“Brian tak sehat?” tanya Rafael sambil menatap dua manik mata Ambar. Wanita berkaki jenjang tak menjawab, hanya tangisan yang keluar dari bibir. Rafael pun duduk di samping Ambar lalu memeluknya. Wanita berkuncir kuda ini menangis sesengukan di dada Rafael.“Brian terinfeksi HIV, Hunter,” jelas Ambar dengan terbata-bata.“Dari mana?” Rafael bertanya sembari mendongakkan dagu Ambar. Pria berparas Latin ini tampak tak terima, anak semata wayangnya menderita terjangkit virus yang mematikan tersebut.“Brian jadi korban pelecehan, Hunter.”“Siapa pelakunya?”“Udah mati keracunan.”“Siapa dia?”“Eksanti, adek Bang Sapto,” ucap Ambar dengan bibir bergetar.“Hubungan kalian terjadi sebelum kasus?” Pertanyaan Rafael kali ini membuat Ambar mati kutu. Dia tak berkutik harus bagaimana ungkapkan semua. Sabrina sebagai sahabat karib, tak tega melihat Ambar seperti terpojok.“Maaf, Bang. Terpaksa ikut bicara. Tolong, jangan hakimi Ambar seperti ini. Dia dalam keadaan terpuruk saat itu. Dan Bang Sapt
“Ah, Abaaang. Aku gak tahan,” ucap Ambar sembari menekan pantat Sapto.“Ayo, Sayang ... Aah ... aah. Sayaaang,” sahut Sapto yang mulai berkeringat.“Abaaang ....”“Ya, Sa-yaaang ... ayo barengan,” ucap lembut Sapto sembari menatap raut wajah Ambar yang mulai berkeringat lalu saat merasakan puncak pelepasan, Sapto mengulum bibir Ambar sangat kuat. Sesaat tubuh mereka mengejang bersamaan lalu melemas.“Sayang, terima kasih. I love you,” ucap Sapto sembari menuntaskan sisa cairan dalam tubuh Ambar.“Abang, Sayang. I love you too,” jawab Ambar lalu mengecup leher Sapto hingga meninggalkan jejak merah.“Beri Abang kesempatan merasakan cintamu sepenuh hati, Sayang,” ucap Sapto sambil memeluk tubuh istrinya.“Ya, Abang. Aku akan lakukan yang terbaik dengan cinta.”“Beneran? Gimana dengan Bang Rafael?”tanya Sapto sembari memainkan anak rambut di kening Ambar. Sensasi rasa cinta seketika membuai Ambar kembali.“Dengan Abang, aku rasakan sensasi yang beda. Aku rasa asing dengan Bang Rafael,” uca
“Namanya juga cinta. Pake hodie, biar gak kelihatan. Bentar, Abang ambilin,” sahut Sapto sembari melangkahkan kaki ke arah kamar.Beberapa saat kemudian, pria tersebut telah keluar sambil membawa hodie warna hitam. Sapto lalu memakaikan benda tersebut ke tubuh Ambar. Hodie tampak pas di badan Ambar dan itu adalah hodie wanita.“Punya siapa?” tanya Ambar sembari mengamati hodie yang dipakainya.“Mau kasih Brian, gak taunya keliru order. Beli online,” jawab Sapto tersenyum.“Kirain punya cewek ketinggalan. Beneran, gak tampak?” Sapto mengangguk lalu mengikuti langkah Ambar menuju ruang tamu.“Kami pamit dulu, Pak,” ucap Bu Nur diikuti oleh Mbak Lastri.“Saya titip istri, ya,” balas Sapto lalu mengecup kening Ambar.Ketiga wanita melangkah ke tempat mobil terparkir diikuti oleh Sapto. Bu Nur dan Mbak Lastri yang melihat kemesraan pasangan pengantin baru ini, tersenyum kecil. Sesaat mobil akan berangkat, Sapto menyempatkan mencium bibir Ambar sekilas.“Hati-hati, Sayang,” ucap Sapto.“Tem
“Mbak Ambar sudah masuk perangkap mereka. Maka dari itu, saya perlu bergerak. Tolong bantu saya untuk mengungkap kasus ini. Saya telah bekerja sama dengan kepolisian.”“Masuk perangkap mereka? Mana mungkin!”“Kalo saya bilang, Bang Sapto adalah informan terbaik bagi Bu Darti gimana?” “Itu lebih tak masuk akal! Mana mungkin, suami saya mau menjual istri dan anaknya?”“Memang itu kerjaan dia,” sahut Bang Reno dengan percaya diri.“Omong kosong! Saya adalah wanita pertama yang diajak ML dengan Bang Sapto. Mana mungkin jadi kerjaan?” tanya Ambar dengan nada meninggi.“Udah berapa taon kenal Bu Darti?” tanya Bang Reno.“Sejak berteman dengan Mita. SMP kelas 2, dia pindah kemari.”“Bu Darti yang Mbak Ambar kenal itu adalah kembaran mama Mita. Percaya, gak?”“Ini apalagi! Semakin gak masuk akal,” jawab Ambar sembari geleng-geleng kepala.Bu Nur dan Mbak Lastri yang mendengar pembicaraan keduanya, ikut terperangah. Kaget. Serumit itu, kenyataan yang harus dihadapi oleh Ambar. Sedangkan Ambar
