Hubungan telepon berakhir. Tangan Rafael meraih kepala Ambar lalu disandarkan ke bahu. Rafael mengecup sekilas ujung kepala Ambar sambil tersenyum bahagia. Dia wanitaku dan akan tetap jadi milikku hingga ajal menjemput. Apa pun yang terjadi, batinnya.“Dia sangat sayang padamu, Angel. Kalian kenal lama?”“Dia guru Brian, Hunter.” Rafael tersenyum mendengar jawaban Ambar. Sedangkan sang wanita sesekali menahan mual di perut dan pria berparas Latin ini sangat memahaminya. Ambar melihat mobil tak lagi mengarah ke pantai seketika terkejut.“Hunter! Mau ke mana?” Rafael tak menggubris pertanyaan Ambar, bahkan meraih sebuah aroma terapi dari laci dashboard lalu diberikan ke Ambar. Wanita muda ini pun segera mengoleskan aroma tersebut ke hidung dan leher.Hanya perlu sepuluh menit, mobil yang ditumpangi mereka telah sampai ke tempat parkir sebuah praktek dokter kandungan. Mereka gegas turun lalu berjalan dengan mesra. Rafael merangkul bahu Ambar erat-erat, sedangkan lengan kanan sang wanita
“Kami dalam kesulitan sekarang. Gimana cara Rafael mendapat identitasnya kembali,”sahut Ambar berurai air mata.“Dia udah lapor ke polisi. Suatu saat kamu juga akan dipanggil polisi sebagai polisi.”“Iya, Lidya. Aku tau itu. Kami masih saling cinta, tapi aku akan segera nikah.”“Aku ikuti kasus kamu dan Brian, tapi belum cerita ke Rafael. Khawatir dia syok, bisa amnesia lagi. Waktu liat kamu dipeluk pacar, dia cerita dengan menangis. Untung, gak terlalu syok.”“Whaatt! dia udah lama di sini? Tinggal di mana?”“Ada sebulan dia di sini. Sementara sewa apartemen. Ambar, kita harus cari keluarga teman Rafael yang mati. Dari mereka, Rafael bisa dapat identitas kembali. Dengan kamu berada bersamanya, semua ingatan Rafael akan cepat pulih. Lebih tepatnya, kamu dan Brian. Tapi aku kita tau kondisi Brian.” Ambar mengangguk mendengar penjelasan Lidya. Sementara, dirinya sendiri bingung dengan situasi rumit yang menimpa mereka. Dia harus selalu bersama dengan Rafael, di sisi lain, harus segera p
“Auch Aah!” Ambar yang terkejut mendapat serangan tiba-tiba mulai mendesah. Sekarang, dia ikut agresif memberi balasan serangan dari Rafael. Kedua tangan Ambar aktif menelusuri setiap lekuk tubuh Rafael lalu bergerak turun ke arah benda kenyal yang mengeras di pangkal paha pria macho ini.Rafael yang telah lama tak tersentuh oleh wanita semakin liar merasakan bagian bawahnya dalam remasan lembut Ambar. “Angel, i’m yours.”Jemari Rafael membuka beberapa kancing blouse lalu mulutnya mengisap salah satu puncak bukitnya. Dia merasakan sensasi rasa gurih cairan kental yang terisap. Ambar semakin mendesah karenanya. “Hunter, my love.”Mulut Rafael bergantian menjelajah kedua bukit dan Ambar semakin meremas pangkal paha Rafael. Remasan dan usapan jemari Ambar membuat sang pria semakin tak terkendali. ‘Ting!’ Pintu lift terbuka dan Rafael seketika mendekap tubuh Ambar. Seorang pria setengah baya masuk lift tersenyum ke arah Rafael. Mereka bertetangga di lantai 4—tempat apartemen Rafael. Namun
