It’s fine, you don’t have to say sorry.
It’s enough just having you by myside.
You don’t need to say it.
_Take You Home_
Aku menatap gerbang kampusku yang sudah mulai sepi. Duduk sendirian di sebuah halte tanpa kegiatan berarti membuatku terlihat bodoh.
Matahari pun sudah mulai tenggelam untuk berganti tempat dengan sang rembulan. Hari sudah kian sore tapi belum ada tanda-tanda Alvin akan datang menjemputku seperti yang dia katakan satu setengah jam yang lalu.
Aku menghela nafas, semakin hari bersamanya semakin besar pula aku menyadari kebodohanku. Mengapa aku harus selalu menunggu jika bersama Alvin? Tidakkah laki-laki itu juga berpikir bahwa hubungan kami terlihat seperti dipaksakan?
Padahal kenyataannya, sama sekali tidak ada paksaan diantara kami.
Alvin, pria dengan sejuta pesona dan segudang misteri. Mengapa aku harus jatuh cinta pada laki-laki itu?
Alvin adalah teman masa kecilku. Kami bersahabat ketika masih duduk di bangku sekolah dasar hingga tingkat Sekolah Menengah Pertama. Kami sangat dekat pada saat itu, setiap saat selalu bermain bersama. Bahkan tak jarang Alvin mengajariku mengenai soal-soal yang tidak kumengerti.
Alvin memiliki otak yang lebih cerdas di bandingkan aku hingga pada saat lulus, dengan mudahnya dia bisa masuk kedalam sekolah favorit meninggalkan aku yang masuk Sekolah Menengah Atas biasa.
Dan mulai saat itu, hubungan pertemanan kami agak sedikit merenggang. Kami menjadi semakin jarang bertemu karena kesibukan kami masing-masing, bahkan aku sempat lost contact dengannya hingga 4 tahun yang lalu kami bertemu kembali.
Rasanya benar-benar seperti mimpi ketika dia memintaku menjadi kekasihnya tepat disaat usiaku menginjak 25 tahun. Hari itu, Alvin tiba-tiba saja datang menjemputku ke rumah lalu mengajakku dinner bersamanya dengan alasan ingin merayakan hari ulang tahunku seperti yang selalu kami lakukan bersama.
Saat itu, Alvin benar-benar terlihat tampan dengan tuxedo nya, laki-laki itu membuat hatiku kembali berdegup kencang setelah sekian lama aku berpikir bahwa perasaanku padanya mungkin hanya sekedar cinta monyet ala anak kecil.
Alvin berhasil membuatku menatapnya kembali, laki-laki itu berhasil membuatku mencintainya.
Tinn...Tinn..
Aku tersentak ketika suara klakson mengejutkanku. Seorang laki-laki duduk diatas motor sport-nya dan menatap kearahku. Aku tidak bisa mengenali wajahnya karena dia menggunakan helm fullface, yang terlihat hanya sorot matanya yang nampak tidak asing untukku.
“Rania! Belum pulang?” Teriaknya.
Dia tahu namaku?
“Ini aku, Aldo.” Ucapnya. Laki-laki itu membuka helm dan turun dari motornya menghampiriku. Dia tersenyum dan menatap ke sekelilingku.
“Kok belum pulang, Ran?” Tanyanya kembali.
Aku baru menyadarinya jika dia menyingkat namaku menjadi panggilan yang berbeda dari semua orang.
“Kenapa Ran?” Tanyaku.
Aku melotot ketika dia mengacak rambutku, dengan spontan aku menepis telapak tangannya dari kepalaku.
Dia terkekeh. “Kamu tuh kebiasaan, ya. Orang nanya apa dijawabnya apa..”
“Kalo aku kayak kamu, udah kena keplak sama emakku. Orang ditanya malah tanya balik.” Lanjutnya lagi.
Aku tertawa melihatnya bergidik ketika membayangkan wajah Ibunya. Aku tahu, dia laki-laki yang menyayangi Ibunya. Kata Ibu, laki-laki yang menyayangi Ibunya adalah laki-laki yang baik. Dia tidak mungkin menyakiti hati wanita karena dia tahu, wanita itu berjasa dalam kehidupan.
“Kenapa ketawa?”
“Gak apa-apa.” Jawabku.
“Ayo! Pulang bareng aku aja, Ran. Udah hampir malem, emang gak takut duduk sendirian di halte? Nanti ada setannya lho...” Ucapnya dengan ekspresi takut yang dibuat-buat.
