Tiba-tiba ponsel Ambar berdering dari dalam tas. Wanita berkaki jenjang ini lalu merogohnya. Tampak di layar terdapat sebuah pesan masuk dari nomor yang meneleponnya tadi. Ambar segera membacanya.[Benar ini Brian?] disertai sebuah foto sang bocah yang berdiri di depan gerbang sekolah. Seketika hati Ambar diselimuti perasaan cemas sekaligus panik. Bagaimana mungkin orang asing ini bisa memata-matai putranya.Ada tujuan apa dia?Ambar khawatir Brian menjadi sasaran kejahatan orang ini. Namun, kalau memang orang jahat, kenapa pula harus mengirim pesan terlebih dahulu. Akhirnya, Ambar memberanikan diri untuk membalas orang tersebut.[Maaf, dapat nomor saya dari mana? Anda siapa?]Pesan terkirim dan segera dibaca. Orang ini memang menunggu balasannya. Tak berapa lama, Ambar menerima pesan balasan.[Saya telah menyimpan nomor kamu selama ini dan secepatnya, saya akan menemui kalian]. Ambar membaca pesan dengan tangan gemetar.Reaksi Ambar terlihat oleh Bu Retno. Wanita setengah baya ini s
Hari ini kebahagiaan telah menyelimuti mereka. Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel Ambar berdering. Ambar dengan wajah masih menahan mual segera merogoh isi dalam tas, untuk mengambil ponsel. Tampak di layar tertera nomor pria misterius dan Ambar gegas menjawab panggilan telepon. “Selamat sore.”“Selamat sore, Sweety. Aku telah mengirimkan brownies kesukaan kamu. Semoga kamu bisa segera mengingatku,” ucap pria misterius dari seberang telepon dan Ambar segera memekik,”Bang Rafael ...!”Bu Retno yang mendengar pekikan Ambar pun seketika syok. Bagaimana mungkin, sosok menantu yang telah dimakamkan setahun silam bisa kembali hidup? Apakah seseorang yang mempunyai wajah mirip dan ada maksud tertentu? Banyak yang dipikirkan wanita separuh baya ini.Ambar seketika pingsan dan ponsel pun jatuh. Sapto segera meminggirkan mobil di pinggir jalan. Dia cekatan membetulkan posisi Ambar dan mengambil ponsel yang terjatuh lalu mematikannya. Sedangkan Bu Retno lebih tegar daripada sang putri. Wanita sepa
"Permisi! Holland Bakery.”“Ada paket makanan. Dari siapa, ya?” tanya Bu Retno sembari berdiri diikuti Brian. Anak kecil ini segera menyahut,”Brian suka cake dari Holland, Nek. Ikut ambil, ya?”Bu Retno yang masih kebingungan terpaksa mengangguk lalu menggandeng cucunya untuk menghampiri kurir. Tampak di balik pagar, seorang pria dengan kardus berukuran tanggung di tangan tersenyum ke arah mereka. “Selamat sore. Ada kiriman brownies untuk Ibu Ambar,” ucap pria tersebut ramah.Bu Retno membalas senyum dan Brian terlihat antusias memandang kardus yang dipegang sang kurir. Wanita separuh baya ini lalu membuka pintu gerbang untuk menerima paket. Kurir pun segera pergi setelah menyerahkan paket. Brian segera mengambil alih kardus sambil berucap,”Mama udah lama gak makan brownies, Nek. Tumben sekarang pesen. Mama mau bikin pesta karena kita pulang dari rumah sakit.”Celotehan Brian membuat Bu Retno bertambah gelisah. Kedua mata rentanya mengamati sekeliling, tetapi tak didapati hal-hal menc
“Brian punya Teacher dan adek bayi kan anak Papa Hadi,” jawab Brian yang seketika membuat tertawa yang lain. Sapto menggelengkan kepala lalu berucap penuh kasih kepada calon anak tirinya.“Brian tetap anak Papa Rafael, meski suatu saat jadi anak Teacher karena Teacher akan segera menikah dengan Mama. Dan adek dalam perut adalah anak Teacher juga, bukan anak Papa Hadi,” jelas Sapto kepada Brian yang masih sibuk mencerna kata-kata pria di hadapannya barusan. Sapto tersenyum melihat si bocah merenung lalu mengajak masuk menyusul yang lain.“Brian, gimana browniesnya, nih? Bisa dimakan, gak?” tanya Sabrina sambil berekpresi layaknya orang sedang makan dengan mulut menggelembung. Brian segera mendekat sambil menyeret lengan Sapto lalu mulai merajuk,”Teacher, boleh dimakan dong. Semutnya gak mati, tuh.” Sapto lalu duduk sembari memangku bocah berambut lebat tersebut. “Brownies ini dikirim untuk untuk siapa?” tanya pria berambut cepak ala militer sambil melirik ke arah Ambar.Wanita yang dil
