Meira, tanpa membuang waktu, segera menghubungi Sarah dengan mimik muka tegang lagi serius. Dia berharap, bibit masalah yang dia lihat saat ini tak benar-benar berkembang menjadi masalah. Dia yang diserahi tugas untuk mencuci jaket itu, maka barang yang ada dalam saku pakaian itu menjadi tanggung jawabnya.
Namun Sarah, meskipun nomornya aktif, tak kunjung mengangkat panggilan darurat Meira. Hingga berkali-kali. Meira terus mencoba tanpa lelah, diselingi protes-protes tajam karena rasa jengkel, hingga pada percobaan yang ke lima, Evan, adik Sarah, memberinya interupsi memilukan. "Percuma Kak Meira menghubungi nomor Kak Sarah terus-terusan. Dia meninggalkan ponselnya di kamarnya. Lihatlah!"
Evan menyodorkan ponsel Sarah tepat di depan Meira, yang membuat Meira bisa melihat dengan jelas dalam ekspresi kecut, panggilan dari dirinya sendiri masuk ke ponsel itu.
"Aku heran kenapa ada dering suara ponsel yang tak kunjung berhenti di kamar Kak Sarah," lanjut Evan. "Ternyata saat kuperiksa, Kak Meira yang telepon. Kak Sarah sedang ke rumah Kak Naura saat ini, asal Kakak tahu. Dia langsung berangkat tanpa ba-bi-bu begitu selesai berbincang dengan Kak Naura melalui telepon. Dia melupakan ponselnya."
"Oh, ya Tuhan," desah Meira lelah bercampur pasrah.
"Ada apa? Apa ada masalah?" tanya Evan bersimpati, yang kemudian dijawab oleh Meira dengan gelengan kepala berhias senyum yang dipaksakan. Ditambah dengan sebuah pernyataan fiktif bahwa semua baik-baik saja, maka Evan pun berlalu meninggalkan Meira yang diam-diam mendengus geram setelah itu.
"Bagus," ujar Meira miris. "Semoga dia segera kembali dan menyerahkan gelang itu pada pemiliknya. Aku bersyukur, Arch belum sadar gelang miliknya hilang. Tapi demi Tuhan, aku tidak tahu sampai kapan dia akan seperti itu." Meira bergidik merinding membayangkan sketsa suram bahwa dirinya mungkin akan dituduh sebagai pencuri jika Arch menanyakan dan menagih gelang itu padanya sebelum Sarah kembali. "Tuhan, buatlah pemuda gagah itu lupa akan gelangnya sampai batas waktu yang aman bagiku," tambahnya sendu.
Di tempat lain, tepatnya di rumah Naura, Sarah, tengah tenggelam dalam aktivitas lain yang membuat dirinya merasa konyol telah meninggalkan rumah pagi-pagi sekali. Persis seperti dugaannya, tidak ada hal yang berarti yang pantas mengundang keresahan Naura dari semua persiapan yang sudah matang.
"Itu pilihan baju yang bagus, tidak perlu kau merasa ragu. Penampilanmu akan terlihat memesona," ujar Sarah saat Naura kembali meminta pertimbangan perihal gaun yang akan dia kenakan, yang sudah ketiga kalinya dia tanyakan.
"Dekorasi ruang pesta ini juga sudah luar biasa, tidak perlu takut temanmu akan merasa getir melihatnya," timpal Sarah, saat Naura dengan nada samar-samar khawatir, bertanya kembali perihal ruangan pesta yang telah didesain sedemikian rupa di salah satu sudut rumahnya yang terbilang luas. "Lagipula interior desainer yang kamu sewa itu cukup mumpuni. Ya, Tuhan! Jangan sampai kau pingsan karena memusingkan semuanya terlalu berlebihan," imbuh Sarah.
"Iya, benar. Undangan pesta sudah disebar dengan baik. Pada teman-temanmu, dan pada beberapa kenalan kita bersama. Sekarang bisakah kau tenang?" Sarah berkata dengan tegas. Kali ini Naura terdiam patuh, memberengut untuk sesaat, kemudian tersenyum jahil.
