Not friends, not enemies.
Just strangers with his smile.
_The Strangers_
Aku menatap laju mobil Alvin yang semakin menjauh. Tadi pagi, laki-laki itu datang ke rumah dan mengatakan bahwa dia sendiri yang akan mengantarku ke kampus.
Jujur saja, aku senang mendengarnya tapi ternyata saat di jalan, dia mengeluh karena belum menemukan orang yang tepat untuk menjadi supirku. Aku tersenyum bodoh mendengarnya, kukira memang inisiatif dia untuk menjemputku.
“Hei.. ngeliatin siapa?”
Aku menoleh menatap laki-laki yang berada di sampingku. Tertegun sejenak melihat kehadirannya di sini. Sudah hampir 3 tahun aku berada di kampus ini, tapi aku tidak pernah melihatnya.
“Kenapa? Kaget, ya?” Tanyanya disertai cengiran khas.
Aku mengangguk menyetujui.
“Kamu kenapa disini? Kuliah disini, ya? Jurusan apa? Kali aja kita satu jurusan tapi beda kelas.” Tanyanya beruntun.
“Kamu ngapain?” Tanyaku balik.
Dia menghela nafas. “Kamu tuh ya, orang ditanya malah nanya balik.” Keluhnya.
Aku tersenyum. Masih memilih untuk menutup mulut sampai ia menjawab.
“Aku mahasiswa baru disini. Kamu ngapain?”
“Saya kerja di sini.” Jawabku. Aku pun berjalan meninggalkannya. Sebentar lagi aku ada kelas untuk mengajar dan aku tidak ingin terlambat untuk itu.
“Serius, Ran? Berarti kamu lebih tua dari aku dong?!” Teriak Aldo yang masih terdengar olehku.
Aku tersenyum. Tidak berniat berhenti untuk menjawab pertanyaannya. Bukankah sudah jelas jika usiaku memang lebih tua di bandingkan dirinya? Kira-kira, usiaku terpaut berapa tahun ya dengannya?
***
Tiga jam pun telah selesai, kini aku bisa sedikit bersantai sembari menunggu jam mengajar berikutnya. Aku melihat ponselku yang sedari tadi tidak pernah berhenti bergetar. Aku memang selalu membuat mode silent pada ponselku ketika aku tengah mengajar. Aku benci jika harus mengangkat panggilan telepon ketika tengah berada di kelas.
15 pesan dari ‘Let’s Get It’
Tumben sekali grup chat yang biasanya sepi kini aktif di jam sibuk. Grup itu hanya terdiri dari 3 orang, aku dan para sahabatku. Dan biasanya mereka tidak akan berkomentar apapun di dalamnya ketika hari sibuk. Grup itu hanya akan aktif pada malam hari serta weekend.
Dewi :
Ra.. gawat!
Raniaaaa.. jawab!!!
Masa gue liat cowok lo jalan sama cewek lain!
Sumpah deh!
Nissa :
Jangan sembarangan ngomong! Tuan wajah lempeng kayak dia
gak mungkin selingkuh!
Dewi :
Seriusss..Nissaa. Cowok Rania kan kerja di rs yang sama kayak gue
Masa gue salah liat sih.
Nissa :
Mungkin rekan kerjanya.
Atau pasiennya?
Dewi :
Heh.. dia itu dokter spesialis anak, mana mungkin pasiennya
mbak-mbak.
Nissa :
Ada buktinya gak? Gak ada, hoax!
Dewi :
Yahh.. gue lupa foto mereka.
Tapi gue berani sumpah, mereka keliatan akrab banget
Nissa :
Fix lo salah liat.
Mangkanya kacamata tuh rajin dibersihin biar gak burem!
Dewi :
Sialan lo!! Nanti kalo gue bersihin kacamata gue bilang lo deh!
Nissa :
Sipp..
Bu dosen sibuk. Jangan ganggu. @Rania
Dewi :
Bodo amat.
Aku tertegun. Benarkah orang yang dilihat Dewi itu Alvin? Tapi.. siapa perempuan yang bersamanya?
