Sarah, tak terlihat tertarik untuk menanggapi perhatian khusus Ben, dan, setelah sempat menjawab sapaan teman-teman Naura dengan ramah, dia menambahkan dalam ucapannya, "Naura benar! Kalian masuklah ke ruangan pesta, dan nikmatilah pesta ini! Naura sudah mempersiapkan pesta yang meriah untuk kalian!"
Sembari melepas senyum formal pada sekawanan teman Naura itu, Sarah melepas kode pada Naura dengan kerlingan mata dan ujung alis kanan yang terangkat, agar Naura memberinya waktu untuk mencari gelang Arch. Naura pun memahami isyarat itu dengan sangat baik, dan segera mengajak teman-temannya masuk ke ruangan pesta, meninggalkan taman.
Semua orang dalam rombongan itu bersikap patuh pada sang pemilik acara dan mereka tenggelam dalam tawa dan suka cita saat berjalan meninggalkan taman itu. Namun, satu orang tersisa, dan dia terlihat tak sedikitpun berminat untuk mengikuti jejak teman-temannya meninggalkan taman.
Sarah beradu pandang untuk sesaat dengan pemuda yang tersisa itu, lalu berujar, "Kau tidak ikut masuk, Ben?"
Ben tersenyum. Dengan ekspresi tenang dia menjawab, "Tidak. Kurasa kau pun tidak ingin masuk, saat ini."
"Tapi aku adalah kerabat penyelenggara acara ini," sanggah Sarah, "sementara kau adalah tamunya. Naura pasti berharap kau ikut membaur bersama semua tamu yang lain dan bersenang-senang."
"Kau terlihat cantik sekali malam ini, Sarah," tukas Ben mengabaikan protes Sarah. "Kurasa Naura tak kan menghukumku jika aku hanya meminta sedikit waktu saja untuk berbincang dengan sepupunya."
Ben berjalan mendekat ke arah Sarah, dan Sarah yang merasa enggan lantas menghentikannya, "Ben, kurasa lebih baik kau masuk."
"Tidak. Bagaimana kabarmu? Aku hanya ingin berbincang sebentar saja denganmu setelah lama tidak bertemu."
"Benarkah?" sela Sarah sambil lalu. "Tapi seingatku beberapa bulan lalu kita bertemu." Sarah mulai berjalan meninggalkan Ben, menuju ke meja taman.
"Di acara tahun baru di puncak? Ayolah, itu sudah lama. Sarah, aku menginginkan pertemuan yang lebih sering denganmu. Apa kau tahu," ucap Ben sembari berjalan mengikuti Sarah di belakangnya, "aku berulang kali mencoba—"
"Ben, kumohon, masuklah ke ruangan pesta. Aku sedang ada keperluan saat ini. Aku akan menyusulmu nanti. Saat ini aku sedang—astaga!" pekik Sarah lemah.
"Kau mencari sesuatu?"
Sarah terpaku di samping meja, dan setelah kembali mencoba menyapukan pandang ke seluruh permukaan meja, dia mendesah kesal dengan mengusapkan tangan ke kepalanya dengan keras secara otomatis. "Hilang lagi! Ya Tuhan!"
"Sarah, ada apa?"
"Tidak ada apa-apa."
"Sarah, aku mungkin bisa membantumu asal kau mau bicara padaku."
"Ben!" pekik Sarah. "Tidak bisakah kau diam?"
"Apa yang terjadi?" tukas Ben.
"Aku—baiklah," ucap Sarah sembari menarik nafas panjang. Dia mencoba berpikir sejenak dengan jernih, dan kemudian berkata, "Ben, mungkin benar kau bisa membantuku. Aku mau tanya, apakah kau melihat sebuah kotak perhiasan kecil di meja ini, atau mungkin kau melihat seseorang mengambilnya? Jangan salah paham, Ben, maksudku, karena aku melihat kau ada di sini sejak sebelum aku datang, aku berpikir mungkin kau melihatnya. Mungkin kau bisa membantuku. Aku—"
"Oh, Sarah," sela Ben, "seandainya saja aku melihatnya." Nada bicara Ben menurun di ujung kalimat.
"Jadi maksudmu kau tidak melihatnya?"
Ben menggelengkan kepala. Untuk sekejap dia memandang Sarah dengan ekspresi tak terbaca, dan kemudian berusaha mendekat kepada Sarah yang terlihat sekali kesal dan kecewa. Dengan sebelah tangan berusaha menggapai pundak Sarah, dia berkata, "Sarah, aku akan berusaha membantumu."
