Seseorang yang menurunkan egonya untuk peduli selalu jauh lebih menarik dibandingkan seseorang yang berusaha terlihat sempurna.
_Peduli_
Riuh suara hujan benar-benar terdengar jelas ditelingaku. Aku menatap tetesan air hujan yang turun dari balik dinding kaca cafe tempatku menunggu seseorang untuk datang. Semua orang di luar terlihat kalang kabut ketika hujan langsung turun dengan derasnya.
Beberapa pengendara motor memilih turun demi memasang jas hujan di tubuhnya, namun sebagian lagi memilih untuk mempercepat laju kendaraannya dan menerjang hujan.
Aku tersenyum ketika melihat seorang Bapak diseberang jalan sana memaki pengendara mobil yang lewat. Meski tidak jelas apa yang dia bicarakan, namun ekspresinya tertangkap dengan jelas bahwa Bapak itu kesal karena genangan air menyimprat kearahnya dan motornya yang tengah meneduh.
Di samping si Bapak itu, duduk satu keluarga kecil yang terdiri dari Ibu dan dua anaknya terdiam menata kosong tetesan air hjan yang jatuh. Mereka yang sering disebut “Orang Jalanan” oleh kebanyakan orang itu tengah menatap hujan dengan sedih.
Aku berdecak, jika saja aku tidak takut untuk menyeberang jalan, mungkin mereka sudah duduk di dalam cafe ini bersamaku. Aku benar-benar bersimpati melihat mereka.
Tidak, aku hanya bersimpati melihat kedua anak itu.
Mungkin untuk sebagian orang yang baru mengenalku, aku bukanlah gadis yang menyenangkan dan penuh dengan senyuman.
Pembawaanku sangat tenang dan cenderung sulit untuk berekspresi. Ucapanku amat sangat sarkas kepada orang-orang yang tidak kusukai, tapi sebaliknya, aku akan sangat peduli dan penuh kasih sayang kepada orang-orang yang kuanggap baik untukku.
Aku menghela nafas, kembali melihat arloji yang ada di tanganku untuk kesekian kalinya. Sudah hampir 2 jam aku menunggu kedatangannya.
Apa dia sesibuk itu hingga tidak bisa menemuiku?
Padahal dirinya sendiri yang membuat janji. Atau..., hujan menjadi penyebab keterlambatannya ini? Mungkin, aku memang harus lebih bersabar. Tapi biarku beritahu, Aku Benci Menunggu.
Aku menatap secangkir kopi yang telah mendingin dimakan waktu.
Haruskah aku memesan sesuatu kembali untuk menjadi temanku di meja ini?
Aku menatap ke sekeliling cafe, ahh.. tadi, 2 jam yang lalu, cafe tidak seramai ini. Hujan datang membawa maksud tersendiri bagi setiap orang. Ada yang mensyukuri kedatangannya dan tak jarang ada yang memaki kehadirannya.
“Ice Coffe satu dan ini satu.” Ucapku sembari menunjuk salah satu gambar keik yang ada di buku menu.
Aku tidak tahu namanya dan aku tidak terlalu menyukai jenis makanan manis itu. Aku hanya menginginkannya untuk menjadi penghias meja dan teman di sela waktuku menunggu.
“Ada lagi?” Tanya pelayan itu. Aku menggeleng dan dia pun pergi berlalu dari hadapanku.
Sekarang, apa yang harus kulakukan? Aku benar-benar mati kebosanan di tempat ini. Aku kurang suka memainkan ponsel seperti orang kebanyakan, lalu aku harus apa?
Aku merogoh ponsel yang tersimpan didalam tas kecil yang kubawa. Lebih baik memainkan benda ini daripada terlihat menyedihkan dengan hanya memandangi hujan yang turun.
Aku berharap, ada satu notifikasi yang berasal darinya tentang kejelasaan pertemuan kami ini. Jadi aku bisa tahu, harus pulang atau.. tetap menunggu.
Tapi harapan memang hanya sekedar harapan, layar ponselku tidak menunjukkan notifikasi apapun.
