“Auch Aah!” Ambar yang terkejut mendapat serangan tiba-tiba mulai mendesah. Sekarang, dia ikut agresif memberi balasan serangan dari Rafael. Kedua tangan Ambar aktif menelusuri setiap lekuk tubuh Rafael lalu bergerak turun ke arah benda kenyal yang mengeras di pangkal paha pria macho ini.Rafael yang telah lama tak tersentuh oleh wanita semakin liar merasakan bagian bawahnya dalam remasan lembut Ambar. “Angel, i’m yours.”Jemari Rafael membuka beberapa kancing blouse lalu mulutnya mengisap salah satu puncak bukitnya. Dia merasakan sensasi rasa gurih cairan kental yang terisap. Ambar semakin mendesah karenanya. “Hunter, my love.”Mulut Rafael bergantian menjelajah kedua bukit dan Ambar semakin meremas pangkal paha Rafael. Remasan dan usapan jemari Ambar membuat sang pria semakin tak terkendali. ‘Ting!’ Pintu lift terbuka dan Rafael seketika mendekap tubuh Ambar. Seorang pria setengah baya masuk lift tersenyum ke arah Rafael. Mereka bertetangga di lantai 4—tempat apartemen Rafael. Namun
“Titip Brian dan Ambar, ya.”Mobil bergerak meninggalkan lokasi dengan tubuh Sabrina berdiri mematung. Wanita bermata sipit tersebut menatap kepergiaan Bu Retno dengan heran. Kenapa Tante menangis, ya? Hanya memberi keterangan di kantor polisi, ekspresinya kayak jadi tersangka, batin Sabrina.Saat Sabrina sedang asik dengan ponsel, terdengar suara mobil berhenti di luar gerbang. Wanita bermata sipit ini langsung mendongak untuk melihat penumpang mobil. Sabrina pun terperangah, ternyata ibu Sapto sedang turun dari taksi. Sabrina bangkit dan segera berjalan menghampiri mereka. “Selamat sore,”sapa ibunya Sapto saat Sabrina telah dekat gerbang.“Selamat sore, Bu,” balas Sabrina sambil membuka pintu gerbang lalu mempersilakan sang tamu untuk masuk. Kemudian, dia pun menutup kembali.“Sapto ada?” tanya wanita separuh baya ini sembari berjalan beriringan dengan Sabrina.“Maaf, Bu. Tadi Bang Sapto keluar, katanya mau jemput Ibu. Sampe sekarang belum balik.”“Kirain udah pulang bareng sama Amb
Ambar tak menghiraukan Rafael. Dia melangkahkan kaki untuk membuka pintu langsung ke ruang tamu dan buru-buru keluar. Lidya segera berlari mengejar wanita berkuncir kuda ini.Beruntung, langkah kaki Rafael lebih cepat menghadang Ambar yang akan memasuki lift.“Angel! Aku jelasin dulu,” mohon Rafael sambil memeluk tubuh Ambar. Pria berparas Latin ini mengurai pelukan lalu dengan memegang kedua bahu Ambar, dia menatap lembut ke mata Ambar.“I want you to hear me, please. Seminggu lalu, aku diajak Lidya membezuknya. B’coz, she wants my death. Dia yang suruh orang untuk menyandera aku dan beruntung aku lolos. Dia hanya tau, aku telah lolos lalu mati dalam kecelakaan pesawat. Saat aku datang, dia terkejut. Dan sekarang mati dengan meninggalkan surat. I don’t know, what for?”Ambar seketika kaget mendengar pengakuan Rafael. Rupanya selama ini, Mita mempunyai rencana jahat dan dirinya tak pernah menyadari. Sahabat baiknya telah menginginkan kematian Rafael. Ambar melihat wajah pria di hadapa
“Aku tau kau selalu menginginkan dan aku tak ingin lebih lagi untuk hari ini. Demi bayi aku,”ucap Ambar.Rafael merasa ikut miris, jika Ambar tahu bahwa Sapto telah dijadikan tersangka utama pembunuhan Eksanti. Bayi dalam rahimnya akan tumbuh tanpa bapak biologis. Sedangkan kini, tampak, Ambar sedang mengelus perutnya yang masih datar.“Angel! Setelah ini kita belanja untuk persiapan pernikahan. Kita akan lakukan secepatnya,” ucap Rafael yang tiba-tiba telah berdiri di belakang Ambar.“Gimana aku ngomong ke Bang Sapto? Dalam rahimku ...” Rafael mengecup bibir Ambar lalu memeluk wanitanya mesra. Dia ingin kasih tau tentang yang terjadi terhadap Sapto, tetapi tak sampai hati.Tiba-tiba ponsel Ambar berdering. Mereka segera mengurai pelukan dan wanita berkaki jenjang menuju ke kamar untuk mengambil ponsel. Tampak di layar tertera nomor kontak penyidik.“Selamat sore, Pak.”“Selamat sore juga. Mohon kesediaan Bu Ambar untuk memberi keterangan di kantor berkaitan dengan Bu Retno.”“Ibu say
