“Ambar gak pernah menyangka, selama ini Ibu merasakan sakit seperti itu. Maafin Ambar, telah menanyakan hal yang membuat Ibu harus mengingat kembali luka lama,” ucap Ambar sembari memeluk sang ibu. Keduanya berpelukan dengan berurai air mata untuk beberapa saat.Tak lama kemudian, Bu Retno mengurai pelukan dan memegang kedua bahu Ambar lalu berucap, “Justru karena itu pula, Ibu jadi ingat soal surat. Nanti saat kalian udah pulang, Ibu berikan. Cepat sehat, Nduk.” Bu Retno pun mencium kedua pipi Ambar.Ambar semakin penasaran dengan isi tulisan dalam surat titipan dari bapaknya. Dalam hati, Ambar sangat berharap sang bapak masih hidup dan suatu saat bisa dipertemukan dengannya. Dia tak akan membenci bapaknya karena dianggap sebagai sebuah takdir.Justru kemarahan terbesar dia tujukan kepada Mita dan ibunya. Dua orang wanita yang sedari lama telah menaruh dendam dan merencanakan sebuah pembalasan. Apa yang ada dalam otak Bu Septia? Bisa-bisanya membuat cerita palsu dan memfitnah ibunya.
Bu Retno dan Sabrina tampak bahagia melihat perkembangan luar biasa dari Brian tersebut. Baru kali ini, bocah bertubuh bongsor tersebut mau tersenyum sejak peristiwa pelecehan yang dialaminya. Akhirnya, Ambar dengan yang lain sepakat bahwa hari ini akan full untuk memberi kebahagiaan bagi Brian. Dimulai dari pergi jalan-jalan ke mall lalu makan ke tempat pilihan Brian dan berakhir ke sekolah alam. Mereka akan lakukan hal tersebut seharian penuh. Semua tersenyum bahagia melihat Brian yang ceria kembali.“Honey, hari ini jadi pulang?” tanya Ambar setelah Sapto menjawab teleponnya. “Sebentar, Abang liat surat keterangan dari dokter barusan,” jawab Sapto. Beberapa saat kemudian, terdengar suara kertas dibuka lalu pria tersebut berucap,”Udah tercantum, hari ini boleh pulang. Emang kenapa, Sayang?”“Kebetulan kalo gitu. Sebelum pulang, bisa dong minta ditemani jalan-jalan, sekalian kasih liat Brian sekolah alam,” ujar Ambar sembari memeluk Brian yang telah mendekat ke arahnya.“Sekarang Bri
Tiba-tiba ponsel Ambar berdering dari dalam tas. Wanita berkaki jenjang ini lalu merogohnya. Tampak di layar terdapat sebuah pesan masuk dari nomor yang meneleponnya tadi. Ambar segera membacanya.[Benar ini Brian?] disertai sebuah foto sang bocah yang berdiri di depan gerbang sekolah. Seketika hati Ambar diselimuti perasaan cemas sekaligus panik. Bagaimana mungkin orang asing ini bisa memata-matai putranya.Ada tujuan apa dia?Ambar khawatir Brian menjadi sasaran kejahatan orang ini. Namun, kalau memang orang jahat, kenapa pula harus mengirim pesan terlebih dahulu. Akhirnya, Ambar memberanikan diri untuk membalas orang tersebut.[Maaf, dapat nomor saya dari mana? Anda siapa?]Pesan terkirim dan segera dibaca. Orang ini memang menunggu balasannya. Tak berapa lama, Ambar menerima pesan balasan.[Saya telah menyimpan nomor kamu selama ini dan secepatnya, saya akan menemui kalian]. Ambar membaca pesan dengan tangan gemetar.Reaksi Ambar terlihat oleh Bu Retno. Wanita setengah baya ini s
Hari ini kebahagiaan telah menyelimuti mereka. Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel Ambar berdering. Ambar dengan wajah masih menahan mual segera merogoh isi dalam tas, untuk mengambil ponsel. Tampak di layar tertera nomor pria misterius dan Ambar gegas menjawab panggilan telepon. “Selamat sore.”“Selamat sore, Sweety. Aku telah mengirimkan brownies kesukaan kamu. Semoga kamu bisa segera mengingatku,” ucap pria misterius dari seberang telepon dan Ambar segera memekik,”Bang Rafael ...!”Bu Retno yang mendengar pekikan Ambar pun seketika syok. Bagaimana mungkin, sosok menantu yang telah dimakamkan setahun silam bisa kembali hidup? Apakah seseorang yang mempunyai wajah mirip dan ada maksud tertentu? Banyak yang dipikirkan wanita separuh baya ini.Ambar seketika pingsan dan ponsel pun jatuh. Sapto segera meminggirkan mobil di pinggir jalan. Dia cekatan membetulkan posisi Ambar dan mengambil ponsel yang terjatuh lalu mematikannya. Sedangkan Bu Retno lebih tegar daripada sang putri. Wanita sepa