Aku tidak ingin menghubunginya, biarkan dia saja yang menghubungiku. Aku hanya ingin melihat keseriusan dia terhadap diriku dan hubungan kami. Apa dia tidak sepeduli itu padaku? Apa hanya aku yang menatap serius hubungan kami yang telah berjalan hampir 2 tahun ini? Lalu untuk apa dia memberikan cincin yang dia bilang sebagai tanda ‘pertunangan’ kami?
Benar-benar pria menyebalkan yang sayangnya, aku cintai.
Aku sadar, cinta itu membuat sebagian orang menjadi bodoh jika mereka salah mengartikannya. Aku termasuk salah satu korban dari hal itu.
Rela menunggu hampir belasan tahun hanya demi satu orang laki-laki yang aku sendiri saja meragu bahwa dia menatap kearahku.
Aku benar-benar bodoh, tapi aku tidak tahu bagaimana cara menyudahi kebodohanku ini.
“Boleh numpang duduk di sini?” Pertanyaan seseorang membuyarkan lamunanku yang ternyata hanya menatap layar ponsel sedari tadi. Bahkan kedua pesananku sudah tersaji di depan meja entah sejak kapan.
Aku menatap laki-laki itu tanpa senyuman. Kenapa harus di sini jika masih banyak kursi yang lain?
“Semua kursi udah keisi, di sini doang yang kosong.” Jelasnya seakan membaca pikiranku.
Aku mengangguk dan dia pun duduk di kursi di depanku.
11.35 A.M
Bahkan jam pun sebentar lagi menunjukkan waktu makan siang. Kemana dia sebenarnya? Apa dia lupa jika dirinya sudah membuat janji denganku?
Ya Tuhan.. ternyata mencintai seseorang bisa semenyakitkan ini. Jika bisa memilih, aku tidak ingin rasa ini dalam hidupku.
“Hujan kayak gini minum es, gak takut sakit, Mbak?” Tanya laki-laki itu memulai . percakapan denganku.
“Jangan panggil Mbak, saya bukan Mbak kamu.” Aku lebih tertarik membahas hal tersebut dibanding menjawab pertanyaannya.
Aku lebih suka orang-orang memanggil namaku tanpa embel-embel pembahasaan di depannya, karena mereka membuatku tidak nyaman mendengarnya.
Dia tertawa kecil. Dia pria yang manis, pikirku terpesona.
“Oke, oke.. sorry, jadi.. kita kenalan?” Ajaknya sambil mengulurkan tangan kanannya..
Aku menyambutnya, “Rania.”
Anggap aku gila, biasanya aku tidak semudah ini untuk memperkenalkan nama kepada orang asing. Jika kedua sahabatku ada disini, mereka pasti akan membullyku dan mengatakan yang tidak-tidak.
“Aldo.” Jawabnya.
Kami terdiam. Aku sibuk memperhatikan hujan yang turun semakin deras, sementara laki-laki itu, aku tidak tahu apa yang dia lakukan. Aku tidak berani melirik kearahnya.
“Lagi nunggu hujan berhenti atau nunggu orang?” Tanyanya lagi.
Baru saja aku ingin menjawab, suara dering ponsel membuatku mengurungkan niatku sebelumnya.
Alvin is Calling...
Akhirnya seseorang yang kutunggu hampir 2 jam lebih lamanya menghubungiku. Aku tidak ingin tersenyum mengingat ulahnya yang membuat diriku menunggu lama, namun nyatanya bibirku malah tersenyum lebar karena senang.
Semoga kabar baik yang akan kudengar.
“Halo...”
“Halo, Ra..”
“Kamu jadi dateng, kan?” Tanyaku tanpa basa-basi.
“Ya ampun, Ra.. kamu masih nungguin aku? Maaf ya Ra, aku gak bisa dateng..”
“Kenapa?” Tanyaku kecewa.
“Ada urusan disini, maaf ya..”
