Sarah terperanjat. Keterkejutannya yang besar membuatnya hanya mampu mengeluarkan satu kata saja, menyebut nama pria yang dia tabrak, "Arch?"
Arch tersenyum. "Iya, ini memang aku. Aku mencarimu dari tadi, tapi tidak berhasil menemukanmu. Untungnya sepupumu memberitahuku bahwa kau mungkin ada di sini."
"Se-pupuku?" ucap Sarah terbata, lebih karena spontan berkata, tanpa berpikir. Bayangan tentang perhiasan Arch yang kini kembali hilang, membuatnya merasa tak siap bertemu tamu penginapannya itu.
"Iya, Sarah. Naura yang memberitahuku. Ada apa denganmu? Kau terlihat tidak baik-baik saja."
"Aku?" ucap Sarah, kembali dengan nada kosong.
"Kelihatannya memang telah terjadi sesuatu," gumam Arch. "Kenapa kau memegangi tangan kananmu?" Arch meraih tangan kanan Sarah dan melihatnya.
"Oh, aku—" ucap Sarah tersendat sembari menarik tangannya, "aku tidak papa." Dia tersenyum gugup, dan Arch, sesaat kemudian melepas seulas senyum samar pula di wajahnya.
Sembari mendesah Arch berkata, "Sarah, aku mendengar dari Naura, bahwa kau ke sini untuk—hei!" Arch mengalihkan pandang pada Ben, yang berdiri beberapa langkah dari mereka, tengah memandang mereka dengan tatapan nan heran sekaligus tak suka. "Apakah kau teman Sarah? Maaf kalau aku tak sengaja mengabaikanmu."
"Sarah," ujar Ben mengabaikan sapaan Arch, "siapa dia?"
Sarah terkesiap. Dia memalingkan wajah pada Ben, dan kemudian untuk sesaat menatap Arch, dengan ragu beralih kembali pada Ben, lalu berkata setelah semua itu, "Dia Arch."
"Aku tidak menanyakan namanya. Aku sudah mendengar kau memanggilnya, tadi. Yang kumaksud adalah apakah dia—em, temanmu?"
"Maaf, jika aku menyela," timpal Arch pada Ben tanpa sungkan, "nada bicaramu—entahlah siapa namamu—terdengar tidak begitu bersahabat. Apakah Sarah melakukan kesalahan padamu, hingga kau seolah terlihat marah?"
"Diamlah, Bung! Aku tidak bicara denganmu," sergah Ben tak peduli. "Sarah, jawablah pertanyaanku!"
"Bagaimana kalau aku saja yang menjawabnya?" sela Arch tak kalah menyebalkan. Sarah untuk sesaat menahan senyum geli.
"Diamlah!" sergah Ben hilang akal. "Kenapa kau terus menyela?! Astaga! Kau juga tiba-tiba datang tanpa diundang!"
"Oh," tukas Arch, "maafkan aku kalau begitu. Aku datang ke sini untuk mencari Sarah."
"Untuk apa kau mencari Sarah? Kau pikir seseorang akan menculiknya di rumah sepupunya sendiri?"
"Ya Tuhan," desah Arch dengan senyum geli. "Kau terlihat gusar sekali. Padahal aku tak berniat cari masalah denganmu. Untuk kau ketahui," jelas Arch dengan sabar lagi santai, "aku datang ke pesta ini bersama Sarah. Saat aku mendapati pasangan pestaku menghilang, maka aku mencarinya."
"Pasangan pesta?" ulang Ben. "Datang bersama?" Arch mengangguk. "Omong kosong! Sarah tak pernah mengajak pria manapun untuk pergi berdua saja bersamanya."
"Oh," kata Arch, yang rupanya sedikit terperanjat dengan fakta baru itu, kemudian melirik Sarah dan mendapati gadis itu tersipu sembari mengalihkan pandangan dengan canggung ke arah yang tak tentu. "Tapi kali ini kami menginginkannya," timpal Arch. "Kami merencanakannya bersama, dan kami melakukan apa yang sudah kami rencanakan. Benar begitu kan, Sarah?"