"Permisi! Holland Bakery.”“Ada paket makanan. Dari siapa, ya?” tanya Bu Retno sembari berdiri diikuti Brian. Anak kecil ini segera menyahut,”Brian suka cake dari Holland, Nek. Ikut ambil, ya?”Bu Retno yang masih kebingungan terpaksa mengangguk lalu menggandeng cucunya untuk menghampiri kurir. Tampak di balik pagar, seorang pria dengan kardus berukuran tanggung di tangan tersenyum ke arah mereka. “Selamat sore. Ada kiriman brownies untuk Ibu Ambar,” ucap pria tersebut ramah.Bu Retno membalas senyum dan Brian terlihat antusias memandang kardus yang dipegang sang kurir. Wanita separuh baya ini lalu membuka pintu gerbang untuk menerima paket. Kurir pun segera pergi setelah menyerahkan paket. Brian segera mengambil alih kardus sambil berucap,”Mama udah lama gak makan brownies, Nek. Tumben sekarang pesen. Mama mau bikin pesta karena kita pulang dari rumah sakit.”Celotehan Brian membuat Bu Retno bertambah gelisah. Kedua mata rentanya mengamati sekeliling, tetapi tak didapati hal-hal menc
“Brian punya Teacher dan adek bayi kan anak Papa Hadi,” jawab Brian yang seketika membuat tertawa yang lain. Sapto menggelengkan kepala lalu berucap penuh kasih kepada calon anak tirinya.“Brian tetap anak Papa Rafael, meski suatu saat jadi anak Teacher karena Teacher akan segera menikah dengan Mama. Dan adek dalam perut adalah anak Teacher juga, bukan anak Papa Hadi,” jelas Sapto kepada Brian yang masih sibuk mencerna kata-kata pria di hadapannya barusan. Sapto tersenyum melihat si bocah merenung lalu mengajak masuk menyusul yang lain.“Brian, gimana browniesnya, nih? Bisa dimakan, gak?” tanya Sabrina sambil berekpresi layaknya orang sedang makan dengan mulut menggelembung. Brian segera mendekat sambil menyeret lengan Sapto lalu mulai merajuk,”Teacher, boleh dimakan dong. Semutnya gak mati, tuh.” Sapto lalu duduk sembari memangku bocah berambut lebat tersebut. “Brownies ini dikirim untuk untuk siapa?” tanya pria berambut cepak ala militer sambil melirik ke arah Ambar.Wanita yang dil
“Whaatt! Aku milikmu?” tanya Ambar setengah menjerit lalu meraba kulit leher. Benar saja ada perasaan tak enak dalam hatinya. Kulit leher terasa perih dan kasar dan itu sudah pasti hasil olah bibir Rafael. Sang pria tertawa lebar melihat kepanikan Ambar dan dia semakin gemas.“Kenapa, Angel? Bukankah kamu selalu menginginkan ini?” Rafael semakin mempererat pegangan tangannya di pinggang Ambar. Bukannya menjawab, wanita berkuncir kuda ini segera mengurai pelukan lalu mencari sesuatu dalam tas. Rafael memeluknya dari belakang, sementara Ambar mengoleskan cairan terapi pada kulit leher.“Semoga segera pulih,” gumam Ambar yang terdengar jelas di telinga Rafael. Sang pria lalu membalikkan tubuh Ambar dan tampak ekspresi kecewa di raut wajah pria berdarah Spanyol tersebut.“Hunter, kita bukan suami istri lagi. Kamu ....” Ambar tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Kini, dia menangis tersedu-sedu di bahu pria cinta pertamanya ini. “Angel, bantu aku usut kasus ini. Temani aku, lapor polisi hari
Hubungan telepon berakhir. Tangan Rafael meraih kepala Ambar lalu disandarkan ke bahu. Rafael mengecup sekilas ujung kepala Ambar sambil tersenyum bahagia. Dia wanitaku dan akan tetap jadi milikku hingga ajal menjemput. Apa pun yang terjadi, batinnya.“Dia sangat sayang padamu, Angel. Kalian kenal lama?”“Dia guru Brian, Hunter.” Rafael tersenyum mendengar jawaban Ambar. Sedangkan sang wanita sesekali menahan mual di perut dan pria berparas Latin ini sangat memahaminya. Ambar melihat mobil tak lagi mengarah ke pantai seketika terkejut.“Hunter! Mau ke mana?” Rafael tak menggubris pertanyaan Ambar, bahkan meraih sebuah aroma terapi dari laci dashboard lalu diberikan ke Ambar. Wanita muda ini pun segera mengoleskan aroma tersebut ke hidung dan leher.Hanya perlu sepuluh menit, mobil yang ditumpangi mereka telah sampai ke tempat parkir sebuah praktek dokter kandungan. Mereka gegas turun lalu berjalan dengan mesra. Rafael merangkul bahu Ambar erat-erat, sedangkan lengan kanan sang wanita