Aku terdiam. Semudah itu dia bicara setelah hampir 2 jam lebih aku menunggu kedatangannya. Dia berhasil membuat mood-ku jatuh hingga ke dasar.
“Ra? Kamu masih disitu, kan?”
Aku mengangguk. “Iya.”
“Aku suruh supir ya buat jemput kamu?”
“Gak usah, aku bisa pulang sendiri.”
“Bener nih?”
“Iya.”
“Yaudah, langsung pulang, ya.. Jangan kemana-mana. Nanti malem aku main ke rumah kamu.”
“Iya.”
“See you, Ra..”
“Hmm..”
Aku meletakan kembali ponselku di atas meja dan menatap layarnya dengan miris. Ternyata baginya, aku memang tidak seberharga itu untuk dipedulikan.
Hah.. Haruskah aku kecewa dengan hasil yang kudapat setelah belasan tahun menunggu?
“Nunggu orang, ya?” Tebaknya.
Aku menoleh. Ternyata aku melupakan kehadiran seseorang yang semeja denganku.
“Tadinya. Sekarang nunggu hujan reda.” Aku memandang air hujan yang turun dengan deras, lalu menghembuskan nafas pelan. Mungkin butuh waktu yang lama hingga hujannya berhenti.
“Berarti kita jodoh.”
Aku mengernyit mendengarnya. Aku menoleh melihat laki-laki yang tengah tersenyum lebar itu.
“Aku juga lagi nunggu hujan reda kok, kita nunggu bareng aja biar gak terlalu boring.” Ajaknya.
Aku tersenyum. Sepertinya tidak buruk.
___---___
“Hai.. Nama aku Alvin.” Ucapnya memperkenalkan namanya kepada seorang gadis kecil di depannya. Tangan kanannya terulur kearah gadis itu dengan tangan kiri yang masih menggenggam sebuah gelang tali berhias seekor kartu kucing yang berwarna warni.
Gadis kecil itu terdiam menatap wajah si bocah laki-laki yang terasa asing baginya. Sudah sebulan lebih dia pindah kesini, namun baru kali ini ia melihat wajah si bocah itu.
“Gelangnya..” Ucap gadis itu pelan.
Bocah laki-laki bernama Alvin itu melihat gelang tali digenggaman tangannya, lalu mengulurkan tangannya untuk memberikan gelang itu.
“Eeittss..! Kalo mau gelang ini, ayo kita kenalan dulu!” Ucapnya sembari menarik kembali tangannya.
Gadis kecil itu menatap sebal bocah di depannya. Wajah gembul dengan rambut sebahu berponi itu cemberut, membuatnya terlihat semakin lucu di mata sang bocah laki-laki.
“Ngapain nolongin kalo ujung-ujungnya pamrih?” Ucap si gadis kecil sebal.
Bocah laki-laki itu terkekeh lalu menyengir lebar. “Cuma mau tau nama, gak boleh, ya?” Tanyanya kembali dengan uluran tangan. Berharap si gadis kecil itu menjawab pertanyaannya.
“Gak!” Sentak si gadis kecil dengan galak.
Alvin mengejar sang gadis dengan panik ketika sepasang kaki mungil itu berlari meninggalkannya.
“Tunggu!” Cegahnya. Tangan kanannya memegang erat tangan si gadis kecil yang manis itu.
“Iihh.. Apalagi sih? Kembaliin gelangnya, kalo gak saya laporin guru!” Ancam si gadis.
Alvin melongo di tempatnya. Bukannya takut, tawa lebar justru keluar dari mulutnya setelah mendengar serentetan kalimat itu.
Saya katanya? Yang benar saja! Mereka masih duduk di bangku sekolah dasar dan si gadis justru berbicara begitu? Seformal itu?
Bahkan kemarin dia masih menyaksikan teman sekelasnya yang mengompol, dan sekarang dia bertemu dengan anak kecil ‘sedewasa’ ini?
Tawanya kembali meledak. Yang benar saja..
Dunia benar-benar ajaib!
“Kenapa ketawa?! Gak lucu tau nggak!”
