Share

Part 3 Leluasanya

last update Last Updated: 2022-04-12 23:53:28

 

"Tapi, Bu, aku belum butuh karyawan baru, dan rumahku juga tak terlalu kotor hingga repot minta bantuan untuk bersih-bersih." 

 

Kutolak permintaan ibu mertua dan kakak ipar secara halus. Bukan tanpa sebab, hanya ingin melihat sejauh mana usaha mereka. Dari cara Tuti menyapa dan leluasa ingin ke dapurku, ini sudah menandakan ia inginkan sesuatu dari rumah ini. Dan mereka mempelancar usaha Tuti.

 

"Sarah, kamu tak usah bayar Tuti, ia hanya numpang berteduh hingga suaminya datang menjeput," ucap ibu kukuh agar aku menerima Tuti.

 

Suami yang mana? Suamiku juga? Dasar pembohong!

 

"Iya, Sar, lagian biaya makan Tuti tidak begitu banyak, aku rasa tidak memberatkan kok." Mbak Imar juga berusaha meyakinkanku.

 

"Mm tapi, kok tidak tinggal di rumah Ibu saja, lagian aku jarang di rumah karena sibuk di sebelah, nggak enak kan saat hari minggu ia berdua dengan mas Feri di rumah, kalau Naswa Ibu kan tau sendiri, ia sibuk di kamarnya."

 

"Kamu kan tau kamar di rumah Ibu hanya dua, lagian Itu mah gampang, Sar, hari minggu Ibu akan ke sini jagain, lagian jangan mikir macam-macam sebelum ada bukti," bela ibu lancar. Hebat sekali sandiwaranya, berbohong tanpa ragu dan bahkan orang lain melihat tak akan percaya dia sedang berbohong.

 

"Iya, Sar, lagian selama ini apa kamu punya bukti Feri macam-macam?" 

 

"Belum sih, Mbak, tapi jika itu terbukti ...." Kata-kataku sengaja digantung sambil menatap mereka. 

 

"Ji-jika terbukti gimana maksudnya, Sar?" Ibu mertua tergagap. Bahkan matanya berpaling seketika.

 

"Jika terbukti, ya ...." Aku diam lagi tak melanjutkan ucapan.

 

"Udah jangan mikir macam-macam, Sar, sekarang apakah bisa Tuti tinggal di rumah ini untuk sementara?" Mbak Imar berusaha mengalihkan pembicaraan.

 

Anak dan ibu sama saja. Seandainya mas Haris yang punya istri lain, apa ia masih bisa bilang 'tidak memberatkan'

 

"Gimana, ya, Bu, Mbak, sebaiknya kutanyakan Mas Feri dulu." Kupancing lagi mereka dengan membawa nama mas Feri.

 

"Feri pasti setuju kok, lah yang minta Ibu, Sar," jawab mbak Imar seperti sudah tahu keputusan suamiku. Tentu ia tahu karena yang diminta tinggal adalah istri baru adiknya.

 

"Ini teh hangat untuk Ibu dan teh es untuk Mbak Imar." Tuti meletakan dua gelas teh tersebut.

 

"Dan ini untuk Mbak Sarah." Tuti juga meletakan segelas teh es di meja depanku. Nampan masih dipegangnya.

 

"Maaf, Tut, aku tak suka teh es, biar kamu aja yang minum," tolakku.

 

"Oh, maaf, Mbak, aku tidak tahu," jawab Tuti.

 

"Tapi karena ini bikinanmu, tetap aku minum."

 

"Ah Mbak, bikin aku nggak enak aja, lagian Mbak suka minum apa? Biar kubuatkan."

 

"Kopi panas sedikit gula, tapi nggak usah, lagian tadi aku juga sudah minum kopi."

 

Kulirik Naswa. Ia duduk di samping neneknya sambil memperhatikan Tuti. Terlihat matanya membenci semua yang datang. Dan aku juga merasakan itu.

