Bu Retno dan Sabrina tampak bahagia melihat perkembangan luar biasa dari Brian tersebut. Baru kali ini, bocah bertubuh bongsor tersebut mau tersenyum sejak peristiwa pelecehan yang dialaminya. Akhirnya, Ambar dengan yang lain sepakat bahwa hari ini akan full untuk memberi kebahagiaan bagi Brian. Dimulai dari pergi jalan-jalan ke mall lalu makan ke tempat pilihan Brian dan berakhir ke sekolah alam. Mereka akan lakukan hal tersebut seharian penuh. Semua tersenyum bahagia melihat Brian yang ceria kembali.“Honey, hari ini jadi pulang?” tanya Ambar setelah Sapto menjawab teleponnya. “Sebentar, Abang liat surat keterangan dari dokter barusan,” jawab Sapto. Beberapa saat kemudian, terdengar suara kertas dibuka lalu pria tersebut berucap,”Udah tercantum, hari ini boleh pulang. Emang kenapa, Sayang?”“Kebetulan kalo gitu. Sebelum pulang, bisa dong minta ditemani jalan-jalan, sekalian kasih liat Brian sekolah alam,” ujar Ambar sembari memeluk Brian yang telah mendekat ke arahnya.“Sekarang Bri
Tiba-tiba ponsel Ambar berdering dari dalam tas. Wanita berkaki jenjang ini lalu merogohnya. Tampak di layar terdapat sebuah pesan masuk dari nomor yang meneleponnya tadi. Ambar segera membacanya.[Benar ini Brian?] disertai sebuah foto sang bocah yang berdiri di depan gerbang sekolah. Seketika hati Ambar diselimuti perasaan cemas sekaligus panik. Bagaimana mungkin orang asing ini bisa memata-matai putranya.Ada tujuan apa dia?Ambar khawatir Brian menjadi sasaran kejahatan orang ini. Namun, kalau memang orang jahat, kenapa pula harus mengirim pesan terlebih dahulu. Akhirnya, Ambar memberanikan diri untuk membalas orang tersebut.[Maaf, dapat nomor saya dari mana? Anda siapa?]Pesan terkirim dan segera dibaca. Orang ini memang menunggu balasannya. Tak berapa lama, Ambar menerima pesan balasan.[Saya telah menyimpan nomor kamu selama ini dan secepatnya, saya akan menemui kalian]. Ambar membaca pesan dengan tangan gemetar.Reaksi Ambar terlihat oleh Bu Retno. Wanita setengah baya ini s
Hari ini kebahagiaan telah menyelimuti mereka. Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel Ambar berdering. Ambar dengan wajah masih menahan mual segera merogoh isi dalam tas, untuk mengambil ponsel. Tampak di layar tertera nomor pria misterius dan Ambar gegas menjawab panggilan telepon. “Selamat sore.”“Selamat sore, Sweety. Aku telah mengirimkan brownies kesukaan kamu. Semoga kamu bisa segera mengingatku,” ucap pria misterius dari seberang telepon dan Ambar segera memekik,”Bang Rafael ...!”Bu Retno yang mendengar pekikan Ambar pun seketika syok. Bagaimana mungkin, sosok menantu yang telah dimakamkan setahun silam bisa kembali hidup? Apakah seseorang yang mempunyai wajah mirip dan ada maksud tertentu? Banyak yang dipikirkan wanita separuh baya ini.Ambar seketika pingsan dan ponsel pun jatuh. Sapto segera meminggirkan mobil di pinggir jalan. Dia cekatan membetulkan posisi Ambar dan mengambil ponsel yang terjatuh lalu mematikannya. Sedangkan Bu Retno lebih tegar daripada sang putri. Wanita sepa
