Share

Part 2 Keinginan Ibu Mertua

Penulis: Rita Febriyeni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

 

 

Aku bisa saja menghentikan saat suamiku mengucapkan ijab kabul. Tertahan lantaran ingin melihat reaksi ibu mertua dan ipar-iparku. Selama ini akulah yang banyak membantu keuangan mereka. Di sini lah aku ingin membuktikan langsung bagaimana perlakuan mereka sesungguhnya di belakangku.

 

"Ma, ayo pulang," bisik Naswa.

 

Dadaku sesak. Rasanya tak menyangka kalau mereka tega melakukan ini padaku. Tapi apa alasan mas Feri berbuat ini? Apa salahku. Bahkan aku sudah menunjukan bakti sebagai istri dan menantu ibunya.

 

"Mudah-mudahan tetap langgeng dan bahagia dunia akhirat," ucap Mbak Imar memberi selamat ke adik dan adik ipar barunya.

 

Layaknya pengantin baru. Raut wajah suamiku dan istri barunya seperti dua insan sedang jatuh cinta hingga berbunga-bunga. Umur tidak menghalangi keinginanya punya istri baru. 

 

"Aamiin, makasi, Mbak, Tuti pasti jadi Istri yang baik dan bisa memberiku keturunan laki-laki," jawab mas Feri sambil menatap istri barunya. Tangan wanita bernama Tuti langsung digenggam meskipun beberapa orang melihat mereka.

 

Deg!

 

Jantungku terasa dipompa kencang secara mendadak. Ucapan mas Feri sudah bisa kubaca maksudnya. Apakah ini bentuk tak merasa syukur karena hanya memiliki satu keturunan saja? Dan keturunan itu adalah Naswa, putri kami.

 

"Apakah aku tak diinginkan Papa, Ma?" 

 

Naswa juga menyimak percakapan mas Feri. Ada tersirat luka dari caranya bertanya sambil menatap mereka.

 

"Ayo kita pulang, Nak." Kali ini aku yang menarik tangan Naswa.

 

Melaju motor, Naswa diam disepenjang perjalanan. Mungkin saja ia sedang memikirkan tentang ucapan mas Feri. Anak laki-laki adalah sesuatu yang didambakan. Apakah ini hanya sekedar alasan atau memang ini yang diinginkan suamiku menikah lagi. 

 

Aku tertipu. Selama ini mas Feri tak pernah berbuat jahat. Kata kasar ataupun melayangkan tangan tak pernah kuterima, bahkan pujian yang sering dilontarkan dengan penuh kasih sayang. Bahkan, aku merasa hidupku sudah sempurna.

 

Apakah aku bodoh dengan membiarkan ijab kabul itu? Jika ada niat ia ingin mengkhianatiku, berarti lelaki seperti itu tak pantas kupertahankan meskipun memberiku satu orang putri. Seandainya kuhentikan ijab kabul itu. Tetap saja hatiku tak inginkan dia lagi karena ada niat dan suatu saat itu akan terjadi lagi. Kebetulan saja aku melihatnya hari ini.

 

Seiring yang terjadi, mencambukku agar sadar. Rasa sakit membuat hatiku kebal dan tangisan ini cukup sekali saja. Ya, cukup sekali saja.

 

***

 

"Mama jangan sedih, kita bisa hidup tanpa mereka kok."

 

Kupalingkan mata ke Naswa. Ia terlihat santai seolah itu bukan masalah besar. 

 

"Papamu tega, Nas, Nenekmu, Tantemu, semuanya sangat tega," piluku membayangkan mereka satu persatu.

 

"Ma, mulai sekarang, tolong hati-hati dalam masalah keuangan, jangan biarkan pelakor itu menguasai harta Mama, apa lagi Papa memakai uang Mama menafkahi Istri barunya."

 

Putriku sangat tahu yang terjadi. Selama ini Naswa lah yang sering mengantarkan uang untuk neneknya karena aku sibuk mengurus mini matket-ku. Bukan hanya itu, pinjaman untuk ipar-iparku atau pun bantuan dariku juga Naswa lah yang mengantarkanya. Betapa istimewanya kuperlakukan mereka.