 

"Mbak mau makan opor ayam? Aku bisa bikinin yang paling enak, Ibu bilang, Mbak suka opor ayam, ya?" 

 

Tuti sok akrab. Seolah ia bersikap sudah lama mengenalku. Dikiranya aku tak tahu siapa dia sebenarnya. Tapi justru ini membuatku semakin bersemangat membalas mereka. 

 

"Iya, aku suka opor ayam, ternyata Ibu perhatian juga dengan makanan kesukaanku," jawabku sambil melihat ke ibu.

 

"Apa pun yang kamu suka, Ibu sudah hapal, Sar, lagian Feri juga sering cerita, itulah kenapa Ibu bawa Tuti ke sini, ia juga bisa setrika baju kalian, karena Ibu tau kamu pasti sibuk mengurus mini market."

 

Wow, jadi ibu mertua menceritakan banyak tentang aku ke menantu barunya. Apa ia mau menggantikan posisiku dengan Tuti di rumah ini? Jangan harap! Justru kalian dan lelaki berstatus suamiku, akan kusingkirkan setelah rasa sakitku terbalaskan.

 

"Ibu sangat perhatian sekali, makasi ya, Bu."

 

"Kamu menantu kesayangan Ibu, Sar," timpa mbak Imar memuji.

 

"Itu karena aku satu-satunya menantu wanita, iya kan, Bu?" Kutatap ibu mertua.

 

"Oh, i-iya, Sar, tentu," jawab ibu tergagap sambil melirik Tuti. Tuti menunduk dengan ekspresi wajah terdiam, mungkin juga merasa tak enak mendengarnya. Atau mungkin lagi ia cemburu.

 

"Naswa, siapkan kamar untuk Nenek, Tante Imar dan Tante Tuti," titahku ke Naswa.

 

"Iya, Ma, tapi berapa kamar?" Naswa bangkit dari duduknya.

 

"Dua, Nas, satu kamar Nenek dan Tante Imar, sementara Tuti tidur di kamar terpisah aja," jawab ibu sebelum aku menjawab.

 

"Tuti tidur bersama Naswa aja, Bu, lagian Naswa tidur sendiri," sanggahku.

 

"Sebaiknya aku tidur sendiri aja, Mbak Sarah, kebiasaanku terbangun malam hari dan takutnya mengganggu Naswa," tolak Tuti. Aku tahu ia pasti ingin mengajak mas Feri ke kamarnya. Mereka pengantin baru pasti sudah tak sabar ingin  merasakan malam pertama. Tapi ..., aku penasaran dengan apa yang mereka lakukan nanti malam. 

 

'Oke Tuti, kuberi yang kamu mau,' bathinku.

 

"Dua kamar, Nak, seperti perkataan Nenekmu." Akhirnya kusetujui keingin ibu mertua dan Tuti.

 

Tuti langsung tersenyum menanggapi.

 

***

 

Baru satu jam Tuti di rumah ini, ia sudah seperti tinggal di rumah sendiri. Tanpa disuruh, ia menyapu dan mengepel lantai. Tak peduli jika sudah larut malam. 

 

"Loh, kamu mencuci baju kotorku, Tut?" tanyaku melihatnya berdiri di samping mesin cuci. Keranjang baju kotor yang biasa kuletakan di dudut ruang, terlihat kosong. Rencana baju itu subuh besok kucuci.

 

"Iya, Mbak, kata Ibu, Mbak sibuk siang hari, pasti capek, jadi kalau kucuci sekarang, dijemur pun nggak masalah."

 

"Tapi, dalam keranjang itu banyak pakaian dalam suamiku loh," ucapku memancing Tuti.

 

"Nggak masalah, Mbak, oh ya, Mbak mau aku bikinin sesuatu?"

 

Wow, Tuti pintar juga mengambil hatiku. Seandainya aku tak melihatnya menikah dengan mas Feri, mungkin sudah kuanggap ia seperti adikku. 

 

"Kamu rajin dan baik," ucapku memuji sambil menyentuh lengannya.