Sudah belasan tahun aku mengenal pria itu dan setahuku, Alvin bukanlah pria yang dapat akrab dengan orang lain kecuali jika orang itu memang telah cukup lama dikenalnya. Alvin berbeda dengan Aldo, pria itu tidak akan banyak bicara jika memang pembicaraannya tidak cukup penting. Karakternya hampir mirip denganku tapi dengan versi laki-laki.
Jika memang benar Alvin bersama perempuan lain, tidakkah laki-laki itu memikirkan perasaanku?
Sedikit tidak adil atas perlakuannya itu. Alvin selalu menjadi laki-laki yang acuh saat bersamaku walau aku tidak menampik bahwa masih ada sedikit perhatian yang dia berikan padaku. Namun benarkah orang yang dilihat Dewi itu Alvin, tunanganku?
Aku menghela nafas keras. Aku tidak boleh berfikir negatif tentang dirinya. Bagaimana pun aku belum tahu kebenarannya. Bisa saja itu hanya Ibu atau saudari perempuan dari pasiennya, kan?
Aku akan terus percaya padanya. Selama aku belum tahu kebenarannya, aku hanya harus selalu percaya padanya bahwa dia mencintaiku sama seperti yang sering diucapkannya.
“Ngelamun, Mbak?”
Aku menoleh menatap laki-laki berjaket abu-abu di sampingku, masih laki-laki yang sama seperti yang tadi pagi aku temui di depan gerbang. Aku heran, mengapa dia sering sekali muncul didepanku? Lalu menyapaku seolah-olah kami memang teman akrab.
“Mbak?” Tanyaku tak suka. Dia tersenyum dan duduk tepat di kursi di depanku. Aku memperhatikan dia yang menaruh tas ranselnya di atas meja kantin yang ku tempati.
“Aku rasa umur kamu jauh lebih tua dari aku. Gak enak kalo panggil nama doang tanpa embel-embel pembahasaan di depannya.” Jelasnya. Aku rasa aku tidak setua itu seperti gambarannya. Hah.. laki-laki ini benar-benar.
“Berapa umur kamu?” Tanyaku.
“Emm.. kalo gak salah, tahun ini kayaknya ke-25 deh.”
Kalo gak salah katanya? Usianya sendiri saja dia ragu? Dasar gila.
Dan aku terlihat lebih gila karena berteman dengannya. Ya Tuhan, aku baru sadar jika aku menjadi aneh sejak bertemu laki-laki ini.
“Hei? Halooo? Tuh kan ngelamun lagi. Seneng banget ngelamun sih, Mbaknya.” Tangannya melambai-lambai di depan wajahku.
Aku menepis telapak tangannya. “Berhenti panggil saya Mbak.” Desisku. Oh ayolah, usia kami hanya terpaut 2 tahun. Walau memang aku lebih tua, tetap saja aku tidak bisa mendengar dia memanggilku seperti itu.
Dia tertawa sembari menatap wajahku. Tolong katakan, apa ada yang lucu disini? Atau mungkin ada sesuatu di wajahku hingga laki-laki ini tertawa?
“Kamu lucu deh, Ran.” Jawabnya seolah dirinya dapat membaca pikiranku.
Aku mengernyit. Baru kali ini ada seseorang yang mengatakan aku lucu. Kebanyakan dari mereka selalu mengatakan bahwa aku tidak asik, terlalu serius, bahkan ada yang bilang aku datar. Tapi nyatanya laki-laki aneh yang sayangnya tak kalah tampan dari Alvin ini mengatakan aku orang yang lucu? Oh ya ampun, benar-benar suatu kejutan untukku.
Mau tak mau, aku ikut tersenyum lebar mendengarnya.
Raut wajahnya yang geli langsung berubah terkejut. “Kamu bisa senyum, Ran?! Ya ampun.. mimpi apa aku semalem sampai liat kamu senyum?” Tanyanya mendramatisir.
