Sesaat sebelumnya.Ningsih dan Hendro menikmati alunan musik klasik yang begitu merdu di telinga. Lelaki itu memeluk Ningsih penuh kasih.“Kamu lihat tadi, sepertinya AL dan Za sedang cekcok,” ucap Hendro menatap ke luar lewat jendela kamar.“Iya. Tadi Neng Za kayaknya ngejar Albany ke tepi kolam. Iya, tuh mereka kayaknya lagi debat,” jawab Ningsih.“Ayo kita mainkan peran kita,” bisik Hendro.Ningsih mengerutkan dahinya. “Maksudnya apa, Mas?”“Ayo sini,” ajak Hendro dan mulai berdiri di samping jendela. Matanya melirik pada dua sejoli yang tampak masih bersitegang di pinggir kolam.Hendro mulai mengecup kening Ningsih. Walaupun ada tujuan lain, tetapi Hendro melakukannya dengn penuh rasa bahagia. Ningsih hanya diam mengikuti permainan suaminya. Apalagi saat sang suami mulai mendaratkan ciuman di bibirnya.“Mas, ntar keliatan sama anak-anak,” ucap Ningsih agar merenggangkan tubuhnya.“Itu justru sengaja, Sayang. Biar mereka pengen ikutan juga kayak kita,” bisik Hendro lalu mencoba men
Napas Rita tersengal saat menerima pesan berupa rekaman percakapan antara Rafael juga Albany. Dia sama sekali tidak menyangka jika kekasihnya itu ternyata belok dan sama-sama mengincar orang yang sama. Albany.“Sialan kamu Rafa! Lihat saja nanti. Sudah kubiayai habis-habisan, sekarang malah mengincar Albany. Takkan kubiarkan!” umpat Rita geram.[Kalau kamu ingin ikut menikmati malam yang indah, datang saja ke Hotel XYZ nanti malam.] tulis Albany.“Tentu saja aku akan datang, tapi bukan untuk ikut bercinta dengan kalian. Aku akan membongkar kebobrokan kelakuanmu, Rafa.” Rita terlihat geram sekali.**Rafael mondar-mandir karena kesal. Albany tak juga kembali, padahal dia sudah hampir dua jam menunggu.Segala macam cerita Amir ceritakan pada lelaki di dekatnya. Rafa hanya iya-iya saja tanpa benar-benar fokus mengikuti.Dia hendak menelpon Albany, namun seketika matanya melihat pesan yang dikirim oleh lelaki itu. Rafael langsung tersenyum semringah.“Baiklah. Mungkin sekarang kamu sedan
“Kok kamu ketawa-ketawa, Sayang?” tanya Za saat melihat suaminya yang terbahak di dekat jendela.“Biasa, ngerjain orang belok,” ucapnya datar.Za mendekat dan memeluk sang suami dari belakang. Menikmati bau harum dari tubuh orang yang sangat dicintainya.“Kamu membangkitkan sesuatu,” ucap Albany mengatur deru napasnya.Za tersenyum. Justru itu yang diharapkan.“Aku tidak akan membiarkan orang lain memilikimu,” ucapnya lirih.**Hari kelima yang Za ingat jika dia sudah terlambat datang tamu bulanan. Diam-diam dia mengambil alat tes kehamilan dari laci meja dan membawanya ke kamar mandi.Setelah menampung air seni pertama, dia langsung mencelupkan ujung benda kecil itu. Hanya menunggu beberapa detik hingga matanya berbinar penuh haru. Setelah sekian lama, akhirnya Tuhan menitipkan kembali benih dalam rahimnya.Za mengucap syukur berkali-kali.Guyuran air terasa lebih segar subuh ini, mungkin karena suasana hatinya yang bahagia. Za juga meminta Albany mulai menjadi imam salat. Walaupun r
“Pantas saja Albany beli makanan sebanyak ini. Ternyata ada yang ingin dirayakan,” ucap Ningsih mengelus pelan pundak menantunya.“Ibu hamil harus banyak makan. Ayo, sini.” Albany menarik sebuah kursi makan dan menyuruh Za duduk di sana bersebelahan dengannya.Jika biasanya Za yang akan mengambilkan makanan untuk dia, kali ini justru Albany yang mengambilkan makanan untuk istrinya.“Haaa.” Albany menyodorkan sesuap nasi beserta lauknya.“Iih, Mas, aku kan, bisa makan sendiri, nggak perlu disuapin juga,” tolak Za merasa tak enak dilihat oleh kedua mertuanya.“Biar banyak makannya. Pokoknya sepiring ini harus habis.” Albany memaksa.“Tapi, Maaas.”“Tidak ada tapi-tapian. Haa, buka mulutmu!” ujar Albany kembali memaksa. Walaupun dengan wajah cemberut, Za akhirnya membuka mulut.Ningsih mengulum senyum melihat kelakuan sang putra yang memaksa istrinya untuk makan.“Udah, Mas. Aku kenyang ini,” tolak Za setelah suapan yang ke sekian.“Ini bukan buat kamu, Sayang, tapi buat Adek Bayi.” Alb
