Lampu yang redup serta suara yang bising menjadi pemandangan pertama yang kujumpai ketika masuk ke dalam sebuah klub. Kedua mataku berkeliling mencari seseorang yang telah mengajakku datang ke tempat ini, tempat yang belum pernah kudatangi sepanjang hidupku.
Lambaian tangan seseorang yang tengah duduk di sofa di sudut ruangan membuatku melangkah mendekat kearahnya. Matanya menyapu menilai penampilanku yang berdiri di depannya lalu terkekeh seolah kemeja dengan celana jeans yang kukenakan adalah hal yang salah. Aku mendelik kesal, namun tak urung tetap duduk di sampingnya.
“Kemeja? Come on! Ini club, Mbak. Salah kostum, ya?” Ledeknya. Matanya masih menatapku geli dengan senyum yang cenderung meremehkan.
Sinar mentari mulai menyorot saat aku telah menyelesaikan putaran kedua lariku. Aku berhenti tepat dibawah pohon dimana kami berjanji akan bertemu. Aku menyeka keringat yang mengalir sembari mengedarkan pandangan mencari keberadaan mereka.Aku berdecak. Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 8 pagi dan ini sudah terlambat satu jam dari waktu yang dijanjikan namun tak ada satu pun dari mereka yang menampakkan dirinya. Ponsel sengaja tidak kubawa demi menghindari Alvin yang kemungkinan besar meneleponku di hari minggu ini dan aku menyesali keputusanku itu. Andai saja aku membawanya, aku mungkin bisa menghubungi salah satu dari mereka demi memastikan pertemuan kami ini.Aku memutuskan untuk duduk dan meluruskan kedua kakiku yang cukup terasa pegal setelah berlari. Seorang anak kecil menghampiriku dan menawarkan sebuah air mineral yang
Aku melirik ponselku yang berdering di atas ranjang, menghela nafas ketika melihat namanya masih setia meneleponku sejak beberapa jam yang lalu. Setelah selesai lari pagi yang berujung pada mereka yang menceramahiku soal pernikahan, aku langsung pulang ke rumah dan membersihkan diri.Sebelumnya aku memang sempat mengecek ponselku terlebih dahulu, dan benar saja, Alvin terus menghubungiku sejak pukul 7 pagi. Dia juga mengirimiku pesan yang kebanyakan berisi menanyakan keberadaanku dan menyuruhku untuk mengangkat telepon darinya.Aku memutuskan untuk membiarkan ponsel itu terus berdering. Masih ada waktu 2 jam sebelum waktu makan siang, mungkin membaca buku adalah pilihan terbaik sembari menunggu waktu berlalu.Aku pun keluar dari kamar dan memasuki ruang perpustakaan kecil ya
Aku memperhatikan Alvin yang tengah berdiri memesan makanan untuk menu makan siang kami berdua di sebuah restauran yang pernah kami kunjungi beberapa kali. Walau hanya dengan jaket hitam serta celana jeansnya, ternyata penampilan Alvin masih cukup menarik bagi kaum hawa sepertiku.Aku memperhatikan sekeliling sembari menilai. Hampir ada 8 wanita yang terus melihat kearahnya, sementara 3 orang lainnya tidak peduli. Aku mendengus, tentu saja mereka bertiga tidak peduli, aku baru menyadari jika ketiganya adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang sudah memiliki anak beserta suami yang duduk di sampingnya.Untung saja aku memilih duduk ketika Alvin memutuskan untuk memesan makanan. Tidak terbayang jika aku harus berdiri di samping laki-laki yang nyaris sempurna –sebagai manusia biasa- dengan beberapa mata yang menatap Alvin penuh puja. B