Kedua telapak tangannya terulur mencubit pipi si gadis gembul itu dengan gemas.
“Lucu tau..” Ucapnya.
Gadis gembul itu menyentak telapak tangan si bocah itu dengan kasar.
“Ngapain pegang-pegang pipi Rania?!” Ucapnya semakin galak.
Alvin terkekeh. “Jadi nama kamu Rania, ya? Ini gelangnya aku balikin.”
Gadis kecil bernama Rania itu langsung menyambar gelangnya dengan cepat. Wajahnya yang semula cemberut kini tersenyum lebar sembari memakai kembali gelang kesayangannya. Gelang pemberian dari sepupunya yang sudah lama pergi meninggalkannya.
Senyum menular di wajah Alvin. “Jadi sekarang kita temenan, ya?” Tanya bocah tampan itu. Matanya berbinar penuh harap jika si gadis dengan pipi gembul itu mau menjadi temannya.
Rania tersenyum sinis. “Gak!” Ucapnya lalu pergi meninggalkan Alvin si bocah tampan yang tengah terkekeh sambil memandangi kepergian si gadis gembul itu.
Lihat saja nanti, mereka pasti akan menjadi teman. Batinnya tak peduli dengan penolakan.
***
I Love You.Are you listening? Only you._Always_Aku menatap rumah di depanku dengan heran, tidak biasanya rumah yang kutempati terlihat sesepi ini. Kemana semua orang? Kurasa ada cukup banyak orang yang tinggal didalamnya, tapi kenapa mereka semua tidak memberi kabar apapun kepadaku? Lalu apa gunanya ponsel canggih yang mereka miliki?“Pak.. yang lain kemana?” Tanyaku pada Pak Harto, selaku satpam yang bekerja di rumah. Dia yang membukakan gerbang untukku tadi.“Ibu sama Bapak pergi, Ra. Mereka bilang mau ke Bogor, Eyang sakit.” Jelas pria berusia setengah abad itu.Ahh.. pantas saja tidak ada mobil di garasi. Eyang
Not friends, not enemies.Just strangers with his smile._The Strangers_Aku menatap laju mobil Alvin yang semakin menjauh. Tadi pagi, laki-laki itu datang ke rumah dan mengatakan bahwa dia sendiri yang akan mengantarku ke kampus.Jujur saja, aku senang mendengarnya tapi ternyata saat di jalan, dia mengeluh karena belum menemukan orang yang tepat untuk menjadi supirku. Aku tersenyum bodoh mendengarnya, kukira memang inisiatif dia untuk menjemputku.“Hei.. ngeliatin siapa?”Aku menoleh menatap laki-laki yang berada di sampingku. Tertegun sejenak melihat kehadirannya di sini. Sudah hampir 3 tahun aku berada di kampus ini, tapi aku
It’s fine, you don’t have to say sorry.It’s enough just having you by myside.You don’t need to say it._Take You Home_Aku menatap gerbang kampusku yang sudah mulai sepi. Duduk sendirian di sebuah halte tanpa kegiatan berarti membuatku terlihat bodoh.Matahari pun sudah mulai tenggelam untuk berganti tempat dengan sang rembulan. Hari sudah kian sore tapi belum ada tanda-tanda Alvin akan datang menjemputku seperti yang dia katakan satu setengah jam yang lalu.Aku menghela nafas, semakin hari bersamanya semakin besar pula aku menyadari kebodohanku. Mengapa aku harus selalu menunggu jika bersama Alvin? Tidakkah laki-laki itu juga berpikir bahwa hubungan kami terlihat seperti dipaksakan?Padahal kenyataannya, sama sekali tidak ada paksaan diantara kami.Alvin, pria dengan sejuta pesona dan segudang misteri. Mengapa aku haru