Aku mendelik. Baru tadi aku dibuatnya senang, sekarang dia malah membuat moodku anjlok.
“Kamu fikir saya manekin yang gak bisa senyum gitu?” Tanyaku sinis.
“Ohh.. ini kalimat terpanjang yang pernah aku dengar sejak kemarin kita ketemu.” Hebohnya. Kedua telapak tangannya bertepuk-tepuk kecil yang terlihat sangat kekanakan untukku.
Boleh aku mengumpat? Apa aku seburuk itu kemarin? Laki-laki ekspresif ini membuatku kehabisan kata-kata dengan tingkah ajaibnya.
Hening menghampiri kami. Aku lebih memilih menyibukkan diri dengan melihat hampa telepon genggamku. Berharap satu notifikasi pesan dari Alvin bertengger di layar ponsel.
“Jadi.. kamu mau dipanggil Ibu gitu?” Dia membuka suara kembali.
Aku melotot kearahnya. Jika panggilan ‘Mbak’ saja aku menolak apalagi ini?! Jelas, TIDAK!
Dia terkekeh. “Biasa aja matanya, nanti ngegelinding keluar gimana?” Candanya.
Aku memukul kepalanya menggunakan buku yang kubawa sebelumnya. “Jangan ngomong sembarangan! Emang mata saya bola yang bisa gelinding sesukanya?” Sahutku malas.
“Hehe.. maaf, becanda doang, Bu.”
Aku menghela nafas. “Saya sudah bilang panggil Rania aja. Gak usah pake embel-embel segala, saya gak nyaman dengarnya.”
“Tapi kamu dosen di sini, umur kamu juga lebih tua.” Kekehnya.
Oh ya ampun, bisakah dia tidak membahas mengenai usia? Kata ‘tua’ jadi terdengar aneh di telingaku sekarang ini.
“Saya bukan dosen kamu.” Sahutku asal.
“Satu..dua..tiga..empat.. empat kata doang? Kamu harus sering ngomong, gratis ini. Kenapa harus pelit ngomong coba?”
“Whatever.” Kesalku.
“Kamu dosen bahasa Inggris, ya? Itu buktinya ngomong Inggris.” Tanyanya polos.
Ingin rasanya aku tenggelamkan laki-laki ini di sungai A****n, lalu melihatnya merenggang nyawa karena dimakan hewan buas penghuni sungai itu. Hahaha... betapa senangnya aku jika hal tadi menjadi kenyataan!
“Hoohhoo... kamu ketawa sendiri?!”
___---___
“Rania jelek! Rania jelek! Rania jelek! Hhuuu....”
Rania, gadis berusia 8 tahun itu menangis dengan kedua telapak tangan menutupi wajahnya. Kunciran yang sudah susah payah dibuatkan Ibunya pagi tadi ditarik lepas hingga membuat rambutnya berantakan.
“Rania sombong... Masa mau mainnya sama Alvin doang!” Sahut temannya.
“Sok pinter!” Balas yang lain tak mau kalah.
Rania semakin terpojok. Jam istirahat membuat semua murid keluar dari kelas hingga meningggalkan dirinya sendirian bersama dengan ketiga temannya yang jahat. Tangisnya telah berhanti, namun dirinya memilih untuk terus menutupi wajahnya.
Merasa tak ada lagi suara, gadis gembul itu memberanikan diri untuk melihat keadaan sekitar. Tidak ada siapapun di kelas, hanya dirinya sendirian. Ia mengernyit heran, kemana perginya ketiga temannya itu?
“Ini..”
Gadis kecil itu terkejut saat sebuah es krim cokelat kesukaannya berada persis di depan matanya.
“Alvin?”
Bocah laki-laki itu tersenyum kemudian memilih duduk di samping si gadis. “Ini ambil, buat kamu.” Ia menyodorkan kembali es krim di tangan kirinya itu.
Tangan Rania terulur menerimanya. Dia tersenyum lantas membuka bungkus es krim itu dan mulai memakannya. Alvin pun melakukan hal yang sama.