Aku tertawa kecil.
“Mau gak?” Tanyanya kembali.
Aku bimbang. Jika aku memilih pulang bersama Aldo lalu bagaimana dengan Alvin? Aku takut dia marah padaku, tapi menunggu Alvin sendirian di halte tanpa bisa menghubungi laki-laki itu juga bukan pilihan bijak untukku.
“Mikirnya lama banget, Mbak.” Cibir Aldo.
Aku mengangguk. “Yaudah deh, biar irit ongkos.” Putusku.
Baru saja Aldo menaiki motornya kembali, sinar terang menyorot kearah kami berdua. Aku menyipitkan mata untuk melihat dari mana sinar itu berasal. Tepat tidak jauh dari arah kami, sebuah mobil yang sangat kukenal berhenti. Sinar lampu mobil itu mati ketika sang pengemudi mematikan mesin mobilnya.
Aku terpaku melihat Alvin yang baru saja turun dari mobilnya, ia berjalan mendekat kearahku. Matanya menyorot tajam dengan wajah marahnya. Oke, Alvin mungkin salah paham melihat aku dan Aldo. Aku harus menjelaskannya.
“Alvin? Al.. emm.. ini gak kayak apa yang kamu liat kok. Aldo cuma_”
“Masuk mobil, Ra.” Perintahnya memotong kalimatku.
Aku mengangguk. Membantah perintah Alvin disaat laki-laki itu tengah marah sama dengan cari masalah. Aku melihat kearah Aldo, memberikannya isyarat lewat mata jika aku harus pergi sekarang dan laki-laki muda itu mengangguk mengerti.
Aku masuk ke dalam mobil Alvin meninggalkan laki-laki itu yang masih berada diluar berdua dengan Aldo. Mereka terlihat membicarakan sesuatu yang tidak kuketahui.
Tidak, bukan, hanya Alvin yang berbicara dan Aldo terlihat diam saja tanpa membalas sepatah kata pun hingga Alvin selesai berbicara.
Alvin kemudian berbalik dan berjalan menuju mobil. Wajahnya masih terlihat sangar seperti sebelumnya. Ia membanting pintu mobil ketika menutupnya lalu menjalankan mobil tanpa berbicara sedikitpun padaku bahkan menoleh pun tidak. Keheningan terjadi diantara kami. Aku tidak suka seperti ini, melihat Alvin yang diam saja padahal aku tahu laki-laki itu tengah marah padaku.
“Al.. a-aku bisa jelasin. Aku.. dia.. emm.. maksudku, kita beneran cuma temen. Tadi dia liat aku duduk sendirian di halte pas nungguin kamu datang, dia nawarin aku buat pulang bareng karena hari udah mulai malam. Karena aku pikir kamu mungkin lupa dan hp kamu juga gak bisa dihubungin jadi aku mau pulang bareng dia tapi pas liat kamu_”
“Cukup!”
Aku terkejut ketika Alvin membentakku. Biasanya dia tidak pernah seperti ini padaku. Dia tidak pernah membentakku. Dia tahu jika aku tidak suka dibentak oleh siapapun. Aku menutup mulut ketika isak tangis hampir keluar dari mulutku.
Alvin mengatur nafasnya perlahan, laki-laki itu menoleh sekilas melihat wajahku yang memerah. “Sekarang kamu cuma perlu jawab jujur pertanyaanku.” Lanjutnya.
Aku mengangguk kecil memberi jawaban tanpa membuka suara.
“Ngapain dia disana?” Tanyanya yang mulai mengintrogasiku.
“Di..dia kuliah disana.” Jawabku terbata. Aku memperhatikannya yang tengah menyetir. Matanya menyipit tajam setelah mendengar jawaban yang keluar dari mulutku.
“Kamu tau dia kuliah disana?”
Aku menggeleng. Aku benar-benar tidak tahu Aldo kuliah disana. Kami saja baru saling mengenal kemarin. Tidak mungkin aku tahu tentang dia.
“Kalau gitu pindah.” Ucap Alvin seenaknya.
Aku mengernyit mendengarnya. “Pindah?” Tanyaku pura-pura tak mengerti.
Alvin mengangguk. “Ya, kamu pindah ke universitas lain.” Matanya masih fokus pada jalan beraspal di depannya.