 

Bagiku tak masalah. Itu lah gunanya bersaudara. Semua saudara mas Feri kuperlakukan seperti saudara kandungku. Tapi tidak untuk kedepanya. 

 

Berusaha untuk tidak menangis lagi. Semua kuterima dengan api amarah dan akan kubalas. Mulai hari ini, aku akan membuat mereka tahu siapa aku. 

 

Jam 20.30 wib.

 

"Papa belum pulang ya, Ma? Bagus lah, biar nggak pernah pulang sekalian," ucap Naswa datar tapi mengandung amarah.

 

"Namanya juga pengantin baru, lagian nggak usah dipikirkan, Mama cuma minta, tolong biasakan mulai sekarang untuk kehilangan Papamu, karena lambat laun ia pasti bersama istri barunya."

 

"Tapi aku juga punya permintaan, Ma."

 

"Apa, Nak?"

 

"Jangan pernah menangis lagi untuk mereka,  masih ada aku, Ma, jangan takut."

 

Tuhan punya cara tersendiri membuatku kuat. Alhamdulillah. Aku beruntung punya putri seperti Naswa.

 

Tok tok tok!

 

Tok tok tok!

 

"Mungkin itu Papa pulang, Ma," ucap Naswa sambil melihat ke arah pintu.

 

"Biar Mama yang buka." Lalu aku beranjak menuju pintu.

 

Pintu kubuka.

 

"Ibu?" Mataku membelalak melihat yang datang adalah ibu mertua. Tapi yang membuatku hampir tak mengedipkan mata, ibu datang bersama mbak Imar dan istri baru suamiku. Mereka tersenyum menatapku.

 

"Sarah, ini Ibu bawakan mangga dan kue-kue basah kesukaanmu." Ibu menjinjing dua kantong kresek, sementara wanita yang bernama Tuti, juga menenteng kotak kue dalam kantong kresek putih. Namanya melekat di ingatanku saat suamiku tadi pagi mengucapkan ijab kabul.

 

Dadaku terasa sesak. Mereka bersikap seolah tak terjadi apa-apa. 

 

"Siapa yang datang, Ma?" tanya Naswa.

 

Aku diam tidak menjawab. Susah memahan hati. Tapi aku harus tenang agar tahu sampai mana permainan mereka.

 

"Nenek?" Naswa terkejut melihat neneknya datang bersama wanita yang sudah dinikahi papanya. Matanya tak bisa bohong seiring rasa terkejutnya.

 

"Naswa cucu Nenek, ayo bawa ini ke dalam." Ibu menyodorkan kantong bawaanya ke Naswa.

 

"Mm i-iya, Nek," jawab Naswa tergagap. Matanya masih menatap istri baru papanya.

 

"Ooh, ini Tante Tuti, Naswa, sepupu Om Haris," kata mbak Imar menunjuk Tuti.

 

"Sarah, kenalkan ini Tuti sepupu suamiku." Mbak Imar memperkenalkanku dengan wanita itu.

 

Sepupu mas Haris? Tak pernah kudengar tentang dia. Selama ini mereka tak pernah cerita atau pun sekedar menyebut namanya. Akan kuselidiki dari mana suamiku bertemu wanita ini. Aku tak yakin ia sepupu mas Haris.

 

Jika wanita ini diperkenalkan sebagai sepupu mas Haris, kenapa ia terlihat bahagia dan melempar senyum padaku dan Naswa. Tak ada rasa ragu, sepintas ia tak terlihat sedang mengunjungi rumah istri pertama suaminya. Ini terasa mengganjal.

 

"Baik, Nek, ayo masuk," ucap Naswa sambil mencolek punggungku memberi kode agar aku menuruti permainanya.

 

"Oh, iya, Bu, maaf, aku hanya kurang enak badan hingga terkejut dengan kedatangan Ibu dan Mbak Imar," polesku berusaha mencairkan suasana. 

 

"Mbak Sarah, aku Tuti." Wanita itu mengulurkan tangan ingin bersalaman.

 

Ada rasa ragu. Dengan pertimbangan, kusambut tanganya. "Aku tidak perlu sebut namaku lagi karena kamu sudah tau bukan?"

 

"Iya, Mbak, Mbak Imar benar, Mbak wanita yang baik," pujinya. Kubalas tetap terpaksa tersenyum.