Aku mencintaimu dan kau mencintaiku, itu yang kutahu.Namun kenyataan memang tak selalu berpihak.Aku... meragu._Ragu_Matahari sudah mulai naik ke peraduannya ketika aku baru saja menyelesaikan urusanku di kamar mandi. Hari ini tidaklah terlalu sibuk untukku jadi aku bisa sedikit lebih siang untuk pergi ke kampus.Lagipula tadi pagi sekali, Alvin memberiku kabar jika dirinya tidak bisa mengantar dan menjemputku seperti kemarin. Laki-laki itu bilang jika dia memiliki urusan penting yang harus segera ditanganinya.Aku menuruni anak tangga menuju ruang makan rumahku. Kamarku memang berada di lantai dua rumah ini sementara kamar Ibu dan Ayah berada di lanta
I said I was fine.But I never said it didn’t hurt._Liar_Matahari sudah menghilang dari tempatnya. Kini sang rembulan lah yang bersinar ketika aku baru saja sampai di rumahku. Setelah pertemuan dengan kedua sahabatku siang tadi, aku memutuskan berjalan-jalan sendirian tanpa kembali lagi ke kampus. Aku butuh ketenangan tanpa beban pikiran yang mengikat kepalaku.“Assalamualakum.. aku pulang.” Salamku. Aku mencium tangan kedua orang tuaku yang tengah berkumpul di ruang keluarga lalu berlalu menuju kamar tanpa berbicara apa pun lagi.“Kamu kenapa, Kak?” Tanya Ayah yang menyadari raut wajahku.Aku menggeleng. &ldq
Do you think about ‘us’?Cause I do, think about you._Do You Think About Us_Aku menghela nafas keras. Sejak satu jam yang lalu mereka sibuk merundingkan kapan tanggal yang menurut mereka ‘baik’ untuk pernikahanku dan Alvin tanpa bertanya padaku apakah aku bersedia menikah dengan laki-laki itu atau tidak.“Gimana, Rania? Setuju, kan?” Tanya Ibu laki-laki itu. Wajah berseri-serinya menatapku penuh harap. Kini semua mata tertuju padaku, menuntut jawaban yang aku sendiri saja tidak tahu apa pertanyaannya.Aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak mencintaiku, apalagi ketika aku tahu bahwa ada kemungkinan dia berselingkuh di belakangku. Aku ingin pernikahan kami
If you do it always becomes the right words. If you do I can never win.Every day, every night feel like a fool. You gotta know.Suddenly you become a different person._If You Do_Aku tertawa kecil ketika mataku tak sengaja menemukan laki-laki yang telah seminggu lebih tidak kulihat itu berada di perpustakaan. Agak sedikit tidak percaya bahwa laki-laki seperti dirinya kini tengah memegang sebuah buku dengan raut wajah yang kelewat serius, berbeda sekali dengan raut wajah ceria penuh cengirannya.Aku memutuskan mendekat kearahnya dan duduk didepannya. Dia masih belum menyadari kehadiranku hingga aku mengetuk-ngetukkan sebuah pulpen yang kubawa diatas buku yang tengah dibacanya. Dia terlihat mengernyit tidak suka.