 

'Oke Tuti, lanjutkan ambisimu,' bathinku. Kupasang senyum manis menanggapinya.

 

"Biasa aja kok, Mbak, aku sudah biasa mengerjakan ini dulu di rumah majikanku."

 

"Oh ya? Jadi dulu kerja ya?"

 

"Iya, Mbak, tuntutan ekonomi."

 

Pembantu? Pantas Tuti mau diperintah seperti pembantu mengerjakan semua pekerjaan rumah. Tapi kenapa ibu mertua menerimanya sebagai menantu, kalau alasan uang sudah pasti tak mungkin karena ia tak berduit. Keturunan laki-laki? Itu hanya alasan yang tidak mensyukuri, menurutku.

 

Kubiarkan ia mengerjakan itu. Lalu aku beranjak ke ruang tengah, duduk depan televisi, sendiri menunggu mas Feri pulang. Sementara ibu mertua, Mbak Imar dan Naswa sudah tidur.

 

"Kok Mas Feri belum pulang?" gumamku sambil melihat jam dinding, menujukan jam sebelas lewat dua puluh lima menit. Tak sabaran ingin melihat reaksi pasangan sejoli ini berpura-pura di depanku. 

 

Tok tok tok!

 

Tok tok tok tok!

 

"Pasti Mas Feri," ucapku ingin melangkah ke pintu.

 

Akan tetapi, Tuti sudah berlari terlebih dulu ke pintu sambil berucap, "Biar aku yang buka,  Mbak istirahat aja."

 

Ia berlari tanpa mempedulikan apa yang akan kujawab. Seperti terburu-buru menunggu sesuatu, seperti itulah tingkahnya. 

 

'Kalian kira bisa bermesraan di rumahku!' bathinku.

 

Aku tetap melangkah ke pintu.

 

"Mas mau kubikini kopi?" terdengar suara Tuti bertanya. Suaranya pelan tapi aku bisa mendengar karena aku tak jauh dari belakangnya. 

 

"Sarah mana?" tanya mas Feri sambil melepaskan sepatu. Matanya tertuju ke kakinya hinga tak menyadari kehadiranku.

 

"Ada di." Tuti memalingkan muka ke belakang sambil menujuk, seketika ia langsung terdiam melihatku melangkah mendekatinya.

 

"Ada tamu, Mbak," ucap Tuti menujuk mas Feri.

 

Aku diam tidak menanggapi. Wajah sepasang pengantin baru ini terlihat tegang melihat kehadiranku.

 

"Sarah, mm ini siapa?" Mas Feri menunjuk Tuti seolah terkejut dan belum kenal. Tuti langsung menjauhinya seperti takut ketahuan.

 

"Ada apa?" tanyaku santai.

 

"Suami baru pulang kok nanya itu, Sar, biasanya cium tanganku dulu." 

 

"Penting ya?" 

 

"Oh maaf, Mbak, aku kira tamu," sahut Tuti, tentu pura-pura terkejut.

 

Jika ada audisi pemilihan pemain senetron ikan terbang, aku yakin mereka lulus. Ektingnya luar biasa.

 

Kuabaikan permintaan maaf itu.

 

"Maaf, Mas, kamu dari luar, sebaiknya cuci tangan dulu, banyak virus bertebaran di luar sana, aku takut ketularan," jawabku menolak mencium tanganya.

 

"Tumben kamu begini?" Mas Feri mendekat, lalu merangkul pundakku mesra.

 

Tuti melihat adegan ini. Ia terpana sesaat lalu berlalu ke belakang. Mungkin ia cemburu. Mas Feri bersikap mesra lebih dari seperti biasa. 

 

"Tumben kamu mesra depan orang, Mas?"

 

"Biar yang lain lihat betapa aku beruntung punya istri sepertimu, Sar."

 

Apakah ini ciri-ciri jika suami punya wanita lain? Sikap berubah mesra seperti menutupi perbuatanya. 

 

"Kenapa pulang larut, Mas?"