“Titip Brian dan Ambar, ya.”Mobil bergerak meninggalkan lokasi dengan tubuh Sabrina berdiri mematung. Wanita bermata sipit tersebut menatap kepergiaan Bu Retno dengan heran. Kenapa Tante menangis, ya? Hanya memberi keterangan di kantor polisi, ekspresinya kayak jadi tersangka, batin Sabrina.Saat Sabrina sedang asik dengan ponsel, terdengar suara mobil berhenti di luar gerbang. Wanita bermata sipit ini langsung mendongak untuk melihat penumpang mobil. Sabrina pun terperangah, ternyata ibu Sapto sedang turun dari taksi. Sabrina bangkit dan segera berjalan menghampiri mereka. “Selamat sore,”sapa ibunya Sapto saat Sabrina telah dekat gerbang.“Selamat sore, Bu,” balas Sabrina sambil membuka pintu gerbang lalu mempersilakan sang tamu untuk masuk. Kemudian, dia pun menutup kembali.“Sapto ada?” tanya wanita separuh baya ini sembari berjalan beriringan dengan Sabrina.“Maaf, Bu. Tadi Bang Sapto keluar, katanya mau jemput Ibu. Sampe sekarang belum balik.”“Kirain udah pulang bareng sama Amb
Ambar tak menghiraukan Rafael. Dia melangkahkan kaki untuk membuka pintu langsung ke ruang tamu dan buru-buru keluar. Lidya segera berlari mengejar wanita berkuncir kuda ini.Beruntung, langkah kaki Rafael lebih cepat menghadang Ambar yang akan memasuki lift.“Angel! Aku jelasin dulu,” mohon Rafael sambil memeluk tubuh Ambar. Pria berparas Latin ini mengurai pelukan lalu dengan memegang kedua bahu Ambar, dia menatap lembut ke mata Ambar.“I want you to hear me, please. Seminggu lalu, aku diajak Lidya membezuknya. B’coz, she wants my death. Dia yang suruh orang untuk menyandera aku dan beruntung aku lolos. Dia hanya tau, aku telah lolos lalu mati dalam kecelakaan pesawat. Saat aku datang, dia terkejut. Dan sekarang mati dengan meninggalkan surat. I don’t know, what for?”Ambar seketika kaget mendengar pengakuan Rafael. Rupanya selama ini, Mita mempunyai rencana jahat dan dirinya tak pernah menyadari. Sahabat baiknya telah menginginkan kematian Rafael. Ambar melihat wajah pria di hadapa
“Aku tau kau selalu menginginkan dan aku tak ingin lebih lagi untuk hari ini. Demi bayi aku,”ucap Ambar.Rafael merasa ikut miris, jika Ambar tahu bahwa Sapto telah dijadikan tersangka utama pembunuhan Eksanti. Bayi dalam rahimnya akan tumbuh tanpa bapak biologis. Sedangkan kini, tampak, Ambar sedang mengelus perutnya yang masih datar.“Angel! Setelah ini kita belanja untuk persiapan pernikahan. Kita akan lakukan secepatnya,” ucap Rafael yang tiba-tiba telah berdiri di belakang Ambar.“Gimana aku ngomong ke Bang Sapto? Dalam rahimku ...” Rafael mengecup bibir Ambar lalu memeluk wanitanya mesra. Dia ingin kasih tau tentang yang terjadi terhadap Sapto, tetapi tak sampai hati.Tiba-tiba ponsel Ambar berdering. Mereka segera mengurai pelukan dan wanita berkaki jenjang menuju ke kamar untuk mengambil ponsel. Tampak di layar tertera nomor kontak penyidik.“Selamat sore, Pak.”“Selamat sore juga. Mohon kesediaan Bu Ambar untuk memberi keterangan di kantor berkaitan dengan Bu Retno.”“Ibu say
“Hunter, tolong bilang, aku lagi gak enak badan.” Rafael pun segera mengambil ponsel tersebut lalu membuka menu.Tampak sebuah pesan telah diterima. Pria ini membuka pesan dan sangat kaget mendapati tubuh bugilnya dalam berbagai pose dengan Mita yang juga dalam keadaan polos. Mereka sedang berada dalam sebuah kamar dan itu seperti kamar pribadi, bukan hotel. Nomor kontak siapa ini? Berani betul kirim foto-foto ini ke Ambar. Untuk apa?“Hunter, what’s wrong with my handphone?”tanya Ambar saat melihat Rafael yang terpaku pada layar.“Eng-gak. Surat dari Mita berhubungan dengan ini.” Rafael memberikan ponsel ke Ambar.“Oh, MyGod! When?!” Ambar seketika menatap tajam Rafael.“Entah! Aku gak pernah ketemu Mita secara pribadi. Itu selalu bersama kamu. Aku gak pernah khianati kamu, sampe hari ini. Selama setaon kita pisah pun.”“Mita masih virgin, Hunter. Coba aku tanya Bang Hadi.”Rafael merasa surprise dengan reaksi Ambar. Wanitanya tak goyah oleh foto-foto vulgar yang diterima.“Mita udah