Sarah mengelakkan tubuhnya dari Ben sebelum tangan Ben berhasil mendarat di pundaknya, lalu berkata sembari berjalan menjauh, "Kalau kau tidak melihatnya, berarti tidak ada lagi yang bisa kau lakukan untuk membantuku. Terima kasih, Ben. Aku akan menemukannya sendiri."
"Sarah," sergah Ben sembari memegang pergelangan tangan Sarah, mencoba menahan kepergiannya, "kumohon jangan bersikap seperti itu padaku. Kau tahu aku menyukaimu. Tidak bisakah kau memberiku kesempatan untuk mencoba menunjukkan besarnya perasaanku?"
"Kau mulai lagi, Ben," tukas Sarah dengan malas sembari melepaskan tangannya dari genggaman Ben. "Maaf, Ben, aku tidak bermaksud membuatmu kesal. Tapi aku—aku sedang berusaha mencari sebuah barang. Aku—aku mencari kotak perhiasan yang harus segera kutemukan!"
"Sepenting itukah nilai benda itu untukmu?"
"Tentu saja!" timpal Sarah kesal.
Ben terdiam. Sarah pun sama. Untuk sesaat mereka terlibat dalam sebuah suasana sunyi yang aneh, dan menurut Sarah suasana seperti itu tidak perlu tercipta. Sejak pertama kali Ben mengungkapkan perasaannya pada Sarah tiga tahun yang lalu, Sarah sudah mencoba menyampaikan berulang kali, bahwa dia tidak berminat sama sekali menjalin hubungan romansa dengan pemuda itu. Tidak, bahkan sampai detik ini. Namun Ben, begitu pantang menyerah, dan sayangnya upaya-upaya yang dilakukannya dinilai Sarah mulai sering terasa mengganggu.
Ben, tanpa diduga, tertawa konyol setelah beberapa saat. Sarah memakukan pandang padanya dengan tatapan tak mengerti, dan Ben lalu berujar, "Apakah kau sudah memiliki kekasih?"
Sarah terkesiap. Pertanyaan itu terasa mengejutkan baginya, aneh, dan terdengar menjebak. "Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Jawab saja," tukas Ben. "Perhiasan itu tidak akan menjadi begitu berharga jika bukan berasal dari orang yang penting. Bukankah begitu?"
Sarah terdiam. Untuk sesaat dia tercenung, memikirkan kemungkinan apa yang akan dia ucapkan. Jika berbohong bisa menjadi salah satu cara untuk menghentikan aksi pantang menyerah Ben yang terus berusaha mendekatinya, maka Sarah amat sangat tertarik untuk mencobanya. Namun, berbohong bukanlah kebiasaan Sarah, dan rasanya dia sulit untuk menyatakannya.
Bahkan jika pun dia memilih untuk berbohong, maka bukankah Ben akan menyelidiki dengan serius siapa kekasih Sarah? Sarah tak kuasa bergidik, membayangkan sejauh apa kenekatan Ben akan bertambah, jika mengetahui dia semata-mata berbohong, demi menghindari Ben. Tepat di saat itu, Sarah merasa, seandainya saja dia benar-benar punya kekasih.
Sarah, dibarengi dengan ekspresi suram lantas berminat untuk menjauh, meninggalkan tempat itu berikut kebersamaannya dengan Ben yang dia rasa membuatnya tidak nyaman. Namun, lagi-lagi Ben menahannya. "Sarah," ucapnya. Tangannya mencengkeram erat pergelangan tangan Sarah, dan Sarah mulai tak suka.
"Ben, lepaskan," ucap Sarah, masih berusaha tenang.
"Tentu, tapi bicaralah sebentar denganku. Aku yakin, jawabanmu untuk pertanyaanku tadi adalah tidak. Aku benar, bukan? Kau belum memiliki kekasih."
"Ben," sergah Sarah, masih berusaha tenang, namun sebenarnya merasa hampir meledak, "aku tidak menjawab pertanyaanmu, semata karena aku merasa pertanyaan itu tidak penting untuk dijawab. Kau tidak perlu merasa tertarik untuk ikut campur urusanku, Ben. Aku tidak suka."