 

Jadi mereka sudah membicarakan tentangku di belakang. Predikat 'wanita baik' dilontarkan seolah aku sudah disanjung-sanjung. Tapi itu tidak membuatku tersanjung, justru aku ingin melihat apa yang mereka inginkan dari sandiwara ini.

 

Kini, kami sudah duduk di sofa ruang tengah. 

 

"Nenek mau minum apa? Tante Imar dan Tante Tuti juga mau minum apa?" tanya Naswa setelah meletakan katong bawaan ibu di meja.

 

"Teh hangat saja, Nas, tapi sedikit gula," jawab ibu mertua santai seperti biasa berkunjung.

 

"Iya, tapi biar kubantu membuatkan teh hangatnya, Nas, lagian pegal dari tadi duduk terus," sahut Tuti di luar dugaanku. 

 

Apakah duduk yang dimaksud adalah duduk saat acara pernikahanya dengan mas Feri?

 

"Aku teh es saja ya, Tut," ucap mbak Imar seperti berusaha membuat Tuti agar leluasa di rumahku.

 

"Biar Naswa saja yang bikin minum, Mbak, nggak enak karena Tuti tamu di rumah ini," ucapku berusaha tenang.

 

"Nggak apa-apa, Sarah, Tuti sudah biasa melakukan pekerjaan rumah, lagian ia juga harus membiasakan diri membantumu."

 

Deg!

 

Apakah ibu mertua ingin agar aku menerima Tuti sebagai maduku di rumah ini? Dikiranya aku patung tak punya perasaan?

 

"Loh, kok Tuti harus membiasakan diri di sini, Bu?"

 

"Naswa, ayo tunjukan Tante dapurmu." Tuti langsung bangkit berdiri. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.

 

"Iya, Nas, biar Tuti yang sajikan kue-kue yang barusan dibawa," timpa mbak Imar.

 

"Mm." Naswa tampak ragu sambil melihatku.

 

"Naswa, ajak Tante Tuti ke dapur, lagian Tante Tuti juga sepupu Om Haris kok," sahutku agar Naswa secepatnya mengambil tindakan.

 

"Oh, iya, Ma," jawab Naswa. Lalu ia menoleh ke Tuti. "Ayo Tante." 

 

Naswa dan Tuti berlalu ke dapur.

 

"Sarah, bisa Ibu minta tolong?"

 

"Apa, Bu?"

 

"Tuti yatim piatu, biarkan ia tinggal di rumahmu buat bantu-batu kamu membereskan rumah, atau terima ia kerja di mini marketmu, ia wanita yang rajin dan dijamin semua pekerjaan rumah akan terselesaikan, jadi kamu bisa fokus melakukan yang lain."

 

Oh, jadi ini maksud ibu mertua membawa menantu barunya masuk ke rumahku? Aku tahu itu hanya alasan, tapi jika mereka memulai kebohongan ini, maka aku juga akan memulai pembalasanku.

 

"Iya, Sar, Tuti baru saja menikah tapi sudah pisah dengan suaminya," ucap mbak Imar memperpanjang kebohongan ini.

 

"Loh, baru nikah kok sudah pisah, Mbak?" tanyaku menyelidiki.

 

"Faktor ekonomi, Sar, nanti setelah suaminya mampu dalam materi, baru mereka berkumpul lagi."

 

Makin lama sandiwara mereka makin bertambah. Kebohongan yang disajikan akan kunikmati. Akan kulihat sampai mana permainan ini. Jika aku langsung minta cerai, ini terlihat mudah dan kurang menyiksa mereka.