 

"Tadi banyak kerjaan, Sar, pokoknya minggu besok kita pergi jalan-jalan sesuai kemauanmu dan Naswa."

 

"Oke."

 

"Oh ya, yang tadi siapa?" 

 

'Jangan pura-pura nggak tau, Mas, baru tadi pagi kamu menikahinya,' bathinku.

 

"Hey! Kok diam? Yang tadi siapa?" tanya mas Feri lagi karena belum kujawab.

 

"Masak kamu nggak tau, Mas?" Kutatap dalam mas Feri.

 

"Ma-maksudmu?" Ia tergagap dan memalingkan mata.

 

"Masak kamu nggak kenal dengan Tuti?" Mataku masih belum beralih darinya. Kunikmati setiap sudut ekspresi wajahnya.

 

"Oh, Tuti namanya?"

 

"Benaran kamu nggak tau?" 

 

"Ya mana aku tau, Sar, jumpa aja baru kali ini," sanggah mas Feri, kali ini ucapanya lancar.

 

"Mari kukenalkan," kutarik tangan mas Feri.

 

Kami menuju ruang tengah. Dan di meja sudah tersedia secangkir kopi panas. Aku tahu itu minuman yang dibuat Tuti untuk mas Feri.

 

"Tuti! Tuti!" panggilku sambil duduk di samping mas Feri.

 

"Iya, Mbak," sahut Tuti tergopoh-gopoh menghampiri kami.

 

Kini ia sudah berdiri depan kami.

 

"Tau Mas Feri bukan?" Kutunjuk mas Feri.

 

"A-apa, Mbak?" Tuti tergagap, matanya membulat.

 

"Santai aja, Tut, kok tegang gitu mukanya, perkenalkan ini Suamiku."

 

"Oh iya, Tuti, Mas." Tuti mengulurkan tangan pada mas Feri.

 

"Feri," ucap mas Feri menyambut tangan Tuti.

 

Tidak terlihat mencurigakan. Mereka berekting seperti baru kenal. 

 

"Tuti ini siapa, Sar?" tanya mas Feri sambil mengambil secangkir kopi yang sudah tersedia.

 

"Jangan pura-pura nggak tau, Mas," jawabku tersenyum sinis. 

 

"Aw!" Cangkir langsung terlepas dari tangan mas Feri, hingga kopi panas tertumpah mengenai celananya.

 

Bersambung ....

 

 

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Jee Esmael
Luarbiasa actingnya
goodnovel comment avatar
Embah Wid
makin menarik......
goodnovel comment avatar
Koki Garasi
tidak bosan membacanya,sangat menginspirasi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 4 Pura-pura Mimpi

    "Ini lapnya, Mas." Tuti langsung menyodorkan tisu yang diambil dari meja. Padahal meja itu di depanku dan jaraknya lebih dekat. Tapi aku tetap duduk bersandar dan kali ini menyilangkan kaki."Makasih, Tut," ucap mas Feri memerima tisu itu."Kamu kenapa sih, Mas?""Tanganku licin, Sar.""Kirain terkejut dengar ucapanku.""Kalau gitu aku permisi ke kamar dulu, Mbak, Mas,' ucap Tuti seperti menghindar."Tunggu, Tut!""Iya, Mbak?" ucap Tuti membalikan badan."Ini kopi kamu yang bikin?""Iya, Mbak, ini untuk Suami Mbak," jawab Tuti melihat sekilas ke mas Feri."Kamu tau

    Last Updated : 2022-04-12
  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 5 Maaf, Tak Sengaja Lagi

