Za sudah menyiapkan segala sesuatu untuk pesta pernikahan ibu mertuanya. Tak mewah memang, tapi dekorasinya cukup manis dengan catering yang lebih dari kata sederhana. Hendro memang sudah mempercayakan segalanya pada Za. Walaupun sang suami terlihat ogah-ogahan membantu, tetapi dia tetap semangat menyelesaikan semuanya.Segala treatment Bu Ningsih lakukan sebelum pernikahan, bahkan jauh sebelum rencana pernikahan itu ada. Tentu saja atas ide dari sang menantu. Bu Ningsih kini terlihat jauh berbeda. Kecantikannya semakin terlihat jelas. Kulitnya terlihat jauh bercahaya. Za merasa bangga dengan perubahan pada ibu mertuanya itu.Wajah yang tak muda lagi itu kini semakin cantik dengan polesan make up minimalis. Kebaya putih tulang yang begitu pas di badan, juga tiara yang menghias jilbabnya terlihat begitu cantik dikenakan Ningsih.Acara pernikahan yang selama ini hanya angan semata, kini menjadi nyata.Ningsih berjalan dengan dipapah oleh Za yang mengenakan kebaya dan kebawahan biru mud
“Kenapa kamu nggak jawab permintaan maaf dari Oma?” tanya Za menghampiri suaminya yang sibuk di depan laptop.“Untuk apa? Selama ini dia tidak menginginkan keberadaanku,” jawab Albany cuek.“Itu karena dulu dia tidak tahu tentang Tante Rita, Mas. coba kalau tahu, mana mungkin dia merestui putranya menikah dengan wanita seperti itu.” Za memeluk suaminya dari belakang. Menaruh dagu di ceruk bahu Albany, lalu mencium pipi sang suami penuh sayang.“Biar aja. Biar dia dapat pelajaran, jangan mudah menghina orang hanya karena dia miskin. Membuang ibuku yang tengah mengandung cucunya dan memaksa ayahku menikah dengan wanita lain. Orang macam apa itu?” ujar Albany ketus.Za mengembus napas kasar. Albany memang benar, Yohana memang sudah keterlaluan.“Kamu juga belum memberi selamat pada orangtuamu atas pernikahan mereka. Apa kamu tidak senang melihat Ibu bahagia?” tanya Za kemudian.“Aku setuju Ibu menikah, karena aku ingin dia bahagia, walaupun tanpa laki-laki itu pun aku masih bisa membahag
“Apa? Kamu hamil sama adiknya Albany?”“Iya. Aku membuatnya bertanggung jawab atas dosa yang tak pernah dia lakukan. Tapi aku tidak punya pilihan lain,” ucap Za parau.Ayu mendengarkan cerita Za dengan wajah melongo.“Tapi dia mau nikahin kamu, ya? hebat dia. Mau nikahin orang hamil sama orang lain. Ya … walaupun itu anak dari adiknya sendiri, tapi mana ada orang yang mau bekas orang lain. ” Ayu menggeleng-gelengkan kepalanya.Za tersenyum masam. “Dia mau nikahin aku, karena dia tidak mau anak itu berakhir seperti dirinya. Hidup tanpa seorang ayah,” ucap Za lirih dan menunduk menatap salad di piringnya.“Apa? Cerita apalagi ini? Tanpa seorang ayah? Bukannya Pak Hendro itu ayahnya?” pekik Ayu.Za menghela napas panjang. “Dia bernasib sama dengan bayi yang kukandung, Yu. Bedanya, aku akhirnya punya suami, sedangkan ibunya Albany tidak.”“Wait, wait … wait,” potong Ayu. “Jadi … ibunya pacar kamu dengan ibunya Albany itu beda? What the … kayak cerita telenovela aja, ini, Za,” ujar Ayu ter
“Dua hari yang lalu?” tanya Albany mengerutkan dahinya.“Heem, sengaja beli juga buat Ibu,” bisiknya dengan senyuman menggoda. Za suka sekali saat sang suami menelan ludah ketika melihat keindahan tubuhnya.“Buat Ibu? Emangnya Pak Hendro bisa ….” Kata-kata Albany tak berlanjut karena sudah disumpal oleh bibir Za.“Kamu tidak perlu memikirkan mereka,” bisik Za dan menarik Albany menuju peraduannya.**“Tumben kamu duah rapih?’ tanya Za saat melihat Albany memakai celana panjang dan kaos putih. Biasanya jika di rumah, lelaki itu lebih senang memakai celana pendek.“Aku mau pergi ke suatu tempat,” ujar Albany. “Kamu ganti baju, ya.”“Mau kemana?” tanya Za penasaran.“Jalan-jalan,” bisik Albany seraya memeluk sang istri dari belakang.“Jalan-jalan kemana?”“Ada pokoknya. Kamu ganti baju dulu ya,” bisik Albany lagi dan mengecup puncak kepala Za.Wanita itu menurut saja keinginan sang suami.Sepanjang jalan, Za melirik sang suami yang terlihat semringah. Dia belum mengerti apa penyebabnya
