“Kenapa kamu nggak jawab permintaan maaf dari Oma?” tanya Za menghampiri suaminya yang sibuk di depan laptop.“Untuk apa? Selama ini dia tidak menginginkan keberadaanku,” jawab Albany cuek.“Itu karena dulu dia tidak tahu tentang Tante Rita, Mas. coba kalau tahu, mana mungkin dia merestui putranya menikah dengan wanita seperti itu.” Za memeluk suaminya dari belakang. Menaruh dagu di ceruk bahu Albany, lalu mencium pipi sang suami penuh sayang.“Biar aja. Biar dia dapat pelajaran, jangan mudah menghina orang hanya karena dia miskin. Membuang ibuku yang tengah mengandung cucunya dan memaksa ayahku menikah dengan wanita lain. Orang macam apa itu?” ujar Albany ketus.Za mengembus napas kasar. Albany memang benar, Yohana memang sudah keterlaluan.“Kamu juga belum memberi selamat pada orangtuamu atas pernikahan mereka. Apa kamu tidak senang melihat Ibu bahagia?” tanya Za kemudian.“Aku setuju Ibu menikah, karena aku ingin dia bahagia, walaupun tanpa laki-laki itu pun aku masih bisa membahag
“Apa? Kamu hamil sama adiknya Albany?”“Iya. Aku membuatnya bertanggung jawab atas dosa yang tak pernah dia lakukan. Tapi aku tidak punya pilihan lain,” ucap Za parau.Ayu mendengarkan cerita Za dengan wajah melongo.“Tapi dia mau nikahin kamu, ya? hebat dia. Mau nikahin orang hamil sama orang lain. Ya … walaupun itu anak dari adiknya sendiri, tapi mana ada orang yang mau bekas orang lain. ” Ayu menggeleng-gelengkan kepalanya.Za tersenyum masam. “Dia mau nikahin aku, karena dia tidak mau anak itu berakhir seperti dirinya. Hidup tanpa seorang ayah,” ucap Za lirih dan menunduk menatap salad di piringnya.“Apa? Cerita apalagi ini? Tanpa seorang ayah? Bukannya Pak Hendro itu ayahnya?” pekik Ayu.Za menghela napas panjang. “Dia bernasib sama dengan bayi yang kukandung, Yu. Bedanya, aku akhirnya punya suami, sedangkan ibunya Albany tidak.”“Wait, wait … wait,” potong Ayu. “Jadi … ibunya pacar kamu dengan ibunya Albany itu beda? What the … kayak cerita telenovela aja, ini, Za,” ujar Ayu ter
“Dua hari yang lalu?” tanya Albany mengerutkan dahinya.“Heem, sengaja beli juga buat Ibu,” bisiknya dengan senyuman menggoda. Za suka sekali saat sang suami menelan ludah ketika melihat keindahan tubuhnya.“Buat Ibu? Emangnya Pak Hendro bisa ….” Kata-kata Albany tak berlanjut karena sudah disumpal oleh bibir Za.“Kamu tidak perlu memikirkan mereka,” bisik Za dan menarik Albany menuju peraduannya.**“Tumben kamu duah rapih?’ tanya Za saat melihat Albany memakai celana panjang dan kaos putih. Biasanya jika di rumah, lelaki itu lebih senang memakai celana pendek.“Aku mau pergi ke suatu tempat,” ujar Albany. “Kamu ganti baju, ya.”“Mau kemana?” tanya Za penasaran.“Jalan-jalan,” bisik Albany seraya memeluk sang istri dari belakang.“Jalan-jalan kemana?”“Ada pokoknya. Kamu ganti baju dulu ya,” bisik Albany lagi dan mengecup puncak kepala Za.Wanita itu menurut saja keinginan sang suami.Sepanjang jalan, Za melirik sang suami yang terlihat semringah. Dia belum mengerti apa penyebabnya
“Kenapa nggak dirawat di rumah sakit di sini saja, sih? Uangku udah habis, Ma.” Rita tampak kesal. Dia duduk bertopang kaki di sofa ruang keluarga.“Bapakmu ingin dirawat di Singapore. Sebagai seorang anak, harusnya kamu berjuang demi bapakmu. Dari kecil kamu kami rawat, baru berkorban sedikit aja udah marah-marah!” teriak sang ibu.Rita mencebik.“Berapa banyak uang yang sudah aku gelontorkan pada kalian selama ini? Lagian, salah Papa sendiri ngerokok kayak kereta api. Gak berenti-berenti. Mabok tiap hari. Pantes aja kalo penyakit bersarang,” timpal Rita penuh emosi.“Udahlah, mending rawat di sini aja. Kalau perlu pake BPJS. Nggak usah pusing bayar,” lanjut Rita.“Heh, kamu! Mau ditaroh di mana muka Mama kalau bapakmu dirawat pake BPJS. Temen-temen Mama udah pasti ngolok-ngolok. Udah, pokoknya Mama nggak mau tau, kalau perlu jual juga apartment kamu buat biaya berobat bapakmu! Sini, mana kartu ATM-mu!” teriak ibunya Rita sambil merampas tas tangan putrinya lalu mengambil kartu-kartu
