“Sayang, maafin Mama. Antre di dokter lama. Udah mau pulang, nih. Brian mau pesan apa?” tanya Ambar terdengar berhati-hati karena khawatir sang bocah tantrum.“Brian pengen jus mangga pake madu.”Brian sedang asik ngobrol dengan mamanya. Mata Sabrina awas mengamati sebuah mobil yang berhenti di seberang rumah. Tampak sang pengemudi mengamati keadaan rumah Ambar. Sabrina yang penasaran lalu berjalan keluar untuk melihatnya. Begitu Sabrina keluar, mobil segera bergerak pergi.“Aunty, mau pesen apa?” tanya Brian yang telah berada di ambang pintu. Sabrina seketika berteriak karena kaget. Brian panik, sekujur tubuh bocah tersebut gemetar lalu duduk sambil memegang lutut. Histeris. Ponsel yang dipegangnya jatuh ke lantai.“Brian, maafkan Aunty!” Sabrina berlari lalu memeluk Brian sembari mengusap lembut punggung sang bocah.Wanita bermata sipit kebingungan karena baru kali ini sendirian menangani Brian yang histeris. Sabrina segera mengambil ponselnya, hendak menghubungi Ambar, tetapi tak b
“Brian bantu angkat dus. Papa mau dorong kursi roda. Papa Hadi perlu berbaring. Kasian.”Bocah gembul menuruti kata Rafael. Dia mulai ikut sibuk membawa kardus. Sementara, Rafael mendorong kursi roda Hadi menuju kamar depanKini semua telah berkumpul di ruang tamu, kecuali Hadi. Pria berkaca mata perlu beristirahat. Ambar mengajak Sabrina ke dapur untuk mengambil perkakas makan.“Maksud lo, bawa mereka ke rumah, ngapain? Bukannya Bang Sapto dan Bang Hadi masih tahanan?” Sabrina berbicara sambil berbisik ke Ambar.“Bang Sapto hanya sebagai saksi. Sedangkan, Bang Hadi menjadi tahanan kota dengan gue sebagai penjamin demi keamanan dan kesehatannya.”“Bang Rafael setuju?”“Iyalah. Buktinya lo tau sendiri,” balas Ambar lalu tersenyum.Sabrina heran dengan kerukunan mereka. Namun, tetap saja di hati wanita bermata sipit masih penasaran. Seperti tak puas atas jawaban Ambar, Sabrina pun masih berbisik,”Lo kaga tau dalam hati Bang Rafael, secara dia yang akan bersama lo. Bener gitu, gak?”“Iya
“Brian tak sehat?” tanya Rafael sambil menatap dua manik mata Ambar. Wanita berkaki jenjang tak menjawab, hanya tangisan yang keluar dari bibir. Rafael pun duduk di samping Ambar lalu memeluknya. Wanita berkuncir kuda ini menangis sesengukan di dada Rafael.“Brian terinfeksi HIV, Hunter,” jelas Ambar dengan terbata-bata.“Dari mana?” Rafael bertanya sembari mendongakkan dagu Ambar. Pria berparas Latin ini tampak tak terima, anak semata wayangnya menderita terjangkit virus yang mematikan tersebut.“Brian jadi korban pelecehan, Hunter.”“Siapa pelakunya?”“Udah mati keracunan.”“Siapa dia?”“Eksanti, adek Bang Sapto,” ucap Ambar dengan bibir bergetar.“Hubungan kalian terjadi sebelum kasus?” Pertanyaan Rafael kali ini membuat Ambar mati kutu. Dia tak berkutik harus bagaimana ungkapkan semua. Sabrina sebagai sahabat karib, tak tega melihat Ambar seperti terpojok.“Maaf, Bang. Terpaksa ikut bicara. Tolong, jangan hakimi Ambar seperti ini. Dia dalam keadaan terpuruk saat itu. Dan Bang Sapt