“Kenapa nggak dirawat di rumah sakit di sini saja, sih? Uangku udah habis, Ma.” Rita tampak kesal. Dia duduk bertopang kaki di sofa ruang keluarga.“Bapakmu ingin dirawat di Singapore. Sebagai seorang anak, harusnya kamu berjuang demi bapakmu. Dari kecil kamu kami rawat, baru berkorban sedikit aja udah marah-marah!” teriak sang ibu.Rita mencebik.“Berapa banyak uang yang sudah aku gelontorkan pada kalian selama ini? Lagian, salah Papa sendiri ngerokok kayak kereta api. Gak berenti-berenti. Mabok tiap hari. Pantes aja kalo penyakit bersarang,” timpal Rita penuh emosi.“Udahlah, mending rawat di sini aja. Kalau perlu pake BPJS. Nggak usah pusing bayar,” lanjut Rita.“Heh, kamu! Mau ditaroh di mana muka Mama kalau bapakmu dirawat pake BPJS. Temen-temen Mama udah pasti ngolok-ngolok. Udah, pokoknya Mama nggak mau tau, kalau perlu jual juga apartment kamu buat biaya berobat bapakmu! Sini, mana kartu ATM-mu!” teriak ibunya Rita sambil merampas tas tangan putrinya lalu mengambil kartu-kartu
Tak berapa lama, dia juga menerima notifikasi ke nomor ponselnya. Beberapa pose dirinya yang tengah telanjang, terpampang jelas di sana.[Kalau kamu mau foto ini tidak disebar, aku minta kamu kirimkan uang ke rekening ini sekarang juga. kalau tidak, aku pastikan foto-foto ini akan tersebar di media sosial.]Rita lalu berteriak seperti orang gila dan menjadi tontonan orang yang lalu-lalang.**Hendro duduk menghadap meja makan yang sudah terhidang banyak makanan. Tentu saja Ningsih dan Za yang menyiapkannya.Albany masih asik dengan siaran langsung Moto GP di televisi.“Mas, makan dulu,” ajak Za dari ruang makan. Albany terlihat cuek dan tetap fokus pada layar kaca.“Maas,” ulang Za sedikit kesal.“Nanti saja, aku belum lapar,” jawab Albany malas.Hendro dan Ningsih saling tatap. Mereka mengerti jika Albany belum bisa menerima kehadiran seorang ayah di hidupnya.Za mengembus napas kasar. Dia tahu sekali, jika pulang dari kebun, Albany kerap kali kelaparan.“Mas, biar kita makan bareng-
Albany menaruh handuknya di jemuran, lalu pergi ke area kolam renang. Hatinya masih sedikit kacau.“Mas … ish, malah nggak denger.” Za menyusul suaminya yang duduk santai di kursi pinggir kolam.“MAsih marah?” tanya Za dengan wajah menyesal.Albany bergeming, hanya menatap kilau air kolam.“Maaas! Iih, bikin kesel aja. Jawab dong,” ujar Za dan memepet tubuh sang suami dan menyenggol-nyenggol tubuhnya.“Apaan?” Albany malah menyenderkan kepalanya di sandaran dan membuat tubuhnya terlentang.“Maaf, aku kan lupa.” Za berucap dengan wajah memelas dan tangan yang ditangkupkan di dada.“Bukan masalah lupa.” Albany masih ketus.“Terus apa, dong?” Za menelengkan wajahnya dan menatap sang suami yang masih terlihat marah.“Masalahnya, kamu itu nggak pernah percaya sama aku. Kamu inget, kan, waktu kamu nuduh aku mencuri kalung berlian kamu? kalau ada sedikit saja rasa percaya dalam hati kamu tentang aku, nggak mungkin kamu menuduh aku melakukannya.” Albany benar-benar serius kali ini.“Ih, kamu