 

Bersambung ....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
penasaran dengan tingkah manusia DAJJAL
goodnovel comment avatar
Irmawati Ali
bagus, dan bikin penasaran
goodnovel comment avatar
Koki Garasi
cerita yang sangat enak di baca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 3 Leluasanya

    "Tapi, Bu, aku belum butuh karyawan baru, dan rumahku juga tak terlalu kotor hingga repot minta bantuan untuk bersih-bersih."Kutolak permintaan ibu mertua dan kakak ipar secara halus. Bukan tanpa sebab, hanya ingin melihat sejauh mana usaha mereka. Dari cara Tuti menyapa dan leluasa ingin ke dapurku, ini sudah menandakan ia inginkan sesuatu dari rumah ini. Dan mereka mempelancar usaha Tuti."Sarah, kamu tak usah bayar Tuti, ia hanya numpang berteduh hingga suaminya datang menjeput," ucap ibu kukuh agar aku menerima Tuti.Suami yang mana? Suamiku juga? Dasar pembohong!"Iya, Sar, lagian biaya makan Tuti tidak begitu banyak, aku rasa tidak memberatkan kok." Mbak Imar juga berusaha meyakinkanku."Mm tapi, kok tidak tinggal di rumah Ibu saja, lagian aku jarang di rumah ka

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 4 Pura-pura Mimpi

    "Ini lapnya, Mas." Tuti langsung menyodorkan tisu yang diambil dari meja. Padahal meja itu di depanku dan jaraknya lebih dekat. Tapi aku tetap duduk bersandar dan kali ini menyilangkan kaki."Makasih, Tut," ucap mas Feri memerima tisu itu."Kamu kenapa sih, Mas?""Tanganku licin, Sar.""Kirain terkejut dengar ucapanku.""Kalau gitu aku permisi ke kamar dulu, Mbak, Mas,' ucap Tuti seperti menghindar."Tunggu, Tut!""Iya, Mbak?" ucap Tuti membalikan badan."Ini kopi kamu yang bikin?""Iya, Mbak, ini untuk Suami Mbak," jawab Tuti melihat sekilas ke mas Feri."Kamu tau

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 5 Maaf, Tak Sengaja Lagi

    "Maaf, Mas, aku kan nggak tau, scara mimpi loh." Aku memasang muka seperti merasa bersalah dan kasihan melihatnya. Tepatnya di hatiku bilang 'rasain lo! emang enak' Astagfirullah'alaziim, maafkan hamba jadi istri yang durhaka ya Allah. Aamiin. "Aduh! Sakit, Sar, untung hidungku tidak patah." Mas Feri memegang hidungnya dengan ekspresi muka mengernyit kesakitan. Akan tetapi dalam hatiku ada sebuah penyesalan besar. Bahkan penyesalan ini tak ada gunanya karena acara sudah selesai. Penyesalanku yaitu 'Kok tinjuku kurang kuat ya? Belum puas rasanya sebelum hidungmu patah, Mas'. Andaikan waktu bisa diputar, pasti kupasang tenaga super meninju hidungnya, bukan hanya hidung tapi juga antenanya. Ah, sudah lah, masih banyak waktu kok. Mudah-mudahan cita-cita ini tercapai. "Mari kita obatin, darah mengalir di bibirmu, Mas." "Ambil kotak P3k, Sar, cepat! sakit nih." "Iya iya," jawabku lalu beranjak ke luar. Huh! Menyusahkan saja. Mana mataku mulai ngantuk. Terpaksa ke ruang tengah menga

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 6 Aksi Bar bar

    "Sarah! Aduh! Ia kenapa?" Ibu mertua terlihat panik berdiri memegang pipinya yang bekas kutampar. Kasihan juga, ia seumuran almarhum ibuku. Tapi rasa sakit dengan apa yang kualami menghilangkan rasa hormatku padanya."Ha ha ha, mmmmhg ha ha ha." Aku tertawa besar sambil melototi mereka satu persatu. Rasanya ingin kupatahkan tangan mereka satu persatu.Mereka mempermainkan kehidupan rumah tanggaku. Aku tak terima! Padahal aku sudah berkorban banyak. Aku kesal! Aku marah!Rasa amarahku melihat mereka, membuat tanganku ingin mengambil sapu yang tak jauh dari sofa karena tadi Tuti sedang menyapu. Seperti seseorang lepas kendali, kupukuli mereka satu persatu."Ugh!" Kupukul punggung mas Feri dengan tangkai sapu, lalu ...."Uhg!" Tangkai sapu melayang k

