POV KenzieLangkahku semakin mendekat ke arah Pak Sony dan juga Naya. Tiba-tiba saja tubuh ini langsung menegang dan juga merasa gugup. Hingga akhirnya, giliranku untuk memberi selamat pada Pak Sony pun tiba. Aku menjabat tangan hangat milik Pak Sony, sekuat tenaga aku berusaha untuk tak terlihat gugup ataupun gemetar di depan Pak Sony, tapi tetap saja rasa tegang di tubuh ini masih terlihat begitu jelas. Tangan ini pun terasa sangat dingin. Untung saja, Pak Sony tak memperhatikan kegugupan ku.Dan kini, aku telah berada di depan wanita yang dulu pernah aku sakiti hatinya. Hingga sampai detik ini pun, rasa cintaku pada Naya masih tersimpan di dalam lubuk hatiku yang paling dalam. Andai saja, aku bisa mengulang waktu, pastilah aku akan memperbaiki kesalahku dulu. Dan tentunya Naya tak akan bersanding dengan pria lain saat ini."Ken, buruan. Lama banget," gerutu Rio yang ada di belakangku. Suara Rio seketika membuyarkan lamunanku."Eh, i ... iya. Selamat ya, Nay. Eh, maksud saya Bu Naya
Mobil yang dikemudikan oleh Pak Ahmad melesat keluar dari hotel tempat pernikahan Pak Sony dan Naya dengan kecepatan sedang. Suasana di dalam mobil sangat riuh, karena Pak Ahmad dan para rekan-rekan seprofesi ku saling bersenda gurau. Sedangkan aku sedikitpun tak berminat untuk ikut bersenda gurau bersama mereka. Mataku memandang kosong ke arah luar jendela mobil.Hati ini seolah masih tak percaya dengan takdir yang ditetapkan oleh Tuhan. Setelah perceraian ku dengan Naya, rumah tanggaku bersama Anggun bagai neraka. Tak ada lagi kata bahagia, bahkan, aku dijadikan pembantu oleh Anggun. Dulu aku bertahan dengan Anggun karena aku begitu menyayangi kedua anakku. Setelah mengetahui kenyataan bahwa kedua anakku bukankah darah dagingku, apalagi yang harus aku pertahankan?Aku jadi teringat lagi dengan Naya. Selama ini, aku selalu berpikir bahwa Naya lah yang tidak sehat karena tak kunjung hamil. Apalagi setelah mengetahui bahwa Anggun bisa mengandung anakku, semakin bertambah saja keyakinan
"Bu, aku sama Anggun kan hanya nikah siri. Biarlah, kami tak perlu mengurus perceraian. Lagi pula, aku sudah malas menemui dia," kataku."Tapi, bagaimana dengan kedua anak kalian? Mereka kan butuh akte dan lainnya untuk masa depan mereka. Lagi pula, memang kamu gak kangen sama Chaca dan juga Clara?" tanya Ibu lirih.Aku menghela nafas panjang. Aku bingung harus mulai dari mana untuk menceritakan pada Ibu tentang masalah ini. Aku yakin, pastilah Ibu akan terkejut setelah mendengar pengakuan dariku. Aku bukan tak ingin bercerita, aku hanya takut membuat Ibu jadi sedih.Apalagi melihat wajah Ibu yang seolah menahan rindu pada Chaca dan juga Clara, membuat aku semakin tak tega. Meskipun Chaca dan Clara bukan darah dagingku, tapi, masih ada rasa sayang di dalam lubuk hatiku untuk mereka. Bagaimana tidak, dari mereka lahir, aku selalu mencurahkan semua kasih sayangku pada mereka.Aku jadi rindu sekali dengan mereka. Tak mudah untuk melupakan mereka begitu saja dari hatiku. Berbeda dengan An
"Ken, nanti kamu ke lantai sepuluh ya!" perintah Pak Ahmad saat aku baru selesai membersihkan salah satu ruangan di lantai dua ini.Hari ini, aku bekerja seperti biasanya. Aku terdiam terpaku mendengarkan perintah dari Pak Ahmad. Jika aku di suruh ke lantai sepuluh, itu artinya, aku harus kembali bertemu dengan Pak Sony. Mau menolak pun, itu tak mungkin. Yang ada, Pak Ahmad akan marah padaku. Tetapi, untuk kembali bertemu dengan Pak Soni rasanya begitu berat."Ken," panggil Pak Ahmad membuyarkan lamunanku. Membuat aku seketika menoleh ke arah beliau."Eh, i ... iya, Pak. Kenapa saya harus ke lantai sepuluh, Pak?" tanyaku sedikit tergagap."Kebetulan ada salah satu karyawan cleaning servis di lantai sepuluh yang mengundurkan diri. Jadi untuk sementara, kamu yang gantikan. Kamu kan paling rajin disini, makanya saya pilih kamu," jelas Pak Ahmad."Baik, Pak," kataku terpaksa dengan lesu."Tapi, nanti saya konfirmasi dulu sama Pak Sony. Takutnya beliau menolak," ujar Pak Ahmad."Baik, Pak.