“Gak bisa gitu, Al!” Sentakku. Dia tidak bisa berlaku semaunya. Laki-laki ini harus belajar jika apa yang dia inginkan tidak selalu bisa dia dapatkan.
Dia menoleh sekilas kearahku. “Kenapa? Kamu gak mau pisah sama dia?” Tanyanya sinis.
“Oke... aku bakal pindah ke Universitas lain, ... kalau kamu juga pindah ke RS lain.” Putusku.
Alvin mengangkat satu alisnya. “Kenapa aku harus pindah? Aku udah punya banyak pasien di sana, mereka jelas butuhin aku buat bantu anak-anaknya.”
“Kenapa aku harus pindah kalau aku punya banyak mahasiswa yang harus aku ajar di sana? Karena Aldo? Cih.. aku fikir kamu orang yang profesional.” Balasku diakhiri dengan mencibirnya.
Setelah itu Alvin memilih diam tak membalas ucapanku. Wajahnya terlihat lebih tenang dari sebelumnya tapi justru itu yang membuatku takut. Tidak biasanya dia memilih untuk mengalah saat kami tengah beradu pendapat. Dibalik wajahnya yang tenang itu, aku yakin dia menyembunyikan sesuatu.
Tiba-tiba saja aku teringat chat dari Dewi yang melihat Alvin bersama perempuan lain. Hatiku berseru bahwa aku harus bertanya padanya namun logikaku justru menentang ide tersebut. Tidak mau ambil pusing, aku memilih menatap jalanan lewat kaca mobil. Keheningan lebih baik daripada pertengkaran yang dapat membahayakan keselamatan kami berdua.
“Alvin.. kita mau kemana? Ini bukan jalan ke rumahku, ini jalan... ke rumah kamu?” Tanyaku. Laki-laki itu menoleh sekilas padaku lalu pandangannya kembali fokus pada jalanan didepannya. Aku pikir dia tidak akan menjawabku.
“Mama nyuruh kamu makan malam di rumah.” Jawabnya tenang.
Aku terkejut mendengarnya. “Kamu kok gak bilang?”
“Emang, ya?” Tanyanya disertai senyuman. Bukannya tadi dia marah? Aku malah jadi semakin takut atas sikap anehnya.
“Iihh... kamu gak bilang, Al.” Kesalku.
“Aku lupa, tadi siang Mama telepon aku nyuruh kamu dateng ke rumah buat makan malam bareng.”
Aku memilih diam tak menjawab. Biasanya dia selalu bilang padaku jika Ibunya memang menyuruku untuk main ke rumahnya jadi aku bisa menyiapkan sedikit buah tangan sebagai hadiah dariku. Atau paling tidak aku bisa pulang sebentar untuk mandi dan berganti baju, tidak seperti sekarang, malah terlihat seperti gembel yang ditemukan Alvin di jalan.
Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku, Alvin?
* * *
Aku mencintaimu dan kau mencintaiku, itu yang kutahu.Namun kenyataan memang tak selalu berpihak.Aku... meragu._Ragu_Matahari sudah mulai naik ke peraduannya ketika aku baru saja menyelesaikan urusanku di kamar mandi. Hari ini tidaklah terlalu sibuk untukku jadi aku bisa sedikit lebih siang untuk pergi ke kampus.Lagipula tadi pagi sekali, Alvin memberiku kabar jika dirinya tidak bisa mengantar dan menjemputku seperti kemarin. Laki-laki itu bilang jika dia memiliki urusan penting yang harus segera ditanganinya.Aku menuruni anak tangga menuju ruang makan rumahku. Kamarku memang berada di lantai dua rumah ini sementara kamar Ibu dan Ayah berada di lanta
I said I was fine.But I never said it didn’t hurt._Liar_Matahari sudah menghilang dari tempatnya. Kini sang rembulan lah yang bersinar ketika aku baru saja sampai di rumahku. Setelah pertemuan dengan kedua sahabatku siang tadi, aku memutuskan berjalan-jalan sendirian tanpa kembali lagi ke kampus. Aku butuh ketenangan tanpa beban pikiran yang mengikat kepalaku.“Assalamualakum.. aku pulang.” Salamku. Aku mencium tangan kedua orang tuaku yang tengah berkumpul di ruang keluarga lalu berlalu menuju kamar tanpa berbicara apa pun lagi.“Kamu kenapa, Kak?” Tanya Ayah yang menyadari raut wajahku.Aku menggeleng. &ldq