"Permisi! Holland Bakery.”“Ada paket makanan. Dari siapa, ya?” tanya Bu Retno sembari berdiri diikuti Brian. Anak kecil ini segera menyahut,”Brian suka cake dari Holland, Nek. Ikut ambil, ya?”Bu Retno yang masih kebingungan terpaksa mengangguk lalu menggandeng cucunya untuk menghampiri kurir. Tampak di balik pagar, seorang pria dengan kardus berukuran tanggung di tangan tersenyum ke arah mereka. “Selamat sore. Ada kiriman brownies untuk Ibu Ambar,” ucap pria tersebut ramah.Bu Retno membalas senyum dan Brian terlihat antusias memandang kardus yang dipegang sang kurir. Wanita separuh baya ini lalu membuka pintu gerbang untuk menerima paket. Kurir pun segera pergi setelah menyerahkan paket. Brian segera mengambil alih kardus sambil berucap,”Mama udah lama gak makan brownies, Nek. Tumben sekarang pesen. Mama mau bikin pesta karena kita pulang dari rumah sakit.”Celotehan Brian membuat Bu Retno bertambah gelisah. Kedua mata rentanya mengamati sekeliling, tetapi tak didapati hal-hal menc
“Brian punya Teacher dan adek bayi kan anak Papa Hadi,” jawab Brian yang seketika membuat tertawa yang lain. Sapto menggelengkan kepala lalu berucap penuh kasih kepada calon anak tirinya.“Brian tetap anak Papa Rafael, meski suatu saat jadi anak Teacher karena Teacher akan segera menikah dengan Mama. Dan adek dalam perut adalah anak Teacher juga, bukan anak Papa Hadi,” jelas Sapto kepada Brian yang masih sibuk mencerna kata-kata pria di hadapannya barusan. Sapto tersenyum melihat si bocah merenung lalu mengajak masuk menyusul yang lain.“Brian, gimana browniesnya, nih? Bisa dimakan, gak?” tanya Sabrina sambil berekpresi layaknya orang sedang makan dengan mulut menggelembung. Brian segera mendekat sambil menyeret lengan Sapto lalu mulai merajuk,”Teacher, boleh dimakan dong. Semutnya gak mati, tuh.” Sapto lalu duduk sembari memangku bocah berambut lebat tersebut. “Brownies ini dikirim untuk untuk siapa?” tanya pria berambut cepak ala militer sambil melirik ke arah Ambar.Wanita yang dil
“Whaatt! Aku milikmu?” tanya Ambar setengah menjerit lalu meraba kulit leher. Benar saja ada perasaan tak enak dalam hatinya. Kulit leher terasa perih dan kasar dan itu sudah pasti hasil olah bibir Rafael. Sang pria tertawa lebar melihat kepanikan Ambar dan dia semakin gemas.“Kenapa, Angel? Bukankah kamu selalu menginginkan ini?” Rafael semakin mempererat pegangan tangannya di pinggang Ambar. Bukannya menjawab, wanita berkuncir kuda ini segera mengurai pelukan lalu mencari sesuatu dalam tas. Rafael memeluknya dari belakang, sementara Ambar mengoleskan cairan terapi pada kulit leher.“Semoga segera pulih,” gumam Ambar yang terdengar jelas di telinga Rafael. Sang pria lalu membalikkan tubuh Ambar dan tampak ekspresi kecewa di raut wajah pria berdarah Spanyol tersebut.“Hunter, kita bukan suami istri lagi. Kamu ....” Ambar tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Kini, dia menangis tersedu-sedu di bahu pria cinta pertamanya ini. “Angel, bantu aku usut kasus ini. Temani aku, lapor polisi hari
Hubungan telepon berakhir. Tangan Rafael meraih kepala Ambar lalu disandarkan ke bahu. Rafael mengecup sekilas ujung kepala Ambar sambil tersenyum bahagia. Dia wanitaku dan akan tetap jadi milikku hingga ajal menjemput. Apa pun yang terjadi, batinnya.“Dia sangat sayang padamu, Angel. Kalian kenal lama?”“Dia guru Brian, Hunter.” Rafael tersenyum mendengar jawaban Ambar. Sedangkan sang wanita sesekali menahan mual di perut dan pria berparas Latin ini sangat memahaminya. Ambar melihat mobil tak lagi mengarah ke pantai seketika terkejut.“Hunter! Mau ke mana?” Rafael tak menggubris pertanyaan Ambar, bahkan meraih sebuah aroma terapi dari laci dashboard lalu diberikan ke Ambar. Wanita muda ini pun segera mengoleskan aroma tersebut ke hidung dan leher.Hanya perlu sepuluh menit, mobil yang ditumpangi mereka telah sampai ke tempat parkir sebuah praktek dokter kandungan. Mereka gegas turun lalu berjalan dengan mesra. Rafael merangkul bahu Ambar erat-erat, sedangkan lengan kanan sang wanita