"Ayolah," timpal Naura, "jangan cepat marah, Sepupuku yang cantik. Kau juga harus tampil maksimal, malam ini. Tahukah kau, aku sengaja mengundang semua teman-teman priaku yang terlihat berkualitas, supaya kau bisa memilih di antara mereka."
Sarah mengerutkan kening. "Memilih?"
"Iya," jawab Naura dengan mata berbinar-binar. "Kau ini cantik! Dan sebenarnya tidak pernah sepi penggemar. Tapi kenapa kau masih juga sendiri, padahal—"
"Cukup sudah!" tukas Sarah. "Kau tidak perlu mengkhawatirkanku. Nikmati saja pestamu, dan jangan pusingkan apapun." Sarah menyandarkan tubuhnya dengan rileks ke kursi berlengan besar di ruang santai samping kamar Naura, setelah melepaskan jaketnya dan menyampirkannya di kursi itu pula. "Kurasa aku butuh segelas jus lagi. Mendengarkan lanturanmu membuatku haus," ucap Sarah yang disambut cekikik Naura.
"Ngomong-ngomong," sambung Sarah mengalihkan topik, "jus buatan Bi Ira selalu enak. Minuman apapun yang dibuat olehnya tak pernah mengecewakan. Dia juga mumpuni dalam hal memasak, dan handal mengerjakan apapun yang berkaitan dengan pekerjaan rumah. "
Naura tertawa mendengar pujian Sarah, lalu memanggil pelayan yang dimaksud, dan menambahkan sedikit pernyataan singkat, selagi menunggu pelayannya itu sampai di depannya. "Semua pujianmu tentang Bi Ira itu benar. Aku pun menyukainya. Meskipun di sisi lain, Bi Ira juga punya sedikit kelemahan, yakni sedikit pelupa."
Sarah tersenyum. Sesaat kemudian, entah karena angin apa, dalam hatinya tiba-tiba terlintas perasaan tak nyaman, tapi Sarah tak bisa mengetahui penyebabnya meski telah mencoba berpikir sekian detik. Alhasil, dia abaikan lintasan hati tak jelas itu, lalu tersenyum ramah saat Bi Ira datang menghadap.
Terhadap Bi Ira, Naura menyampaikan keinginan Sarah yang ingin kembali mengisi gelasnya dengan jus buatan Bi Ira yang menurutnya sangat enak—yang disambut dengan tawa riang bercampur ekspresi tersanjung sang pelayan—dan Naura juga menambahkan sebuah perintah sopan untuk membawa beberapa pakaian yang telah dia letakkan di kursi untuk dicuci. Kala itu, Sarah telah beralih ke dekat jendela, untuk menikmati pemandangan taman kecil di samping rumah Naura.
"Papa dan Mama akan sampai di sini, nanti sore," ucap Naura, membagi berita tentang orang tuanya yang tinggal di Jakarta.
"Semoga perjalanan mereka lancar," sahut Sarah. "Dan semoga acara nanti malam juga lancar," imbuhnya. "Berbahagialah! Kau dan Eric adalah pasangan yang sepadan."
Naura tersenyum. Ucapan terima kasih dibarengi sebuah pelukan dengan cepat mendarat di tubuh Sarah, dan untuk sesaat mereka saling mengeratkan dekapan mereka sebelum kemudian melepasnya dengan iringan tawa kecil.
Jus telah kembali disuguhkan di atas meja, dan Sarah serta Naura menghabiskan beberapa saat berikutnya dengan kembali berbincang di ruangan itu, sampai kemudian, Sarah merasa sudah saatnya dia harus pulang.
Diiringi janji untuk datang kembali guna mendampingi sang sepupu di acara pertunangannya, Sarah akhirnya melaju meninggalkan rumah Naura, kembali ke rumahnya sendiri, yang juga berarti kembali ke penginapan. Dia melajukan mobilnya dan menempuh perjalanan dengan lancar, dan tiba di penginapan tepat pukul setengah sepuluh.