“Whaatt! Aku milikmu?” tanya Ambar setengah menjerit lalu meraba kulit leher. Benar saja ada perasaan tak enak dalam hatinya. Kulit leher terasa perih dan kasar dan itu sudah pasti hasil olah bibir Rafael. Sang pria tertawa lebar melihat kepanikan Ambar dan dia semakin gemas.“Kenapa, Angel? Bukankah kamu selalu menginginkan ini?” Rafael semakin mempererat pegangan tangannya di pinggang Ambar. Bukannya menjawab, wanita berkuncir kuda ini segera mengurai pelukan lalu mencari sesuatu dalam tas. Rafael memeluknya dari belakang, sementara Ambar mengoleskan cairan terapi pada kulit leher.“Semoga segera pulih,” gumam Ambar yang terdengar jelas di telinga Rafael. Sang pria lalu membalikkan tubuh Ambar dan tampak ekspresi kecewa di raut wajah pria berdarah Spanyol tersebut.“Hunter, kita bukan suami istri lagi. Kamu ....” Ambar tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Kini, dia menangis tersedu-sedu di bahu pria cinta pertamanya ini. “Angel, bantu aku usut kasus ini. Temani aku, lapor polisi hari
Hubungan telepon berakhir. Tangan Rafael meraih kepala Ambar lalu disandarkan ke bahu. Rafael mengecup sekilas ujung kepala Ambar sambil tersenyum bahagia. Dia wanitaku dan akan tetap jadi milikku hingga ajal menjemput. Apa pun yang terjadi, batinnya.“Dia sangat sayang padamu, Angel. Kalian kenal lama?”“Dia guru Brian, Hunter.” Rafael tersenyum mendengar jawaban Ambar. Sedangkan sang wanita sesekali menahan mual di perut dan pria berparas Latin ini sangat memahaminya. Ambar melihat mobil tak lagi mengarah ke pantai seketika terkejut.“Hunter! Mau ke mana?” Rafael tak menggubris pertanyaan Ambar, bahkan meraih sebuah aroma terapi dari laci dashboard lalu diberikan ke Ambar. Wanita muda ini pun segera mengoleskan aroma tersebut ke hidung dan leher.Hanya perlu sepuluh menit, mobil yang ditumpangi mereka telah sampai ke tempat parkir sebuah praktek dokter kandungan. Mereka gegas turun lalu berjalan dengan mesra. Rafael merangkul bahu Ambar erat-erat, sedangkan lengan kanan sang wanita
“Kami dalam kesulitan sekarang. Gimana cara Rafael mendapat identitasnya kembali,”sahut Ambar berurai air mata.“Dia udah lapor ke polisi. Suatu saat kamu juga akan dipanggil polisi sebagai polisi.”“Iya, Lidya. Aku tau itu. Kami masih saling cinta, tapi aku akan segera nikah.”“Aku ikuti kasus kamu dan Brian, tapi belum cerita ke Rafael. Khawatir dia syok, bisa amnesia lagi. Waktu liat kamu dipeluk pacar, dia cerita dengan menangis. Untung, gak terlalu syok.”“Whaatt! dia udah lama di sini? Tinggal di mana?”“Ada sebulan dia di sini. Sementara sewa apartemen. Ambar, kita harus cari keluarga teman Rafael yang mati. Dari mereka, Rafael bisa dapat identitas kembali. Dengan kamu berada bersamanya, semua ingatan Rafael akan cepat pulih. Lebih tepatnya, kamu dan Brian. Tapi aku kita tau kondisi Brian.” Ambar mengangguk mendengar penjelasan Lidya. Sementara, dirinya sendiri bingung dengan situasi rumit yang menimpa mereka. Dia harus selalu bersama dengan Rafael, di sisi lain, harus segera p
“Auch Aah!” Ambar yang terkejut mendapat serangan tiba-tiba mulai mendesah. Sekarang, dia ikut agresif memberi balasan serangan dari Rafael. Kedua tangan Ambar aktif menelusuri setiap lekuk tubuh Rafael lalu bergerak turun ke arah benda kenyal yang mengeras di pangkal paha pria macho ini.Rafael yang telah lama tak tersentuh oleh wanita semakin liar merasakan bagian bawahnya dalam remasan lembut Ambar. “Angel, i’m yours.”Jemari Rafael membuka beberapa kancing blouse lalu mulutnya mengisap salah satu puncak bukitnya. Dia merasakan sensasi rasa gurih cairan kental yang terisap. Ambar semakin mendesah karenanya. “Hunter, my love.”Mulut Rafael bergantian menjelajah kedua bukit dan Ambar semakin meremas pangkal paha Rafael. Remasan dan usapan jemari Ambar membuat sang pria semakin tak terkendali. ‘Ting!’ Pintu lift terbuka dan Rafael seketika mendekap tubuh Ambar. Seorang pria setengah baya masuk lift tersenyum ke arah Rafael. Mereka bertetangga di lantai 4—tempat apartemen Rafael. Namun