Sesaat sebelumnya.Ningsih dan Hendro menikmati alunan musik klasik yang begitu merdu di telinga. Lelaki itu memeluk Ningsih penuh kasih.“Kamu lihat tadi, sepertinya AL dan Za sedang cekcok,” ucap Hendro menatap ke luar lewat jendela kamar.“Iya. Tadi Neng Za kayaknya ngejar Albany ke tepi kolam. Iya, tuh mereka kayaknya lagi debat,” jawab Ningsih.“Ayo kita mainkan peran kita,” bisik Hendro.Ningsih mengerutkan dahinya. “Maksudnya apa, Mas?”“Ayo sini,” ajak Hendro dan mulai berdiri di samping jendela. Matanya melirik pada dua sejoli yang tampak masih bersitegang di pinggir kolam.Hendro mulai mengecup kening Ningsih. Walaupun ada tujuan lain, tetapi Hendro melakukannya dengn penuh rasa bahagia. Ningsih hanya diam mengikuti permainan suaminya. Apalagi saat sang suami mulai mendaratkan ciuman di bibirnya.“Mas, ntar keliatan sama anak-anak,” ucap Ningsih agar merenggangkan tubuhnya.“Itu justru sengaja, Sayang. Biar mereka pengen ikutan juga kayak kita,” bisik Hendro lalu mencoba men
Entah berapa lama mereka menunggu di sana. Hingga seorang suster menghampiri mereka dan mengatakan jika operasinya berhasil. Bayinya ada dalam inkubator, sementara Syafitri masuk ke ruang ICU karena kondisinya kritis.Ada rasa lega juga sedih di hati keduanya.Za menatap lekat pada bayi yang terbaring di dalam kotak kaca itu. Pikirannya kembali pada masa Rabbani masih ada. Air matanya kembali menetes tanpa bisa ditahan.Albany menatap nanar pada sang istri. Dia mengira jika itu adalah air mata bahagia atas lahirnya seorang putra.“Dia mirip Rabbani ya, Mas.” Za bergumam. Albany mengangguk.“Selamat, kamu sudah resmi menjadi seorang ibu,” bisik Albany seraya memeluk istrinya dari samping. Dia juga mengecup puncak kepala Za penuh sayang.**Za dan Albany sedang sarapan di kantin rumah sakit saat dering telepon
Pagi-pagi Albany terbangun dengan tubuh yang luar biasa lelah. Kemarin malam dia bahkan tidak sempat makan. Hanya teh susu yang dihidangkan sang istri saja yang sempat diminumnya.Matanya mengerjap sambil dikucek. Za tersenyum di sebelahnya.“Kamu udah mandi?” tanya Albany saat melihat istrinya sudah rapih. Tak terlihat gurat lelah di mata wanita itu saat biasanya dia lihat setelah pergumulan mereka di malam harinya.“Udah. Aku bahkan udah siapin kamu sarapan. Ayo mandi dulu. kamu pasti cape,” ujar Za tersenyum semringah. Albany mengangguk. Dia lalu bangkit setelah sebelumnya meraih handuk yang semalam terjatuh ke lantai.Kening Albany mengerut saat dia berdiri dan sekilas melihat ke atas seprei hijau muda. Ada bercak darah di sana.“Sayang, kamu lagi dapet?” tanya Albany. Dia bahkan lupa jika istrinya sudah tak memiliki kantung rahim.&nb
[Mas, nanti malem aku tunggu ya. I miss you so much.]Tulis Za ke nomor whatsapp suaminya. Albany yang sedang mengecek kebun selada sontak mengulum senyum saat membaca pesan itu.[Siap-siap saja kalau sudah berani menggoda.]Balas Albany. Dia tersenyum lalu kembali memasukan ponselnya ke saku celana. Dia geleng-geleng membayangkan sang istri yang biasanya mendominasi kalau ngajak duluan.“Tunggu saja, aku buat kamu minta ampun,” gumamnya sambil mengulum senyum.[Aku minta Fitri pulang dulu ke rumah Pak Ahmad, biar kita nggak ada yang ganggu.]Za kembali membalas. Getar ponsel membuat Albany mengambilnya lagi. Dia lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng saat membaca pesan itu.**Albany pulang dalam keadaan basah kuyup. Walaupun sudah memakai jas hujan, tetapi karena hujan yang mengguyur sangat besar air itu masih dapat tembus melalui sela-sela leher dan beberapa bagian lainnya.Albany masuk ke rumah yang terlihat sepi.“Pada ke mana, kok nggak ada?” gumamnya sambil celingak-celinguk.