Tak dinyana, wajah kesal memberengut menunggunya di depan pintu penginapan. Sarah tak mengerti apa sebab musababnya, namun Meira, dalam posisi berdiri tegak di depan gerbang penginapan, tampak benar-benar kesal seolah telah terjadi sebuah kemelut. Tanpa penundaan Sarah pun bertanya apa gerangan yang terjadi, dan sebuah jawaban lugas terlontar dari mulut Meira, membuat Sarah mendadak histeris, "Dimana gelang itu, Sarah? Kau belum mengembalikannya pada Arch!"
"Astaga!" Sarah menepuk jidatnya sendiri. Dengan gerakan cepat berpadu dengan sensasi debaran jantung yang seketika bertambah kencang, Sarah memeriksa pakaiannya, hanya untuk kemudian tersadar bahwa dia telah meninggalkan jaketnya di rumah Naura. "Ya Tuhan! Aku memasukkannya ke kantong jaketku tadi pagi, dan meninggalkan jaket itu di kursi ruang santai di rumah Naura!"
"Ya Tuhan!" sambar Meira dengan keterkejutan senada. Gadis itu mendadak merasa berkunang-kunang, namun sesaat kemudian mencoba menarik nafas panjang, lalu berusaha bersikap tenang, dan berkata, "Baiklah, Sarah, tenanglah. Mari kita bersikap tenang." Gadis itu kini membimbing Sarah untuk menghela nafas panjang pula lalu menambahkan, "Sekarang, cobalah kau kembali ke tempat sepupumu, Nona Bos. Temukanlah gelang itu, dan kembali ke sini. Mudah, bukan? Masalah akan selesai!"
***Sarah terpaku mendengar saran Meira yang sejujurnya teramat masuk akal itu. Seharusnya semuanya selesai dengan mudah tepat seperti katanya, namun ekspresi Sarah berubah kecut, setelah mengingat sekelebat bayangan bahwa asisten rumah tangga Naura, Bi Ira, sempat terlihat mengemasi beberapa pakaian di kursi ruang santai itu, yang memang dilakukan atas perintah Naura. Sarah kontan mendesah, menyesali kecerobohan dirinya yang telah melupakan gelang itu begitu saja."Bagaimana jika jaketku tadi turut diambil juga oleh Bi Ira," gumam Sarah. "Oh, bodohnya diriku! Seharusnya aku tidak melepaskan jaketku, tadi. Bagaimana kalau jaket itu turut dicuci pula?"Meira mengerutkan kening mendengar gerutu tak begitu jelas dari mulut Sarah, namun meski tak begitu jelas, Meira mampu menangkap beberapa kata yang dirasa cukup meresahkan."Jaketmu diambil Bi Ira? Jaketmu dicuci?" ulang Meira penuh selidik, yang kemudian dijawab Sarah dengan lirikan penuh rasa bersalah disertai
Sarah masih merasakan kakinya gemetaran, tepat di saat Arch melanjutkan ucapannya dengan tenang, "Ayo, kita duduk di kursi restomu, Sarah."Sarah menurut patuh. Dia berjalan beriringan dengan Arch menuju salah satu kursi resto yang saat itu sedang tidak begitu ramai. Sarah terdiam, sibuk menata mentalnya sebelum menyampaikan sesuatu yang mungkin akan sulit diterima kenalan barunya itu. Sementara Arch, memesan minuman untuk dirinya dan juga sang pemilik penginapan yang ekspreksinya tampak sarat pemikiran. Pemandangan yang aneh, bagi beberapa pegawainya di bagian resto, melihat Sarah bersikap layaknya tamu yang pasif, padahal biasanya dia yang aktif memastikan segala pelayanan untuk tamu berjalan maksimal."Lihatlah Nona Sarah," celetuk salah satu pegawai. "Tidakkah dia terlihat melamun?""Kau benar," timpal yang lain. "Apa yang sedang dipikirkannya? Dan—hei, si pria bule itu menatapnya. Tidakkah kau lihat itu?