“Ah, Abaaang. Aku gak tahan,” ucap Ambar sembari menekan pantat Sapto.“Ayo, Sayang ... Aah ... aah. Sayaaang,” sahut Sapto yang mulai berkeringat.“Abaaang ....”“Ya, Sa-yaaang ... ayo barengan,” ucap lembut Sapto sembari menatap raut wajah Ambar yang mulai berkeringat lalu saat merasakan puncak pelepasan, Sapto mengulum bibir Ambar sangat kuat. Sesaat tubuh mereka mengejang bersamaan lalu melemas.“Sayang, terima kasih. I love you,” ucap Sapto sembari menuntaskan sisa cairan dalam tubuh Ambar.“Abang, Sayang. I love you too,” jawab Ambar lalu mengecup leher Sapto hingga meninggalkan jejak merah.“Beri Abang kesempatan merasakan cintamu sepenuh hati, Sayang,” ucap Sapto sambil memeluk tubuh istrinya.“Ya, Abang. Aku akan lakukan yang terbaik dengan cinta.”“Beneran? Gimana dengan Bang Rafael?”tanya Sapto sembari memainkan anak rambut di kening Ambar. Sensasi rasa cinta seketika membuai Ambar kembali.“Dengan Abang, aku rasakan sensasi yang beda. Aku rasa asing dengan Bang Rafael,” uca
“Namanya juga cinta. Pake hodie, biar gak kelihatan. Bentar, Abang ambilin,” sahut Sapto sembari melangkahkan kaki ke arah kamar.Beberapa saat kemudian, pria tersebut telah keluar sambil membawa hodie warna hitam. Sapto lalu memakaikan benda tersebut ke tubuh Ambar. Hodie tampak pas di badan Ambar dan itu adalah hodie wanita.“Punya siapa?” tanya Ambar sembari mengamati hodie yang dipakainya.“Mau kasih Brian, gak taunya keliru order. Beli online,” jawab Sapto tersenyum.“Kirain punya cewek ketinggalan. Beneran, gak tampak?” Sapto mengangguk lalu mengikuti langkah Ambar menuju ruang tamu.“Kami pamit dulu, Pak,” ucap Bu Nur diikuti oleh Mbak Lastri.“Saya titip istri, ya,” balas Sapto lalu mengecup kening Ambar.Ketiga wanita melangkah ke tempat mobil terparkir diikuti oleh Sapto. Bu Nur dan Mbak Lastri yang melihat kemesraan pasangan pengantin baru ini, tersenyum kecil. Sesaat mobil akan berangkat, Sapto menyempatkan mencium bibir Ambar sekilas.“Hati-hati, Sayang,” ucap Sapto.“Tem
“Mbak Ambar sudah masuk perangkap mereka. Maka dari itu, saya perlu bergerak. Tolong bantu saya untuk mengungkap kasus ini. Saya telah bekerja sama dengan kepolisian.”“Masuk perangkap mereka? Mana mungkin!”“Kalo saya bilang, Bang Sapto adalah informan terbaik bagi Bu Darti gimana?” “Itu lebih tak masuk akal! Mana mungkin, suami saya mau menjual istri dan anaknya?”“Memang itu kerjaan dia,” sahut Bang Reno dengan percaya diri.“Omong kosong! Saya adalah wanita pertama yang diajak ML dengan Bang Sapto. Mana mungkin jadi kerjaan?” tanya Ambar dengan nada meninggi.“Udah berapa taon kenal Bu Darti?” tanya Bang Reno.“Sejak berteman dengan Mita. SMP kelas 2, dia pindah kemari.”“Bu Darti yang Mbak Ambar kenal itu adalah kembaran mama Mita. Percaya, gak?”“Ini apalagi! Semakin gak masuk akal,” jawab Ambar sembari geleng-geleng kepala.Bu Nur dan Mbak Lastri yang mendengar pembicaraan keduanya, ikut terperangah. Kaget. Serumit itu, kenyataan yang harus dihadapi oleh Ambar. Sedangkan Ambar
"Mereka pacaran?” tanya Ambar kepada Bu Nur.“Iya, Mbak. Masih sekitar dua bulanan ini,” jawab wanita setengah umur tersebut.Ambar mendengar suara ponselnya berbunyi dari dalam tas. Wanita ini segera mengambilnya. Tampak di layar tertera nomor kontak Sapto.“Ya, Bang. Mereka udah datang?”“Baru aja datang. Ada di mana?” tanya Bang Sapto dari ujung telepon.“Di Warung Pasundan. Ini udah siap-siap akan pulang.”“Yodah. Hati-hati di jalan, Sayang.”Ambar pun segera memutuskan sambungan telepon. Dirinya menjadi grogi juga untuk bertemu dengan Sapto setelah diberitahu Bang Reno tentang latar belakang suaminya. Ambar memasukkan ponsel ke tas. Kemudian ia menoleh ke arah Bu Nur."Kita pulang yuk, Bu. Di rumah ada tamu soalnya," ucap Ambar kepada Bu Nur."Kalo Mbak Ambar buru-buru, langsung pulang saja. Saya bisa pesan taksi," balas Bu Nur."Sekalian saya antar, Bu. Tamunya Brian dan papanya," jelas Ambar sembari berdiri. Kemudian, Bu Nur pun mengikutinya."Terima kasih banyak, Mbak. Wah, De