Sarah, sejenak menatap Arch yang mengedipkan sebelah matanya dengan samar-samar tersenyum jahil, kemudian mengangguk patuh sembari menahan ekspresi geli. Arch terlihat mulai ingin memprovokasi Ben, dan Sarah entah kenapa tak berminat menghentikannya.
"Memangnya siapa kau?" kata Ben, terlihat kentara sekali tak suka.
"Aku?" Arch sejenak melirik Sarah. "Aku ... siapamu, Sarah?" lanjut Arch sembari menolehkan wajahnya dengan sempurna pada gadis di sampingnya itu.
Sarah terkesiap. Gadis itu sekilas memasang ekspresi yang samar-samar bingung di wajahnya, namun wajah bingung itu hanya tertuju pada Arch, hingga Ben pun tidak bisa memperhatikannya.
Sementara Arch menunggu responnya, Sarah hanya bisa diam. Tak sedikitpun dia menemukan ide untuk menyambut umpan yang telah dilempar Arch. Dia tahu mungkin Arch bermaksud mengajaknya melakonkan sebuah peran, atau mungkin bermain-main, atau mungkin—Sarah terperangah saat kemudian Arch tiba-tiba meraih tangannya dan menggenggamnya. "Aku adalah pacarnya," ucap Arch kemudian dengan lugas.
"Apa?" sambar Ben tanpa penundaan, merasa terguncang bagai disambar petir. Wajahnya nampak terperanjat dan Arch seolah bisa melihat pemuda itu hampir pingsan.
Merasa khawatir Sarah juga akan terguncang—yang nyata-nyata memang benar—Arch lantas berujar, "Sarah, kau ingin mengatakan sesuatu?"
"Sarah!" sambar Ben. "Katakan kalau dia salah! Pria bule ini pasti meracau, kan?"
Sarah terdiam. Tatapannya tertuju pada Arch dengan fokus, dan pria warga negara asing itu samar-samar menunjukkan ekspresi minta maaf. Untuk sekejap—sekejap saja—Sarah menoleh pada Ben, dan Sarah menangkap keterkejutan menyedihkan di wajah pemuda itu, yang lantas membuat Sarah kembali mengalihkan pandang pada Arch dengan pemikiran tercerahkan, dan lantas berusaha menguatkan diri untuk berkata sedikit tersendat, "I-iya. Itu benar."
"Omong kosong, Sarah! Kau bohong!" seru Ben.
"Oh, astaga, Sarah! Dia pacarmu, sekarang? Ini luar biasa!" seru suara yang lain.
Arch dan Sarah seketika menoleh pada si pendatang baru, dan mendapati sepupu Sarah, Naura, datang menghambur dengan tertawa gembira menyambut narasi dusta yang baru saja diucapkan Arch dan Sarah. "Arch," desah Sarah gelisah sembari mengeratkan genggamannya di tangan Arch, dan Arch yang mendengar panggilan lemah itu lantas berupaya menguatkan dengan kemampuan maksimalnya.
Pria itu mengeratkan genggamannya pula sembari berbisik pelan, "Tenanglah." Segera setelah itu dia melihat, Naura menghambur pada Sarah dan menghadiahinya pelukan erat yang mengharukan, dan kemudian beralih menyelamati Arch dan Arch pun menjawab, "Terima kasih."
"Ini mengejutkan, Sarah Sayang!" ucap Naura. "Aku benar-benar mengucapkan selamat untuk kalian! Dan—Arch, apa kau tahu? Kau adalah pacar pertama Sarah selama dua puluh sembilan tahun hidupnya, ketahuilah itu wahai pria yang beruntung! Banyak sekali pemuda yang mendekatinya, tapi Sarah tak pernah sekalipun melirik mereka." Naura terkekeh. "Ini benar-benar kabar besar! Maksudku kabar gembira! Tidak. Kabar besar yang menggembirakan!"
Sarah tersipu. Di antara naik-turun irama perasaannya, dia melirik Arch, dan mendapati pria itu tersenyum sembari meliriknya pula. Sarah menduga, pria asing itu mungkin merasa terkejut, kaget, atau bahkan aneh mengetahui fakta tersembunyi tentang dirinya, yang secara eksplisit baru saja diucapkan oleh Naura.