“Sayang, maafin Mama. Antre di dokter lama. Udah mau pulang, nih. Brian mau pesan apa?” tanya Ambar terdengar berhati-hati karena khawatir sang bocah tantrum.“Brian pengen jus mangga pake madu.”Brian sedang asik ngobrol dengan mamanya. Mata Sabrina awas mengamati sebuah mobil yang berhenti di seberang rumah. Tampak sang pengemudi mengamati keadaan rumah Ambar. Sabrina yang penasaran lalu berjalan keluar untuk melihatnya. Begitu Sabrina keluar, mobil segera bergerak pergi.“Aunty, mau pesen apa?” tanya Brian yang telah berada di ambang pintu. Sabrina seketika berteriak karena kaget. Brian panik, sekujur tubuh bocah tersebut gemetar lalu duduk sambil memegang lutut. Histeris. Ponsel yang dipegangnya jatuh ke lantai.“Brian, maafkan Aunty!” Sabrina berlari lalu memeluk Brian sembari mengusap lembut punggung sang bocah.Wanita bermata sipit kebingungan karena baru kali ini sendirian menangani Brian yang histeris. Sabrina segera mengambil ponselnya, hendak menghubungi Ambar, tetapi tak b
"Bar, buruan!"seru Sabrina yang telah ambil alih kursi roda. Ia telah berjalan mengikuti Tuan Farel dan Ambar masih berdiri melamun.Ambar seketika tersadar dari lamunan. "Oh, ya, ya. Yuk."Kedua wanita berjalan buru-buru menuju ruang perawatan. Gerak-gerik keempat orang di taman tadi telah diawasi oleh salah seorang bodyguard Tuan Gerry. Pria ini segera mengambil ponsel dari dalam saku celana lalu menelepon seseorang. Beberapa saat, ia mendengarkan ucapan dari ujung telepon."Mereka berencana shopping," ucap pria kekar tersebut kepada lawan bicaranya. Sementara itu, Tuan Farel yang sedang merebahkan tubuh Brian di pembaringan mendengar ponselnya berdering. Ia mengusap rambut Brian lembut sambil berbisik ke telinga si bocah. "Om akan jaga kamu, Superboy. Harus semangat untuk sehat."Pria ini lalu mengecup kening Brian. Saat ia menyelimuti tubuh si bocah, kedua wanita baru saja masuk ruangan. Pemandangan di depan mata, membuat kedua wanita semakin terharu. Tuan Farel segera menyadari k
"Coba kamu tanya ke Tuan Farel," saran Ambar kepada si bocah."Tuan Farel owner-nya?"tanya Sabrina dengan antusias."Bukan. Ia yang dipercaya oleh owner untuk mengelola tempat ini. Dan, kita telah diizinkan untuk tinggal di sini sampai Brian sembuh," jelas Ambar sengaja berbohong demi kebaikan bersama."Wah, sangat menyenangkan sekali. Liat, tuh, anak lu kerasan di sini," balas Sabrina. Ambar tersenyum lebar melihat Brian yang kembali ceria. Padahal sebelumnya, si bocah dalam keadaan kacau. Bahkan ia sempat berpikir untuk bunuh diri ke Hutan Aokigahara segala."Bagus, dong. Kalo Jagoan kerasan di sini. Mama tadi sudah bilang ke Tuan Farel dan lebih keren lagi, kamu bilang langsung,"ucap Ambar kepada Brian."Ya, Brian mau,"kata si bocah bersemangat. Ambar bahagia sekali mendapati anaknya yang penuh semangat. Ia bangkit lalu memeluk jagoan lalu mencium kedua pipinya. Tidak ada kebahagiaan yang ingin dirasakan selain kesembuhan bagi Brian."Cepat sembuh, Jagoan!" Ambar bertambah besar ha