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 7 Untuk Adik Ipar

    "Mama sudah sadar, Mama sudah sadar, Nek," ucap Naswa terdengar senang. Mataku kubuka, lalu kupejam lagi mata sambil memegang kepala dengan ekspresi mengernyit, layaknya orang pusing. Lama-lama jadi ngantuk. Memukul mereka seperti olah raga hingga keringatku bercucuran. Seru-seru capek tapi ada leganya."Benaran, Nas? Nenek takut Mamamu kambuh lagi," jawab ibu mertua terdengar khawatir."Iya, Nek," jawab Naswa sambil mencubit pelan tanganku bentuk memberi kode."Naswa ...." Kali ini aku bersuara loyo, dan mata dibuka sambil melihat sekitar, harus terlihat kebingungan seperti orang baru sadar dari pingsan."Mama, Alhamdulillah Mama sadar, aku sangat khawatir." Loh, Naswa sejak kapan pintar akting.Maafkan hamba yang memberi pelajaran tak baik untuk putri

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 8 Antara Sadar dan Tidak

    Aku terus tancap gas. Kulihat di kaca spion motor, mbak Imur berlari mengejar. Ia susah payah karena rok panjangnya sempit dan jalan pun becek."Sarah! Tunggu aku! Sarah!" teriak mbak Imur yang terdengar. Lokasi sepi pasti suaranya masih terdengar meskipun jarak sedikit jauh.Teringat ia membicarakan aku bersama Tuti tadi saat makan. Di rumah dan menyantap makananku. Begitu leluasa tanpa bersalah, kata-kata meremehkan sehingga ia bersekongkol dengan istri baru suamiku. Memperlihatkan, ia bukan dipihakku.Apa kurangku sebagai kakak ipar? Bahkan uang pinjaman sering tak diganti dan dengan mudah kupinjamkan lagi. Bukan itu saja, motor dan modal usaha warung suaminya, semua uangnya dariku. Aku berharap punya keluarga banyak. Jika aku berbagi bukan suatu masalah. Tapi, jika kebaikan dimanfaatkan dan dibalas kejahatan,

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 9 Sengaja Lupa

    Tancap gas, kujauhi lokasi itu. Kulihat di kaca spion, mbak Imur masih kokoh memegang ranting sambil menatapku pergi. Ia terlihat siap siaga dengan tampang berantakan. Tentunya berlumur air genangan tanah. Menjijikan tapi lucu.Belum begitu jauh. Niatku meninggalkanya urung. Ini jalan sepi dan tak ada trsportasi umum. Jangankan trasportasi umum, kendaraan pribadi saja tidak terlihat.Kubelokan motor ingin menjemput mbak Imur.Ia berjalan menuju jalan besar. Sendal hanya sebelah tertempel dikakinya karena satu sudah kulempar ke semak-semak. Dalam ia melangkah, bisa kusaksikan tetesan air tanah dari bajunya dan yang bagian lengan sudah robek. Terlihat menyedihkan sekali, tapi aku suka. Astagfirullah'alaziim.Suara motor mendekat, hingga mbak Imur tersadar aku mendekatinya. Seketika ia langsu

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 10 Sedikit Pembalasan

    Aku terdiam sejenak. Berpikir alasan apa yang akan dijawab. Mbak Imur masih kukuh agar tak ikut kubonceng pulang tadinya. Jika ditelaah, jadi ini bukan seratus persen salahku.'Oke, Sarah, siap-siap bersikap pura-pura,' bathinku mensugesti diri."Loh, Mbak Imur belum pulang ya?" Pura-pura terkejut tentunya."Belum, dari tadi Ibu tidak melihat dia, Sar," jawab Ibu. Lalu ibu melihat ke Tuti. "Tut, benaran Imur belum pulang?" tanya ibu mertua."Belum, Bu, tadi pergi ma Mbak Sarah ke dukun buat ngobatin kesurupan, tapi setelah itu nggak kelihatan lagi."Waduh, si Tuti saksi mata nih. Aku pasti disalahkan."Astaga! Aku lupa, kirain Mbak Imur sudah pulang, tadi saat sedang perjalanan ke rumah dukun, Mbak Imur m

Bab terbaru

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 47 Tamat(Kata-kata itu Doa)