Do you think about ‘us’?Cause I do, think about you._Do You Think About Us_Aku menghela nafas keras. Sejak satu jam yang lalu mereka sibuk merundingkan kapan tanggal yang menurut mereka ‘baik’ untuk pernikahanku dan Alvin tanpa bertanya padaku apakah aku bersedia menikah dengan laki-laki itu atau tidak.“Gimana, Rania? Setuju, kan?” Tanya Ibu laki-laki itu. Wajah berseri-serinya menatapku penuh harap. Kini semua mata tertuju padaku, menuntut jawaban yang aku sendiri saja tidak tahu apa pertanyaannya.Aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak mencintaiku, apalagi ketika aku tahu bahwa ada kemungkinan dia berselingkuh di belakangku. Aku ingin pernikahan kami
If you do it always becomes the right words. If you do I can never win.Every day, every night feel like a fool. You gotta know.Suddenly you become a different person._If You Do_Aku tertawa kecil ketika mataku tak sengaja menemukan laki-laki yang telah seminggu lebih tidak kulihat itu berada di perpustakaan. Agak sedikit tidak percaya bahwa laki-laki seperti dirinya kini tengah memegang sebuah buku dengan raut wajah yang kelewat serius, berbeda sekali dengan raut wajah ceria penuh cengirannya.Aku memutuskan mendekat kearahnya dan duduk didepannya. Dia masih belum menyadari kehadiranku hingga aku mengetuk-ngetukkan sebuah pulpen yang kubawa diatas buku yang tengah dibacanya. Dia terlihat mengernyit tidak suka.
I must be a fool who can’t helped.For you, I’m okay with being hurt._Hope Not_Jalanan sudah semakin sepi ketika jarum jam di tanganku menunjukkan tepat pukul 10 malam. Ponsel yang seharusnya ingin kugunakan untuk memesan taksi online malah mati karena kehabisan daya baterainya. Hingga aku memutuskan untuk mencari kendaraan umum agar bisa sampai ke rumah.Sebenarnya jarak antara Mall dengan rumahku hanya menempuh waktu satu jam jika menggunakan kendaraan. Namun tidak dengan berjalan kaki, apalagi dengan kedua tangan penuh paper bag seperti ini. Ditambah dengan tidak adanya satu pun taksi yang lewat. Aku tidak mungkin naik angkutan umum, aku tidak tahu mana yan
Today I smile.When I’m with you as if nothing happened, as if I’m doing fine._I Smile_“Semalam kamu dari mana, Kak?” Tanya Ayah padaku.Aku duduk tepat di kursi yang berhadapan dengan Ryan. Aku terkekeh melihat laki-laki itu masih menatapku kesal karena kemarin malam. Uhh.. Jika saja ini bukan di meja makan, aku pasti tengah mengejek laki-laki muda itu.“Malam mingguan.” Jawabku santai.“Sama siapa?!”Aku terkejut ketika mendengar mereka semua kompak bertanya dengan pertanyaan yang sama padaku. Aku mengerjap pelan ketika mereka semu
If it’s not you, I’m not._Gotta be You_Aku memperhatikan wajah serius Alvin ketika laki-laki itu memperhatikan kedua cincin dengan model yang berbeda di tangannya. Dengan alis yang tebal dan mata tajam yang mempesona serta rahang tegas yang semakin menambah sempurna wajahnya. Aku jatuh berkali-kali karenanya.Diam-diam aku tersenyum ketika dia memilih sepasang cincin yang telah kupilih sebelumnya. Kukira Alvin akan mengabaikan cincin pilihanku karena dirinya memiliki cincin pilihan sendiri, tetapi ternyata Alvin memilihnya, dia menyukai pilihanku.Alvin menoleh ke arahku yang duduk di sebelahnya. “Suka yang model itu, kan?” Tanyanya.Aku mengangguk penuh semang