Tak berapa lama, dia juga menerima notifikasi ke nomor ponselnya. Beberapa pose dirinya yang tengah telanjang, terpampang jelas di sana.[Kalau kamu mau foto ini tidak disebar, aku minta kamu kirimkan uang ke rekening ini sekarang juga. kalau tidak, aku pastikan foto-foto ini akan tersebar di media sosial.]Rita lalu berteriak seperti orang gila dan menjadi tontonan orang yang lalu-lalang.**Hendro duduk menghadap meja makan yang sudah terhidang banyak makanan. Tentu saja Ningsih dan Za yang menyiapkannya.Albany masih asik dengan siaran langsung Moto GP di televisi.“Mas, makan dulu,” ajak Za dari ruang makan. Albany terlihat cuek dan tetap fokus pada layar kaca.“Maas,” ulang Za sedikit kesal.“Nanti saja, aku belum lapar,” jawab Albany malas.Hendro dan Ningsih saling tatap. Mereka mengerti jika Albany belum bisa menerima kehadiran seorang ayah di hidupnya.Za mengembus napas kasar. Dia tahu sekali, jika pulang dari kebun, Albany kerap kali kelaparan.“Mas, biar kita makan bareng-
Albany menaruh handuknya di jemuran, lalu pergi ke area kolam renang. Hatinya masih sedikit kacau.“Mas … ish, malah nggak denger.” Za menyusul suaminya yang duduk santai di kursi pinggir kolam.“MAsih marah?” tanya Za dengan wajah menyesal.Albany bergeming, hanya menatap kilau air kolam.“Maaas! Iih, bikin kesel aja. Jawab dong,” ujar Za dan memepet tubuh sang suami dan menyenggol-nyenggol tubuhnya.“Apaan?” Albany malah menyenderkan kepalanya di sandaran dan membuat tubuhnya terlentang.“Maaf, aku kan lupa.” Za berucap dengan wajah memelas dan tangan yang ditangkupkan di dada.“Bukan masalah lupa.” Albany masih ketus.“Terus apa, dong?” Za menelengkan wajahnya dan menatap sang suami yang masih terlihat marah.“Masalahnya, kamu itu nggak pernah percaya sama aku. Kamu inget, kan, waktu kamu nuduh aku mencuri kalung berlian kamu? kalau ada sedikit saja rasa percaya dalam hati kamu tentang aku, nggak mungkin kamu menuduh aku melakukannya.” Albany benar-benar serius kali ini.“Ih, kamu
Sesaat sebelumnya.Ningsih dan Hendro menikmati alunan musik klasik yang begitu merdu di telinga. Lelaki itu memeluk Ningsih penuh kasih.“Kamu lihat tadi, sepertinya AL dan Za sedang cekcok,” ucap Hendro menatap ke luar lewat jendela kamar.“Iya. Tadi Neng Za kayaknya ngejar Albany ke tepi kolam. Iya, tuh mereka kayaknya lagi debat,” jawab Ningsih.“Ayo kita mainkan peran kita,” bisik Hendro.Ningsih mengerutkan dahinya. “Maksudnya apa, Mas?”“Ayo sini,” ajak Hendro dan mulai berdiri di samping jendela. Matanya melirik pada dua sejoli yang tampak masih bersitegang di pinggir kolam.Hendro mulai mengecup kening Ningsih. Walaupun ada tujuan lain, tetapi Hendro melakukannya dengn penuh rasa bahagia. Ningsih hanya diam mengikuti permainan suaminya. Apalagi saat sang suami mulai mendaratkan ciuman di bibirnya.“Mas, ntar keliatan sama anak-anak,” ucap Ningsih agar merenggangkan tubuhnya.“Itu justru sengaja, Sayang. Biar mereka pengen ikutan juga kayak kita,” bisik Hendro lalu mencoba men
Napas Rita tersengal saat menerima pesan berupa rekaman percakapan antara Rafael juga Albany. Dia sama sekali tidak menyangka jika kekasihnya itu ternyata belok dan sama-sama mengincar orang yang sama. Albany.“Sialan kamu Rafa! Lihat saja nanti. Sudah kubiayai habis-habisan, sekarang malah mengincar Albany. Takkan kubiarkan!” umpat Rita geram.[Kalau kamu ingin ikut menikmati malam yang indah, datang saja ke Hotel XYZ nanti malam.] tulis Albany.“Tentu saja aku akan datang, tapi bukan untuk ikut bercinta dengan kalian. Aku akan membongkar kebobrokan kelakuanmu, Rafa.” Rita terlihat geram sekali.**Rafael mondar-mandir karena kesal. Albany tak juga kembali, padahal dia sudah hampir dua jam menunggu.Segala macam cerita Amir ceritakan pada lelaki di dekatnya. Rafa hanya iya-iya saja tanpa benar-benar fokus mengikuti.Dia hendak menelpon Albany, namun seketika matanya melihat pesan yang dikirim oleh lelaki itu. Rafael langsung tersenyum semringah.“Baiklah. Mungkin sekarang kamu sedan