menarik napasnya, “Aku tau kamu nggak bisa terima aku lagi, aku cuma mau kamu tau kalo perasaan aku masih sama.”Suasana sore di salah satu taman di kota hujan itu menjadi saksi bagaimana Alvin mengungkapkan perasaannya dengan ikhlas dan tak menuntut balas.3 bulan sudah berlalu sejak usahanya untuk membuat Rania kembali bersamanya namun selama waktu itu juga ia sama sekali tak mendapat balasan.Dan Alvin mencoba menyerah untuk itu.Bukan, bukan karena ia pengecut, namun pria itu hanya berusaha untuk mengikhlaskan Rania jika memang tak ditakdirkan bersama.Sikap Rania yang terkadang berubah dingin setelah ramah padanya membuat Alvin ragu jika wanita itu memang masih mencintainya dan akan kembali padanya. Alvin mencoba untuk menekan perasaannya meski rasa kecewa mulai menyapanya.“Terus?”“Aku... mau coba ikhlasin kamu.” Alvin menunduk den
“Pagi, Ra..”Alvin menyapa Rania yang baru saja membuka pintu rumahnya dan siap untuk berangkat mengajar.Rania yang sudah biasa melihat kehadiran Alvin selama dua minggu sejak pria itu menjadi tamu di taman kanak-kanak hanya tersenyum kecil.“Kamu nggak jawab?”“Pagi, Mas.”Alvin tersenyum lebar. Meski Rania masih sering kali berbicar formal dengannya, namun harus ia akui dirinya begitu menyukai Rania yang memanggilnya dengan embel-embel di depan namanya.“Mau berangkat?”Rania mengangguk.“Aku anter, ya?”“Nggak usah, makasih. Saya biasa jalan kaki.”Alvin menggeleng, “Nggak, aku anterinnya juga jalan kaki kok. Aku lagi nggak bawa mobil.”Kening Rania mengernyit bingung.
Dua tahun kemudian... Jantung Alvin berdegup kencang, kedua telapak tangannya saling bertautan dengan keringat dingin. Hari ini, tepat hari pertama pria itu memutuskan untuk bertemu dengan Rania untuk pertama kalinya setelah pembatalan pernikahan mereka dua tahun yang lalu. Hari ini, ia memutuskan untuk menjadi seorang tamu di taman kanak-kanak tempat Rania mengajar. Padahal hanya dua tahun, namun mengapa rasa gugupnya melebihi saat ia memutuskan untuk melamar Rania untuk menjadi miliknya? Pria itu menghembuskan napasnya, dibukanya pintu mobil itu dan melangkah keluar meski ia tahu pagar sekolah bahkan masih dalam keadaan terkunci. Siapa yang peduli? Ia memang
Satu tahun kemudian...Alvin tersenyum kecil menatap seorang gadis dengan rambut panjangnya tengah mempraktikan gerakan-gerakan senam sederhana kepada anak-anak kecil di depannya.Pria yang menopang wajahnya dengan telapak tangan dan asik memperhatikan itu terkekeh melihat nafas gadis itu memburu sedikit lebih laju dari sebelumnya setelah melompat beberapa kali.“Seharusnya jangan terlalu diforsir, Ra.. kamu nggak biasa olahraga.” Ucapnya tak bertuan.Kedua matanya menatap sendu pada gadis yang mulai membubarkan barisan anak-anak kecil itu. Seandainya saja setahun yang lalu dia tidak mencari masalah, mungkin kini ia bisa melihat wajah itu dari jarak dekat. Bukan malah memilih bersembunyi dibalik kaca hitam mobil mili
Lagi, Alvin kembali ditampar oleh penyesalan saat tau Rania menutupi aibnya. Dia baru tahu jika Rania merahasiakan alasan dibalik pembatalan pernikahan mereka setelah dua bulan kejadian itu berlalu. Rania dan isi kepalanya. Hanya satu hal yang Alvin tak pernah bisa mengerti mengenai gadis itu. Terlalu abu-abu untuk dibacanya, pikiran Rania sangat sulit untuk ditebak. Kadang terlalu abstrak, dilain waktu bisa terlalu mudah ditebak, namun dilain kesempatan pula terlalu sulit dimengerti. Mereka saling mencintai, namun justru terpisah karena kebodohannya sendiri. Haruskah ia tertawa untuk kebodohannya yang berulang kali ini?
“Alvin... ini Mama..”Nyonya Pratama membuka pintu kamar sang putra sepelan mungkin. Beliau berjalan masuk dan menemukan kamar Alvin yang berantakan juga sang putra yang tengah duduk melamun di depan jendela kamarnya.“Alvin nggak mau terima apapun pemberian Amanda, Mama bisa keluar sekarang.” Pria itu berbicara setenang mungkin, kedua matanya memandang kosong halaman belakang rumahnya.Rania sudah pergi...Mungkin ia memang bisa melacak keberadaan gadis itu, namun Rania belum tentu mau menerimanya kembali. Ia sadar, teramat sadar jika Rania sudah terlalu banyak terluka selama hubungan mereka berjalan sebagai sepasang kekasih.Mungkin memang benar kata orang, sebaiknya memang tidak pernah melibatkan hati dalam pertemanan antara pria dan wanita. Namun ia terlalu egois, terlalu menginginkan gadis itu menjadi miliknya seorang diri.
Beberapa bulan setelah pembatalan...“Kamu mau kemana, Alvin?”Alvin menoleh, Nyonya Pratama menatap putra sulungnya dengan cemas. Setelah dua bulan lamanya putranya hanya bisa mengamuk di kamarnya, memilih tidak keluar dari rumah, ini adalah kali pertama ia melihat anaknya berpakaian rapi dan hendak pergi.Alvin menyeringai, “Having fun.”Nyonya Pratama bangkit dari duduknya dan menghampiri sang putra, wanita paruh baya itu mengelus rambut anaknya dengan kasih sayang. “Jangan berbuat macam-macam, Al.. Mama yakin Rania tetap bakal jadi istri kamu.” Nasihatnya.“Nggak bisa. Dia emang harus mati.” Alvin menggeleng, wajahnya berseri-seri kontras dengan perasaan marah yang tersirat di kedua matanya. “Dia yang bikin aku kehilangan Rania. Mata dibalas mata, Mama.”“Al.. dengar Mama.. ap