Waktu berjalan cepat ketika aku tak menyadari. Namun begitu lambat saat kau pergi seolah tak'kan kembali. _Waktu_ Di sinilah aku berada. Sebuah butik dengan beberapa gaun serta kebaya khusus untuk pernikahan terpajang di sebuah manekin yang diletakan di depan kaca toko. Namun ada beberapa gaun biasa lainnya yang juga mereka jual. Sudah hampir dua minggu aku tidak melihat tunanganku. Meskipun begitu, Alvin selalu meneleponku ketika hari menjelang malam. Seharusnya fitting baju pengantin ini kulakukan bersama Alvin. Namun karena laki-laki itu tengah keluar kota, Mama meminta Ibuku untuk menemaniku pergi ke butik bersamanya. Aku melihat jam di tanganku untuk yang ke sekian kalinya dan kembali menghembuskan nafas. Sudah tiga puluh menit berlalu sejak aku tiba di butik ini, namun kedua orang tua itu belum juga muncul. Beberapa pegawai toko memperhatikan gerak-gerikku
Ketika sebuah rencana hadir, bukan tak ingin berbagi, hanya berusaha menyimpannya sebentar. Mungkin ini hanya bualan tanpa realisasi di depan. _Hangout_ Aku menatap geli ke arah seorang wanita yang tengah memekik kesal ke arahku. Aku menggeleng dengan senyum kecil mendengar penuturannya tadi. Hanya satu kalimat yang terlintas di kepalaku, tidak masuk akal. “Lo harus percaya, Ra!” Kesalnya. Matanya mendelik sebal kearahku. Aku mengelap bibirku yang terkena noda saus menggunakan tisu kemudian menyesap minumanku dengan perlahan. Melihat wajahnya yang merengut kesal membuatku tersenyum kembali. “Iya, iya, gue percaya kok.” Ucapku sembari mengangguk kecil.
Aku menatap papan hijau penunjuk jalan yang akan di lewati dengan malas. Aku mencoba bergerak mencari posisi ternyaman yang bisa kudapatkan. Perjalanan masih cukup panjang hingga akhirnya aku dan dia bisa sampai di tempat tujuan kami. Tidak, salah, hanya tempat tujuannya.Aku melirik dia yang terfokus pada jalan lurus tanpa hambatan di depannya. Lalu memilih melihat keluar jendela setelahnya. Hanya ada mobil-mobil yang melaju saling membalap yang bisa kutemukan.Aku berdehem. “Lo kok nggak bilang dari kemarin sih?” Tanyaku agak jengkel.Dia tersenyum dan melirikku sekilas sebelum fokusnya kembali pada jalanan. “Gue takut lo nolak jadi sengaja jemput tanpa bilang dulu.” Sebuah kekehan kecil mengakhiri kalimatnya.
Di saat kebohongan datang mengikis percaya, keraguan datang menguatkan dugaan. Haruskah aku bertahan? _I Trus You_ Restoran tampak sepi dari pengunjung ketika mataku menyapu seluruh ruangan. Aku dan Dewi memutuskan mampir ke tempat makan ini untuk memulai makan malam yang terlalu cepat dan makan siang yang terlambat serta sarapan yang sudah terlewat. Dewi benar-benar keterlaluan. Ucapannya mengenai jatah sarapan plus makan siangku dia undur hingga hari mulai menjelang malam. Jangan ditanya lagi bagaimana kondisi perutku saat ini. Mengenaskan! Aku memesan menu makanan yang cukup banyak. Anggap saja ini untuk ket
Aku pernah peduli, aku pernah merasa khawatir.Hingga kebenaran datang mematahkan, tak ada yang tersisa kecuali kekecewaan._Aku Tidak Peduli_Sudah hampir tiga hari berlalu sejak hari di mana aku hampir salah mengenali wajah seseorang sebagai sosok tunanganku. Wajah seseorang itu benar-benar membekas dalam ingatanku. Tiga hari berlalu dengan pikiranku yang nyaris gila karena terus-terusan mendoktrin bahwa dia bukanlah Alvin. Seseorang itu bukanlah sosok laki-laki yang kurindukan.Namun nyatanya perasaanku menolak keras pernyataan tersebut. Dia terus menentang jalan kerja otakku padahal tujuanku adalah melindunginya agar tidak merasa kecewa dan berakhir dengan terluka.Sh*t, aku bisa gila jika terus seperti ini!Aku menggeleng beberapa kali. Tidak, tidak! Cukup sudah aku memikirkannya. Fokusku tidak boleh terpecah bel