“Heei, tunggu, jangan tutup dulu. sebentar saja, tolong!” ujar Albany menangkupkan tangannya di dada.“Tokonya sudah tutup, Mas. Donatnya juga sudah habis,” ucap si pegawai toko.Bahu Albany langsung meluruh. Tubuhnya terasa lemas. Usaha yang sia-sia. Yang lebih penting lagi, dia merasa berdosa pada sang istri yang sedang ngidam.“Sama sekali nggak ada lagi, Mas?” tanya Albany dengan tatapan memohon. “Satuuuu, aja,” ujarnya menjentikan satu jarinya.Pegawai toko donat itu terlihat kasihan pada Albany yang tampak memohon.“Istri saya sedang ngidam, Mas. barangkali ada satuuuuu aja, sisa donatnya,” ujar Albany lagi memelas.“Sebenarnya kalau yang untuk dijual sudah habis. Saya tadi kebetulan nyisain beberapa potong untuk dibawa pulang buat anak saya,” ujar penjaga toko itu.Mata Albany langsung berbinar.“Apa saya boleh membelinya? Berapa pun, saya beli. Saya mohoon, kasihani istri saya,” ujar Albany.“Iya, tidak apa-apa. Ambilah. Anak saya sudah sering makan donat. Mungkin besok-besok
Jam dua dini hari Za terbangun karena kebelet. Melirik ke samping, sang suami terbaring dengan bantal menutupi muka. Dengkurannya bahkan terdengar. Sepertinya Albany sangat kecapean.Za melirik ke atas meja, ada dua kantong keresek di sana. Buah mangga yang masih terlihat muda menyembul di sana. wanita cantik itu tersenyum. Dia terharu karena sang suami sudah mau bersusah payah mencarikan sesuatu yang sangat diinginkannya.Mulut Za tiba-tiba terasa pahit. Dia kembali membayangkan jika makan rujak akan menetralisir rasa pahit di mulutnya. Namun, dia ingin jika Albany yang membuatkan rujak itu untuknya.“Mas.” Za menggoyang-goyangkan tubuh tegap itu pelan. Albany hanya bergumam dan membalikan tubuhnya, lalu memeluk bantal yang tadi menutupi wajah.Za langsung cemberut.“Maass,” ucapnya sambil menggoyangkan tubuh itu lagi.“Hhmm?” Albany masih asik memeluk bantal.“Pengen rujaknya sekarang,” ujar Za merengek dan masih tetap menggoyangkan tubuh suaminya.Albany menggeliatkan tubuhnya. Ra
Albany mendengkus kesal. Di pagi buta, dengan udara dingin dan rasa kantuk yang hebat, harus pula makan rujak yang asemnya minta ampun.Tak ada pilihan lain, Albany kembali mencocol bumbu rujak dan menyuapnya dengan meringis.Za malah semakin suka melihatnya. Dia tertawa-tawa sambil ikutan meringis ketika sang suami meringis keasaman.Klek.Terdengar pintu kamar Ningsih terbuka. Kedua orang itu sontak menoleh. Ada Ningsih di sana menatap heran pada kedua anak dan menantunya itu.“Kalian lagi apa malam-malam begini?” tanyanya dengan mata menyipit.“Ini, Bu, adek bayinya pengen makan rujak,” jawab Za diselingi kekehan.“Adek bayi yang mau rujak, tapi kok, malah Albany yang makan sambil meringis-meringis gitu?” tanya Ningsih heran.Za cekikikan, sementara Albany memutar bola matanya jengah.“Adek bayi maunya ayahnya yang makan, Bu,” jawab Za diselingi tawa.“Ngidamnya aneh.” Albany menggerutu. “Padahal udah diwanti-wanti jangan ngidam yang aneh.”Za kembali tertawa. Lalu Ningsih pun ik