Saat yang dinanti tiba. Hari telah memasuki waktu malam, dan keramaian di pesta pertunangan Naura telah mulai terasa. Arch, dan Sarah, telah sampai di lokasi pesta tanpa terlambat, meski Naura sempat menyatakan kritik terselubung bahwa seharusnya mereka datang lebih awal, mengingat Sarah adalah sepupu Naura.Kritik terselubung itu sejatinya juga didasari pertimbangan lain, bahwa ketika pesta telah dimulai maka itu artinya Naura tak kan punya cukup kesempatan untuk menjalin komunikasi pribadi dengan tamu undangan dadakannya, Arch, dalam rangka mengorek keterangan darinya tentang sejauh mana kedekatan si pemuda dengan saudari sepupunya. Alasan kedua ini, meski tak dipaparkan oleh Naura, namun dipahami dengan baik oleh Sarah sejak sebelum keberangkatannya. Itulah kenapa dia memilih untuk tak berangkat lebih awal, sehingga dia akan selamat dari cercaan pertanyaan tak penting.Naura, menyambut Sarah di tengah para tamu yang mulai rama
Sarah, tak terlihat tertarik untuk menanggapi perhatian khusus Ben, dan, setelah sempat menjawab sapaan teman-teman Naura dengan ramah, dia menambahkan dalam ucapannya, "Naura benar! Kalian masuklah ke ruangan pesta, dan nikmatilah pesta ini! Naura sudah mempersiapkan pesta yang meriah untuk kalian!" Sembari melepas senyum formal pada sekawanan teman Naura itu, Sarah melepas kode pada Naura dengan kerlingan mata dan ujung alis kanan yang terangkat, agar Naura memberinya waktu untuk mencari gelang Arch. Naura pun memahami isyarat itu dengan sangat baik, dan segera mengajak teman-temannya masuk ke ruangan pesta, meninggalkan taman. Semua orang dalam rombongan itu bersikap patuh pada sang pemilik acara dan mereka tenggelam dalam tawa dan suka cita saat berjalan meninggalkan taman itu. Namun, satu orang tersisa, dan dia terlihat tak sedikitpun berminat untuk mengikuti jejak teman-temannya meninggalkan taman. Sarah beradu pandang untuk sesaat dengan pemuda yang tersisa itu, lalu beruja
Sarah terperanjat. Keterkejutannya yang besar membuatnya hanya mampu mengeluarkan satu kata saja, menyebut nama pria yang dia tabrak, "Arch?"Arch tersenyum. "Iya, ini memang aku. Aku mencarimu dari tadi, tapi tidak berhasil menemukanmu. Untungnya sepupumu memberitahuku bahwa kau mungkin ada di sini.""Se-pupuku?" ucap Sarah terbata, lebih karena spontan berkata, tanpa berpikir. Bayangan tentang perhiasan Arch yang kini kembali hilang, membuatnya merasa tak siap bertemu tamu penginapannya itu."Iya, Sarah. Naura yang memberitahuku. Ada apa denganmu? Kau terlihat tidak baik-baik saja.""Aku?" ucap Sarah, kembali dengan nada kosong."Kelihatannya memang telah terjadi sesuatu," gumam Arch. "Kenapa kau memegangi tangan kananmu?" Arch meraih tangan kanan Sarah dan melihatnya."Oh, aku—" ucap Sarah tersendat sembari menarik tangannya, "aku t
Naura melanjutkan ucapannya, di tengah rasa senangnya mengetahui kabar membahagiakan Arch dan Sarah, "Aku kemari, bermaksud untuk mengajak kalian masuk ke ruangan pesta. Aku dan Eric akan memulai acara inti kami.""Waw, itu menyenangkan! Selamat, Sayangku!" Sarah menghambur pada Naura dan menghadiahinya pelukan erat, dan untuk sejenak ekspreksi Naura berubah haru. Arch tersenyum memperhatikannya, sementara Ben tampak tak fokus. Pikiran Ben masih tertuju pada kabar mengejutkan perihal status Sarah dan Arch, yang menurutnya terkesan ganjil dan aneh. Pikiran kritisnya membisikinya untuk tak serta merta percaya dengan pengumuman meresahkan itu."Jangan sekarang," kata Naura kemudian, sembari melepaskan pelukannya. "Detik ini kami masih belum bertunangan.""Akan segera," timpal Sarah, "dasar kau ini! Aku tidak akan punya kesempatan untuk menyelamatimu nanti, karena pasti tamu undanganmu yang berjubel itu tak kan mau memberiku