“Kami dalam kesulitan sekarang. Gimana cara Rafael mendapat identitasnya kembali,”sahut Ambar berurai air mata.“Dia udah lapor ke polisi. Suatu saat kamu juga akan dipanggil polisi sebagai polisi.”“Iya, Lidya. Aku tau itu. Kami masih saling cinta, tapi aku akan segera nikah.”“Aku ikuti kasus kamu dan Brian, tapi belum cerita ke Rafael. Khawatir dia syok, bisa amnesia lagi. Waktu liat kamu dipeluk pacar, dia cerita dengan menangis. Untung, gak terlalu syok.”“Whaatt! dia udah lama di sini? Tinggal di mana?”“Ada sebulan dia di sini. Sementara sewa apartemen. Ambar, kita harus cari keluarga teman Rafael yang mati. Dari mereka, Rafael bisa dapat identitas kembali. Dengan kamu berada bersamanya, semua ingatan Rafael akan cepat pulih. Lebih tepatnya, kamu dan Brian. Tapi aku kita tau kondisi Brian.” Ambar mengangguk mendengar penjelasan Lidya. Sementara, dirinya sendiri bingung dengan situasi rumit yang menimpa mereka. Dia harus selalu bersama dengan Rafael, di sisi lain, harus segera p
"Bar, buruan!"seru Sabrina yang telah ambil alih kursi roda. Ia telah berjalan mengikuti Tuan Farel dan Ambar masih berdiri melamun.Ambar seketika tersadar dari lamunan. "Oh, ya, ya. Yuk."Kedua wanita berjalan buru-buru menuju ruang perawatan. Gerak-gerik keempat orang di taman tadi telah diawasi oleh salah seorang bodyguard Tuan Gerry. Pria ini segera mengambil ponsel dari dalam saku celana lalu menelepon seseorang. Beberapa saat, ia mendengarkan ucapan dari ujung telepon."Mereka berencana shopping," ucap pria kekar tersebut kepada lawan bicaranya. Sementara itu, Tuan Farel yang sedang merebahkan tubuh Brian di pembaringan mendengar ponselnya berdering. Ia mengusap rambut Brian lembut sambil berbisik ke telinga si bocah. "Om akan jaga kamu, Superboy. Harus semangat untuk sehat."Pria ini lalu mengecup kening Brian. Saat ia menyelimuti tubuh si bocah, kedua wanita baru saja masuk ruangan. Pemandangan di depan mata, membuat kedua wanita semakin terharu. Tuan Farel segera menyadari k
"Coba kamu tanya ke Tuan Farel," saran Ambar kepada si bocah."Tuan Farel owner-nya?"tanya Sabrina dengan antusias."Bukan. Ia yang dipercaya oleh owner untuk mengelola tempat ini. Dan, kita telah diizinkan untuk tinggal di sini sampai Brian sembuh," jelas Ambar sengaja berbohong demi kebaikan bersama."Wah, sangat menyenangkan sekali. Liat, tuh, anak lu kerasan di sini," balas Sabrina. Ambar tersenyum lebar melihat Brian yang kembali ceria. Padahal sebelumnya, si bocah dalam keadaan kacau. Bahkan ia sempat berpikir untuk bunuh diri ke Hutan Aokigahara segala."Bagus, dong. Kalo Jagoan kerasan di sini. Mama tadi sudah bilang ke Tuan Farel dan lebih keren lagi, kamu bilang langsung,"ucap Ambar kepada Brian."Ya, Brian mau,"kata si bocah bersemangat. Ambar bahagia sekali mendapati anaknya yang penuh semangat. Ia bangkit lalu memeluk jagoan lalu mencium kedua pipinya. Tidak ada kebahagiaan yang ingin dirasakan selain kesembuhan bagi Brian."Cepat sembuh, Jagoan!" Ambar bertambah besar ha