“Jangan nangis.”
“Huh?”
Alvin menoleh kearahnya. “Kalo mereka nakal, laporin ke guru. Jangan nangis!” Ucapnya. Laki-laki itu menjilati es krim yang meleleh ke tangannya.
Rania melakukan yang sama, dia memakan es krimnya kembali sebelum menjawab ucapan teman beda kelasnya itu. “Nanti Rania malah makin dijauhin sama mereka. Rania pengen punya temen banyak kayak Alvin.”
“Kan Alvin temennya Rania.” Jawab si bocah laki-laki.
“Jangan gampang percaya sama orang asing kayak mereka. Mereka jahat, nanti kamu nangis lagi kayak tadi.” Pesan Alvin.
Rania mengangguk. “Iya. Rania mau main sama Alvin aja, mereka jahat. Nyebelin!”
Alvin, bocah laki-laki itu tersenyum membalas senyuman Rania. Sisa jam istirahat itu mereka habiskan untuk berada di dalam kelas berdua dan berbagi cerita bersama.
* * *
Jangan lupa tinggalin jejak kalian, yaa...
Biar Rri tau kalo cerita ini ada yang baca. ^^
It’s fine, you don’t have to say sorry.It’s enough just having you by myside.You don’t need to say it._Take You Home_Aku menatap gerbang kampusku yang sudah mulai sepi. Duduk sendirian di sebuah halte tanpa kegiatan berarti membuatku terlihat bodoh.Matahari pun sudah mulai tenggelam untuk berganti tempat dengan sang rembulan. Hari sudah kian sore tapi belum ada tanda-tanda Alvin akan datang menjemputku seperti yang dia katakan satu setengah jam yang lalu.Aku menghela nafas, semakin hari bersamanya semakin besar pula aku menyadari kebodohanku. Mengapa aku harus selalu menunggu jika bersama Alvin? Tidakkah laki-laki itu juga berpikir bahwa hubungan kami terlihat seperti dipaksakan?Padahal kenyataannya, sama sekali tidak ada paksaan diantara kami.Alvin, pria dengan sejuta pesona dan segudang misteri. Mengapa aku haru
Aku mencintaimu dan kau mencintaiku, itu yang kutahu.Namun kenyataan memang tak selalu berpihak.Aku... meragu._Ragu_Matahari sudah mulai naik ke peraduannya ketika aku baru saja menyelesaikan urusanku di kamar mandi. Hari ini tidaklah terlalu sibuk untukku jadi aku bisa sedikit lebih siang untuk pergi ke kampus.Lagipula tadi pagi sekali, Alvin memberiku kabar jika dirinya tidak bisa mengantar dan menjemputku seperti kemarin. Laki-laki itu bilang jika dia memiliki urusan penting yang harus segera ditanganinya.Aku menuruni anak tangga menuju ruang makan rumahku. Kamarku memang berada di lantai dua rumah ini sementara kamar Ibu dan Ayah berada di lanta
I said I was fine.But I never said it didn’t hurt._Liar_Matahari sudah menghilang dari tempatnya. Kini sang rembulan lah yang bersinar ketika aku baru saja sampai di rumahku. Setelah pertemuan dengan kedua sahabatku siang tadi, aku memutuskan berjalan-jalan sendirian tanpa kembali lagi ke kampus. Aku butuh ketenangan tanpa beban pikiran yang mengikat kepalaku.“Assalamualakum.. aku pulang.” Salamku. Aku mencium tangan kedua orang tuaku yang tengah berkumpul di ruang keluarga lalu berlalu menuju kamar tanpa berbicara apa pun lagi.“Kamu kenapa, Kak?” Tanya Ayah yang menyadari raut wajahku.Aku menggeleng. &ldq