"Benarkah? Oh," tukas Ben dengan gaya santai yang menjengkelkan menurut Sarah. "Aku kecewa melihatmu menganggap bahwa aku mengganggumu, Sarah. Padahal sebenarnya bukan itu maksudku. Aku hanya merasa, alangkah baiknya jika kita bisa saling terbuka satu sama lain. Maksudku, kenapa kau, tidak mencoba bersikap lebih lunak padaku?"
Sarah mendesah lelah. "Jika yang kau maksud adalah bahwa kau memintaku menerimamu, Ben, maaf, aku tidak bisa. Kita sudah bicarakan ini sebelumnya."
"Kenapa?" bantah Ben. "Kau tidak punya kekasih saat ini—aku yakin—yang itu artinya kau tidak sedang mencintai siapapun. Kenapa kau tidak mencoba membuka pintumu untukku?"
"Ben," sergah Sarah, mulai merasa tak sabar, "harus berapa kali kukatakan padamu, aku tidak suka kau terus memaksaku. Keputusanku sudah jelas, tolong mengertilah! Lebih baik sekarang kita akhiri perbincangan ini." Sarah berusaha keras melepaskan tangannya dari cengkeraman Ben yang justru semakin kencang, hingga membuatnya berkata dengan kesal, "Ben, lepaskan!"
Ben diam tak menjawab, namun tangannya justru semakin mengencang seiring dengan upaya Sarah untuk melepasnya.
Didorong rasa geram karena gagal melepaskan diri, Sarah lalu menghadiahi Ben dengan pelototan tajam penuh kemarahan, hingga matanya yang memerah beradu pandang dengan mata Ben yang tatapannya gigih bergeming. Setelah beberapa saat terlibat adu pandang mencekam, Ben, akhirnya mengendurkan fokus tatapannya, dan perlahan melepaskan cengkeramannya. Sarah bisa merasakan bekas cengkeraman itu di tangannya, yang membuatnya sedikit merasa sakit, namun Sarah tak menyampaikan protes apapun selain memegangi pergelangan tangan kanannya itu, lalu mundur beberapa langkah dan berbalik arah untuk meninggalkan tempat itu—bermaksud untuk tak memperpanjang drama konyol yang terjadi.
Namun, tepat saat dia membalikkan tubuhnya, tanpa sengaja dia menabrak sesosok pria kekar yang lalu dengan segera memegangi tubuh Sarah yang hampir limbung pasca tubrukan. "Sarah, kau tidak apa-apa?" ucap pria itu.
Gestur Sarah yang terlihat memegangi pergelangan tangan kanannya pun membuat sang pria kekar resah, dan menambahkan dalam ucapannya, "Ada apa dengan tanganmu?"
***
Sarah terperanjat. Keterkejutannya yang besar membuatnya hanya mampu mengeluarkan satu kata saja, menyebut nama pria yang dia tabrak, "Arch?"Arch tersenyum. "Iya, ini memang aku. Aku mencarimu dari tadi, tapi tidak berhasil menemukanmu. Untungnya sepupumu memberitahuku bahwa kau mungkin ada di sini.""Se-pupuku?" ucap Sarah terbata, lebih karena spontan berkata, tanpa berpikir. Bayangan tentang perhiasan Arch yang kini kembali hilang, membuatnya merasa tak siap bertemu tamu penginapannya itu."Iya, Sarah. Naura yang memberitahuku. Ada apa denganmu? Kau terlihat tidak baik-baik saja.""Aku?" ucap Sarah, kembali dengan nada kosong."Kelihatannya memang telah terjadi sesuatu," gumam Arch. "Kenapa kau memegangi tangan kananmu?" Arch meraih tangan kanan Sarah dan melihatnya."Oh, aku—" ucap Sarah tersendat sembari menarik tangannya, "aku t
Naura melanjutkan ucapannya, di tengah rasa senangnya mengetahui kabar membahagiakan Arch dan Sarah, "Aku kemari, bermaksud untuk mengajak kalian masuk ke ruangan pesta. Aku dan Eric akan memulai acara inti kami.""Waw, itu menyenangkan! Selamat, Sayangku!" Sarah menghambur pada Naura dan menghadiahinya pelukan erat, dan untuk sejenak ekspreksi Naura berubah haru. Arch tersenyum memperhatikannya, sementara Ben tampak tak fokus. Pikiran Ben masih tertuju pada kabar mengejutkan perihal status Sarah dan Arch, yang menurutnya terkesan ganjil dan aneh. Pikiran kritisnya membisikinya untuk tak serta merta percaya dengan pengumuman meresahkan itu."Jangan sekarang," kata Naura kemudian, sembari melepaskan pelukannya. "Detik ini kami masih belum bertunangan.""Akan segera," timpal Sarah, "dasar kau ini! Aku tidak akan punya kesempatan untuk menyelamatimu nanti, karena pasti tamu undanganmu yang berjubel itu tak kan mau memberiku