Ben, menuruti kata hatinya, benar-benar berjalan menuju Arch dan Sarah yang tampak tengah asyik berbincang. Sarah agak gugup awalnya saat melihat kedatangannya, namun Arch meyakinkannya untuk bersikap tenang, atau Ben akan mencurigai mereka."Hai, Sarah," ucap Ben, yang kemudian dengan malas mengalihkan pandang sejenak pada Arch, lalu melanjutkannya, "hai, Arch." Ben mendeham, sekali saja, lalu kembali berkata, "Sarah, aku turut senang dengan hubungan kalian. Ini ... benar kata Naura, adalah kabar baik! Aku ragu sebenarnya, memikirkan kapan sebenarnya kalian jadian, karena beberapa hari lalu kudengar dari Naura, kau masih belum punya kekasih—tapi baiklah! Mari kita lupakan saja itu."Sarah merasakan jantungnya berdebar sedikit lebih kencang mendengar analisa singkat Ben, namun di saat yang bersamaan, dia melihat Arch justru tengah berjuang menahan senyum geli."Sarah," lanjut Ben, "bagaimana kalau
Ekspresi lelah membayang di wajah seorang pria bule jangkung berbola mata biru dengan garis wajah tegas mengesankan, yang lalu dengan serta merta disambut dengan keramahan bercampur kantuk oleh Sarah, "Selamat malam, Tuan. Selamat datang di penginapan kami." Anggukan kepala takzim Sarah membersamai keluarnya suara dari mulutnya yang meski diucapkan dengan sedikit sisa kesadaran akibat dominasi rasa kantuk, namun masih terdengar nyaring.Tidak ada jawaban. Pria itu memandang dengan sigap ke arah Sarah begitu pertanyaan ditujukan kepadanya, namun tak memberikan kejelasan apapun selain binar mata yang terperangah. Sarah, yang kemudian teringat bahwa lawan bicaranya itu adalah orang asing, lantas bermaksud membenahi ucapannya, "Good eve—""Selamat malam. Terima kasih. Saya bahkan tidak sadar bahwa ini adalah penginapan.""Oh," suara bernada sedikit terkejut terlontar dari lisan Sarah, dan segera dia pun sadar, bahwa po
Ben, menuruti kata hatinya, benar-benar berjalan menuju Arch dan Sarah yang tampak tengah asyik berbincang. Sarah agak gugup awalnya saat melihat kedatangannya, namun Arch meyakinkannya untuk bersikap tenang, atau Ben akan mencurigai mereka."Hai, Sarah," ucap Ben, yang kemudian dengan malas mengalihkan pandang sejenak pada Arch, lalu melanjutkannya, "hai, Arch." Ben mendeham, sekali saja, lalu kembali berkata, "Sarah, aku turut senang dengan hubungan kalian. Ini ... benar kata Naura, adalah kabar baik! Aku ragu sebenarnya, memikirkan kapan sebenarnya kalian jadian, karena beberapa hari lalu kudengar dari Naura, kau masih belum punya kekasih—tapi baiklah! Mari kita lupakan saja itu."Sarah merasakan jantungnya berdebar sedikit lebih kencang mendengar analisa singkat Ben, namun di saat yang bersamaan, dia melihat Arch justru tengah berjuang menahan senyum geli."Sarah," lanjut Ben, "bagaimana kalau
Naura melanjutkan ucapannya, di tengah rasa senangnya mengetahui kabar membahagiakan Arch dan Sarah, "Aku kemari, bermaksud untuk mengajak kalian masuk ke ruangan pesta. Aku dan Eric akan memulai acara inti kami.""Waw, itu menyenangkan! Selamat, Sayangku!" Sarah menghambur pada Naura dan menghadiahinya pelukan erat, dan untuk sejenak ekspreksi Naura berubah haru. Arch tersenyum memperhatikannya, sementara Ben tampak tak fokus. Pikiran Ben masih tertuju pada kabar mengejutkan perihal status Sarah dan Arch, yang menurutnya terkesan ganjil dan aneh. Pikiran kritisnya membisikinya untuk tak serta merta percaya dengan pengumuman meresahkan itu."Jangan sekarang," kata Naura kemudian, sembari melepaskan pelukannya. "Detik ini kami masih belum bertunangan.""Akan segera," timpal Sarah, "dasar kau ini! Aku tidak akan punya kesempatan untuk menyelamatimu nanti, karena pasti tamu undanganmu yang berjubel itu tak kan mau memberiku