“Jangan sentuh aku!” ujar Hendro ketus. Rita menyeringai.“Kamu terlihat semakin menggoda, Hendro. Apakah kita bisa kembali seperti dulu? tinggal serumah dan kembali menjadi suami istri?” tanyanya tanpa rasa malu.Hendro mendecih lalu tertawa.“Jangan mimpi kamu! Aku sudah hidup bahagia dengan Maria. Dan terutama, aku sudah lepas dari iblis betina seperti kamu,” gertak Hendro dengan senyuman sinis.“Oh, ya, kemana mobilmu?” Hendro melirik pada sedan butut yang terparkir tak jauh dari mereka berdiri.Rita sedikit menunduk dan mulai terisak.“Ayahku sakit dan membutuhkan penngobatan yang mahal. Dia kena kanker paru-paru. Karena itu, aku menjual seluruh aset yang aku punya. Uang yang aku ambil dari kamu pun habis untuk berobat dia,” desah Rita dengan air mata buaya.Hendro terdiam. Walaupun dia membenci wanita di depannya ini, namun saat mendengar mantan mertuanya sakit, dia sedikit trenyuh.“Maaf,” ujar Hendro memalingkan muka.Rita menggeleng. “Tidak apa-apa, Mas. kebetulan sekali kita
Entah berapa lama mereka menunggu di sana. Hingga seorang suster menghampiri mereka dan mengatakan jika operasinya berhasil. Bayinya ada dalam inkubator, sementara Syafitri masuk ke ruang ICU karena kondisinya kritis.Ada rasa lega juga sedih di hati keduanya.Za menatap lekat pada bayi yang terbaring di dalam kotak kaca itu. Pikirannya kembali pada masa Rabbani masih ada. Air matanya kembali menetes tanpa bisa ditahan.Albany menatap nanar pada sang istri. Dia mengira jika itu adalah air mata bahagia atas lahirnya seorang putra.“Dia mirip Rabbani ya, Mas.” Za bergumam. Albany mengangguk.“Selamat, kamu sudah resmi menjadi seorang ibu,” bisik Albany seraya memeluk istrinya dari samping. Dia juga mengecup puncak kepala Za penuh sayang.**Za dan Albany sedang sarapan di kantin rumah sakit saat dering telepon
Pagi-pagi Albany terbangun dengan tubuh yang luar biasa lelah. Kemarin malam dia bahkan tidak sempat makan. Hanya teh susu yang dihidangkan sang istri saja yang sempat diminumnya.Matanya mengerjap sambil dikucek. Za tersenyum di sebelahnya.“Kamu udah mandi?” tanya Albany saat melihat istrinya sudah rapih. Tak terlihat gurat lelah di mata wanita itu saat biasanya dia lihat setelah pergumulan mereka di malam harinya.“Udah. Aku bahkan udah siapin kamu sarapan. Ayo mandi dulu. kamu pasti cape,” ujar Za tersenyum semringah. Albany mengangguk. Dia lalu bangkit setelah sebelumnya meraih handuk yang semalam terjatuh ke lantai.Kening Albany mengerut saat dia berdiri dan sekilas melihat ke atas seprei hijau muda. Ada bercak darah di sana.“Sayang, kamu lagi dapet?” tanya Albany. Dia bahkan lupa jika istrinya sudah tak memiliki kantung rahim.&nb
[Mas, nanti malem aku tunggu ya. I miss you so much.]Tulis Za ke nomor whatsapp suaminya. Albany yang sedang mengecek kebun selada sontak mengulum senyum saat membaca pesan itu.[Siap-siap saja kalau sudah berani menggoda.]Balas Albany. Dia tersenyum lalu kembali memasukan ponselnya ke saku celana. Dia geleng-geleng membayangkan sang istri yang biasanya mendominasi kalau ngajak duluan.“Tunggu saja, aku buat kamu minta ampun,” gumamnya sambil mengulum senyum.[Aku minta Fitri pulang dulu ke rumah Pak Ahmad, biar kita nggak ada yang ganggu.]Za kembali membalas. Getar ponsel membuat Albany mengambilnya lagi. Dia lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng saat membaca pesan itu.**Albany pulang dalam keadaan basah kuyup. Walaupun sudah memakai jas hujan, tetapi karena hujan yang mengguyur sangat besar air itu masih dapat tembus melalui sela-sela leher dan beberapa bagian lainnya.Albany masuk ke rumah yang terlihat sepi.“Pada ke mana, kok nggak ada?” gumamnya sambil celingak-celinguk.