Do you think about ‘us’?Cause I do, think about you._Do You Think About Us_Aku menghela nafas keras. Sejak satu jam yang lalu mereka sibuk merundingkan kapan tanggal yang menurut mereka ‘baik’ untuk pernikahanku dan Alvin tanpa bertanya padaku apakah aku bersedia menikah dengan laki-laki itu atau tidak.“Gimana, Rania? Setuju, kan?” Tanya Ibu laki-laki itu. Wajah berseri-serinya menatapku penuh harap. Kini semua mata tertuju padaku, menuntut jawaban yang aku sendiri saja tidak tahu apa pertanyaannya.Aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak mencintaiku, apalagi ketika aku tahu bahwa ada kemungkinan dia berselingkuh di belakangku. Aku ingin pernikahan kami
If you do it always becomes the right words. If you do I can never win.Every day, every night feel like a fool. You gotta know.Suddenly you become a different person._If You Do_Aku tertawa kecil ketika mataku tak sengaja menemukan laki-laki yang telah seminggu lebih tidak kulihat itu berada di perpustakaan. Agak sedikit tidak percaya bahwa laki-laki seperti dirinya kini tengah memegang sebuah buku dengan raut wajah yang kelewat serius, berbeda sekali dengan raut wajah ceria penuh cengirannya.Aku memutuskan mendekat kearahnya dan duduk didepannya. Dia masih belum menyadari kehadiranku hingga aku mengetuk-ngetukkan sebuah pulpen yang kubawa diatas buku yang tengah dibacanya. Dia terlihat mengernyit tidak suka.
I must be a fool who can’t helped.For you, I’m okay with being hurt._Hope Not_Jalanan sudah semakin sepi ketika jarum jam di tanganku menunjukkan tepat pukul 10 malam. Ponsel yang seharusnya ingin kugunakan untuk memesan taksi online malah mati karena kehabisan daya baterainya. Hingga aku memutuskan untuk mencari kendaraan umum agar bisa sampai ke rumah.Sebenarnya jarak antara Mall dengan rumahku hanya menempuh waktu satu jam jika menggunakan kendaraan. Namun tidak dengan berjalan kaki, apalagi dengan kedua tangan penuh paper bag seperti ini. Ditambah dengan tidak adanya satu pun taksi yang lewat. Aku tidak mungkin naik angkutan umum, aku tidak tahu mana yan
Today I smile.When I’m with you as if nothing happened, as if I’m doing fine._I Smile_“Semalam kamu dari mana, Kak?” Tanya Ayah padaku.Aku duduk tepat di kursi yang berhadapan dengan Ryan. Aku terkekeh melihat laki-laki itu masih menatapku kesal karena kemarin malam. Uhh.. Jika saja ini bukan di meja makan, aku pasti tengah mengejek laki-laki muda itu.“Malam mingguan.” Jawabku santai.“Sama siapa?!”Aku terkejut ketika mendengar mereka semua kompak bertanya dengan pertanyaan yang sama padaku. Aku mengerjap pelan ketika mereka semu
If it’s not you, I’m not._Gotta be You_Aku memperhatikan wajah serius Alvin ketika laki-laki itu memperhatikan kedua cincin dengan model yang berbeda di tangannya. Dengan alis yang tebal dan mata tajam yang mempesona serta rahang tegas yang semakin menambah sempurna wajahnya. Aku jatuh berkali-kali karenanya.Diam-diam aku tersenyum ketika dia memilih sepasang cincin yang telah kupilih sebelumnya. Kukira Alvin akan mengabaikan cincin pilihanku karena dirinya memiliki cincin pilihan sendiri, tetapi ternyata Alvin memilihnya, dia menyukai pilihanku.Alvin menoleh ke arahku yang duduk di sebelahnya. “Suka yang model itu, kan?” Tanyanya.Aku mengangguk penuh semang