    "Maaf, Mas, aku kan nggak tau, scara mimpi loh." Aku memasang muka seperti merasa bersalah dan kasihan melihatnya. Tepatnya di hatiku bilang 'rasain lo! emang enak' Astagfirullah'alaziim, maafkan hamba jadi istri yang durhaka ya Allah. Aamiin. "Aduh! Sakit, Sar, untung hidungku tidak patah." Mas Feri memegang hidungnya dengan ekspresi muka mengernyit kesakitan. Akan tetapi dalam hatiku ada sebuah penyesalan besar. Bahkan penyesalan ini tak ada gunanya karena acara sudah selesai. Penyesalanku yaitu 'Kok tinjuku kurang kuat ya? Belum puas rasanya sebelum hidungmu patah, Mas'. Andaikan waktu bisa diputar, pasti kupasang tenaga super meninju hidungnya, bukan hanya hidung tapi juga antenanya. Ah, sudah lah, masih banyak waktu kok. Mudah-mudahan cita-cita ini tercapai. "Mari kita obatin, darah mengalir di bibirmu, Mas." "Ambil kotak P3k, Sar, cepat! sakit nih." "Iya iya," jawabku lalu beranjak ke luar. Huh! Menyusahkan saja. Mana mataku mulai ngantuk. Terpaksa ke ruang tengah menga

    Last Updated : 2022-04-12
  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 6 Aksi Bar bar

    "Sarah! Aduh! Ia kenapa?" Ibu mertua terlihat panik berdiri memegang pipinya yang bekas kutampar. Kasihan juga, ia seumuran almarhum ibuku. Tapi rasa sakit dengan apa yang kualami menghilangkan rasa hormatku padanya."Ha ha ha, mmmmhg ha ha ha." Aku tertawa besar sambil melototi mereka satu persatu. Rasanya ingin kupatahkan tangan mereka satu persatu.Mereka mempermainkan kehidupan rumah tanggaku. Aku tak terima! Padahal aku sudah berkorban banyak. Aku kesal! Aku marah!Rasa amarahku melihat mereka, membuat tanganku ingin mengambil sapu yang tak jauh dari sofa karena tadi Tuti sedang menyapu. Seperti seseorang lepas kendali, kupukuli mereka satu persatu."Ugh!" Kupukul punggung mas Feri dengan tangkai sapu, lalu ...."Uhg!" Tangkai sapu melayang k

    Last Updated : 2022-04-12
  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 7 Untuk Adik Ipar

    "Mama sudah sadar, Mama sudah sadar, Nek," ucap Naswa terdengar senang. Mataku kubuka, lalu kupejam lagi mata sambil memegang kepala dengan ekspresi mengernyit, layaknya orang pusing. Lama-lama jadi ngantuk. Memukul mereka seperti olah raga hingga keringatku bercucuran. Seru-seru capek tapi ada leganya."Benaran, Nas? Nenek takut Mamamu kambuh lagi," jawab ibu mertua terdengar khawatir."Iya, Nek," jawab Naswa sambil mencubit pelan tanganku bentuk memberi kode."Naswa ...." Kali ini aku bersuara loyo, dan mata dibuka sambil melihat sekitar, harus terlihat kebingungan seperti orang baru sadar dari pingsan."Mama, Alhamdulillah Mama sadar, aku sangat khawatir." Loh, Naswa sejak kapan pintar akting.Maafkan hamba yang memberi pelajaran tak baik untuk putri

    Last Updated : 2022-04-12
  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 8 Antara Sadar dan Tidak

    Aku terus tancap gas. Kulihat di kaca spion motor, mbak Imur berlari mengejar. Ia susah payah karena rok panjangnya sempit dan jalan pun becek."Sarah! Tunggu aku! Sarah!" teriak mbak Imur yang terdengar. Lokasi sepi pasti suaranya masih terdengar meskipun jarak sedikit jauh.Teringat ia membicarakan aku bersama Tuti tadi saat makan. Di rumah dan menyantap makananku. Begitu leluasa tanpa bersalah, kata-kata meremehkan sehingga ia bersekongkol dengan istri baru suamiku. Memperlihatkan, ia bukan dipihakku.Apa kurangku sebagai kakak ipar? Bahkan uang pinjaman sering tak diganti dan dengan mudah kupinjamkan lagi. Bukan itu saja, motor dan modal usaha warung suaminya, semua uangnya dariku. Aku berharap punya keluarga banyak. Jika aku berbagi bukan suatu masalah. Tapi, jika kebaikan dimanfaatkan dan dibalas kejahatan,

