Tak berapa lama, dia juga menerima notifikasi ke nomor ponselnya. Beberapa pose dirinya yang tengah telanjang, terpampang jelas di sana.[Kalau kamu mau foto ini tidak disebar, aku minta kamu kirimkan uang ke rekening ini sekarang juga. kalau tidak, aku pastikan foto-foto ini akan tersebar di media sosial.]Rita lalu berteriak seperti orang gila dan menjadi tontonan orang yang lalu-lalang.**Hendro duduk menghadap meja makan yang sudah terhidang banyak makanan. Tentu saja Ningsih dan Za yang menyiapkannya.Albany masih asik dengan siaran langsung Moto GP di televisi.“Mas, makan dulu,” ajak Za dari ruang makan. Albany terlihat cuek dan tetap fokus pada layar kaca.“Maas,” ulang Za sedikit kesal.“Nanti saja, aku belum lapar,” jawab Albany malas.Hendro dan Ningsih saling tatap. Mereka mengerti jika Albany belum bisa menerima kehadiran seorang ayah di hidupnya.Za mengembus napas kasar. Dia tahu sekali, jika pulang dari kebun, Albany kerap kali kelaparan.“Mas, biar kita makan bareng-
Albany menaruh handuknya di jemuran, lalu pergi ke area kolam renang. Hatinya masih sedikit kacau.“Mas … ish, malah nggak denger.” Za menyusul suaminya yang duduk santai di kursi pinggir kolam.“MAsih marah?” tanya Za dengan wajah menyesal.Albany bergeming, hanya menatap kilau air kolam.“Maaas! Iih, bikin kesel aja. Jawab dong,” ujar Za dan memepet tubuh sang suami dan menyenggol-nyenggol tubuhnya.“Apaan?” Albany malah menyenderkan kepalanya di sandaran dan membuat tubuhnya terlentang.“Maaf, aku kan lupa.” Za berucap dengan wajah memelas dan tangan yang ditangkupkan di dada.“Bukan masalah lupa.” Albany masih ketus.“Terus apa, dong?” Za menelengkan wajahnya dan menatap sang suami yang masih terlihat marah.“Masalahnya, kamu itu nggak pernah percaya sama aku. Kamu inget, kan, waktu kamu nuduh aku mencuri kalung berlian kamu? kalau ada sedikit saja rasa percaya dalam hati kamu tentang aku, nggak mungkin kamu menuduh aku melakukannya.” Albany benar-benar serius kali ini.“Ih, kamu
Sesaat sebelumnya.Ningsih dan Hendro menikmati alunan musik klasik yang begitu merdu di telinga. Lelaki itu memeluk Ningsih penuh kasih.“Kamu lihat tadi, sepertinya AL dan Za sedang cekcok,” ucap Hendro menatap ke luar lewat jendela kamar.“Iya. Tadi Neng Za kayaknya ngejar Albany ke tepi kolam. Iya, tuh mereka kayaknya lagi debat,” jawab Ningsih.“Ayo kita mainkan peran kita,” bisik Hendro.Ningsih mengerutkan dahinya. “Maksudnya apa, Mas?”“Ayo sini,” ajak Hendro dan mulai berdiri di samping jendela. Matanya melirik pada dua sejoli yang tampak masih bersitegang di pinggir kolam.Hendro mulai mengecup kening Ningsih. Walaupun ada tujuan lain, tetapi Hendro melakukannya dengn penuh rasa bahagia. Ningsih hanya diam mengikuti permainan suaminya. Apalagi saat sang suami mulai mendaratkan ciuman di bibirnya.“Mas, ntar keliatan sama anak-anak,” ucap Ningsih agar merenggangkan tubuhnya.“Itu justru sengaja, Sayang. Biar mereka pengen ikutan juga kayak kita,” bisik Hendro lalu mencoba men
Napas Rita tersengal saat menerima pesan berupa rekaman percakapan antara Rafael juga Albany. Dia sama sekali tidak menyangka jika kekasihnya itu ternyata belok dan sama-sama mengincar orang yang sama. Albany.“Sialan kamu Rafa! Lihat saja nanti. Sudah kubiayai habis-habisan, sekarang malah mengincar Albany. Takkan kubiarkan!” umpat Rita geram.[Kalau kamu ingin ikut menikmati malam yang indah, datang saja ke Hotel XYZ nanti malam.] tulis Albany.“Tentu saja aku akan datang, tapi bukan untuk ikut bercinta dengan kalian. Aku akan membongkar kebobrokan kelakuanmu, Rafa.” Rita terlihat geram sekali.**Rafael mondar-mandir karena kesal. Albany tak juga kembali, padahal dia sudah hampir dua jam menunggu.Segala macam cerita Amir ceritakan pada lelaki di dekatnya. Rafa hanya iya-iya saja tanpa benar-benar fokus mengikuti.Dia hendak menelpon Albany, namun seketika matanya melihat pesan yang dikirim oleh lelaki itu. Rafael langsung tersenyum semringah.“Baiklah. Mungkin sekarang kamu sedan