Sarah terperanjat. Keterkejutannya yang besar membuatnya hanya mampu mengeluarkan satu kata saja, menyebut nama pria yang dia tabrak, "Arch?"Arch tersenyum. "Iya, ini memang aku. Aku mencarimu dari tadi, tapi tidak berhasil menemukanmu. Untungnya sepupumu memberitahuku bahwa kau mungkin ada di sini.""Se-pupuku?" ucap Sarah terbata, lebih karena spontan berkata, tanpa berpikir. Bayangan tentang perhiasan Arch yang kini kembali hilang, membuatnya merasa tak siap bertemu tamu penginapannya itu."Iya, Sarah. Naura yang memberitahuku. Ada apa denganmu? Kau terlihat tidak baik-baik saja.""Aku?" ucap Sarah, kembali dengan nada kosong."Kelihatannya memang telah terjadi sesuatu," gumam Arch. "Kenapa kau memegangi tangan kananmu?" Arch meraih tangan kanan Sarah dan melihatnya."Oh, aku—" ucap Sarah tersendat sembari menarik tangannya, "aku t
Sarah, tak terlihat tertarik untuk menanggapi perhatian khusus Ben, dan, setelah sempat menjawab sapaan teman-teman Naura dengan ramah, dia menambahkan dalam ucapannya, "Naura benar! Kalian masuklah ke ruangan pesta, dan nikmatilah pesta ini! Naura sudah mempersiapkan pesta yang meriah untuk kalian!" Sembari melepas senyum formal pada sekawanan teman Naura itu, Sarah melepas kode pada Naura dengan kerlingan mata dan ujung alis kanan yang terangkat, agar Naura memberinya waktu untuk mencari gelang Arch. Naura pun memahami isyarat itu dengan sangat baik, dan segera mengajak teman-temannya masuk ke ruangan pesta, meninggalkan taman. Semua orang dalam rombongan itu bersikap patuh pada sang pemilik acara dan mereka tenggelam dalam tawa dan suka cita saat berjalan meninggalkan taman itu. Namun, satu orang tersisa, dan dia terlihat tak sedikitpun berminat untuk mengikuti jejak teman-temannya meninggalkan taman. Sarah beradu pandang untuk sesaat dengan pemuda yang tersisa itu, lalu beruja
Saat yang dinanti tiba. Hari telah memasuki waktu malam, dan keramaian di pesta pertunangan Naura telah mulai terasa. Arch, dan Sarah, telah sampai di lokasi pesta tanpa terlambat, meski Naura sempat menyatakan kritik terselubung bahwa seharusnya mereka datang lebih awal, mengingat Sarah adalah sepupu Naura.Kritik terselubung itu sejatinya juga didasari pertimbangan lain, bahwa ketika pesta telah dimulai maka itu artinya Naura tak kan punya cukup kesempatan untuk menjalin komunikasi pribadi dengan tamu undangan dadakannya, Arch, dalam rangka mengorek keterangan darinya tentang sejauh mana kedekatan si pemuda dengan saudari sepupunya. Alasan kedua ini, meski tak dipaparkan oleh Naura, namun dipahami dengan baik oleh Sarah sejak sebelum keberangkatannya. Itulah kenapa dia memilih untuk tak berangkat lebih awal, sehingga dia akan selamat dari cercaan pertanyaan tak penting.Naura, menyambut Sarah di tengah para tamu yang mulai rama
Sarah masih merasakan kakinya gemetaran, tepat di saat Arch melanjutkan ucapannya dengan tenang, "Ayo, kita duduk di kursi restomu, Sarah."Sarah menurut patuh. Dia berjalan beriringan dengan Arch menuju salah satu kursi resto yang saat itu sedang tidak begitu ramai. Sarah terdiam, sibuk menata mentalnya sebelum menyampaikan sesuatu yang mungkin akan sulit diterima kenalan barunya itu. Sementara Arch, memesan minuman untuk dirinya dan juga sang pemilik penginapan yang ekspreksinya tampak sarat pemikiran. Pemandangan yang aneh, bagi beberapa pegawainya di bagian resto, melihat Sarah bersikap layaknya tamu yang pasif, padahal biasanya dia yang aktif memastikan segala pelayanan untuk tamu berjalan maksimal."Lihatlah Nona Sarah," celetuk salah satu pegawai. "Tidakkah dia terlihat melamun?""Kau benar," timpal yang lain. "Apa yang sedang dipikirkannya? Dan—hei, si pria bule itu menatapnya. Tidakkah kau lihat itu?