"Kamu suka, Sayang?"tanya Tuan Farel sambil membuka blus Ambar. Kini tampak dua gundukan berbalut bra berenda. Ambar yang mulai mengikuti permainam sang pria.Jemari lentiknya mengusap lembut milik Tuan Farel yang telah membuat penasaran. Pasangan ini bergantian memberi usapan, jilatan bahkan remasan di beberapa bagian sensitif."Farel, Sayang!"panggil Ambar di antara desah dan jerit tertahan."Iya, Sayang. Nikmati, ya,"ucap Tuan Farel sambil mengusap lembut bibir Ambar.Mereka yang telah memanas akhirnya berpacu saling memuaskan. Keduanya bersamaan telah lunglai di atas pembaringan. Ambar pun baru sadar bahwa dirinya belum belanja pakaian."Oh my God!"jerit Ambar sambil membebat tubuhnya dengan selimut."Ada apa, Sayang?"tanya Farel yang buru-buru memakai hanfu. Kemudian ia duduk di pembaringan lalu membenahi anak rambut di wajah Ambar."Honey, aku belum belanja baju. Kamu tahu sendiri, kan. Kami berangkat tanpa persiapan. Gimana, dong?" Ambar menatap Farel dengan wajah sedih.Farel t
Benar saja, dugaannya memang tepat. Petugas informasi memberikan sebuah denah untuk menuju ruang staf khusus. Ambar sedikit curiga dengan dua petugas tersebut yang saling berbisik lalu tertawa kecil.Ambar tidak ambil pusing tentang hal tersebut. Ia langsung mencari keberadaan tempat Tuan Farel dengan berbekal selembar denah. Wanita berkaki jenjang ini kembali menyusuri koridor lalu mengikuti arah pada denah.Tak butuh waktu lama untuk mencari tempat Tuan Farel. Letak ruangannya terdapat di lantai dua dan lebih mengherankan, di sini tidak ada lift. Seluruh bangunan dan fasilitas yang terdapat di dalamnya bernuansa klasik.Kini, kedua kaki Ambar telah berdiri tepat depan sebuah ruangan yang ditunjuk oleh petugas informasi sebagai tempat Tuan Farel. Sebuah plang bertuliskan aksara Hanzi. Ambar mengetuk daun pintu kayu berukir. Ia mengetuk sampai ketiga kali pun tidak ada yang membuka pintu.Ambar pun merasa konyol setelah melihat ada sebuah lonceng kecil di sisi kanan pintu. Wanita ini
Tempat rehabilitasi ini dibangun di atas bukit. Sebagian besar bangunan disusun dari papan kayu dan beratap rumbia. Beberapa pohon cemara berdiri mengelilingi bangunan ini. Samar-samar terdengar gemericik air terjun dan suara aliran sungai."Pasti sedang jatuh cinta dengan tempat ini,"ucap Tuan Farel mengagetkan Ambar yang sedang fokus melihat sekeliling.Ambar seketika menoleh dan langsung terpana dengan penampilan pria di sebelahnya. Ambar pun jadi salah tingkah. "Tuan Farel. Iya."Pria gagah dengan rambut cepak layaknya anggota militer tersenyum manis. Dua ceruk menghias pipi. Ambar baru sekarang benar-benar mengagumi sosok pria. Pesona pria di depannya berhasil memporak-porandakan otak dan hatinya."Pusat rehabilitasi ini sengaja dibangun di daerah sini karena faktor lingkungan yang masih alami. Hal tersebut dipercaya bisa menunjang kesembuhan para pasien." Tuan Farel menjelaskan dengan pandangan lepas ke bukit. Ambar hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari pria di sampi
"Terima kasih kembali, Nak. Anggap ini sebagai penebus dosa-dosa Bapak."Begitu mendengar ucapan Tuan Gerry, Ambar tidak bisa berkata-kata lagi. Air mata membasahi sudut mata lalu ke arah pipi. Ada rasa sesak karena harus merelakan nasib Rafael ke tangan pihak interpol. Ia harus kehilangan Rafael untuk kedua kalinya dan ini benar-benar menyakitkan.Pria yang diharapkan akan menjadi pendamping hidup untuk rangkaian perjalan hidup dia dan Brian. Ternyata telah menjadi seorang penjahat internasional. Ambar menangis sesenggukan."Ambar, relakan semua,"ucap Sabrina sambil menggenggam jemari sang sahabat. Sementara air mata tidak berhenti mengalir dari pelupuk mata Ambar. Sabrina membiarkan saja agar rasa sesak di dada Ambar segera lenyap.Mobil telah memasuki area bandara udara dan Ambar masih sesenggukan. Tiba-tiba Sabrina menyadari sesuatu. "Ambar, kita kaga bawa baju ganti.""Gak perlu khawatir soal baju dan lain-lain. Di sana banyak pilihan,"sahut Geo dari balik kemudi. Pria ini mengar