Hari yang ditunggu pun tiba. Setelah memutuskan untuk mengurusnya dengan sabar dan menetapkan tanggal pernikahannya bertepatan dengan tanggal kelahiran sang mempelai wanita, Alvin akhirnya bisa bernapas lega dan tersenyum bahagia.Senyum lebar tak pernah lepas dari bibir pria itu yang tengah berdiri di depan kaca rias itu. Tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu melekat pas di tubuhnya. Sekali lagi Alvin tertawa untuk hal yang hanya dimengerti olehnya.“Bibir lo bisa robek kalo kebanyakan senyum, Bang.”Cibiran itu membuat Alvin menoleh menatap pintu masuk. Seorang pria yang usianya jauh dibawah dirinya melangkah mendekat padanya.“Gue ikhlas kakak gue nikah sama lo. Jaga dia baik-baik, sekali gue denger lo buat kakak gue nangis, saat itu juga gue buat lo ke IGD, Bang.”Alvin tertawa mendengar ancaman tersebut. “Pukulan lo sama sekali nggak sakit buat gue.”“Sialan lo, Bang!” Ryan menyentak Al
“Jadi kapan mau diresmiin?”“Tiga tahun lagi, Yah.”Alvin yang mendengar sontak melotot terkejut. “Lho kok gitu, Ra? Nggak bisa gitu dong!” Pria itu menyahut tak terima.Rania terkekeh, “Ya biar pas umurnya, kamu jadi 33 aku 32.”“Nggak sekalian aja nunggu 40 tahun.” Cibir Alvin.Ryan yang mendengarnya pun mendengus tak suka. “Apa sih lu, Bang. Suka-suka kakak gue lah, udah untung diterima lagi!”Semua yang awalnya tertawa dan tersenyum pun memilih terdiam, termasuk Alvin yang raut wajahnya berubah tak terbaca.“Mending diem kalo emang buka mulut cuma buat bi
“Aku... beneran masih suka sama kamu, Ra..” Alvin menarik napasnya, “Aku tau kamu nggak bisa terima aku lagi, aku cuma mau kamu tau kalo perasaan aku masih sama.”Suasana sore di salah satu taman di kota hujan itu menjadi saksi bagaimana Alvin mengungkapkan perasaannya dengan ikhlas dan tak menuntut balas.3 bulan sudah berlalu sejak usahanya untuk membuat Rania kembali bersamanya namun selama waktu itu juga ia sama sekali tak mendapat balasan.Dan Alvin mencoba menyerah untuk itu.Bukan, bukan karena ia pengecut, namun pria itu hanya berusaha untuk mengikhlaskan Rania jika memang tak ditakdirkan bersama.Sikap Rania yang terkadang berubah dingin setelah ramah padanya membuat Alvin ragu jika wanita itu memang masih mencintainya dan akan kembali padanya. Alvin mencoba untuk menekan perasaannya meski rasa kecewa mulai menyapanya.“Terus?”“Aku... mau coba ikhlasin kamu.” Alvin menunduk den
“Pagi, Ra..”Alvin menyapa Rania yang baru saja membuka pintu rumahnya dan siap untuk berangkat mengajar.Rania yang sudah biasa melihat kehadiran Alvin selama dua minggu sejak pria itu menjadi tamu di taman kanak-kanak hanya tersenyum kecil.“Kamu nggak jawab?”“Pagi, Mas.”Alvin tersenyum lebar. Meski Rania masih sering kali berbicar formal dengannya, namun harus ia akui dirinya begitu menyukai Rania yang memanggilnya dengan embel-embel di depan namanya.“Mau berangkat?”Rania mengangguk.“Aku anter, ya?”“Nggak usah, makasih. Saya biasa jalan kaki.”Alvin menggeleng, “Nggak, aku anterinnya juga jalan kaki kok. Aku lagi nggak bawa mobil.”Kening Rania mengernyit bingung.