POV NayaSetelah beberapa menit menunggu, mataku membulat sempurna, saat garis dalam alat test kehamilan yang aku pakai ini menunjukkan garis dua merah. Tangan ini tiba-tiba gemetar hebat. Aku menutup mulutku dengan sebelah tanganku. Apakah ini hanya sebuah mimpi?Aku masih berdiri terpaku menatap alat test kehamilan yang masih berada di tanganku. Garis dua merah di alat test kehamilan ini pun terlihat sangat jelas. Sulit rasanya untuk mempercayai keajaiban ini. Apakah aku benar-benar hamil saat ini? Dengan tangan masih gemetar, aku mencoba mencubit lenganku sendiri."Aw!" Aku menjerit lirih, tak kala rasa sakit akibat cubitanku sendiri. Ternyata benar, aku sedang tidak bermimpi saat ini. Dulu, saat aku masih bersama dengan Mas Kenzie, aku selalu dikecewakan dengan hasil negatif dari alat test kehamilan. Bukan hanya sekali dua kali, mungkin sudah ratusan kali aku selalu merasa kecewa. Bertahun-tahun aku menunggu, tapi Tuhan tak kunjung memberikan keturunan untukku.Tapi ini, baru beb
Sebuah sentuhan lembut seolah sedang membelai rambutku. Aku yang sedang tidur, seketika membuka mata perlahan. Ternyata, Zahra saat ini sedang tersenyum melihat wajahku. Tangan mungil Zahra masih membelai rambutku dengan lembut."Mama udah bangun?" tanya Zahra."Iya, Sayang. Zahra udah pulang sekolah?" tanyaku."Udah dari tadi, Ma. Mama tidurnya lama banget," kata Zahra sambil sedikit memanyunkan bibirnya yang terlihat menggemaskan itu.Ternyata benar yang dikatakan Zahra, karena jam di dinding sudah menunjukkan pukul 13.00 siang. Itu artinya, aku sudah tertidur cukup lama."Kok Zahra tahu Mama tidurnya lama?" tanyaku."Dari tadi kan Zahra duduk disini nungguin Mama bangun," jawab Zahra polos."Kenapa Zahra gak bangunin Mama?""Kata Nenek, Mama kan lagi sakit karena mau punya Dedek bayi. Apa benar, Ma?" tanya Zahra antusias."Memangnya, Zahra mau punya Dedek bayi?"Zahra mengangguk cepat. "Mau, Ma. Zahra pengen punya Dedek bayi kayak Naura temen Zahra. Naura baru punya adek bayi loh,
"Ih Papa mah gitu ... kalau dua-duanya gimana?" tanya Zahra sambil menaikkan sebelah alisnya, lalu memandangku dan memandang wajah Mas Sony secara bergantian.Aku dan Mas Sony saling berpandangan mendengar pertanyaan dari Zahra. Tapi, jika Tuhan memang memberikan keduanya pun, aku tak akan menolak. Justru, aku akan sangat bersyukur apabila pertanyaan dari Zahra barusan dikabulkan oleh Tuhan."Memang Zahra mau, kalau punya dua Dedek bayi?" tanya Mas Sony."Mau, satu buat teman main Zahra, dan yang satu buat Papa," jawab Zahra tersenyum antusias."Terus Mama gak kebagian dong?" tanya Mas Sony lagi."Iya ya, gimana kalau tiga?" Kata Zahra sambil mengedip-ngedipkan sebelah matanya padaku dan Mas Sony.Aku dan Mas Sony saling pandang dan terkekeh bersama mendengar pertanyaan Zahra. Aku sangat bersyukur memiliki keluarga kecil yang bahagia ini. Apalagi dengan kehadiran janin bayi dalam rahimku, menambah sempurna kebahagiaan ini."Oh ya, Mas, kok jam segini kamu udah pulang kerja?" tanyaku.
"Son, Nay, kalian yakin mau ke dokter kandungan naik motor?" tanya Ibu dengan raut wajah khawatir."Iya, Bu. Naya yang minta," kata Mas Sony melirik ke arahku."Kamu kan lagi hamil muda, Nay. Apa gak sebaiknya kalian naik mobil saja," ujar Ibu."Naya gak mau, Bu. Naya mual kalau naik mobil. Lagi pula, ini keinginan Dedek bayi dalam perut Naya," jawab Mas Sony cepat sebelum aku berbicara."Ternyata bawaan ngidam toh. Terus kalian mau naik motor siapa? Kamu kan gak punya motor, Son?""Nanti aku pinjem motor Pak Ujang aja, Bu," jawab Mas Sony. Pak Ujang adalah security yang bertugas di rumah ini."Ya sudah, kalau gitu kalian hati-hati di jalan ya? Jagain Naya baik-baik, Son. Gak usah ngebut-ngebut bawa motornya," nasehat Ibu."Mama sama Papa mau naik motor? Zahra ikut ya, Pa?" tanya Zahra dengan wajah memelas."Gak bisa sayang ... Papa aja masih mau belajar dulu ini. Nanti kalau Papa sama Mama udah pulang, nanti Papa ajak Zahra naik motor keliling komplek deh. Gimana?""Ya udah deh, Pa.