Hari yang ditunggu pun tiba. Setelah memutuskan untuk mengurusnya dengan sabar dan menetapkan tanggal pernikahannya bertepatan dengan tanggal kelahiran sang mempelai wanita, Alvin akhirnya bisa bernapas lega dan tersenyum bahagia.Senyum lebar tak pernah lepas dari bibir pria itu yang tengah berdiri di depan kaca rias itu. Tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu melekat pas di tubuhnya. Sekali lagi Alvin tertawa untuk hal yang hanya dimengerti olehnya.“Bibir lo bisa robek kalo kebanyakan senyum, Bang.”Cibiran itu membuat Alvin menoleh menatap pintu masuk. Seorang pria yang usianya jauh dibawah dirinya melangkah mendekat padanya.“Gue ikhlas kakak gue nikah sama lo. Jaga dia baik-baik, sekali gue denger lo buat kakak gue nangis, saat itu juga gue buat lo ke IGD, Bang.”Alvin tertawa mendengar ancaman tersebut. “Pukulan lo sama sekali nggak sakit buat gue.”“Sialan lo, Bang!” Ryan menyentak Al
“Jadi kapan mau diresmiin?”“Tiga tahun lagi, Yah.”Alvin yang mendengar sontak melotot terkejut. “Lho kok gitu, Ra? Nggak bisa gitu dong!” Pria itu menyahut tak terima.Rania terkekeh, “Ya biar pas umurnya, kamu jadi 33 aku 32.”“Nggak sekalian aja nunggu 40 tahun.” Cibir Alvin.Ryan yang mendengarnya pun mendengus tak suka. “Apa sih lu, Bang. Suka-suka kakak gue lah, udah untung diterima lagi!”Semua yang awalnya tertawa dan tersenyum pun memilih terdiam, termasuk Alvin yang raut wajahnya berubah tak terbaca.“Mending diem kalo emang buka mulut cuma buat bi
“Aku... beneran masih suka sama kamu, Ra..” Alvin menarik napasnya, “Aku tau kamu nggak bisa terima aku lagi, aku cuma mau kamu tau kalo perasaan aku masih sama.”Suasana sore di salah satu taman di kota hujan itu menjadi saksi bagaimana Alvin mengungkapkan perasaannya dengan ikhlas dan tak menuntut balas.3 bulan sudah berlalu sejak usahanya untuk membuat Rania kembali bersamanya namun selama waktu itu juga ia sama sekali tak mendapat balasan.Dan Alvin mencoba menyerah untuk itu.Bukan, bukan karena ia pengecut, namun pria itu hanya berusaha untuk mengikhlaskan Rania jika memang tak ditakdirkan bersama.Sikap Rania yang terkadang berubah dingin setelah ramah padanya membuat Alvin ragu jika wanita itu memang masih mencintainya dan akan kembali padanya. Alvin mencoba untuk menekan perasaannya meski rasa kecewa mulai menyapanya.“Terus?”“Aku... mau coba ikhlasin kamu.” Alvin menunduk den
“Pagi, Ra..”Alvin menyapa Rania yang baru saja membuka pintu rumahnya dan siap untuk berangkat mengajar.Rania yang sudah biasa melihat kehadiran Alvin selama dua minggu sejak pria itu menjadi tamu di taman kanak-kanak hanya tersenyum kecil.“Kamu nggak jawab?”“Pagi, Mas.”Alvin tersenyum lebar. Meski Rania masih sering kali berbicar formal dengannya, namun harus ia akui dirinya begitu menyukai Rania yang memanggilnya dengan embel-embel di depan namanya.“Mau berangkat?”Rania mengangguk.“Aku anter, ya?”“Nggak usah, makasih. Saya biasa jalan kaki.”Alvin menggeleng, “Nggak, aku anterinnya juga jalan kaki kok. Aku lagi nggak bawa mobil.”Kening Rania mengernyit bingung.