    Last Updated : 2022-04-12
  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 9 Sengaja Lupa

    Tancap gas, kujauhi lokasi itu. Kulihat di kaca spion, mbak Imur masih kokoh memegang ranting sambil menatapku pergi. Ia terlihat siap siaga dengan tampang berantakan. Tentunya berlumur air genangan tanah. Menjijikan tapi lucu.Belum begitu jauh. Niatku meninggalkanya urung. Ini jalan sepi dan tak ada trsportasi umum. Jangankan trasportasi umum, kendaraan pribadi saja tidak terlihat.Kubelokan motor ingin menjemput mbak Imur.Ia berjalan menuju jalan besar. Sendal hanya sebelah tertempel dikakinya karena satu sudah kulempar ke semak-semak. Dalam ia melangkah, bisa kusaksikan tetesan air tanah dari bajunya dan yang bagian lengan sudah robek. Terlihat menyedihkan sekali, tapi aku suka. Astagfirullah'alaziim.Suara motor mendekat, hingga mbak Imur tersadar aku mendekatinya. Seketika ia langsu

    Last Updated : 2022-04-13
  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 10 Sedikit Pembalasan

    Aku terdiam sejenak. Berpikir alasan apa yang akan dijawab. Mbak Imur masih kukuh agar tak ikut kubonceng pulang tadinya. Jika ditelaah, jadi ini bukan seratus persen salahku.'Oke, Sarah, siap-siap bersikap pura-pura,' bathinku mensugesti diri."Loh, Mbak Imur belum pulang ya?" Pura-pura terkejut tentunya."Belum, dari tadi Ibu tidak melihat dia, Sar," jawab Ibu. Lalu ibu melihat ke Tuti. "Tut, benaran Imur belum pulang?" tanya ibu mertua."Belum, Bu, tadi pergi ma Mbak Sarah ke dukun buat ngobatin kesurupan, tapi setelah itu nggak kelihatan lagi."Waduh, si Tuti saksi mata nih. Aku pasti disalahkan."Astaga! Aku lupa, kirain Mbak Imur sudah pulang, tadi saat sedang perjalanan ke rumah dukun, Mbak Imur m

    Last Updated : 2022-04-13
  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 11 Rencana

    ACARA DI RUMAH IBUMU#pura_pura_tak_tahuPart 11Kenapa aku harus pura-pura tak tahu? Itu karena, jika aku skak langsung mereka, pasti aku kalah. Mas Feri akan mengusahakan semua cara mengambil harta yang tercantum namanya. Tentu kekuatan keluarga dan istri barunya. Intinya, aku harus pura-pura hingga setelah kuambil alih semuanya, setelah itu mereka kulempar dari rumahku.Sebuah usaha ekstra karena harus memikirkan matang-matang. Jika lengah sedikit saja, hartaku pasti beralih. Aku juga harus banyak bertanya karena kurang mengerti hukum pernikahan jika terjadi perceraian, tentu masalah harta intinya.***Tidak ada suara ketukan pintu dari dalam. Tuti sembunyi di toilet dan sampai pagi hingga ada seseorang yang masuk menggunakan toilet.Tersenyum puas, da

    Last Updated : 2022-04-14

Latest chapter

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 47 Tamat(Kata-kata itu Doa)

    ❤️TAMAT❤️ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahu( Kata-kata itu do'a )Aku tersentak saat mas Feri tiba-tiba berada di depan pintu. Dan ini bertepatan waktu aku dilamar mas Adam.Beberapa bulan ini, mas Adam mendekatiku. Awalnya ia hanya mengantarkan putrinya berkunjung. Tapi lama kelamaan kami berkomunikasi nyambung dan aku pun merasa nyaman. Setelah masa iddah berakhir, baru secara jelas mengatakan ingin menikahiku."Sebentar kupanggilkan Naswa," ucapku bangkit dari duduk. Belum juga memberi jawaban ke mas Adam."Mau gabung di sini, Pak Feri?" tanya mas Adam ramah."Tunggu, Sarah! Bisakah aku bicara dengan Pak Adam?" pinta mas Feri. Tawaran mas Adam diabaikan sejenak."Tapi, bu