"Mereka pacaran?” tanya Ambar kepada Bu Nur.“Iya, Mbak. Masih sekitar dua bulanan ini,” jawab wanita setengah umur tersebut.Ambar mendengar suara ponselnya berbunyi dari dalam tas. Wanita ini segera mengambilnya. Tampak di layar tertera nomor kontak Sapto.“Ya, Bang. Mereka udah datang?”“Baru aja datang. Ada di mana?” tanya Bang Sapto dari ujung telepon.“Di Warung Pasundan. Ini udah siap-siap akan pulang.”“Yodah. Hati-hati di jalan, Sayang.”Ambar pun segera memutuskan sambungan telepon. Dirinya menjadi grogi juga untuk bertemu dengan Sapto setelah diberitahu Bang Reno tentang latar belakang suaminya. Ambar memasukkan ponsel ke tas. Kemudian ia menoleh ke arah Bu Nur."Kita pulang yuk, Bu. Di rumah ada tamu soalnya," ucap Ambar kepada Bu Nur."Kalo Mbak Ambar buru-buru, langsung pulang saja. Saya bisa pesan taksi," balas Bu Nur."Sekalian saya antar, Bu. Tamunya Brian dan papanya," jelas Ambar sembari berdiri. Kemudian, Bu Nur pun mengikutinya."Terima kasih banyak, Mbak. Wah, De
"Kamu tuh anak laki-laki! Enggak usah lembek macam cewek!"Bukannya merasa kasihan terhadap anak ,sambungnya a, Sapto menarik tubuh Brian dengan kasar lalu menghempaskannya. Anak laki-laki tersebut jatuh terjengkang di atas rerumputan."Apa-apaan kamu, Bang?!"teriak Ambar dengan intonasi tinggi.Ia gegas menghampiri putranya dan langsung membantunya berdiri. Tanpa disangka-sangka, Sapto mengayunkan sebongkah kayu ke arah Brian. Anak tersebut pun langsung tersungkur. Ambar yang kaget langsung mengalami kram di perut. Ia jatuh tak sadarkan diri.***"Ambar, masih pusing?"tanya Sabrina saat wanita berkaki jenjang tersebut membuat mata. Ada rasa perih di perut dan juga lemas di sekujur badan."Kenapa gua di sini?" Ambar memandangi seluruh ruangan. Ia paham sedang berada dalam ruang perawatan. Di lengan tertancap jarum infus. Dari kedua pelupuk mata merembes buliran-buliran bening. "Brian? Bang Rafael?"Sabrina membetulkan anak rambut yang menutupi sebagian wajah Ambar."Mereka dirawat di
"Aku enggak bisa jamin itu terjadi. Tapi, akan aku sampaikan. Gak usah terlalu berharap. Kamu sadar enggak? Brian itu mati hidupnya Mbak Ambar. Kau udah mau bunuh anak itu dan sekarang mau ketemu ibunya. Masuk akal gak?" Bang Reno menggeleng-gelengkan kepala sambil menatap tajam ke arah Sapto."Aku cinta berat sama Ambar. Aku akan kasih semua hartaku, asal dia mau bertemu denganku. Reno, help me, please!""Ini benar-benar gila, Sapto. Aku gak bisa janji. Sekarang jalani saja proses kasus kamu," ucap Bang Reno lalu segera beranjak pergi meninggalkan ruang tahanan.Sapto yang sedang dalam sel tahanan memandang kepergian Bang Reno dengan perasaan hampa. Pria ini meneteskan air mata.••••~••••Langkah kaki Bang Reno sedikit berat dari pelataran parkir menuju ruang perawatan. Dalam otaknya sedang berputar-putar berbagai persoalan. Pria ini sedang memikirkan mana yang harus dibahas terlebih dulu. Sementara ia tahu betul bahwa Sapto kemungkinan besar akan kena pasal berlapis dan minimal huku
"Saya dapat telepon dari langganan katering. Mau ambil daftar pesanan. Kebetulan Mbak Ambar sudah setuju.""Bisa antar, Mbak. Sekalian saya ada keperluan keluar juga," balas Sabrina sambil melihat ada dua orang transgender sedang masuk lobby. "Mau diantar sekarang, Mbak?""Saya mungkin bareng dengan Bang Reno, Miss," balas Mbak Lastri sambil menatap layar ponsel. Wanita ini berencana menghubungi kekasihnya."Ya, udah. Kita masuk, yuk. Kebetulan ada yang mencurigakan, Mbak. Biar bisa ditangani Bang Reno.""Apa itu, Miss?""Nanti saya beritahu, saat sudah ada tanda-tanda ke arah jahat," ucap Sabrina.Kedua wanita berjalan berdampingan memasuki lobby. Sabrina meneruskan langkah sendiri, setelah Mbak Lastri belok ke arah ruang Anyelir. Tak lupa, Sabrina berpesan kepada kekasih Bang Reno, untuk menunggu kabar darinya.Sabrina berjalan menyusuri lorong dan akhirnya dia mencurigai seseorang yang keluar dari toilet. Dua orang perawat dengan gesture jalan sedikit ganjil.Wah, ini pasti wanita