Mereka tiba di rumah baru itu sudah sore. Rumah itu lebih terlihat seperti vila di daerah pegunungan. Za sengaja memilihnya, agar sang suami mudah mencari lahan perkebunan baru di sana.“Ini kamar kamu, ya, Fit.” Za menunjukan sebuah kamar di sebelah miliknya. Mata gadis itu tak henti-henti berbinar semenjak kedatangannya ke rumah ini. Rumah yang di matanya begitu mewah, jauh jika dibandingkan dengan rumah sang ayah.“Kamu nggak apa-apa, kan, di kamar ini?” tawar Za meminta persetujuan. Gadis itu mengangguk cepat.“Terima kasih, Bu,” ucap Syafitri dengan senyum semringah. Gadis yang baru setahun lulus SMA itu langsung masuk ke kamarnya dan berputar-putar melihat setiap benda yang seolah mimpi bisa menjadi miliknya.Za tersenyum melihat rona bahagia di wajah gadis itu. Gadis yang telah mau membantunya untuk memberikan seorang anak.Beberapa hari yang lalu, Za diam-diam mendatangi rumah Ahmad dan menceritakan semuanya. Za meminta Syafitri agar mau menjadi madunya.Awalnya Ahmad juga Sya
“Mas, aku sudah siapkan sebuah rumah di luar kota untuk rencana kita itu,” ujar Za saat Albany berganti pakaian pagi itu.“Rencana? Rencana apa?” tanyanya menghentikan aktifitas.“Punya bayi,” jawab Za singkat.“Maksudnya gimana?”“Kita pindah rumah dari sini, Mas. Tidak mungkin kita membawa istri barumu ke sini, kan? Bisa-bisa Papa sama Ibu marah sama kita. Mereka juga tidak tahu, kan, kalau aku sudah tidak memiliki Rahim?” ungkap Za.Terdengar dengkusan dari mulut Albany. Ternyata keinginan dan rencana istrinya itu bukan main-main. Padahal dia sama sekali tak menginginkan pernikahan kedua. Jika memang Tuhan tidak menakdirkannya memiliki anak, Albany akan menjalaninya dengan ikhlas.“Mas … kok malah gitu, sih? Bukannya jawab,” kejar Za dan menarik lengan suaminya.Albany mengembus napas kasar dan menatap istrinya nanar.“Aku harus jawab apa, Sayang? Aku sama sekali tidak punya ide untuk itu. Bahkan membayangkannya saja aku berat,” jawab Albany.“Hanya sebentar, Mas. Kita harus berkor
Mata Amara membulat seketika. Bahunya meluruh saat rekaman itu berakhir.“KAmu dengar sendiri, kan? Apa laki-laki macam itu yang akan kamu pertahankan? Dia hanya akan jadi penyakit untuk masa depanmu, Mara. Kamu lebih baik berhenti mengharapkannya,” ucap Za menatap dalam pada sepupunya.Amara mulai melemah emosinya. Tangis itu kini berganti isak. Za lalu merengkuh sepupunya dan mengelus punggungnya perlahan.“Kamu harus bersyukur karena mengetahui kebenaran tentang Rafael sebelum hari pernikahan kalian. Kalau seandainya kalian sudah menikah, sudah pasti akan jauh lebih berat buatmu,” bisik Za berusaha menyalurkan kekuatan.“Terima kasih, Za. Kalau seandainya kamu nggak ngasih tau semua ini, aku pasti salah paham terus sama kalian. Rafael bilang kalian telah menjebaknya hingga dia ditahan,” ucapnya terisak.Za tersenyum sekilas setelah mengendurkan pelukannya.“Kamu adalah adikku. Sudah sepantasnya aku menyelamatkanmu dari manusia picik seperti dia.” Za mengusap bahu Amara lalu mengaj