I must be a fool who can’t helped.For you, I’m okay with being hurt._Hope Not_Jalanan sudah semakin sepi ketika jarum jam di tanganku menunjukkan tepat pukul 10 malam. Ponsel yang seharusnya ingin kugunakan untuk memesan taksi online malah mati karena kehabisan daya baterainya. Hingga aku memutuskan untuk mencari kendaraan umum agar bisa sampai ke rumah.Sebenarnya jarak antara Mall dengan rumahku hanya menempuh waktu satu jam jika menggunakan kendaraan. Namun tidak dengan berjalan kaki, apalagi dengan kedua tangan penuh paper bag seperti ini. Ditambah dengan tidak adanya satu pun taksi yang lewat. Aku tidak mungkin naik angkutan umum, aku tidak tahu mana yan
Hari yang ditunggu pun tiba. Setelah memutuskan untuk mengurusnya dengan sabar dan menetapkan tanggal pernikahannya bertepatan dengan tanggal kelahiran sang mempelai wanita, Alvin akhirnya bisa bernapas lega dan tersenyum bahagia.Senyum lebar tak pernah lepas dari bibir pria itu yang tengah berdiri di depan kaca rias itu. Tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu melekat pas di tubuhnya. Sekali lagi Alvin tertawa untuk hal yang hanya dimengerti olehnya.“Bibir lo bisa robek kalo kebanyakan senyum, Bang.”Cibiran itu membuat Alvin menoleh menatap pintu masuk. Seorang pria yang usianya jauh dibawah dirinya melangkah mendekat padanya.“Gue ikhlas kakak gue nikah sama lo. Jaga dia baik-baik, sekali gue denger lo buat kakak gue nangis, saat itu juga gue buat lo ke IGD, Bang.”Alvin tertawa mendengar ancaman tersebut. “Pukulan lo sama sekali nggak sakit buat gue.”“Sialan lo, Bang!” Ryan menyentak Al
“Jadi kapan mau diresmiin?”“Tiga tahun lagi, Yah.”Alvin yang mendengar sontak melotot terkejut. “Lho kok gitu, Ra? Nggak bisa gitu dong!” Pria itu menyahut tak terima.Rania terkekeh, “Ya biar pas umurnya, kamu jadi 33 aku 32.”“Nggak sekalian aja nunggu 40 tahun.” Cibir Alvin.Ryan yang mendengarnya pun mendengus tak suka. “Apa sih lu, Bang. Suka-suka kakak gue lah, udah untung diterima lagi!”Semua yang awalnya tertawa dan tersenyum pun memilih terdiam, termasuk Alvin yang raut wajahnya berubah tak terbaca.“Mending diem kalo emang buka mulut cuma buat bi
“Aku... beneran masih suka sama kamu, Ra..” Alvin menarik napasnya, “Aku tau kamu nggak bisa terima aku lagi, aku cuma mau kamu tau kalo perasaan aku masih sama.”Suasana sore di salah satu taman di kota hujan itu menjadi saksi bagaimana Alvin mengungkapkan perasaannya dengan ikhlas dan tak menuntut balas.3 bulan sudah berlalu sejak usahanya untuk membuat Rania kembali bersamanya namun selama waktu itu juga ia sama sekali tak mendapat balasan.Dan Alvin mencoba menyerah untuk itu.Bukan, bukan karena ia pengecut, namun pria itu hanya berusaha untuk mengikhlaskan Rania jika memang tak ditakdirkan bersama.Sikap Rania yang terkadang berubah dingin setelah ramah padanya membuat Alvin ragu jika wanita itu memang masih mencintainya dan akan kembali padanya. Alvin mencoba untuk menekan perasaannya meski rasa kecewa mulai menyapanya.“Terus?”“Aku... mau coba ikhlasin kamu.” Alvin menunduk den
“Pagi, Ra..”Alvin menyapa Rania yang baru saja membuka pintu rumahnya dan siap untuk berangkat mengajar.Rania yang sudah biasa melihat kehadiran Alvin selama dua minggu sejak pria itu menjadi tamu di taman kanak-kanak hanya tersenyum kecil.“Kamu nggak jawab?”“Pagi, Mas.”Alvin tersenyum lebar. Meski Rania masih sering kali berbicar formal dengannya, namun harus ia akui dirinya begitu menyukai Rania yang memanggilnya dengan embel-embel di depan namanya.“Mau berangkat?”Rania mengangguk.“Aku anter, ya?”“Nggak usah, makasih. Saya biasa jalan kaki.”Alvin menggeleng, “Nggak, aku anterinnya juga jalan kaki kok. Aku lagi nggak bawa mobil.”Kening Rania mengernyit bingung.