    ❤️TAMAT❤️ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahu( Kata-kata itu do'a )Aku tersentak saat mas Feri tiba-tiba berada di depan pintu. Dan ini bertepatan waktu aku dilamar mas Adam.Beberapa bulan ini, mas Adam mendekatiku. Awalnya ia hanya mengantarkan putrinya berkunjung. Tapi lama kelamaan kami berkomunikasi nyambung dan aku pun merasa nyaman. Setelah masa iddah berakhir, baru secara jelas mengatakan ingin menikahiku."Sebentar kupanggilkan Naswa," ucapku bangkit dari duduk. Belum juga memberi jawaban ke mas Adam."Mau gabung di sini, Pak Feri?" tanya mas Adam ramah."Tunggu, Sarah! Bisakah aku bicara dengan Pak Adam?" pinta mas Feri. Tawaran mas Adam diabaikan sejenak."Tapi, bu

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 46 Terlambat Menyadari

    ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahuPart 46 ( Terlambat Menyadari )Pov FeriHidupku kacau. Sarah sama sekali tidak menginginkanku kembali ke sisinya. Tatapan matanya tak pernah seperti dulu lagi. Bahkan yang kurasakan ia memendam benci.Aku salah. Kuabaikan luka perasaanya. Kukira ia seorang wanita yang bisa kuperdaya demi nafsu duniaku. Justru aku terperangkap dalam masalah yang dibuat. Inilah karma."Pa, sebaiknya Papa temui Pak Adam. Ia terluka ulah Nenek.""Ya, Nak. Bisa Papa minta alamatnya?""Bentar aku Wa aja." Lalu Naswa mulai memencet ponselnya."Nanti kunci pintu ya, Nas," ucap Sarah sambil membuka pintu."Sarah."&

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 45 Mungkin Ini Jalannya

    ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahuPart 45 ( Mungkin ini jalannya )"Bu, tolong lepaskan. Ibu bisa menghabiskan hidup dipenjara jika membunuh seseorang. Sadarlah, Bu. Jika ada masalah mari bicarakan baik-baik." Lelaki itu berusaha menenangkan mantan ibu mertuaku agar aku tak disakiti. Meski tak yakin apakah ia berhasil. Yang menodongku seperti orang stres dengan banyak tekanan. Ini contoh manusia tak kuat iman. Umur sudah tua tapi tak menyadari kesalahan. Astagfirullah'alaziim, maafkan dengan penilaian buruk hamba ya Allah ...."Apa urusanmu! Ia mantu tak tau diri, putraku ditolak rujuk, Imur dipenjara dan Imar, Imar di rumah sakit jiwa. Apa kamu merasakan yang kurasakan? Oooh, tentu kamu tak mersakan karna mereka anakku. Lah kamu siapa!"Astaga, aku tak menyangka ibu mas Feri seperti ini.

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 44 Tersangka

    ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahuPart 44 ( Tersangka )Aku diminta ke kantor polisi. Melihat siapa dalang dari kejahatan ini. Sudah tiga kali percobaan menabrak Naswa dan tiba-tiba Boy datang menyelamatkan. Dan ternyata firasatku benar. Ini semua sebuah taktik yang dicontoh dari adegan sinetron.Apakah ini perbuatan mas Feri dan ibunya? Atau Mas Haris dengan Tuti, atau lagi bisa jadi mbak Imar dan mas Feri. Aaah! Semuanya mencurigakan. Karena satu tujuan mereka, yaitu menguasai putriku hingga hartanya bisa beralih tangan."Ma, mungkin saja ini perbuatan pelakor itu dan Om Haris. Karena mereka sudah selingkuh bertahun-tahun," ucap Naswa sambil menyetir mobil."Entahlah, Mama pun bingung. Mereka semua tertuduh di pikiran Mama.""Padahal Mama sudah banyak

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 43 Pembalasan Imar

    ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahuPart 43 ( Pembalasan Imar )Pov Feri"Dasar wanita berhati batu! Luarnya aja kelihatan baik, tapi ia sama sekali tak punya perasaan!" Amarah ibu saat kami baru menginjakkan kaki di rumah."Aku harus gimana? Mana sanggup aku bayar cicilannya, Bu." rengek mbak Imar dalam rasa merasa bersalah."Itu makanya jadi perempuan ya harus teliti. Masak menggunakan rekening suamimu! Kukira kamu pintar, tapi bodoh!""Ibu cuma bisa menyalahkanku saja. Aku juga nggak yakin Mas Haris selingkuh mmm." Tangis Imar pecah lagi."Uh! Dasar bodoh!""Sudah sudah! Aku pusing nih. Sekarang ke mana kita bisa cari Haris? Mbak pasti tau tempat tujuannya."