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 46 Terlambat Menyadari

    ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahuPart 46 ( Terlambat Menyadari )Pov FeriHidupku kacau. Sarah sama sekali tidak menginginkanku kembali ke sisinya. Tatapan matanya tak pernah seperti dulu lagi. Bahkan yang kurasakan ia memendam benci.Aku salah. Kuabaikan luka perasaanya. Kukira ia seorang wanita yang bisa kuperdaya demi nafsu duniaku. Justru aku terperangkap dalam masalah yang dibuat. Inilah karma."Pa, sebaiknya Papa temui Pak Adam. Ia terluka ulah Nenek.""Ya, Nak. Bisa Papa minta alamatnya?""Bentar aku Wa aja." Lalu Naswa mulai memencet ponselnya."Nanti kunci pintu ya, Nas," ucap Sarah sambil membuka pintu."Sarah."&

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 45 Mungkin Ini Jalannya

    ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahuPart 45 ( Mungkin ini jalannya )"Bu, tolong lepaskan. Ibu bisa menghabiskan hidup dipenjara jika membunuh seseorang. Sadarlah, Bu. Jika ada masalah mari bicarakan baik-baik." Lelaki itu berusaha menenangkan mantan ibu mertuaku agar aku tak disakiti. Meski tak yakin apakah ia berhasil. Yang menodongku seperti orang stres dengan banyak tekanan. Ini contoh manusia tak kuat iman. Umur sudah tua tapi tak menyadari kesalahan. Astagfirullah'alaziim, maafkan dengan penilaian buruk hamba ya Allah ...."Apa urusanmu! Ia mantu tak tau diri, putraku ditolak rujuk, Imur dipenjara dan Imar, Imar di rumah sakit jiwa. Apa kamu merasakan yang kurasakan? Oooh, tentu kamu tak mersakan karna mereka anakku. Lah kamu siapa!"Astaga, aku tak menyangka ibu mas Feri seperti ini.

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 44 Tersangka

    ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahuPart 44 ( Tersangka )Aku diminta ke kantor polisi. Melihat siapa dalang dari kejahatan ini. Sudah tiga kali percobaan menabrak Naswa dan tiba-tiba Boy datang menyelamatkan. Dan ternyata firasatku benar. Ini semua sebuah taktik yang dicontoh dari adegan sinetron.Apakah ini perbuatan mas Feri dan ibunya? Atau Mas Haris dengan Tuti, atau lagi bisa jadi mbak Imar dan mas Feri. Aaah! Semuanya mencurigakan. Karena satu tujuan mereka, yaitu menguasai putriku hingga hartanya bisa beralih tangan."Ma, mungkin saja ini perbuatan pelakor itu dan Om Haris. Karena mereka sudah selingkuh bertahun-tahun," ucap Naswa sambil menyetir mobil."Entahlah, Mama pun bingung. Mereka semua tertuduh di pikiran Mama.""Padahal Mama sudah banyak

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 43 Pembalasan Imar

    ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahuPart 43 ( Pembalasan Imar )Pov Feri"Dasar wanita berhati batu! Luarnya aja kelihatan baik, tapi ia sama sekali tak punya perasaan!" Amarah ibu saat kami baru menginjakkan kaki di rumah."Aku harus gimana? Mana sanggup aku bayar cicilannya, Bu." rengek mbak Imar dalam rasa merasa bersalah."Itu makanya jadi perempuan ya harus teliti. Masak menggunakan rekening suamimu! Kukira kamu pintar, tapi bodoh!""Ibu cuma bisa menyalahkanku saja. Aku juga nggak yakin Mas Haris selingkuh mmm." Tangis Imar pecah lagi."Uh! Dasar bodoh!""Sudah sudah! Aku pusing nih. Sekarang ke mana kita bisa cari Haris? Mbak pasti tau tempat tujuannya."