“Apa?” Mata Za terbelalak. Albany mengangguk dengan mata terpejam. Tak kuasa menahan rasa sakit di dadanya.“Dia sepertinya yang telah menabrakmu,” ucap Albany penuh sesal.“BAgaimana kamu bisa seyakin itu?” tanya Za dengan jantung yang bertalu kencang. Jika benar lelaki itu yang telah menabraknya, lalu apa alasannya?“Apa kamu tidak ingat waktu motor itu menabrakmu, Neng Za? Ibu melihat jelas sekali jenis motor, warna dan juga plat nomornya,” timpal Ningsih.“Aku kaget sekali waktu itu, Bu. Perutku juga sakit sekali diterjang motor itu. Kalau gak salah, memang motor yang sejenis motor Ninja warna merah. Hanya saja aku nggak tau nomor platnya. Lagi pula, buat apa dia nabrak aku?” Za tampak kebingungan.Albany mengembus napas kasar. Dia menggenggam tangan sang istri erat sebelum berani berterus terang tentang segalanya.“Kamu ingat dengan lelaki yang menggodaku di kafe?” tanya Albany dengan nada memelas.Mata Za terbelalak. Dia sadar, jika suara yang pernah dia dengar memang persis den
Mata Albany membulat seketika, apalagi saat lelaki itu datang mendekat.“Ini, kenalkan, sepupuku. Za. Dan ini suaminya, Albany,” ucap Amara memperkenalkan.Alis Rafael terangkat sebelah. Dia lalu tersenyum semringah seraya mengulurkan tangan.“Hai. Aku Rafael. Senang bertemu denganmu,” ucapnya mengulurkan tangan pada Albany. Lelaki berkuncir itu dengan terpaksa menerima uluran tangan orang yang dibencinya. Kala tangan mereka berjabat, Rafael menggerak-gerakan ibu jarinya mengelus telapak tangan Albany dengan menyunggingkan seulas senyum.Albany bergegas menarik tangannya. Sungguh terasa menjijikan ketika harus berhadapan dengan lelaki belok itu.Rafael juga tersenyum manis pada Za seraya mengulurkan tangan. Namun, Albany segera menarik lengan Za yang lain agar segera menjauh dari lelaki itu. Ada perasaan aneh dalam hati Za dengan sikap sang sua
Za hendak bangkit, namun ditahan oleh sang suami. Tubuhnya semakin bergetar menahan tangis.“Lepas, Mas. Lepaas …,” pinta Za memohon dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Albany yang menahan erat dirinya.“Tidak.” Albany menggeleng.“AKu mau pergi, Mas. Aku mau sendiri,” ucap Za terisak.“Tidak, Za. Aku mohon, jangan pergi lagi.” Lelaki itu tetap kukuh menahan tubuh istrinya yang hendak bangkit berdiri.“Aku hanya wanita tidak berguna, Mas. untuk apa lagi kau pertahankan aku,” isak Za semakin kencang.Albany merengkuhnya ke dalam pelukan. “Siapa bilang kau tidak berguna?” bisik Albany seraya mengusap punggung sang istri perlahan.“Kau adalah hidupku. Kau adalah nyawaku.” Albany semakin mengeratkan pelukannya. Tangis Za semakin pecah. Dia merasa menjadi wanita yang egois jika terus bersama dengan Albany.Lelaki itu sangat menginginkan seorang anak, dan sekarang … dia takkan lagi mampu memberikannya.“Aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaanku, Mas. Aku mandul. Aku tidak akan per