Why I do still love you when you’re the reason for this pain?Why can’t I just say goodbye when all you do is make me cry?_I Need You_Seminggu sudah terlewati sejak terakhir kali aku bertemu Alvin ketika kami memutuskan untuk memesan cincin untuk pernikahan kami nanti. Tak terasa waktu pernikahan kami semakin dekat. Semua hal yang menyangkut pernikahan telah mulai dipersiapkan oleh kedua orang tuaku dan Alvin. Ibu dan Mama sangat antusias dengan pernikahan ini karena pernikahan ini adalah pernikahan pertama untuk keluargaku dan keluarganya.Sebenarnya Alvin memiliki seorang saudara laki-laki yang usianya terpaut 2 tahun lebih muda dibandingkan dirinya bernama Althaf. Laki-laki yang tak kalah tampan dari Alvin itu memiliki karakter yang sangat ja
Hari yang ditunggu pun tiba. Setelah memutuskan untuk mengurusnya dengan sabar dan menetapkan tanggal pernikahannya bertepatan dengan tanggal kelahiran sang mempelai wanita, Alvin akhirnya bisa bernapas lega dan tersenyum bahagia.Senyum lebar tak pernah lepas dari bibir pria itu yang tengah berdiri di depan kaca rias itu. Tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu melekat pas di tubuhnya. Sekali lagi Alvin tertawa untuk hal yang hanya dimengerti olehnya.“Bibir lo bisa robek kalo kebanyakan senyum, Bang.”Cibiran itu membuat Alvin menoleh menatap pintu masuk. Seorang pria yang usianya jauh dibawah dirinya melangkah mendekat padanya.“Gue ikhlas kakak gue nikah sama lo. Jaga dia baik-baik, sekali gue denger lo buat kakak gue nangis, saat itu juga gue buat lo ke IGD, Bang.”Alvin tertawa mendengar ancaman tersebut. “Pukulan lo sama sekali nggak sakit buat gue.”“Sialan lo, Bang!” Ryan menyentak Al
“Jadi kapan mau diresmiin?”“Tiga tahun lagi, Yah.”Alvin yang mendengar sontak melotot terkejut. “Lho kok gitu, Ra? Nggak bisa gitu dong!” Pria itu menyahut tak terima.Rania terkekeh, “Ya biar pas umurnya, kamu jadi 33 aku 32.”“Nggak sekalian aja nunggu 40 tahun.” Cibir Alvin.Ryan yang mendengarnya pun mendengus tak suka. “Apa sih lu, Bang. Suka-suka kakak gue lah, udah untung diterima lagi!”Semua yang awalnya tertawa dan tersenyum pun memilih terdiam, termasuk Alvin yang raut wajahnya berubah tak terbaca.“Mending diem kalo emang buka mulut cuma buat bi
“Aku... beneran masih suka sama kamu, Ra..” Alvin menarik napasnya, “Aku tau kamu nggak bisa terima aku lagi, aku cuma mau kamu tau kalo perasaan aku masih sama.”Suasana sore di salah satu taman di kota hujan itu menjadi saksi bagaimana Alvin mengungkapkan perasaannya dengan ikhlas dan tak menuntut balas.3 bulan sudah berlalu sejak usahanya untuk membuat Rania kembali bersamanya namun selama waktu itu juga ia sama sekali tak mendapat balasan.Dan Alvin mencoba menyerah untuk itu.Bukan, bukan karena ia pengecut, namun pria itu hanya berusaha untuk mengikhlaskan Rania jika memang tak ditakdirkan bersama.Sikap Rania yang terkadang berubah dingin setelah ramah padanya membuat Alvin ragu jika wanita itu memang masih mencintainya dan akan kembali padanya. Alvin mencoba untuk menekan perasaannya meski rasa kecewa mulai menyapanya.“Terus?”“Aku... mau coba ikhlasin kamu.” Alvin menunduk den
“Pagi, Ra..”Alvin menyapa Rania yang baru saja membuka pintu rumahnya dan siap untuk berangkat mengajar.Rania yang sudah biasa melihat kehadiran Alvin selama dua minggu sejak pria itu menjadi tamu di taman kanak-kanak hanya tersenyum kecil.“Kamu nggak jawab?”“Pagi, Mas.”Alvin tersenyum lebar. Meski Rania masih sering kali berbicar formal dengannya, namun harus ia akui dirinya begitu menyukai Rania yang memanggilnya dengan embel-embel di depan namanya.“Mau berangkat?”Rania mengangguk.“Aku anter, ya?”“Nggak usah, makasih. Saya biasa jalan kaki.”Alvin menggeleng, “Nggak, aku anterinnya juga jalan kaki kok. Aku lagi nggak bawa mobil.”Kening Rania mengernyit bingung.