Ben, yang sedari tadi menyimak keriuhan itu dengan hati kesal, mengedikkan bahu, lantas berjalan mendekat pada trio yang tengah berbahagia, dan berujar dengan ekspresi tak sungguh-sungguh, "Selamat kalau begitu! Kuucapkan selamat!" Ben mengajukan tangannya pada Sarah dan mengajaknya berjabat tangan. Sarah menerimanya. Namun selepas itu, tepat seperti dugaan Sarah dan Arch, pemuda patah hati itu tak berkenan menyelamati si pria bule, yang sangat bisa dimaklumi, itu berasal dari duka hatinya yang tentunya dalam. Naura pun turut memahaminya, dan kemudian mendesah prihatin.
Sebagai teman Ben sejak lama, Naura tahu betapa Ben sangat mengidolakan Sarah. Namun sayang, idolanya itu tak berkenan memberinya tempat di dalam hati. Naura juga turut menyaksikan sendiri, bahwa kisah sedih itu telah berubah menjadi konyol, berkat aksi menyedihkan Ben yang terus memaksakan diri dan bahkan tak sungkan menekan Sarah, dan alhasil justru membuat Sarah semakin tidak menyukainya. Sebuah keniscayaan yang tak mengherankan bagi Naura, mengingat Sarah sejak bayi memiliki karakter dasar tak suka dipaksa-paksa.
***
Naura melanjutkan ucapannya, di tengah rasa senangnya mengetahui kabar membahagiakan Arch dan Sarah, "Aku kemari, bermaksud untuk mengajak kalian masuk ke ruangan pesta. Aku dan Eric akan memulai acara inti kami.""Waw, itu menyenangkan! Selamat, Sayangku!" Sarah menghambur pada Naura dan menghadiahinya pelukan erat, dan untuk sejenak ekspreksi Naura berubah haru. Arch tersenyum memperhatikannya, sementara Ben tampak tak fokus. Pikiran Ben masih tertuju pada kabar mengejutkan perihal status Sarah dan Arch, yang menurutnya terkesan ganjil dan aneh. Pikiran kritisnya membisikinya untuk tak serta merta percaya dengan pengumuman meresahkan itu."Jangan sekarang," kata Naura kemudian, sembari melepaskan pelukannya. "Detik ini kami masih belum bertunangan.""Akan segera," timpal Sarah, "dasar kau ini! Aku tidak akan punya kesempatan untuk menyelamatimu nanti, karena pasti tamu undanganmu yang berjubel itu tak kan mau memberiku
Ben, menuruti kata hatinya, benar-benar berjalan menuju Arch dan Sarah yang tampak tengah asyik berbincang. Sarah agak gugup awalnya saat melihat kedatangannya, namun Arch meyakinkannya untuk bersikap tenang, atau Ben akan mencurigai mereka."Hai, Sarah," ucap Ben, yang kemudian dengan malas mengalihkan pandang sejenak pada Arch, lalu melanjutkannya, "hai, Arch." Ben mendeham, sekali saja, lalu kembali berkata, "Sarah, aku turut senang dengan hubungan kalian. Ini ... benar kata Naura, adalah kabar baik! Aku ragu sebenarnya, memikirkan kapan sebenarnya kalian jadian, karena beberapa hari lalu kudengar dari Naura, kau masih belum punya kekasih—tapi baiklah! Mari kita lupakan saja itu."Sarah merasakan jantungnya berdebar sedikit lebih kencang mendengar analisa singkat Ben, namun di saat yang bersamaan, dia melihat Arch justru tengah berjuang menahan senyum geli."Sarah," lanjut Ben, "bagaimana kalau
Ekspresi lelah membayang di wajah seorang pria bule jangkung berbola mata biru dengan garis wajah tegas mengesankan, yang lalu dengan serta merta disambut dengan keramahan bercampur kantuk oleh Sarah, "Selamat malam, Tuan. Selamat datang di penginapan kami." Anggukan kepala takzim Sarah membersamai keluarnya suara dari mulutnya yang meski diucapkan dengan sedikit sisa kesadaran akibat dominasi rasa kantuk, namun masih terdengar nyaring.Tidak ada jawaban. Pria itu memandang dengan sigap ke arah Sarah begitu pertanyaan ditujukan kepadanya, namun tak memberikan kejelasan apapun selain binar mata yang terperangah. Sarah, yang kemudian teringat bahwa lawan bicaranya itu adalah orang asing, lantas bermaksud membenahi ucapannya, "Good eve—""Selamat malam. Terima kasih. Saya bahkan tidak sadar bahwa ini adalah penginapan.""Oh," suara bernada sedikit terkejut terlontar dari lisan Sarah, dan segera dia pun sadar, bahwa po