Sarah terpaku mendengar saran Meira yang sejujurnya teramat masuk akal itu. Seharusnya semuanya selesai dengan mudah tepat seperti katanya, namun ekspresi Sarah berubah kecut, setelah mengingat sekelebat bayangan bahwa asisten rumah tangga Naura, Bi Ira, sempat terlihat mengemasi beberapa pakaian di kursi ruang santai itu, yang memang dilakukan atas perintah Naura. Sarah kontan mendesah, menyesali kecerobohan dirinya yang telah melupakan gelang itu begitu saja."Bagaimana jika jaketku tadi turut diambil juga oleh Bi Ira," gumam Sarah. "Oh, bodohnya diriku! Seharusnya aku tidak melepaskan jaketku, tadi. Bagaimana kalau jaket itu turut dicuci pula?"Meira mengerutkan kening mendengar gerutu tak begitu jelas dari mulut Sarah, namun meski tak begitu jelas, Meira mampu menangkap beberapa kata yang dirasa cukup meresahkan."Jaketmu diambil Bi Ira? Jaketmu dicuci?" ulang Meira penuh selidik, yang kemudian dijawab Sarah dengan lirikan penuh rasa bersalah disertai
Meira, tanpa membuang waktu, segera menghubungi Sarah dengan mimik muka tegang lagi serius. Dia berharap, bibit masalah yang dia lihat saat ini tak benar-benar berkembang menjadi masalah. Dia yang diserahi tugas untuk mencuci jaket itu, maka barang yang ada dalam saku pakaian itu menjadi tanggung jawabnya.Namun Sarah, meskipun nomornya aktif, tak kunjung mengangkat panggilan darurat Meira. Hingga berkali-kali. Meira terus mencoba tanpa lelah, diselingi protes-protes tajam karena rasa jengkel, hingga pada percobaan yang ke lima, Evan, adik Sarah, memberinya interupsi memilukan. "Percuma Kak Meira menghubungi nomor Kak Sarah terus-terusan. Dia meninggalkan ponselnya di kamarnya. Lihatlah!"Evan menyodorkan ponsel Sarah tepat di depan Meira, yang membuat Meira bisa melihat dengan jelas dalam ekspresi kecut, panggilan dari dirinya sendiri masuk ke ponsel itu."Aku heran kenapa ada dering suara ponsel yang tak kunjung berhenti di kamar Kak Sarah,"
Sarah bergegas menuju ke dalam rumahnya, menindaklanjuti seruan nyaring adiknya untuk mengangkat telepon dari sepupunya, Naura. Sarah berjanji pada dirinya sendiri, akan segera mengembalikan gelang Arch, begitu dia selesai berbicara dengan sepupunya. Dia memasukkan kotak perhiasan itu ke kantong jaketnya sendiri, dan berjalan sedikit tergesa-gesa agar sepupunya tak perlu menunggu terlalu lama.Sepupunya sedikit menggerutu di awal percakapan itu, menyatakan kekesalannya karena Sarah tak mengangkat teleponnya yang ditujukan ke nomor pribadi Sarah, sebelumnya. Sarah menanggapinya dengan permintaan maaf tak dibuat-buat, dengan menyertakan dalih bahwa padatnya aktivitas pagi telah mengilhaminya untuk meninggalkan ponselnya begitu saja di kamarnya dalam rangka menghindari interupsi, hingga alhasil tak mengetahui jika sang sepupu menghubunginya."Lagipula yang penting sekarang kita sudah terhubung," imbuh Sarah. "Langkahmu tepat dengan beralih meng