Ambar tak menghiraukan Rafael. Dia melangkahkan kaki untuk membuka pintu langsung ke ruang tamu dan buru-buru keluar. Lidya segera berlari mengejar wanita berkuncir kuda ini.Beruntung, langkah kaki Rafael lebih cepat menghadang Ambar yang akan memasuki lift.“Angel! Aku jelasin dulu,” mohon Rafael sambil memeluk tubuh Ambar. Pria berparas Latin ini mengurai pelukan lalu dengan memegang kedua bahu Ambar, dia menatap lembut ke mata Ambar.“I want you to hear me, please. Seminggu lalu, aku diajak Lidya membezuknya. B’coz, she wants my death. Dia yang suruh orang untuk menyandera aku dan beruntung aku lolos. Dia hanya tau, aku telah lolos lalu mati dalam kecelakaan pesawat. Saat aku datang, dia terkejut. Dan sekarang mati dengan meninggalkan surat. I don’t know, what for?”Ambar seketika kaget mendengar pengakuan Rafael. Rupanya selama ini, Mita mempunyai rencana jahat dan dirinya tak pernah menyadari. Sahabat baiknya telah menginginkan kematian Rafael. Ambar melihat wajah pria di hadapa
“Aku tau kau selalu menginginkan dan aku tak ingin lebih lagi untuk hari ini. Demi bayi aku,”ucap Ambar.Rafael merasa ikut miris, jika Ambar tahu bahwa Sapto telah dijadikan tersangka utama pembunuhan Eksanti. Bayi dalam rahimnya akan tumbuh tanpa bapak biologis. Sedangkan kini, tampak, Ambar sedang mengelus perutnya yang masih datar.“Angel! Setelah ini kita belanja untuk persiapan pernikahan. Kita akan lakukan secepatnya,” ucap Rafael yang tiba-tiba telah berdiri di belakang Ambar.“Gimana aku ngomong ke Bang Sapto? Dalam rahimku ...” Rafael mengecup bibir Ambar lalu memeluk wanitanya mesra. Dia ingin kasih tau tentang yang terjadi terhadap Sapto, tetapi tak sampai hati.Tiba-tiba ponsel Ambar berdering. Mereka segera mengurai pelukan dan wanita berkaki jenjang menuju ke kamar untuk mengambil ponsel. Tampak di layar tertera nomor kontak penyidik.“Selamat sore, Pak.”“Selamat sore juga. Mohon kesediaan Bu Ambar untuk memberi keterangan di kantor berkaitan dengan Bu Retno.”“Ibu say
“Hunter, tolong bilang, aku lagi gak enak badan.” Rafael pun segera mengambil ponsel tersebut lalu membuka menu.Tampak sebuah pesan telah diterima. Pria ini membuka pesan dan sangat kaget mendapati tubuh bugilnya dalam berbagai pose dengan Mita yang juga dalam keadaan polos. Mereka sedang berada dalam sebuah kamar dan itu seperti kamar pribadi, bukan hotel. Nomor kontak siapa ini? Berani betul kirim foto-foto ini ke Ambar. Untuk apa?“Hunter, what’s wrong with my handphone?”tanya Ambar saat melihat Rafael yang terpaku pada layar.“Eng-gak. Surat dari Mita berhubungan dengan ini.” Rafael memberikan ponsel ke Ambar.“Oh, MyGod! When?!” Ambar seketika menatap tajam Rafael.“Entah! Aku gak pernah ketemu Mita secara pribadi. Itu selalu bersama kamu. Aku gak pernah khianati kamu, sampe hari ini. Selama setaon kita pisah pun.”“Mita masih virgin, Hunter. Coba aku tanya Bang Hadi.”Rafael merasa surprise dengan reaksi Ambar. Wanitanya tak goyah oleh foto-foto vulgar yang diterima.“Mita udah
“Sayang, maafin Mama. Antre di dokter lama. Udah mau pulang, nih. Brian mau pesan apa?” tanya Ambar terdengar berhati-hati karena khawatir sang bocah tantrum.“Brian pengen jus mangga pake madu.”Brian sedang asik ngobrol dengan mamanya. Mata Sabrina awas mengamati sebuah mobil yang berhenti di seberang rumah. Tampak sang pengemudi mengamati keadaan rumah Ambar. Sabrina yang penasaran lalu berjalan keluar untuk melihatnya. Begitu Sabrina keluar, mobil segera bergerak pergi.“Aunty, mau pesen apa?” tanya Brian yang telah berada di ambang pintu. Sabrina seketika berteriak karena kaget. Brian panik, sekujur tubuh bocah tersebut gemetar lalu duduk sambil memegang lutut. Histeris. Ponsel yang dipegangnya jatuh ke lantai.“Brian, maafkan Aunty!” Sabrina berlari lalu memeluk Brian sembari mengusap lembut punggung sang bocah.Wanita bermata sipit kebingungan karena baru kali ini sendirian menangani Brian yang histeris. Sabrina segera mengambil ponselnya, hendak menghubungi Ambar, tetapi tak b