“Kok kamu ketawa-ketawa, Sayang?” tanya Za saat melihat suaminya yang terbahak di dekat jendela.“Biasa, ngerjain orang belok,” ucapnya datar.Za mendekat dan memeluk sang suami dari belakang. Menikmati bau harum dari tubuh orang yang sangat dicintainya.“Kamu membangkitkan sesuatu,” ucap Albany mengatur deru napasnya.Za tersenyum. Justru itu yang diharapkan.“Aku tidak akan membiarkan orang lain memilikimu,” ucapnya lirih.**Hari kelima yang Za ingat jika dia sudah terlambat datang tamu bulanan. Diam-diam dia mengambil alat tes kehamilan dari laci meja dan membawanya ke kamar mandi.Setelah menampung air seni pertama, dia langsung mencelupkan ujung benda kecil itu. Hanya menunggu beberapa detik hingga matanya berbinar penuh haru. Setelah sekian lama, akhirnya Tuhan menitipkan kembali benih dalam rahimnya.Za mengucap syukur berkali-kali.Guyuran air terasa lebih segar subuh ini, mungkin karena suasana hatinya yang bahagia. Za juga meminta Albany mulai menjadi imam salat. Walaupun r
“Pantas saja Albany beli makanan sebanyak ini. Ternyata ada yang ingin dirayakan,” ucap Ningsih mengelus pelan pundak menantunya.“Ibu hamil harus banyak makan. Ayo, sini.” Albany menarik sebuah kursi makan dan menyuruh Za duduk di sana bersebelahan dengannya.Jika biasanya Za yang akan mengambilkan makanan untuk dia, kali ini justru Albany yang mengambilkan makanan untuk istrinya.“Haaa.” Albany menyodorkan sesuap nasi beserta lauknya.“Iih, Mas, aku kan, bisa makan sendiri, nggak perlu disuapin juga,” tolak Za merasa tak enak dilihat oleh kedua mertuanya.“Biar banyak makannya. Pokoknya sepiring ini harus habis.” Albany memaksa.“Tapi, Maaas.”“Tidak ada tapi-tapian. Haa, buka mulutmu!” ujar Albany kembali memaksa. Walaupun dengan wajah cemberut, Za akhirnya membuka mulut.Ningsih mengulum senyum melihat kelakuan sang putra yang memaksa istrinya untuk makan.“Udah, Mas. Aku kenyang ini,” tolak Za setelah suapan yang ke sekian.“Ini bukan buat kamu, Sayang, tapi buat Adek Bayi.” Alb
“Heei, tunggu, jangan tutup dulu. sebentar saja, tolong!” ujar Albany menangkupkan tangannya di dada.“Tokonya sudah tutup, Mas. Donatnya juga sudah habis,” ucap si pegawai toko.Bahu Albany langsung meluruh. Tubuhnya terasa lemas. Usaha yang sia-sia. Yang lebih penting lagi, dia merasa berdosa pada sang istri yang sedang ngidam.“Sama sekali nggak ada lagi, Mas?” tanya Albany dengan tatapan memohon. “Satuuuu, aja,” ujarnya menjentikan satu jarinya.Pegawai toko donat itu terlihat kasihan pada Albany yang tampak memohon.“Istri saya sedang ngidam, Mas. barangkali ada satuuuuu aja, sisa donatnya,” ujar Albany lagi memelas.“Sebenarnya kalau yang untuk dijual sudah habis. Saya tadi kebetulan nyisain beberapa potong untuk dibawa pulang buat anak saya,” ujar penjaga toko itu.Mata Albany langsung berbinar.“Apa saya boleh membelinya? Berapa pun, saya beli. Saya mohoon, kasihani istri saya,” ujar Albany.“Iya, tidak apa-apa. Ambilah. Anak saya sudah sering makan donat. Mungkin besok-besok
Jam dua dini hari Za terbangun karena kebelet. Melirik ke samping, sang suami terbaring dengan bantal menutupi muka. Dengkurannya bahkan terdengar. Sepertinya Albany sangat kecapean.Za melirik ke atas meja, ada dua kantong keresek di sana. Buah mangga yang masih terlihat muda menyembul di sana. wanita cantik itu tersenyum. Dia terharu karena sang suami sudah mau bersusah payah mencarikan sesuatu yang sangat diinginkannya.Mulut Za tiba-tiba terasa pahit. Dia kembali membayangkan jika makan rujak akan menetralisir rasa pahit di mulutnya. Namun, dia ingin jika Albany yang membuatkan rujak itu untuknya.“Mas.” Za menggoyang-goyangkan tubuh tegap itu pelan. Albany hanya bergumam dan membalikan tubuhnya, lalu memeluk bantal yang tadi menutupi wajah.Za langsung cemberut.“Maass,” ucapnya sambil menggoyangkan tubuh itu lagi.“Hhmm?” Albany masih asik memeluk bantal.“Pengen rujaknya sekarang,” ujar Za merengek dan masih tetap menggoyangkan tubuh suaminya.Albany menggeliatkan tubuhnya. Ra