“Hunter, tolong bilang, aku lagi gak enak badan.” Rafael pun segera mengambil ponsel tersebut lalu membuka menu.Tampak sebuah pesan telah diterima. Pria ini membuka pesan dan sangat kaget mendapati tubuh bugilnya dalam berbagai pose dengan Mita yang juga dalam keadaan polos. Mereka sedang berada dalam sebuah kamar dan itu seperti kamar pribadi, bukan hotel. Nomor kontak siapa ini? Berani betul kirim foto-foto ini ke Ambar. Untuk apa?“Hunter, what’s wrong with my handphone?”tanya Ambar saat melihat Rafael yang terpaku pada layar.“Eng-gak. Surat dari Mita berhubungan dengan ini.” Rafael memberikan ponsel ke Ambar.“Oh, MyGod! When?!” Ambar seketika menatap tajam Rafael.“Entah! Aku gak pernah ketemu Mita secara pribadi. Itu selalu bersama kamu. Aku gak pernah khianati kamu, sampe hari ini. Selama setaon kita pisah pun.”“Mita masih virgin, Hunter. Coba aku tanya Bang Hadi.”Rafael merasa surprise dengan reaksi Ambar. Wanitanya tak goyah oleh foto-foto vulgar yang diterima.“Mita udah
“Sayang, maafin Mama. Antre di dokter lama. Udah mau pulang, nih. Brian mau pesan apa?” tanya Ambar terdengar berhati-hati karena khawatir sang bocah tantrum.“Brian pengen jus mangga pake madu.”Brian sedang asik ngobrol dengan mamanya. Mata Sabrina awas mengamati sebuah mobil yang berhenti di seberang rumah. Tampak sang pengemudi mengamati keadaan rumah Ambar. Sabrina yang penasaran lalu berjalan keluar untuk melihatnya. Begitu Sabrina keluar, mobil segera bergerak pergi.“Aunty, mau pesen apa?” tanya Brian yang telah berada di ambang pintu. Sabrina seketika berteriak karena kaget. Brian panik, sekujur tubuh bocah tersebut gemetar lalu duduk sambil memegang lutut. Histeris. Ponsel yang dipegangnya jatuh ke lantai.“Brian, maafkan Aunty!” Sabrina berlari lalu memeluk Brian sembari mengusap lembut punggung sang bocah.Wanita bermata sipit kebingungan karena baru kali ini sendirian menangani Brian yang histeris. Sabrina segera mengambil ponselnya, hendak menghubungi Ambar, tetapi tak b
“Brian bantu angkat dus. Papa mau dorong kursi roda. Papa Hadi perlu berbaring. Kasian.”Bocah gembul menuruti kata Rafael. Dia mulai ikut sibuk membawa kardus. Sementara, Rafael mendorong kursi roda Hadi menuju kamar depanKini semua telah berkumpul di ruang tamu, kecuali Hadi. Pria berkaca mata perlu beristirahat. Ambar mengajak Sabrina ke dapur untuk mengambil perkakas makan.“Maksud lo, bawa mereka ke rumah, ngapain? Bukannya Bang Sapto dan Bang Hadi masih tahanan?” Sabrina berbicara sambil berbisik ke Ambar.“Bang Sapto hanya sebagai saksi. Sedangkan, Bang Hadi menjadi tahanan kota dengan gue sebagai penjamin demi keamanan dan kesehatannya.”“Bang Rafael setuju?”“Iyalah. Buktinya lo tau sendiri,” balas Ambar lalu tersenyum.Sabrina heran dengan kerukunan mereka. Namun, tetap saja di hati wanita bermata sipit masih penasaran. Seperti tak puas atas jawaban Ambar, Sabrina pun masih berbisik,”Lo kaga tau dalam hati Bang Rafael, secara dia yang akan bersama lo. Bener gitu, gak?”“Iya
“Brian tak sehat?” tanya Rafael sambil menatap dua manik mata Ambar. Wanita berkaki jenjang tak menjawab, hanya tangisan yang keluar dari bibir. Rafael pun duduk di samping Ambar lalu memeluknya. Wanita berkuncir kuda ini menangis sesengukan di dada Rafael.“Brian terinfeksi HIV, Hunter,” jelas Ambar dengan terbata-bata.“Dari mana?” Rafael bertanya sembari mendongakkan dagu Ambar. Pria berparas Latin ini tampak tak terima, anak semata wayangnya menderita terjangkit virus yang mematikan tersebut.“Brian jadi korban pelecehan, Hunter.”“Siapa pelakunya?”“Udah mati keracunan.”“Siapa dia?”“Eksanti, adek Bang Sapto,” ucap Ambar dengan bibir bergetar.“Hubungan kalian terjadi sebelum kasus?” Pertanyaan Rafael kali ini membuat Ambar mati kutu. Dia tak berkutik harus bagaimana ungkapkan semua. Sabrina sebagai sahabat karib, tak tega melihat Ambar seperti terpojok.“Maaf, Bang. Terpaksa ikut bicara. Tolong, jangan hakimi Ambar seperti ini. Dia dalam keadaan terpuruk saat itu. Dan Bang Sapt