Mereka tiba di rumah baru itu sudah sore. Rumah itu lebih terlihat seperti vila di daerah pegunungan. Za sengaja memilihnya, agar sang suami mudah mencari lahan perkebunan baru di sana.“Ini kamar kamu, ya, Fit.” Za menunjukan sebuah kamar di sebelah miliknya. Mata gadis itu tak henti-henti berbinar semenjak kedatangannya ke rumah ini. Rumah yang di matanya begitu mewah, jauh jika dibandingkan dengan rumah sang ayah.“Kamu nggak apa-apa, kan, di kamar ini?” tawar Za meminta persetujuan. Gadis itu mengangguk cepat.“Terima kasih, Bu,” ucap Syafitri dengan senyum semringah. Gadis yang baru setahun lulus SMA itu langsung masuk ke kamarnya dan berputar-putar melihat setiap benda yang seolah mimpi bisa menjadi miliknya.Za tersenyum melihat rona bahagia di wajah gadis itu. Gadis yang telah mau membantunya untuk memberikan seorang anak.Beberapa hari yang lalu, Za diam-diam mendatangi rumah Ahmad dan menceritakan semuanya. Za meminta Syafitri agar mau menjadi madunya.Awalnya Ahmad juga Sya
“Mas, aku sudah siapkan sebuah rumah di luar kota untuk rencana kita itu,” ujar Za saat Albany berganti pakaian pagi itu.“Rencana? Rencana apa?” tanyanya menghentikan aktifitas.“Punya bayi,” jawab Za singkat.“Maksudnya gimana?”“Kita pindah rumah dari sini, Mas. Tidak mungkin kita membawa istri barumu ke sini, kan? Bisa-bisa Papa sama Ibu marah sama kita. Mereka juga tidak tahu, kan, kalau aku sudah tidak memiliki Rahim?” ungkap Za.Terdengar dengkusan dari mulut Albany. Ternyata keinginan dan rencana istrinya itu bukan main-main. Padahal dia sama sekali tak menginginkan pernikahan kedua. Jika memang Tuhan tidak menakdirkannya memiliki anak, Albany akan menjalaninya dengan ikhlas.“Mas … kok malah gitu, sih? Bukannya jawab,” kejar Za dan menarik lengan suaminya.Albany mengembus napas kasar dan menatap istrinya nanar.“Aku harus jawab apa, Sayang? Aku sama sekali tidak punya ide untuk itu. Bahkan membayangkannya saja aku berat,” jawab Albany.“Hanya sebentar, Mas. Kita harus berkor
Mata Amara membulat seketika. Bahunya meluruh saat rekaman itu berakhir.“KAmu dengar sendiri, kan? Apa laki-laki macam itu yang akan kamu pertahankan? Dia hanya akan jadi penyakit untuk masa depanmu, Mara. Kamu lebih baik berhenti mengharapkannya,” ucap Za menatap dalam pada sepupunya.Amara mulai melemah emosinya. Tangis itu kini berganti isak. Za lalu merengkuh sepupunya dan mengelus punggungnya perlahan.“Kamu harus bersyukur karena mengetahui kebenaran tentang Rafael sebelum hari pernikahan kalian. Kalau seandainya kalian sudah menikah, sudah pasti akan jauh lebih berat buatmu,” bisik Za berusaha menyalurkan kekuatan.“Terima kasih, Za. Kalau seandainya kamu nggak ngasih tau semua ini, aku pasti salah paham terus sama kalian. Rafael bilang kalian telah menjebaknya hingga dia ditahan,” ucapnya terisak.Za tersenyum sekilas setelah mengendurkan pelukannya.“Kamu adalah adikku. Sudah sepantasnya aku menyelamatkanmu dari manusia picik seperti dia.” Za mengusap bahu Amara lalu mengaj