Dua tahun kemudian... Jantung Alvin berdegup kencang, kedua telapak tangannya saling bertautan dengan keringat dingin. Hari ini, tepat hari pertama pria itu memutuskan untuk bertemu dengan Rania untuk pertama kalinya setelah pembatalan pernikahan mereka dua tahun yang lalu. Hari ini, ia memutuskan untuk menjadi seorang tamu di taman kanak-kanak tempat Rania mengajar. Padahal hanya dua tahun, namun mengapa rasa gugupnya melebihi saat ia memutuskan untuk melamar Rania untuk menjadi miliknya? Pria itu menghembuskan napasnya, dibukanya pintu mobil itu dan melangkah keluar meski ia tahu pagar sekolah bahkan masih dalam keadaan terkunci. Siapa yang peduli? Ia memang
Satu tahun kemudian...Alvin tersenyum kecil menatap seorang gadis dengan rambut panjangnya tengah mempraktikan gerakan-gerakan senam sederhana kepada anak-anak kecil di depannya.Pria yang menopang wajahnya dengan telapak tangan dan asik memperhatikan itu terkekeh melihat nafas gadis itu memburu sedikit lebih laju dari sebelumnya setelah melompat beberapa kali.“Seharusnya jangan terlalu diforsir, Ra.. kamu nggak biasa olahraga.” Ucapnya tak bertuan.Kedua matanya menatap sendu pada gadis yang mulai membubarkan barisan anak-anak kecil itu. Seandainya saja setahun yang lalu dia tidak mencari masalah, mungkin kini ia bisa melihat wajah itu dari jarak dekat. Bukan malah memilih bersembunyi dibalik kaca hitam mobil mili
Lagi, Alvin kembali ditampar oleh penyesalan saat tau Rania menutupi aibnya. Dia baru tahu jika Rania merahasiakan alasan dibalik pembatalan pernikahan mereka setelah dua bulan kejadian itu berlalu. Rania dan isi kepalanya. Hanya satu hal yang Alvin tak pernah bisa mengerti mengenai gadis itu. Terlalu abu-abu untuk dibacanya, pikiran Rania sangat sulit untuk ditebak. Kadang terlalu abstrak, dilain waktu bisa terlalu mudah ditebak, namun dilain kesempatan pula terlalu sulit dimengerti. Mereka saling mencintai, namun justru terpisah karena kebodohannya sendiri. Haruskah ia tertawa untuk kebodohannya yang berulang kali ini?
“Alvin... ini Mama..”Nyonya Pratama membuka pintu kamar sang putra sepelan mungkin. Beliau berjalan masuk dan menemukan kamar Alvin yang berantakan juga sang putra yang tengah duduk melamun di depan jendela kamarnya.“Alvin nggak mau terima apapun pemberian Amanda, Mama bisa keluar sekarang.” Pria itu berbicara setenang mungkin, kedua matanya memandang kosong halaman belakang rumahnya.Rania sudah pergi...Mungkin ia memang bisa melacak keberadaan gadis itu, namun Rania belum tentu mau menerimanya kembali. Ia sadar, teramat sadar jika Rania sudah terlalu banyak terluka selama hubungan mereka berjalan sebagai sepasang kekasih.Mungkin memang benar kata orang, sebaiknya memang tidak pernah melibatkan hati dalam pertemanan antara pria dan wanita. Namun ia terlalu egois, terlalu menginginkan gadis itu menjadi miliknya seorang diri.
Beberapa bulan setelah pembatalan...“Kamu mau kemana, Alvin?”Alvin menoleh, Nyonya Pratama menatap putra sulungnya dengan cemas. Setelah dua bulan lamanya putranya hanya bisa mengamuk di kamarnya, memilih tidak keluar dari rumah, ini adalah kali pertama ia melihat anaknya berpakaian rapi dan hendak pergi.Alvin menyeringai, “Having fun.”Nyonya Pratama bangkit dari duduknya dan menghampiri sang putra, wanita paruh baya itu mengelus rambut anaknya dengan kasih sayang. “Jangan berbuat macam-macam, Al.. Mama yakin Rania tetap bakal jadi istri kamu.” Nasihatnya.“Nggak bisa. Dia emang harus mati.” Alvin menggeleng, wajahnya berseri-seri kontras dengan perasaan marah yang tersirat di kedua matanya. “Dia yang bikin aku kehilangan Rania. Mata dibalas mata, Mama.”“Al.. dengar Mama.. ap