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 42 Karma Itu Ada

    ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahuPart 42 ( Karma itu ada )"Rumahku ..., aaa hidup kita hancur, Fer. Rumah kita akan disita. Kita tinggal di mana, aaa." Ibunya meraung duduk dilantai teras."Tenang, Bu. Tenang." Mas Feri berusaha menenangkan ibunya meskipun percuma."Ini salah kamu, Mar! Kamu meminjam sertifikat itu untuk suamimu!" Sambil menangis, ibu mantan mertua menunjuk mbak Imar."Aku juga nggak tau ia selingkuh, kenapa Ibu salahkan aku! Lagian Ibu juga rela meminjamkannya. Kalau tak suka kenapa pinjamin." Mbak Imar tak tinggal diam."Seharusnya kemarin kamu segera ke leasing, sudah jelas Haris selingkuh dan diusir, kamu hanya bisa mewek tanpa bertindak!""Aku kalut, Bu. Aku masih shock dan rasanya tak percaya

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 41 Pengakuan

    ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahuPart 41 ( Pengakuan )Tok tok tok!Pintu diketuk lagi."Ya tunggu sebentar!" sahutku dari dalam sambil melangkah ke pintu.Pintu kubuka.Terdiam menatapnya. Mata berkaca, menatapku sendu. Ternyata bukan kelaki aneh itu. Dan ...."Sarah, tolong maafkan aku." Ia memelukku dengan penuh haru. Pelukannya tak kubalas. Kata maaf dan penyesalan terlihat dari sorot matanya. Tapi untuk apa lagi kata maaf ini. Ia sudah merasakan apa yang kurasakan. Suaminya juga selingkuh."Oke, aku sudah memaafkanmu, Mbak. Sekarang biarkan aku dengan kehidupanku. Kita bukan keluarga lagi, tapi mantan keluarga," ucapku tegas.Pelukan

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 40 Tamu Tak Diundang

    ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahuPart 40 ( Tamu Tak diundang )Hidup itu terasa indah jika dinikmati tanpa ada gangguan. Meski hanya berdua di rumah ini, tak mengurangi kesepian dengan status janda. Untung punya usaha minimarket hingga setiap hari bisa berjumpa orang banyak."Ma, ini kopinya." Naswa membawa nampan berisikan secangkir kopi dan sepiring goreng pisang, lalu meletakkanya di meja. Putriku tahu saja kesukaanku."Sepertinya Mama akan minta bikinin setiap hari nih," godaku."Iya Mamaku sayang. Lagian siapa lagi kalau bukan aku." Naswa mulai menghenyakan pantatnya di sampingku."Mama nggak ke sebelah?" Naswa menunjuk arah minimarket."Nanti, pengen nyantai aja sama kamu, biasanya kamu sibuk kuliah

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 39 Bawa Kabur

    ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahuPart 39 ( bawa kabur )Pov Haris"Ini salahmu, Mas! Kenapa milih di kosan itu? Aku malu, aku maluuuu," rengek Tuti sambil menjinjing tasnya."Tenang, Tut, tenang." Hanya itu yang bisa kukatakan. Lah terongku merasa nggak nyaman setelah diolesin air lumpur jalan oleh Imar. Ternyata di lumpur itu ada kaca kecil hingga barang kebanggaanku sakit tergores. Iya sih kacanya kecil, tapi yang ditusuk juga tak besar amat."Mau tenang gimana? Anak kita butuh biaya. Lah kamu aja pengangguran.""Tapi kamu puas kan?" Kubawa Tuti bercanda gairah. Ya, demi menghilangkan rasa stres yang akan hadir.'Huh! Sial. Perih juga ternyata, untung kaca kecil itu tak terbenam, kalo nggak bisa tujuh hari tu

DMCA.com Protection Status