“Apa?” Mata Za terbelalak. Albany mengangguk dengan mata terpejam. Tak kuasa menahan rasa sakit di dadanya.“Dia sepertinya yang telah menabrakmu,” ucap Albany penuh sesal.“BAgaimana kamu bisa seyakin itu?” tanya Za dengan jantung yang bertalu kencang. Jika benar lelaki itu yang telah menabraknya, lalu apa alasannya?“Apa kamu tidak ingat waktu motor itu menabrakmu, Neng Za? Ibu melihat jelas sekali jenis motor, warna dan juga plat nomornya,” timpal Ningsih.“Aku kaget sekali waktu itu, Bu. Perutku juga sakit sekali diterjang motor itu. Kalau gak salah, memang motor yang sejenis motor Ninja warna merah. Hanya saja aku nggak tau nomor platnya. Lagi pula, buat apa dia nabrak aku?” Za tampak kebingungan.Albany mengembus napas kasar. Dia menggenggam tangan sang istri erat sebelum berani berterus terang tentang segalanya.“Kamu ingat dengan lelaki yang menggodaku di kafe?” tanya Albany dengan nada memelas.Mata Za terbelalak. Dia sadar, jika suara yang pernah dia dengar memang persis den
Mata Albany membulat seketika, apalagi saat lelaki itu datang mendekat.“Ini, kenalkan, sepupuku. Za. Dan ini suaminya, Albany,” ucap Amara memperkenalkan.Alis Rafael terangkat sebelah. Dia lalu tersenyum semringah seraya mengulurkan tangan.“Hai. Aku Rafael. Senang bertemu denganmu,” ucapnya mengulurkan tangan pada Albany. Lelaki berkuncir itu dengan terpaksa menerima uluran tangan orang yang dibencinya. Kala tangan mereka berjabat, Rafael menggerak-gerakan ibu jarinya mengelus telapak tangan Albany dengan menyunggingkan seulas senyum.Albany bergegas menarik tangannya. Sungguh terasa menjijikan ketika harus berhadapan dengan lelaki belok itu.Rafael juga tersenyum manis pada Za seraya mengulurkan tangan. Namun, Albany segera menarik lengan Za yang lain agar segera menjauh dari lelaki itu. Ada perasaan aneh dalam hati Za dengan sikap sang sua
Za hendak bangkit, namun ditahan oleh sang suami. Tubuhnya semakin bergetar menahan tangis.“Lepas, Mas. Lepaas …,” pinta Za memohon dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Albany yang menahan erat dirinya.“Tidak.” Albany menggeleng.“AKu mau pergi, Mas. Aku mau sendiri,” ucap Za terisak.“Tidak, Za. Aku mohon, jangan pergi lagi.” Lelaki itu tetap kukuh menahan tubuh istrinya yang hendak bangkit berdiri.“Aku hanya wanita tidak berguna, Mas. untuk apa lagi kau pertahankan aku,” isak Za semakin kencang.Albany merengkuhnya ke dalam pelukan. “Siapa bilang kau tidak berguna?” bisik Albany seraya mengusap punggung sang istri perlahan.“Kau adalah hidupku. Kau adalah nyawaku.” Albany semakin mengeratkan pelukannya. Tangis Za semakin pecah. Dia merasa menjadi wanita yang egois jika terus bersama dengan Albany.Lelaki itu sangat menginginkan seorang anak, dan sekarang … dia takkan lagi mampu memberikannya.“Aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaanku, Mas. Aku mandul. Aku tidak akan per