Sabrina memasukkan ponsel ke saku celana. Ia menatap depan, pada saat pintu terbuka dan Ambar telah tersenyum di depan Sabrina."Buruan keluar! Gue mau ngajak lu ngobrol." Sabrina menarik tangan Ambar.Wanita berkaki jenjang ini merasa, ada yang aneh dengan perilaku sahabatnya. Kemudian, dirinya keluar dari ruang dokter."Ada apa, sih?"tanya Ambar sambil menatap Sabrina dengan kesal."Kita ngobrol di taman,"ucap Sabrina sambil menyeret tangan soulmate-nya.Kedua wanita berjalan terburu-buru menuju taman. Di salah satu bangku taman yang agak tersembunyi dan teduh, mereka mengambil tempat."Lu dicariin Om Gerry. Sebentar." Sabrina segera melakukan panggilan ke nomor bapaknya Ambar."Oh my God! Gue kaga liat hape dari tadi," sahut Ambar yang seketika mengambil ponsel dari dalam tas. Betapa kaget Ambar. Begitu membuka ponsel, tampak di layar tertera notifikasi panggilan telepon dan pesan dari beberapa nomor kontak, termasuk dari Tuan Gerry. Bapaknya telah menelepon sebanyak sepuluh puluh
"Brian pengen sembuh,"ucap si bocah dengan kedua mata berkaca-kaca. Seketika ada rasa nyeri menikam hati Ambar. Ucapan Brian membuatnya ingin menangis, tetapi ditahan sekuat tenaga."Maka dari itu makan dan minum yang banyak terus teratur minum obat. Pasti sembuh. Semangat!""Tapi, Ma. Badan Brian lemes banget,"ucap si kecil lirih. Tiba-tiba tubuh Brian kejang. Ambar pun panik."Sayang, Brian!"teriak Ambar histeris. Dirinya telah mengalami masa sulit dua tahun belakangan. Bagi dia saat ini yang terpenting dalam hidupnya adalah putra semata wayangnya Brian. Ambar melihat putranya seperti orang sekarat. Tangan buru-buru menekan tombol darurat.Sabrina yang berada di depan ruangan segera masuk karena mendengar jerit histeris Ambar. Tak berapa lama, dua orang perawat datang untuk memeriksa keadaan Brian. Ambar dan Sabrina menunggu di luar ruangan.Seorang dokter datang lalu menyapa kedua wanita. Kemudian pria berjas putih tersebut masuk ruangan. Rafael seakan-akan tahu keadaan Brian. Pr
"Belum ada, Mbak. Saya juga harap-harap cemas ini. Minta doanya, Mbak.""Pasti aku doakan yang terbaik, Bang. Semoga rekaman CCTV bisa membantu pengungkapan kasus. Sayangnya, kamera bagian samping sengaja dirusak pelaku. Cuma ada rekaman bagian beranda, dalam dan lantai atas.""Kami sudah ada rekaman CCTV dari sekitar TKP, Mbak.""Soal Bu Nur sudah diselidiki?""Bu Nur terindikasi jadi bagian komplotan kejahatan tersebut.""Oh my God! Pantas saja dia berani nyusup ke rumah Bapak,"ucap Ambar dengan raut wajah kaget. Dia tidak menyangka jika wanita separuh baya yang terlihat polos itu punya niat jahat."Saya mau cari sendiri keberadaan Dek Lastri, Mbak. Lama nungguin polisi," balas Bang Reno. Raut kesedihan terlihat jelas di wajahnya. Ambar tidak ingin membahas hal itu lagi. Ia datang ke kantor polisi guna memberi tambahan informasi serta menyerahkan rekaman CCTV.Ambar memberikan rekaman CCTV dari tempat usahanya dan juga kediaman Tuan Gerry. Dari rekaman CCTV pula, akhirnya Ambar tahu