"Kamu tuh anak laki-laki! Enggak usah lembek macam cewek!"Bukannya merasa kasihan terhadap anak ,sambungnya a, Sapto menarik tubuh Brian dengan kasar lalu menghempaskannya. Anak laki-laki tersebut jatuh terjengkang di atas rerumputan."Apa-apaan kamu, Bang?!"teriak Ambar dengan intonasi tinggi.Ia gegas menghampiri putranya dan langsung membantunya berdiri. Tanpa disangka-sangka, Sapto mengayunkan sebongkah kayu ke arah Brian. Anak tersebut pun langsung tersungkur. Ambar yang kaget langsung mengalami kram di perut. Ia jatuh tak sadarkan diri.***"Ambar, masih pusing?"tanya Sabrina saat wanita berkaki jenjang tersebut membuat mata. Ada rasa perih di perut dan juga lemas di sekujur badan."Kenapa gua di sini?" Ambar memandangi seluruh ruangan. Ia paham sedang berada dalam ruang perawatan. Di lengan tertancap jarum infus. Dari kedua pelupuk mata merembes buliran-buliran bening. "Brian? Bang Rafael?"Sabrina membetulkan anak rambut yang menutupi sebagian wajah Ambar."Mereka dirawat di
"Bar, buruan!"seru Sabrina yang telah ambil alih kursi roda. Ia telah berjalan mengikuti Tuan Farel dan Ambar masih berdiri melamun.Ambar seketika tersadar dari lamunan. "Oh, ya, ya. Yuk."Kedua wanita berjalan buru-buru menuju ruang perawatan. Gerak-gerik keempat orang di taman tadi telah diawasi oleh salah seorang bodyguard Tuan Gerry. Pria ini segera mengambil ponsel dari dalam saku celana lalu menelepon seseorang. Beberapa saat, ia mendengarkan ucapan dari ujung telepon."Mereka berencana shopping," ucap pria kekar tersebut kepada lawan bicaranya. Sementara itu, Tuan Farel yang sedang merebahkan tubuh Brian di pembaringan mendengar ponselnya berdering. Ia mengusap rambut Brian lembut sambil berbisik ke telinga si bocah. "Om akan jaga kamu, Superboy. Harus semangat untuk sehat."Pria ini lalu mengecup kening Brian. Saat ia menyelimuti tubuh si bocah, kedua wanita baru saja masuk ruangan. Pemandangan di depan mata, membuat kedua wanita semakin terharu. Tuan Farel segera menyadari k
"Coba kamu tanya ke Tuan Farel," saran Ambar kepada si bocah."Tuan Farel owner-nya?"tanya Sabrina dengan antusias."Bukan. Ia yang dipercaya oleh owner untuk mengelola tempat ini. Dan, kita telah diizinkan untuk tinggal di sini sampai Brian sembuh," jelas Ambar sengaja berbohong demi kebaikan bersama."Wah, sangat menyenangkan sekali. Liat, tuh, anak lu kerasan di sini," balas Sabrina. Ambar tersenyum lebar melihat Brian yang kembali ceria. Padahal sebelumnya, si bocah dalam keadaan kacau. Bahkan ia sempat berpikir untuk bunuh diri ke Hutan Aokigahara segala."Bagus, dong. Kalo Jagoan kerasan di sini. Mama tadi sudah bilang ke Tuan Farel dan lebih keren lagi, kamu bilang langsung,"ucap Ambar kepada Brian."Ya, Brian mau,"kata si bocah bersemangat. Ambar bahagia sekali mendapati anaknya yang penuh semangat. Ia bangkit lalu memeluk jagoan lalu mencium kedua pipinya. Tidak ada kebahagiaan yang ingin dirasakan selain kesembuhan bagi Brian."Cepat sembuh, Jagoan!" Ambar bertambah besar ha