"Kamu suka, Sayang?"tanya Tuan Farel sambil membuka blus Ambar. Kini tampak dua gundukan berbalut bra berenda. Ambar yang mulai mengikuti permainam sang pria.Jemari lentiknya mengusap lembut milik Tuan Farel yang telah membuat penasaran. Pasangan ini bergantian memberi usapan, jilatan bahkan remasan di beberapa bagian sensitif."Farel, Sayang!"panggil Ambar di antara desah dan jerit tertahan."Iya, Sayang. Nikmati, ya,"ucap Tuan Farel sambil mengusap lembut bibir Ambar.Mereka yang telah memanas akhirnya berpacu saling memuaskan. Keduanya bersamaan telah lunglai di atas pembaringan. Ambar pun baru sadar bahwa dirinya belum belanja pakaian."Oh my God!"jerit Ambar sambil membebat tubuhnya dengan selimut."Ada apa, Sayang?"tanya Farel yang buru-buru memakai hanfu. Kemudian ia duduk di pembaringan lalu membenahi anak rambut di wajah Ambar."Honey, aku belum belanja baju. Kamu tahu sendiri, kan. Kami berangkat tanpa persiapan. Gimana, dong?" Ambar menatap Farel dengan wajah sedih.Farel t
Benar saja, dugaannya memang tepat. Petugas informasi memberikan sebuah denah untuk menuju ruang staf khusus. Ambar sedikit curiga dengan dua petugas tersebut yang saling berbisik lalu tertawa kecil.Ambar tidak ambil pusing tentang hal tersebut. Ia langsung mencari keberadaan tempat Tuan Farel dengan berbekal selembar denah. Wanita berkaki jenjang ini kembali menyusuri koridor lalu mengikuti arah pada denah.Tak butuh waktu lama untuk mencari tempat Tuan Farel. Letak ruangannya terdapat di lantai dua dan lebih mengherankan, di sini tidak ada lift. Seluruh bangunan dan fasilitas yang terdapat di dalamnya bernuansa klasik.Kini, kedua kaki Ambar telah berdiri tepat depan sebuah ruangan yang ditunjuk oleh petugas informasi sebagai tempat Tuan Farel. Sebuah plang bertuliskan aksara Hanzi. Ambar mengetuk daun pintu kayu berukir. Ia mengetuk sampai ketiga kali pun tidak ada yang membuka pintu.Ambar pun merasa konyol setelah melihat ada sebuah lonceng kecil di sisi kanan pintu. Wanita ini
Tempat rehabilitasi ini dibangun di atas bukit. Sebagian besar bangunan disusun dari papan kayu dan beratap rumbia. Beberapa pohon cemara berdiri mengelilingi bangunan ini. Samar-samar terdengar gemericik air terjun dan suara aliran sungai."Pasti sedang jatuh cinta dengan tempat ini,"ucap Tuan Farel mengagetkan Ambar yang sedang fokus melihat sekeliling.Ambar seketika menoleh dan langsung terpana dengan penampilan pria di sebelahnya. Ambar pun jadi salah tingkah. "Tuan Farel. Iya."Pria gagah dengan rambut cepak layaknya anggota militer tersenyum manis. Dua ceruk menghias pipi. Ambar baru sekarang benar-benar mengagumi sosok pria. Pesona pria di depannya berhasil memporak-porandakan otak dan hatinya."Pusat rehabilitasi ini sengaja dibangun di daerah sini karena faktor lingkungan yang masih alami. Hal tersebut dipercaya bisa menunjang kesembuhan para pasien." Tuan Farel menjelaskan dengan pandangan lepas ke bukit. Ambar hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari pria di sampi
"Terima kasih kembali, Nak. Anggap ini sebagai penebus dosa-dosa Bapak."Begitu mendengar ucapan Tuan Gerry, Ambar tidak bisa berkata-kata lagi. Air mata membasahi sudut mata lalu ke arah pipi. Ada rasa sesak karena harus merelakan nasib Rafael ke tangan pihak interpol. Ia harus kehilangan Rafael untuk kedua kalinya dan ini benar-benar menyakitkan.Pria yang diharapkan akan menjadi pendamping hidup untuk rangkaian perjalan hidup dia dan Brian. Ternyata telah menjadi seorang penjahat internasional. Ambar menangis sesenggukan."Ambar, relakan semua,"ucap Sabrina sambil menggenggam jemari sang sahabat. Sementara air mata tidak berhenti mengalir dari pelupuk mata Ambar. Sabrina membiarkan saja agar rasa sesak di dada Ambar segera lenyap.Mobil telah memasuki area bandara udara dan Ambar masih sesenggukan. Tiba-tiba Sabrina menyadari sesuatu. "Ambar, kita kaga bawa baju ganti.""Gak perlu khawatir soal baju dan lain-lain. Di sana banyak pilihan,"sahut Geo dari balik kemudi. Pria ini mengar