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 42 Karma Itu Ada

    ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahuPart 42 ( Karma itu ada )"Rumahku ..., aaa hidup kita hancur, Fer. Rumah kita akan disita. Kita tinggal di mana, aaa." Ibunya meraung duduk dilantai teras."Tenang, Bu. Tenang." Mas Feri berusaha menenangkan ibunya meskipun percuma."Ini salah kamu, Mar! Kamu meminjam sertifikat itu untuk suamimu!" Sambil menangis, ibu mantan mertua menunjuk mbak Imar."Aku juga nggak tau ia selingkuh, kenapa Ibu salahkan aku! Lagian Ibu juga rela meminjamkannya. Kalau tak suka kenapa pinjamin." Mbak Imar tak tinggal diam."Seharusnya kemarin kamu segera ke leasing, sudah jelas Haris selingkuh dan diusir, kamu hanya bisa mewek tanpa bertindak!""Aku kalut, Bu. Aku masih shock dan rasanya tak percaya

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 41 Pengakuan

    ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahuPart 41 ( Pengakuan )Tok tok tok!Pintu diketuk lagi."Ya tunggu sebentar!" sahutku dari dalam sambil melangkah ke pintu.Pintu kubuka.Terdiam menatapnya. Mata berkaca, menatapku sendu. Ternyata bukan kelaki aneh itu. Dan ...."Sarah, tolong maafkan aku." Ia memelukku dengan penuh haru. Pelukannya tak kubalas. Kata maaf dan penyesalan terlihat dari sorot matanya. Tapi untuk apa lagi kata maaf ini. Ia sudah merasakan apa yang kurasakan. Suaminya juga selingkuh."Oke, aku sudah memaafkanmu, Mbak. Sekarang biarkan aku dengan kehidupanku. Kita bukan keluarga lagi, tapi mantan keluarga," ucapku tegas.Pelukan

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 40 Tamu Tak Diundang

    ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahuPart 40 ( Tamu Tak diundang )Hidup itu terasa indah jika dinikmati tanpa ada gangguan. Meski hanya berdua di rumah ini, tak mengurangi kesepian dengan status janda. Untung punya usaha minimarket hingga setiap hari bisa berjumpa orang banyak."Ma, ini kopinya." Naswa membawa nampan berisikan secangkir kopi dan sepiring goreng pisang, lalu meletakkanya di meja. Putriku tahu saja kesukaanku."Sepertinya Mama akan minta bikinin setiap hari nih," godaku."Iya Mamaku sayang. Lagian siapa lagi kalau bukan aku." Naswa mulai menghenyakan pantatnya di sampingku."Mama nggak ke sebelah?" Naswa menunjuk arah minimarket."Nanti, pengen nyantai aja sama kamu, biasanya kamu sibuk kuliah

  • Acara di Rumah Ibumu (Pura-pura Tak Tahu)   Part 39 Bawa Kabur

    ACARA DI RUMAH IBUMU#Pura_pura_tak_tahuPart 39 ( bawa kabur )Pov Haris"Ini salahmu, Mas! Kenapa milih di kosan itu? Aku malu, aku maluuuu," rengek Tuti sambil menjinjing tasnya."Tenang, Tut, tenang." Hanya itu yang bisa kukatakan. Lah terongku merasa nggak nyaman setelah diolesin air lumpur jalan oleh Imar. Ternyata di lumpur itu ada kaca kecil hingga barang kebanggaanku sakit tergores. Iya sih kacanya kecil, tapi yang ditusuk juga tak besar amat."Mau tenang gimana? Anak kita butuh biaya. Lah kamu aja pengangguran.""Tapi kamu puas kan?" Kubawa Tuti bercanda gairah. Ya, demi menghilangkan rasa stres yang akan hadir.'Huh! Sial. Perih juga ternyata, untung kaca kecil itu tak terbenam, kalo nggak bisa tujuh hari tu

DMCA.com Protection Status