Ben, menuruti kata hatinya, benar-benar berjalan menuju Arch dan Sarah yang tampak tengah asyik berbincang. Sarah agak gugup awalnya saat melihat kedatangannya, namun Arch meyakinkannya untuk bersikap tenang, atau Ben akan mencurigai mereka."Hai, Sarah," ucap Ben, yang kemudian dengan malas mengalihkan pandang sejenak pada Arch, lalu melanjutkannya, "hai, Arch." Ben mendeham, sekali saja, lalu kembali berkata, "Sarah, aku turut senang dengan hubungan kalian. Ini ... benar kata Naura, adalah kabar baik! Aku ragu sebenarnya, memikirkan kapan sebenarnya kalian jadian, karena beberapa hari lalu kudengar dari Naura, kau masih belum punya kekasih—tapi baiklah! Mari kita lupakan saja itu."Sarah merasakan jantungnya berdebar sedikit lebih kencang mendengar analisa singkat Ben, namun di saat yang bersamaan, dia melihat Arch justru tengah berjuang menahan senyum geli."Sarah," lanjut Ben, "bagaimana kalau
Ekspresi lelah membayang di wajah seorang pria bule jangkung berbola mata biru dengan garis wajah tegas mengesankan, yang lalu dengan serta merta disambut dengan keramahan bercampur kantuk oleh Sarah, "Selamat malam, Tuan. Selamat datang di penginapan kami." Anggukan kepala takzim Sarah membersamai keluarnya suara dari mulutnya yang meski diucapkan dengan sedikit sisa kesadaran akibat dominasi rasa kantuk, namun masih terdengar nyaring.Tidak ada jawaban. Pria itu memandang dengan sigap ke arah Sarah begitu pertanyaan ditujukan kepadanya, namun tak memberikan kejelasan apapun selain binar mata yang terperangah. Sarah, yang kemudian teringat bahwa lawan bicaranya itu adalah orang asing, lantas bermaksud membenahi ucapannya, "Good eve—""Selamat malam. Terima kasih. Saya bahkan tidak sadar bahwa ini adalah penginapan.""Oh," suara bernada sedikit terkejut terlontar dari lisan Sarah, dan segera dia pun sadar, bahwa po
Sarah bergegas menuju ke dalam rumahnya, menindaklanjuti seruan nyaring adiknya untuk mengangkat telepon dari sepupunya, Naura. Sarah berjanji pada dirinya sendiri, akan segera mengembalikan gelang Arch, begitu dia selesai berbicara dengan sepupunya. Dia memasukkan kotak perhiasan itu ke kantong jaketnya sendiri, dan berjalan sedikit tergesa-gesa agar sepupunya tak perlu menunggu terlalu lama.Sepupunya sedikit menggerutu di awal percakapan itu, menyatakan kekesalannya karena Sarah tak mengangkat teleponnya yang ditujukan ke nomor pribadi Sarah, sebelumnya. Sarah menanggapinya dengan permintaan maaf tak dibuat-buat, dengan menyertakan dalih bahwa padatnya aktivitas pagi telah mengilhaminya untuk meninggalkan ponselnya begitu saja di kamarnya dalam rangka menghindari interupsi, hingga alhasil tak mengetahui jika sang sepupu menghubunginya."Lagipula yang penting sekarang kita sudah terhubung," imbuh Sarah. "Langkahmu tepat dengan beralih meng
Meira, tanpa membuang waktu, segera menghubungi Sarah dengan mimik muka tegang lagi serius. Dia berharap, bibit masalah yang dia lihat saat ini tak benar-benar berkembang menjadi masalah. Dia yang diserahi tugas untuk mencuci jaket itu, maka barang yang ada dalam saku pakaian itu menjadi tanggung jawabnya.Namun Sarah, meskipun nomornya aktif, tak kunjung mengangkat panggilan darurat Meira. Hingga berkali-kali. Meira terus mencoba tanpa lelah, diselingi protes-protes tajam karena rasa jengkel, hingga pada percobaan yang ke lima, Evan, adik Sarah, memberinya interupsi memilukan. "Percuma Kak Meira menghubungi nomor Kak Sarah terus-terusan. Dia meninggalkan ponselnya di kamarnya. Lihatlah!"Evan menyodorkan ponsel Sarah tepat di depan Meira, yang membuat Meira bisa melihat dengan jelas dalam ekspresi kecut, panggilan dari dirinya sendiri masuk ke ponsel itu."Aku heran kenapa ada dering suara ponsel yang tak kunjung berhenti di kamar Kak Sarah,"