Dua tahun kemudian... Jantung Alvin berdegup kencang, kedua telapak tangannya saling bertautan dengan keringat dingin. Hari ini, tepat hari pertama pria itu memutuskan untuk bertemu dengan Rania untuk pertama kalinya setelah pembatalan pernikahan mereka dua tahun yang lalu. Hari ini, ia memutuskan untuk menjadi seorang tamu di taman kanak-kanak tempat Rania mengajar. Padahal hanya dua tahun, namun mengapa rasa gugupnya melebihi saat ia memutuskan untuk melamar Rania untuk menjadi miliknya? Pria itu menghembuskan napasnya, dibukanya pintu mobil itu dan melangkah keluar meski ia tahu pagar sekolah bahkan masih dalam keadaan terkunci. Siapa yang peduli? Ia memang
Satu tahun kemudian...Alvin tersenyum kecil menatap seorang gadis dengan rambut panjangnya tengah mempraktikan gerakan-gerakan senam sederhana kepada anak-anak kecil di depannya.Pria yang menopang wajahnya dengan telapak tangan dan asik memperhatikan itu terkekeh melihat nafas gadis itu memburu sedikit lebih laju dari sebelumnya setelah melompat beberapa kali.“Seharusnya jangan terlalu diforsir, Ra.. kamu nggak biasa olahraga.” Ucapnya tak bertuan.Kedua matanya menatap sendu pada gadis yang mulai membubarkan barisan anak-anak kecil itu. Seandainya saja setahun yang lalu dia tidak mencari masalah, mungkin kini ia bisa melihat wajah itu dari jarak dekat. Bukan malah memilih bersembunyi dibalik kaca hitam mobil mili
Lagi, Alvin kembali ditampar oleh penyesalan saat tau Rania menutupi aibnya. Dia baru tahu jika Rania merahasiakan alasan dibalik pembatalan pernikahan mereka setelah dua bulan kejadian itu berlalu. Rania dan isi kepalanya. Hanya satu hal yang Alvin tak pernah bisa mengerti mengenai gadis itu. Terlalu abu-abu untuk dibacanya, pikiran Rania sangat sulit untuk ditebak. Kadang terlalu abstrak, dilain waktu bisa terlalu mudah ditebak, namun dilain kesempatan pula terlalu sulit dimengerti. Mereka saling mencintai, namun justru terpisah karena kebodohannya sendiri. Haruskah ia tertawa untuk kebodohannya yang berulang kali ini?
“Alvin... ini Mama..”Nyonya Pratama membuka pintu kamar sang putra sepelan mungkin. Beliau berjalan masuk dan menemukan kamar Alvin yang berantakan juga sang putra yang tengah duduk melamun di depan jendela kamarnya.“Alvin nggak mau terima apapun pemberian Amanda, Mama bisa keluar sekarang.” Pria itu berbicara setenang mungkin, kedua matanya memandang kosong halaman belakang rumahnya.Rania sudah pergi...Mungkin ia memang bisa melacak keberadaan gadis itu, namun Rania belum tentu mau menerimanya kembali. Ia sadar, teramat sadar jika Rania sudah terlalu banyak terluka selama hubungan mereka berjalan sebagai sepasang kekasih.Mungkin memang benar kata orang, sebaiknya memang tidak pernah melibatkan hati dalam pertemanan antara pria dan wanita. Namun ia terlalu egois, terlalu menginginkan gadis itu menjadi miliknya seorang diri.
Beberapa bulan setelah pembatalan...“Kamu mau kemana, Alvin?”Alvin menoleh, Nyonya Pratama menatap putra sulungnya dengan cemas. Setelah dua bulan lamanya putranya hanya bisa mengamuk di kamarnya, memilih tidak keluar dari rumah, ini adalah kali pertama ia melihat anaknya berpakaian rapi dan hendak pergi.Alvin menyeringai, “Having fun.”Nyonya Pratama bangkit dari duduknya dan menghampiri sang putra, wanita paruh baya itu mengelus rambut anaknya dengan kasih sayang. “Jangan berbuat macam-macam, Al.. Mama yakin Rania tetap bakal jadi istri kamu.” Nasihatnya.“Nggak bisa. Dia emang harus mati.” Alvin menggeleng, wajahnya berseri-seri kontras dengan perasaan marah yang tersirat di kedua matanya. “Dia yang bikin aku kehilangan Rania. Mata dibalas mata, Mama.”“Al.. dengar Mama.. ap