"Kamu suka, Sayang?"tanya Tuan Farel sambil membuka blus Ambar. Kini tampak dua gundukan berbalut bra berenda. Ambar yang mulai mengikuti permainam sang pria.Jemari lentiknya mengusap lembut milik Tuan Farel yang telah membuat penasaran. Pasangan ini bergantian memberi usapan, jilatan bahkan remasan di beberapa bagian sensitif."Farel, Sayang!"panggil Ambar di antara desah dan jerit tertahan."Iya, Sayang. Nikmati, ya,"ucap Tuan Farel sambil mengusap lembut bibir Ambar.Mereka yang telah memanas akhirnya berpacu saling memuaskan. Keduanya bersamaan telah lunglai di atas pembaringan. Ambar pun baru sadar bahwa dirinya belum belanja pakaian."Oh my God!"jerit Ambar sambil membebat tubuhnya dengan selimut."Ada apa, Sayang?"tanya Farel yang buru-buru memakai hanfu. Kemudian ia duduk di pembaringan lalu membenahi anak rambut di wajah Ambar."Honey, aku belum belanja baju. Kamu tahu sendiri, kan. Kami berangkat tanpa persiapan. Gimana, dong?" Ambar menatap Farel dengan wajah sedih.Farel t
Benar saja, dugaannya memang tepat. Petugas informasi memberikan sebuah denah untuk menuju ruang staf khusus. Ambar sedikit curiga dengan dua petugas tersebut yang saling berbisik lalu tertawa kecil.Ambar tidak ambil pusing tentang hal tersebut. Ia langsung mencari keberadaan tempat Tuan Farel dengan berbekal selembar denah. Wanita berkaki jenjang ini kembali menyusuri koridor lalu mengikuti arah pada denah.Tak butuh waktu lama untuk mencari tempat Tuan Farel. Letak ruangannya terdapat di lantai dua dan lebih mengherankan, di sini tidak ada lift. Seluruh bangunan dan fasilitas yang terdapat di dalamnya bernuansa klasik.Kini, kedua kaki Ambar telah berdiri tepat depan sebuah ruangan yang ditunjuk oleh petugas informasi sebagai tempat Tuan Farel. Sebuah plang bertuliskan aksara Hanzi. Ambar mengetuk daun pintu kayu berukir. Ia mengetuk sampai ketiga kali pun tidak ada yang membuka pintu.Ambar pun merasa konyol setelah melihat ada sebuah lonceng kecil di sisi kanan pintu. Wanita ini
Tempat rehabilitasi ini dibangun di atas bukit. Sebagian besar bangunan disusun dari papan kayu dan beratap rumbia. Beberapa pohon cemara berdiri mengelilingi bangunan ini. Samar-samar terdengar gemericik air terjun dan suara aliran sungai."Pasti sedang jatuh cinta dengan tempat ini,"ucap Tuan Farel mengagetkan Ambar yang sedang fokus melihat sekeliling.Ambar seketika menoleh dan langsung terpana dengan penampilan pria di sebelahnya. Ambar pun jadi salah tingkah. "Tuan Farel. Iya."Pria gagah dengan rambut cepak layaknya anggota militer tersenyum manis. Dua ceruk menghias pipi. Ambar baru sekarang benar-benar mengagumi sosok pria. Pesona pria di depannya berhasil memporak-porandakan otak dan hatinya."Pusat rehabilitasi ini sengaja dibangun di daerah sini karena faktor lingkungan yang masih alami. Hal tersebut dipercaya bisa menunjang kesembuhan para pasien." Tuan Farel menjelaskan dengan pandangan lepas ke bukit. Ambar hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari pria di sampi
"Terima kasih kembali, Nak. Anggap ini sebagai penebus dosa-dosa Bapak."Begitu mendengar ucapan Tuan Gerry, Ambar tidak bisa berkata-kata lagi. Air mata membasahi sudut mata lalu ke arah pipi. Ada rasa sesak karena harus merelakan nasib Rafael ke tangan pihak interpol. Ia harus kehilangan Rafael untuk kedua kalinya dan ini benar-benar menyakitkan.Pria yang diharapkan akan menjadi pendamping hidup untuk rangkaian perjalan hidup dia dan Brian. Ternyata telah menjadi seorang penjahat internasional. Ambar menangis sesenggukan."Ambar, relakan semua,"ucap Sabrina sambil menggenggam jemari sang sahabat. Sementara air mata tidak berhenti mengalir dari pelupuk mata Ambar. Sabrina membiarkan saja agar rasa sesak di dada Ambar segera lenyap.Mobil telah memasuki area bandara udara dan Ambar masih sesenggukan. Tiba-tiba Sabrina menyadari sesuatu. "Ambar, kita kaga bawa baju ganti.""Gak perlu khawatir soal baju dan lain-lain. Di sana banyak pilihan,"sahut Geo dari balik kemudi. Pria ini mengar