Sarah terpaku mendengar saran Meira yang sejujurnya teramat masuk akal itu. Seharusnya semuanya selesai dengan mudah tepat seperti katanya, namun ekspresi Sarah berubah kecut, setelah mengingat sekelebat bayangan bahwa asisten rumah tangga Naura, Bi Ira, sempat terlihat mengemasi beberapa pakaian di kursi ruang santai itu, yang memang dilakukan atas perintah Naura. Sarah kontan mendesah, menyesali kecerobohan dirinya yang telah melupakan gelang itu begitu saja."Bagaimana jika jaketku tadi turut diambil juga oleh Bi Ira," gumam Sarah. "Oh, bodohnya diriku! Seharusnya aku tidak melepaskan jaketku, tadi. Bagaimana kalau jaket itu turut dicuci pula?"Meira mengerutkan kening mendengar gerutu tak begitu jelas dari mulut Sarah, namun meski tak begitu jelas, Meira mampu menangkap beberapa kata yang dirasa cukup meresahkan."Jaketmu diambil Bi Ira? Jaketmu dicuci?" ulang Meira penuh selidik, yang kemudian dijawab Sarah dengan lirikan penuh rasa bersalah disertai
Sarah masih merasakan kakinya gemetaran, tepat di saat Arch melanjutkan ucapannya dengan tenang, "Ayo, kita duduk di kursi restomu, Sarah."Sarah menurut patuh. Dia berjalan beriringan dengan Arch menuju salah satu kursi resto yang saat itu sedang tidak begitu ramai. Sarah terdiam, sibuk menata mentalnya sebelum menyampaikan sesuatu yang mungkin akan sulit diterima kenalan barunya itu. Sementara Arch, memesan minuman untuk dirinya dan juga sang pemilik penginapan yang ekspreksinya tampak sarat pemikiran. Pemandangan yang aneh, bagi beberapa pegawainya di bagian resto, melihat Sarah bersikap layaknya tamu yang pasif, padahal biasanya dia yang aktif memastikan segala pelayanan untuk tamu berjalan maksimal."Lihatlah Nona Sarah," celetuk salah satu pegawai. "Tidakkah dia terlihat melamun?""Kau benar," timpal yang lain. "Apa yang sedang dipikirkannya? Dan—hei, si pria bule itu menatapnya. Tidakkah kau lihat itu?
Ben, menuruti kata hatinya, benar-benar berjalan menuju Arch dan Sarah yang tampak tengah asyik berbincang. Sarah agak gugup awalnya saat melihat kedatangannya, namun Arch meyakinkannya untuk bersikap tenang, atau Ben akan mencurigai mereka."Hai, Sarah," ucap Ben, yang kemudian dengan malas mengalihkan pandang sejenak pada Arch, lalu melanjutkannya, "hai, Arch." Ben mendeham, sekali saja, lalu kembali berkata, "Sarah, aku turut senang dengan hubungan kalian. Ini ... benar kata Naura, adalah kabar baik! Aku ragu sebenarnya, memikirkan kapan sebenarnya kalian jadian, karena beberapa hari lalu kudengar dari Naura, kau masih belum punya kekasih—tapi baiklah! Mari kita lupakan saja itu."Sarah merasakan jantungnya berdebar sedikit lebih kencang mendengar analisa singkat Ben, namun di saat yang bersamaan, dia melihat Arch justru tengah berjuang menahan senyum geli."Sarah," lanjut Ben, "bagaimana kalau
Naura melanjutkan ucapannya, di tengah rasa senangnya mengetahui kabar membahagiakan Arch dan Sarah, "Aku kemari, bermaksud untuk mengajak kalian masuk ke ruangan pesta. Aku dan Eric akan memulai acara inti kami.""Waw, itu menyenangkan! Selamat, Sayangku!" Sarah menghambur pada Naura dan menghadiahinya pelukan erat, dan untuk sejenak ekspreksi Naura berubah haru. Arch tersenyum memperhatikannya, sementara Ben tampak tak fokus. Pikiran Ben masih tertuju pada kabar mengejutkan perihal status Sarah dan Arch, yang menurutnya terkesan ganjil dan aneh. Pikiran kritisnya membisikinya untuk tak serta merta percaya dengan pengumuman meresahkan itu."Jangan sekarang," kata Naura kemudian, sembari melepaskan pelukannya. "Detik ini kami masih belum bertunangan.""Akan segera," timpal Sarah, "dasar kau ini! Aku tidak akan punya kesempatan untuk menyelamatimu nanti, karena pasti tamu undanganmu yang berjubel itu tak kan mau memberiku