Sarah bergegas menuju ke dalam rumahnya, menindaklanjuti seruan nyaring adiknya untuk mengangkat telepon dari sepupunya, Naura. Sarah berjanji pada dirinya sendiri, akan segera mengembalikan gelang Arch, begitu dia selesai berbicara dengan sepupunya. Dia memasukkan kotak perhiasan itu ke kantong jaketnya sendiri, dan berjalan sedikit tergesa-gesa agar sepupunya tak perlu menunggu terlalu lama.Sepupunya sedikit menggerutu di awal percakapan itu, menyatakan kekesalannya karena Sarah tak mengangkat teleponnya yang ditujukan ke nomor pribadi Sarah, sebelumnya. Sarah menanggapinya dengan permintaan maaf tak dibuat-buat, dengan menyertakan dalih bahwa padatnya aktivitas pagi telah mengilhaminya untuk meninggalkan ponselnya begitu saja di kamarnya dalam rangka menghindari interupsi, hingga alhasil tak mengetahui jika sang sepupu menghubunginya."Lagipula yang penting sekarang kita sudah terhubung," imbuh Sarah. "Langkahmu tepat dengan beralih meng
Meira, tanpa membuang waktu, segera menghubungi Sarah dengan mimik muka tegang lagi serius. Dia berharap, bibit masalah yang dia lihat saat ini tak benar-benar berkembang menjadi masalah. Dia yang diserahi tugas untuk mencuci jaket itu, maka barang yang ada dalam saku pakaian itu menjadi tanggung jawabnya.Namun Sarah, meskipun nomornya aktif, tak kunjung mengangkat panggilan darurat Meira. Hingga berkali-kali. Meira terus mencoba tanpa lelah, diselingi protes-protes tajam karena rasa jengkel, hingga pada percobaan yang ke lima, Evan, adik Sarah, memberinya interupsi memilukan. "Percuma Kak Meira menghubungi nomor Kak Sarah terus-terusan. Dia meninggalkan ponselnya di kamarnya. Lihatlah!"Evan menyodorkan ponsel Sarah tepat di depan Meira, yang membuat Meira bisa melihat dengan jelas dalam ekspresi kecut, panggilan dari dirinya sendiri masuk ke ponsel itu."Aku heran kenapa ada dering suara ponsel yang tak kunjung berhenti di kamar Kak Sarah,"
Sarah terpaku mendengar saran Meira yang sejujurnya teramat masuk akal itu. Seharusnya semuanya selesai dengan mudah tepat seperti katanya, namun ekspresi Sarah berubah kecut, setelah mengingat sekelebat bayangan bahwa asisten rumah tangga Naura, Bi Ira, sempat terlihat mengemasi beberapa pakaian di kursi ruang santai itu, yang memang dilakukan atas perintah Naura. Sarah kontan mendesah, menyesali kecerobohan dirinya yang telah melupakan gelang itu begitu saja."Bagaimana jika jaketku tadi turut diambil juga oleh Bi Ira," gumam Sarah. "Oh, bodohnya diriku! Seharusnya aku tidak melepaskan jaketku, tadi. Bagaimana kalau jaket itu turut dicuci pula?"Meira mengerutkan kening mendengar gerutu tak begitu jelas dari mulut Sarah, namun meski tak begitu jelas, Meira mampu menangkap beberapa kata yang dirasa cukup meresahkan."Jaketmu diambil Bi Ira? Jaketmu dicuci?" ulang Meira penuh selidik, yang kemudian dijawab Sarah dengan lirikan penuh rasa bersalah disertai
Sarah masih merasakan kakinya gemetaran, tepat di saat Arch melanjutkan ucapannya dengan tenang, "Ayo, kita duduk di kursi restomu, Sarah."Sarah menurut patuh. Dia berjalan beriringan dengan Arch menuju salah satu kursi resto yang saat itu sedang tidak begitu ramai. Sarah terdiam, sibuk menata mentalnya sebelum menyampaikan sesuatu yang mungkin akan sulit diterima kenalan barunya itu. Sementara Arch, memesan minuman untuk dirinya dan juga sang pemilik penginapan yang ekspreksinya tampak sarat pemikiran. Pemandangan yang aneh, bagi beberapa pegawainya di bagian resto, melihat Sarah bersikap layaknya tamu yang pasif, padahal biasanya dia yang aktif memastikan segala pelayanan untuk tamu berjalan maksimal."Lihatlah Nona Sarah," celetuk salah satu pegawai. "Tidakkah dia terlihat melamun?""Kau benar," timpal yang lain. "Apa yang sedang dipikirkannya? Dan—hei, si pria bule itu menatapnya. Tidakkah kau lihat itu?