Sabrina memasukkan ponsel ke saku celana. Ia menatap depan, pada saat pintu terbuka dan Ambar telah tersenyum di depan Sabrina."Buruan keluar! Gue mau ngajak lu ngobrol." Sabrina menarik tangan Ambar.Wanita berkaki jenjang ini merasa, ada yang aneh dengan perilaku sahabatnya. Kemudian, dirinya keluar dari ruang dokter."Ada apa, sih?"tanya Ambar sambil menatap Sabrina dengan kesal."Kita ngobrol di taman,"ucap Sabrina sambil menyeret tangan soulmate-nya.Kedua wanita berjalan terburu-buru menuju taman. Di salah satu bangku taman yang agak tersembunyi dan teduh, mereka mengambil tempat."Lu dicariin Om Gerry. Sebentar." Sabrina segera melakukan panggilan ke nomor bapaknya Ambar."Oh my God! Gue kaga liat hape dari tadi," sahut Ambar yang seketika mengambil ponsel dari dalam tas. Betapa kaget Ambar. Begitu membuka ponsel, tampak di layar tertera notifikasi panggilan telepon dan pesan dari beberapa nomor kontak, termasuk dari Tuan Gerry. Bapaknya telah menelepon sebanyak sepuluh puluh
"Brian pengen sembuh,"ucap si bocah dengan kedua mata berkaca-kaca. Seketika ada rasa nyeri menikam hati Ambar. Ucapan Brian membuatnya ingin menangis, tetapi ditahan sekuat tenaga."Maka dari itu makan dan minum yang banyak terus teratur minum obat. Pasti sembuh. Semangat!""Tapi, Ma. Badan Brian lemes banget,"ucap si kecil lirih. Tiba-tiba tubuh Brian kejang. Ambar pun panik."Sayang, Brian!"teriak Ambar histeris. Dirinya telah mengalami masa sulit dua tahun belakangan. Bagi dia saat ini yang terpenting dalam hidupnya adalah putra semata wayangnya Brian. Ambar melihat putranya seperti orang sekarat. Tangan buru-buru menekan tombol darurat.Sabrina yang berada di depan ruangan segera masuk karena mendengar jerit histeris Ambar. Tak berapa lama, dua orang perawat datang untuk memeriksa keadaan Brian. Ambar dan Sabrina menunggu di luar ruangan.Seorang dokter datang lalu menyapa kedua wanita. Kemudian pria berjas putih tersebut masuk ruangan. Rafael seakan-akan tahu keadaan Brian. Pr
"Belum ada, Mbak. Saya juga harap-harap cemas ini. Minta doanya, Mbak.""Pasti aku doakan yang terbaik, Bang. Semoga rekaman CCTV bisa membantu pengungkapan kasus. Sayangnya, kamera bagian samping sengaja dirusak pelaku. Cuma ada rekaman bagian beranda, dalam dan lantai atas.""Kami sudah ada rekaman CCTV dari sekitar TKP, Mbak.""Soal Bu Nur sudah diselidiki?""Bu Nur terindikasi jadi bagian komplotan kejahatan tersebut.""Oh my God! Pantas saja dia berani nyusup ke rumah Bapak,"ucap Ambar dengan raut wajah kaget. Dia tidak menyangka jika wanita separuh baya yang terlihat polos itu punya niat jahat."Saya mau cari sendiri keberadaan Dek Lastri, Mbak. Lama nungguin polisi," balas Bang Reno. Raut kesedihan terlihat jelas di wajahnya. Ambar tidak ingin membahas hal itu lagi. Ia datang ke kantor polisi guna memberi tambahan informasi serta menyerahkan rekaman CCTV.Ambar memberikan rekaman CCTV dari tempat usahanya dan juga kediaman Tuan Gerry. Dari rekaman CCTV pula, akhirnya Ambar tahu