Sarah terperanjat. Keterkejutannya yang besar membuatnya hanya mampu mengeluarkan satu kata saja, menyebut nama pria yang dia tabrak, "Arch?"Arch tersenyum. "Iya, ini memang aku. Aku mencarimu dari tadi, tapi tidak berhasil menemukanmu. Untungnya sepupumu memberitahuku bahwa kau mungkin ada di sini.""Se-pupuku?" ucap Sarah terbata, lebih karena spontan berkata, tanpa berpikir. Bayangan tentang perhiasan Arch yang kini kembali hilang, membuatnya merasa tak siap bertemu tamu penginapannya itu."Iya, Sarah. Naura yang memberitahuku. Ada apa denganmu? Kau terlihat tidak baik-baik saja.""Aku?" ucap Sarah, kembali dengan nada kosong."Kelihatannya memang telah terjadi sesuatu," gumam Arch. "Kenapa kau memegangi tangan kananmu?" Arch meraih tangan kanan Sarah dan melihatnya."Oh, aku—" ucap Sarah tersendat sembari menarik tangannya, "aku t
Sarah, tak terlihat tertarik untuk menanggapi perhatian khusus Ben, dan, setelah sempat menjawab sapaan teman-teman Naura dengan ramah, dia menambahkan dalam ucapannya, "Naura benar! Kalian masuklah ke ruangan pesta, dan nikmatilah pesta ini! Naura sudah mempersiapkan pesta yang meriah untuk kalian!" Sembari melepas senyum formal pada sekawanan teman Naura itu, Sarah melepas kode pada Naura dengan kerlingan mata dan ujung alis kanan yang terangkat, agar Naura memberinya waktu untuk mencari gelang Arch. Naura pun memahami isyarat itu dengan sangat baik, dan segera mengajak teman-temannya masuk ke ruangan pesta, meninggalkan taman. Semua orang dalam rombongan itu bersikap patuh pada sang pemilik acara dan mereka tenggelam dalam tawa dan suka cita saat berjalan meninggalkan taman itu. Namun, satu orang tersisa, dan dia terlihat tak sedikitpun berminat untuk mengikuti jejak teman-temannya meninggalkan taman. Sarah beradu pandang untuk sesaat dengan pemuda yang tersisa itu, lalu beruja
Saat yang dinanti tiba. Hari telah memasuki waktu malam, dan keramaian di pesta pertunangan Naura telah mulai terasa. Arch, dan Sarah, telah sampai di lokasi pesta tanpa terlambat, meski Naura sempat menyatakan kritik terselubung bahwa seharusnya mereka datang lebih awal, mengingat Sarah adalah sepupu Naura.Kritik terselubung itu sejatinya juga didasari pertimbangan lain, bahwa ketika pesta telah dimulai maka itu artinya Naura tak kan punya cukup kesempatan untuk menjalin komunikasi pribadi dengan tamu undangan dadakannya, Arch, dalam rangka mengorek keterangan darinya tentang sejauh mana kedekatan si pemuda dengan saudari sepupunya. Alasan kedua ini, meski tak dipaparkan oleh Naura, namun dipahami dengan baik oleh Sarah sejak sebelum keberangkatannya. Itulah kenapa dia memilih untuk tak berangkat lebih awal, sehingga dia akan selamat dari cercaan pertanyaan tak penting.Naura, menyambut Sarah di tengah para tamu yang mulai rama
Sarah masih merasakan kakinya gemetaran, tepat di saat Arch melanjutkan ucapannya dengan tenang, "Ayo, kita duduk di kursi restomu, Sarah."Sarah menurut patuh. Dia berjalan beriringan dengan Arch menuju salah satu kursi resto yang saat itu sedang tidak begitu ramai. Sarah terdiam, sibuk menata mentalnya sebelum menyampaikan sesuatu yang mungkin akan sulit diterima kenalan barunya itu. Sementara Arch, memesan minuman untuk dirinya dan juga sang pemilik penginapan yang ekspreksinya tampak sarat pemikiran. Pemandangan yang aneh, bagi beberapa pegawainya di bagian resto, melihat Sarah bersikap layaknya tamu yang pasif, padahal biasanya dia yang aktif memastikan segala pelayanan untuk tamu berjalan maksimal."Lihatlah Nona Sarah," celetuk salah satu pegawai. "Tidakkah dia terlihat melamun?""Kau benar," timpal yang lain. "Apa yang sedang dipikirkannya? Dan—hei, si pria bule itu menatapnya. Tidakkah kau lihat itu?