Saat yang dinanti tiba. Hari telah memasuki waktu malam, dan keramaian di pesta pertunangan Naura telah mulai terasa. Arch, dan Sarah, telah sampai di lokasi pesta tanpa terlambat, meski Naura sempat menyatakan kritik terselubung bahwa seharusnya mereka datang lebih awal, mengingat Sarah adalah sepupu Naura.Kritik terselubung itu sejatinya juga didasari pertimbangan lain, bahwa ketika pesta telah dimulai maka itu artinya Naura tak kan punya cukup kesempatan untuk menjalin komunikasi pribadi dengan tamu undangan dadakannya, Arch, dalam rangka mengorek keterangan darinya tentang sejauh mana kedekatan si pemuda dengan saudari sepupunya. Alasan kedua ini, meski tak dipaparkan oleh Naura, namun dipahami dengan baik oleh Sarah sejak sebelum keberangkatannya. Itulah kenapa dia memilih untuk tak berangkat lebih awal, sehingga dia akan selamat dari cercaan pertanyaan tak penting.Naura, menyambut Sarah di tengah para tamu yang mulai rama
Ben, menuruti kata hatinya, benar-benar berjalan menuju Arch dan Sarah yang tampak tengah asyik berbincang. Sarah agak gugup awalnya saat melihat kedatangannya, namun Arch meyakinkannya untuk bersikap tenang, atau Ben akan mencurigai mereka."Hai, Sarah," ucap Ben, yang kemudian dengan malas mengalihkan pandang sejenak pada Arch, lalu melanjutkannya, "hai, Arch." Ben mendeham, sekali saja, lalu kembali berkata, "Sarah, aku turut senang dengan hubungan kalian. Ini ... benar kata Naura, adalah kabar baik! Aku ragu sebenarnya, memikirkan kapan sebenarnya kalian jadian, karena beberapa hari lalu kudengar dari Naura, kau masih belum punya kekasih—tapi baiklah! Mari kita lupakan saja itu."Sarah merasakan jantungnya berdebar sedikit lebih kencang mendengar analisa singkat Ben, namun di saat yang bersamaan, dia melihat Arch justru tengah berjuang menahan senyum geli."Sarah," lanjut Ben, "bagaimana kalau
Naura melanjutkan ucapannya, di tengah rasa senangnya mengetahui kabar membahagiakan Arch dan Sarah, "Aku kemari, bermaksud untuk mengajak kalian masuk ke ruangan pesta. Aku dan Eric akan memulai acara inti kami.""Waw, itu menyenangkan! Selamat, Sayangku!" Sarah menghambur pada Naura dan menghadiahinya pelukan erat, dan untuk sejenak ekspreksi Naura berubah haru. Arch tersenyum memperhatikannya, sementara Ben tampak tak fokus. Pikiran Ben masih tertuju pada kabar mengejutkan perihal status Sarah dan Arch, yang menurutnya terkesan ganjil dan aneh. Pikiran kritisnya membisikinya untuk tak serta merta percaya dengan pengumuman meresahkan itu."Jangan sekarang," kata Naura kemudian, sembari melepaskan pelukannya. "Detik ini kami masih belum bertunangan.""Akan segera," timpal Sarah, "dasar kau ini! Aku tidak akan punya kesempatan untuk menyelamatimu nanti, karena pasti tamu undanganmu yang berjubel itu tak kan mau memberiku
Sarah terperanjat. Keterkejutannya yang besar membuatnya hanya mampu mengeluarkan satu kata saja, menyebut nama pria yang dia tabrak, "Arch?"Arch tersenyum. "Iya, ini memang aku. Aku mencarimu dari tadi, tapi tidak berhasil menemukanmu. Untungnya sepupumu memberitahuku bahwa kau mungkin ada di sini.""Se-pupuku?" ucap Sarah terbata, lebih karena spontan berkata, tanpa berpikir. Bayangan tentang perhiasan Arch yang kini kembali hilang, membuatnya merasa tak siap bertemu tamu penginapannya itu."Iya, Sarah. Naura yang memberitahuku. Ada apa denganmu? Kau terlihat tidak baik-baik saja.""Aku?" ucap Sarah, kembali dengan nada kosong."Kelihatannya memang telah terjadi sesuatu," gumam Arch. "Kenapa kau memegangi tangan kananmu?" Arch meraih tangan kanan Sarah dan melihatnya."Oh, aku—" ucap Sarah tersendat sembari menarik tangannya, "aku t