Dua tahun kemudian... Jantung Alvin berdegup kencang, kedua telapak tangannya saling bertautan dengan keringat dingin. Hari ini, tepat hari pertama pria itu memutuskan untuk bertemu dengan Rania untuk pertama kalinya setelah pembatalan pernikahan mereka dua tahun yang lalu. Hari ini, ia memutuskan untuk menjadi seorang tamu di taman kanak-kanak tempat Rania mengajar. Padahal hanya dua tahun, namun mengapa rasa gugupnya melebihi saat ia memutuskan untuk melamar Rania untuk menjadi miliknya? Pria itu menghembuskan napasnya, dibukanya pintu mobil itu dan melangkah keluar meski ia tahu pagar sekolah bahkan masih dalam keadaan terkunci. Siapa yang peduli? Ia memang
Satu tahun kemudian...Alvin tersenyum kecil menatap seorang gadis dengan rambut panjangnya tengah mempraktikan gerakan-gerakan senam sederhana kepada anak-anak kecil di depannya.Pria yang menopang wajahnya dengan telapak tangan dan asik memperhatikan itu terkekeh melihat nafas gadis itu memburu sedikit lebih laju dari sebelumnya setelah melompat beberapa kali.“Seharusnya jangan terlalu diforsir, Ra.. kamu nggak biasa olahraga.” Ucapnya tak bertuan.Kedua matanya menatap sendu pada gadis yang mulai membubarkan barisan anak-anak kecil itu. Seandainya saja setahun yang lalu dia tidak mencari masalah, mungkin kini ia bisa melihat wajah itu dari jarak dekat. Bukan malah memilih bersembunyi dibalik kaca hitam mobil mili
Lagi, Alvin kembali ditampar oleh penyesalan saat tau Rania menutupi aibnya. Dia baru tahu jika Rania merahasiakan alasan dibalik pembatalan pernikahan mereka setelah dua bulan kejadian itu berlalu. Rania dan isi kepalanya. Hanya satu hal yang Alvin tak pernah bisa mengerti mengenai gadis itu. Terlalu abu-abu untuk dibacanya, pikiran Rania sangat sulit untuk ditebak. Kadang terlalu abstrak, dilain waktu bisa terlalu mudah ditebak, namun dilain kesempatan pula terlalu sulit dimengerti. Mereka saling mencintai, namun justru terpisah karena kebodohannya sendiri. Haruskah ia tertawa untuk kebodohannya yang berulang kali ini?
“Alvin... ini Mama..”Nyonya Pratama membuka pintu kamar sang putra sepelan mungkin. Beliau berjalan masuk dan menemukan kamar Alvin yang berantakan juga sang putra yang tengah duduk melamun di depan jendela kamarnya.“Alvin nggak mau terima apapun pemberian Amanda, Mama bisa keluar sekarang.” Pria itu berbicara setenang mungkin, kedua matanya memandang kosong halaman belakang rumahnya.Rania sudah pergi...Mungkin ia memang bisa melacak keberadaan gadis itu, namun Rania belum tentu mau menerimanya kembali. Ia sadar, teramat sadar jika Rania sudah terlalu banyak terluka selama hubungan mereka berjalan sebagai sepasang kekasih.Mungkin memang benar kata orang, sebaiknya memang tidak pernah melibatkan hati dalam pertemanan antara pria dan wanita. Namun ia terlalu egois, terlalu menginginkan gadis itu menjadi miliknya seorang diri.
Beberapa bulan setelah pembatalan...“Kamu mau kemana, Alvin?”Alvin menoleh, Nyonya Pratama menatap putra sulungnya dengan cemas. Setelah dua bulan lamanya putranya hanya bisa mengamuk di kamarnya, memilih tidak keluar dari rumah, ini adalah kali pertama ia melihat anaknya berpakaian rapi dan hendak pergi.Alvin menyeringai, “Having fun.”Nyonya Pratama bangkit dari duduknya dan menghampiri sang putra, wanita paruh baya itu mengelus rambut anaknya dengan kasih sayang. “Jangan berbuat macam-macam, Al.. Mama yakin Rania tetap bakal jadi istri kamu.” Nasihatnya.“Nggak bisa. Dia emang harus mati.” Alvin menggeleng, wajahnya berseri-seri kontras dengan perasaan marah yang tersirat di kedua matanya. “Dia yang bikin aku kehilangan Rania. Mata dibalas mata, Mama.”“Al.. dengar Mama.. ap