Sabrina memasukkan ponsel ke saku celana. Ia menatap depan, pada saat pintu terbuka dan Ambar telah tersenyum di depan Sabrina."Buruan keluar! Gue mau ngajak lu ngobrol." Sabrina menarik tangan Ambar.Wanita berkaki jenjang ini merasa, ada yang aneh dengan perilaku sahabatnya. Kemudian, dirinya keluar dari ruang dokter."Ada apa, sih?"tanya Ambar sambil menatap Sabrina dengan kesal."Kita ngobrol di taman,"ucap Sabrina sambil menyeret tangan soulmate-nya.Kedua wanita berjalan terburu-buru menuju taman. Di salah satu bangku taman yang agak tersembunyi dan teduh, mereka mengambil tempat."Lu dicariin Om Gerry. Sebentar." Sabrina segera melakukan panggilan ke nomor bapaknya Ambar."Oh my God! Gue kaga liat hape dari tadi," sahut Ambar yang seketika mengambil ponsel dari dalam tas. Betapa kaget Ambar. Begitu membuka ponsel, tampak di layar tertera notifikasi panggilan telepon dan pesan dari beberapa nomor kontak, termasuk dari Tuan Gerry. Bapaknya telah menelepon sebanyak sepuluh puluh
"Brian pengen sembuh,"ucap si bocah dengan kedua mata berkaca-kaca. Seketika ada rasa nyeri menikam hati Ambar. Ucapan Brian membuatnya ingin menangis, tetapi ditahan sekuat tenaga."Maka dari itu makan dan minum yang banyak terus teratur minum obat. Pasti sembuh. Semangat!""Tapi, Ma. Badan Brian lemes banget,"ucap si kecil lirih. Tiba-tiba tubuh Brian kejang. Ambar pun panik."Sayang, Brian!"teriak Ambar histeris. Dirinya telah mengalami masa sulit dua tahun belakangan. Bagi dia saat ini yang terpenting dalam hidupnya adalah putra semata wayangnya Brian. Ambar melihat putranya seperti orang sekarat. Tangan buru-buru menekan tombol darurat.Sabrina yang berada di depan ruangan segera masuk karena mendengar jerit histeris Ambar. Tak berapa lama, dua orang perawat datang untuk memeriksa keadaan Brian. Ambar dan Sabrina menunggu di luar ruangan.Seorang dokter datang lalu menyapa kedua wanita. Kemudian pria berjas putih tersebut masuk ruangan. Rafael seakan-akan tahu keadaan Brian. Pr
"Belum ada, Mbak. Saya juga harap-harap cemas ini. Minta doanya, Mbak.""Pasti aku doakan yang terbaik, Bang. Semoga rekaman CCTV bisa membantu pengungkapan kasus. Sayangnya, kamera bagian samping sengaja dirusak pelaku. Cuma ada rekaman bagian beranda, dalam dan lantai atas.""Kami sudah ada rekaman CCTV dari sekitar TKP, Mbak.""Soal Bu Nur sudah diselidiki?""Bu Nur terindikasi jadi bagian komplotan kejahatan tersebut.""Oh my God! Pantas saja dia berani nyusup ke rumah Bapak,"ucap Ambar dengan raut wajah kaget. Dia tidak menyangka jika wanita separuh baya yang terlihat polos itu punya niat jahat."Saya mau cari sendiri keberadaan Dek Lastri, Mbak. Lama nungguin polisi," balas Bang Reno. Raut kesedihan terlihat jelas di wajahnya. Ambar tidak ingin membahas hal itu lagi. Ia datang ke kantor polisi guna memberi tambahan informasi serta menyerahkan rekaman CCTV.Ambar memberikan rekaman CCTV dari tempat usahanya dan juga kediaman Tuan Gerry. Dari rekaman CCTV pula, akhirnya Ambar tahu