Sarah, tak terlihat tertarik untuk menanggapi perhatian khusus Ben, dan, setelah sempat menjawab sapaan teman-teman Naura dengan ramah, dia menambahkan dalam ucapannya, "Naura benar! Kalian masuklah ke ruangan pesta, dan nikmatilah pesta ini! Naura sudah mempersiapkan pesta yang meriah untuk kalian!" Sembari melepas senyum formal pada sekawanan teman Naura itu, Sarah melepas kode pada Naura dengan kerlingan mata dan ujung alis kanan yang terangkat, agar Naura memberinya waktu untuk mencari gelang Arch. Naura pun memahami isyarat itu dengan sangat baik, dan segera mengajak teman-temannya masuk ke ruangan pesta, meninggalkan taman. Semua orang dalam rombongan itu bersikap patuh pada sang pemilik acara dan mereka tenggelam dalam tawa dan suka cita saat berjalan meninggalkan taman itu. Namun, satu orang tersisa, dan dia terlihat tak sedikitpun berminat untuk mengikuti jejak teman-temannya meninggalkan taman. Sarah beradu pandang untuk sesaat dengan pemuda yang tersisa itu, lalu beruja
Saat yang dinanti tiba. Hari telah memasuki waktu malam, dan keramaian di pesta pertunangan Naura telah mulai terasa. Arch, dan Sarah, telah sampai di lokasi pesta tanpa terlambat, meski Naura sempat menyatakan kritik terselubung bahwa seharusnya mereka datang lebih awal, mengingat Sarah adalah sepupu Naura.Kritik terselubung itu sejatinya juga didasari pertimbangan lain, bahwa ketika pesta telah dimulai maka itu artinya Naura tak kan punya cukup kesempatan untuk menjalin komunikasi pribadi dengan tamu undangan dadakannya, Arch, dalam rangka mengorek keterangan darinya tentang sejauh mana kedekatan si pemuda dengan saudari sepupunya. Alasan kedua ini, meski tak dipaparkan oleh Naura, namun dipahami dengan baik oleh Sarah sejak sebelum keberangkatannya. Itulah kenapa dia memilih untuk tak berangkat lebih awal, sehingga dia akan selamat dari cercaan pertanyaan tak penting.Naura, menyambut Sarah di tengah para tamu yang mulai rama
Sarah masih merasakan kakinya gemetaran, tepat di saat Arch melanjutkan ucapannya dengan tenang, "Ayo, kita duduk di kursi restomu, Sarah."Sarah menurut patuh. Dia berjalan beriringan dengan Arch menuju salah satu kursi resto yang saat itu sedang tidak begitu ramai. Sarah terdiam, sibuk menata mentalnya sebelum menyampaikan sesuatu yang mungkin akan sulit diterima kenalan barunya itu. Sementara Arch, memesan minuman untuk dirinya dan juga sang pemilik penginapan yang ekspreksinya tampak sarat pemikiran. Pemandangan yang aneh, bagi beberapa pegawainya di bagian resto, melihat Sarah bersikap layaknya tamu yang pasif, padahal biasanya dia yang aktif memastikan segala pelayanan untuk tamu berjalan maksimal."Lihatlah Nona Sarah," celetuk salah satu pegawai. "Tidakkah dia terlihat melamun?""Kau benar," timpal yang lain. "Apa yang sedang dipikirkannya? Dan—hei, si pria bule itu menatapnya. Tidakkah kau lihat itu?