“Brian bantu angkat dus. Papa mau dorong kursi roda. Papa Hadi perlu berbaring. Kasian.”Bocah gembul menuruti kata Rafael. Dia mulai ikut sibuk membawa kardus. Sementara, Rafael mendorong kursi roda Hadi menuju kamar depanKini semua telah berkumpul di ruang tamu, kecuali Hadi. Pria berkaca mata perlu beristirahat. Ambar mengajak Sabrina ke dapur untuk mengambil perkakas makan.“Maksud lo, bawa mereka ke rumah, ngapain? Bukannya Bang Sapto dan Bang Hadi masih tahanan?” Sabrina berbicara sambil berbisik ke Ambar.“Bang Sapto hanya sebagai saksi. Sedangkan, Bang Hadi menjadi tahanan kota dengan gue sebagai penjamin demi keamanan dan kesehatannya.”“Bang Rafael setuju?”“Iyalah. Buktinya lo tau sendiri,” balas Ambar lalu tersenyum.Sabrina heran dengan kerukunan mereka. Namun, tetap saja di hati wanita bermata sipit masih penasaran. Seperti tak puas atas jawaban Ambar, Sabrina pun masih berbisik,”Lo kaga tau dalam hati Bang Rafael, secara dia yang akan bersama lo. Bener gitu, gak?”“Iya
“Brian tak sehat?” tanya Rafael sambil menatap dua manik mata Ambar. Wanita berkaki jenjang tak menjawab, hanya tangisan yang keluar dari bibir. Rafael pun duduk di samping Ambar lalu memeluknya. Wanita berkuncir kuda ini menangis sesengukan di dada Rafael.“Brian terinfeksi HIV, Hunter,” jelas Ambar dengan terbata-bata.“Dari mana?” Rafael bertanya sembari mendongakkan dagu Ambar. Pria berparas Latin ini tampak tak terima, anak semata wayangnya menderita terjangkit virus yang mematikan tersebut.“Brian jadi korban pelecehan, Hunter.”“Siapa pelakunya?”“Udah mati keracunan.”“Siapa dia?”“Eksanti, adek Bang Sapto,” ucap Ambar dengan bibir bergetar.“Hubungan kalian terjadi sebelum kasus?” Pertanyaan Rafael kali ini membuat Ambar mati kutu. Dia tak berkutik harus bagaimana ungkapkan semua. Sabrina sebagai sahabat karib, tak tega melihat Ambar seperti terpojok.“Maaf, Bang. Terpaksa ikut bicara. Tolong, jangan hakimi Ambar seperti ini. Dia dalam keadaan terpuruk saat itu. Dan Bang Sapt
“Ah, Abaaang. Aku gak tahan,” ucap Ambar sembari menekan pantat Sapto.“Ayo, Sayang ... Aah ... aah. Sayaaang,” sahut Sapto yang mulai berkeringat.“Abaaang ....”“Ya, Sa-yaaang ... ayo barengan,” ucap lembut Sapto sembari menatap raut wajah Ambar yang mulai berkeringat lalu saat merasakan puncak pelepasan, Sapto mengulum bibir Ambar sangat kuat. Sesaat tubuh mereka mengejang bersamaan lalu melemas.“Sayang, terima kasih. I love you,” ucap Sapto sembari menuntaskan sisa cairan dalam tubuh Ambar.“Abang, Sayang. I love you too,” jawab Ambar lalu mengecup leher Sapto hingga meninggalkan jejak merah.“Beri Abang kesempatan merasakan cintamu sepenuh hati, Sayang,” ucap Sapto sambil memeluk tubuh istrinya.“Ya, Abang. Aku akan lakukan yang terbaik dengan cinta.”“Beneran? Gimana dengan Bang Rafael?”tanya Sapto sembari memainkan anak rambut di kening Ambar. Sensasi rasa cinta seketika membuai Ambar kembali.“Dengan Abang, aku rasakan sensasi yang beda. Aku rasa asing dengan Bang Rafael,” uca
“Namanya juga cinta. Pake hodie, biar gak kelihatan. Bentar, Abang ambilin,” sahut Sapto sembari melangkahkan kaki ke arah kamar.Beberapa saat kemudian, pria tersebut telah keluar sambil membawa hodie warna hitam. Sapto lalu memakaikan benda tersebut ke tubuh Ambar. Hodie tampak pas di badan Ambar dan itu adalah hodie wanita.“Punya siapa?” tanya Ambar sembari mengamati hodie yang dipakainya.“Mau kasih Brian, gak taunya keliru order. Beli online,” jawab Sapto tersenyum.“Kirain punya cewek ketinggalan. Beneran, gak tampak?” Sapto mengangguk lalu mengikuti langkah Ambar menuju ruang tamu.“Kami pamit dulu, Pak,” ucap Bu Nur diikuti oleh Mbak Lastri.“Saya titip istri, ya,” balas Sapto lalu mengecup kening Ambar.Ketiga wanita melangkah ke tempat mobil terparkir diikuti oleh Sapto. Bu Nur dan Mbak Lastri yang melihat kemesraan pasangan pengantin baru ini, tersenyum kecil. Sesaat mobil akan berangkat, Sapto menyempatkan mencium bibir Ambar sekilas.“Hati-hati, Sayang,” ucap Sapto.“Tem