Dua tahun kemudian... Jantung Alvin berdegup kencang, kedua telapak tangannya saling bertautan dengan keringat dingin. Hari ini, tepat hari pertama pria itu memutuskan untuk bertemu dengan Rania untuk pertama kalinya setelah pembatalan pernikahan mereka dua tahun yang lalu. Hari ini, ia memutuskan untuk menjadi seorang tamu di taman kanak-kanak tempat Rania mengajar. Padahal hanya dua tahun, namun mengapa rasa gugupnya melebihi saat ia memutuskan untuk melamar Rania untuk menjadi miliknya? Pria itu menghembuskan napasnya, dibukanya pintu mobil itu dan melangkah keluar meski ia tahu pagar sekolah bahkan masih dalam keadaan terkunci. Siapa yang peduli? Ia memang
Satu tahun kemudian...Alvin tersenyum kecil menatap seorang gadis dengan rambut panjangnya tengah mempraktikan gerakan-gerakan senam sederhana kepada anak-anak kecil di depannya.Pria yang menopang wajahnya dengan telapak tangan dan asik memperhatikan itu terkekeh melihat nafas gadis itu memburu sedikit lebih laju dari sebelumnya setelah melompat beberapa kali.“Seharusnya jangan terlalu diforsir, Ra.. kamu nggak biasa olahraga.” Ucapnya tak bertuan.Kedua matanya menatap sendu pada gadis yang mulai membubarkan barisan anak-anak kecil itu. Seandainya saja setahun yang lalu dia tidak mencari masalah, mungkin kini ia bisa melihat wajah itu dari jarak dekat. Bukan malah memilih bersembunyi dibalik kaca hitam mobil mili
Lagi, Alvin kembali ditampar oleh penyesalan saat tau Rania menutupi aibnya. Dia baru tahu jika Rania merahasiakan alasan dibalik pembatalan pernikahan mereka setelah dua bulan kejadian itu berlalu. Rania dan isi kepalanya. Hanya satu hal yang Alvin tak pernah bisa mengerti mengenai gadis itu. Terlalu abu-abu untuk dibacanya, pikiran Rania sangat sulit untuk ditebak. Kadang terlalu abstrak, dilain waktu bisa terlalu mudah ditebak, namun dilain kesempatan pula terlalu sulit dimengerti. Mereka saling mencintai, namun justru terpisah karena kebodohannya sendiri. Haruskah ia tertawa untuk kebodohannya yang berulang kali ini?
“Alvin... ini Mama..”Nyonya Pratama membuka pintu kamar sang putra sepelan mungkin. Beliau berjalan masuk dan menemukan kamar Alvin yang berantakan juga sang putra yang tengah duduk melamun di depan jendela kamarnya.“Alvin nggak mau terima apapun pemberian Amanda, Mama bisa keluar sekarang.” Pria itu berbicara setenang mungkin, kedua matanya memandang kosong halaman belakang rumahnya.Rania sudah pergi...Mungkin ia memang bisa melacak keberadaan gadis itu, namun Rania belum tentu mau menerimanya kembali. Ia sadar, teramat sadar jika Rania sudah terlalu banyak terluka selama hubungan mereka berjalan sebagai sepasang kekasih.Mungkin memang benar kata orang, sebaiknya memang tidak pernah melibatkan hati dalam pertemanan antara pria dan wanita. Namun ia terlalu egois, terlalu menginginkan gadis itu menjadi miliknya seorang diri.
Beberapa bulan setelah pembatalan...“Kamu mau kemana, Alvin?”Alvin menoleh, Nyonya Pratama menatap putra sulungnya dengan cemas. Setelah dua bulan lamanya putranya hanya bisa mengamuk di kamarnya, memilih tidak keluar dari rumah, ini adalah kali pertama ia melihat anaknya berpakaian rapi dan hendak pergi.Alvin menyeringai, “Having fun.”Nyonya Pratama bangkit dari duduknya dan menghampiri sang putra, wanita paruh baya itu mengelus rambut anaknya dengan kasih sayang. “Jangan berbuat macam-macam, Al.. Mama yakin Rania tetap bakal jadi istri kamu.” Nasihatnya.“Nggak bisa. Dia emang harus mati.” Alvin menggeleng, wajahnya berseri-seri kontras dengan perasaan marah yang tersirat di kedua matanya. “Dia yang bikin aku kehilangan Rania. Mata dibalas mata, Mama.”“Al.. dengar Mama.. ap