Sarah terpaku mendengar saran Meira yang sejujurnya teramat masuk akal itu. Seharusnya semuanya selesai dengan mudah tepat seperti katanya, namun ekspresi Sarah berubah kecut, setelah mengingat sekelebat bayangan bahwa asisten rumah tangga Naura, Bi Ira, sempat terlihat mengemasi beberapa pakaian di kursi ruang santai itu, yang memang dilakukan atas perintah Naura. Sarah kontan mendesah, menyesali kecerobohan dirinya yang telah melupakan gelang itu begitu saja."Bagaimana jika jaketku tadi turut diambil juga oleh Bi Ira," gumam Sarah. "Oh, bodohnya diriku! Seharusnya aku tidak melepaskan jaketku, tadi. Bagaimana kalau jaket itu turut dicuci pula?"Meira mengerutkan kening mendengar gerutu tak begitu jelas dari mulut Sarah, namun meski tak begitu jelas, Meira mampu menangkap beberapa kata yang dirasa cukup meresahkan."Jaketmu diambil Bi Ira? Jaketmu dicuci?" ulang Meira penuh selidik, yang kemudian dijawab Sarah dengan lirikan penuh rasa bersalah disertai
Meira, tanpa membuang waktu, segera menghubungi Sarah dengan mimik muka tegang lagi serius. Dia berharap, bibit masalah yang dia lihat saat ini tak benar-benar berkembang menjadi masalah. Dia yang diserahi tugas untuk mencuci jaket itu, maka barang yang ada dalam saku pakaian itu menjadi tanggung jawabnya.Namun Sarah, meskipun nomornya aktif, tak kunjung mengangkat panggilan darurat Meira. Hingga berkali-kali. Meira terus mencoba tanpa lelah, diselingi protes-protes tajam karena rasa jengkel, hingga pada percobaan yang ke lima, Evan, adik Sarah, memberinya interupsi memilukan. "Percuma Kak Meira menghubungi nomor Kak Sarah terus-terusan. Dia meninggalkan ponselnya di kamarnya. Lihatlah!"Evan menyodorkan ponsel Sarah tepat di depan Meira, yang membuat Meira bisa melihat dengan jelas dalam ekspresi kecut, panggilan dari dirinya sendiri masuk ke ponsel itu."Aku heran kenapa ada dering suara ponsel yang tak kunjung berhenti di kamar Kak Sarah,"
Sarah bergegas menuju ke dalam rumahnya, menindaklanjuti seruan nyaring adiknya untuk mengangkat telepon dari sepupunya, Naura. Sarah berjanji pada dirinya sendiri, akan segera mengembalikan gelang Arch, begitu dia selesai berbicara dengan sepupunya. Dia memasukkan kotak perhiasan itu ke kantong jaketnya sendiri, dan berjalan sedikit tergesa-gesa agar sepupunya tak perlu menunggu terlalu lama.Sepupunya sedikit menggerutu di awal percakapan itu, menyatakan kekesalannya karena Sarah tak mengangkat teleponnya yang ditujukan ke nomor pribadi Sarah, sebelumnya. Sarah menanggapinya dengan permintaan maaf tak dibuat-buat, dengan menyertakan dalih bahwa padatnya aktivitas pagi telah mengilhaminya untuk meninggalkan ponselnya begitu saja di kamarnya dalam rangka menghindari interupsi, hingga alhasil tak mengetahui jika sang sepupu menghubunginya."Lagipula yang penting sekarang kita sudah terhubung," imbuh Sarah. "Langkahmu tepat dengan beralih meng