Sarah terpaku mendengar saran Meira yang sejujurnya teramat masuk akal itu. Seharusnya semuanya selesai dengan mudah tepat seperti katanya, namun ekspresi Sarah berubah kecut, setelah mengingat sekelebat bayangan bahwa asisten rumah tangga Naura, Bi Ira, sempat terlihat mengemasi beberapa pakaian di kursi ruang santai itu, yang memang dilakukan atas perintah Naura. Sarah kontan mendesah, menyesali kecerobohan dirinya yang telah melupakan gelang itu begitu saja."Bagaimana jika jaketku tadi turut diambil juga oleh Bi Ira," gumam Sarah. "Oh, bodohnya diriku! Seharusnya aku tidak melepaskan jaketku, tadi. Bagaimana kalau jaket itu turut dicuci pula?"Meira mengerutkan kening mendengar gerutu tak begitu jelas dari mulut Sarah, namun meski tak begitu jelas, Meira mampu menangkap beberapa kata yang dirasa cukup meresahkan."Jaketmu diambil Bi Ira? Jaketmu dicuci?" ulang Meira penuh selidik, yang kemudian dijawab Sarah dengan lirikan penuh rasa bersalah disertai
Meira, tanpa membuang waktu, segera menghubungi Sarah dengan mimik muka tegang lagi serius. Dia berharap, bibit masalah yang dia lihat saat ini tak benar-benar berkembang menjadi masalah. Dia yang diserahi tugas untuk mencuci jaket itu, maka barang yang ada dalam saku pakaian itu menjadi tanggung jawabnya.Namun Sarah, meskipun nomornya aktif, tak kunjung mengangkat panggilan darurat Meira. Hingga berkali-kali. Meira terus mencoba tanpa lelah, diselingi protes-protes tajam karena rasa jengkel, hingga pada percobaan yang ke lima, Evan, adik Sarah, memberinya interupsi memilukan. "Percuma Kak Meira menghubungi nomor Kak Sarah terus-terusan. Dia meninggalkan ponselnya di kamarnya. Lihatlah!"Evan menyodorkan ponsel Sarah tepat di depan Meira, yang membuat Meira bisa melihat dengan jelas dalam ekspresi kecut, panggilan dari dirinya sendiri masuk ke ponsel itu."Aku heran kenapa ada dering suara ponsel yang tak kunjung berhenti di kamar Kak Sarah,"
Sarah bergegas menuju ke dalam rumahnya, menindaklanjuti seruan nyaring adiknya untuk mengangkat telepon dari sepupunya, Naura. Sarah berjanji pada dirinya sendiri, akan segera mengembalikan gelang Arch, begitu dia selesai berbicara dengan sepupunya. Dia memasukkan kotak perhiasan itu ke kantong jaketnya sendiri, dan berjalan sedikit tergesa-gesa agar sepupunya tak perlu menunggu terlalu lama.Sepupunya sedikit menggerutu di awal percakapan itu, menyatakan kekesalannya karena Sarah tak mengangkat teleponnya yang ditujukan ke nomor pribadi Sarah, sebelumnya. Sarah menanggapinya dengan permintaan maaf tak dibuat-buat, dengan menyertakan dalih bahwa padatnya aktivitas pagi telah mengilhaminya untuk meninggalkan ponselnya begitu saja di kamarnya dalam rangka menghindari interupsi, hingga alhasil tak mengetahui jika sang sepupu menghubunginya."Lagipula yang penting sekarang kita sudah terhubung," imbuh Sarah. "Langkahmu tepat dengan beralih meng