Sarah masih merasakan kakinya gemetaran, tepat di saat Arch melanjutkan ucapannya dengan tenang, "Ayo, kita duduk di kursi restomu, Sarah."
Sarah menurut patuh. Dia berjalan beriringan dengan Arch menuju salah satu kursi resto yang saat itu sedang tidak begitu ramai. Sarah terdiam, sibuk menata mentalnya sebelum menyampaikan sesuatu yang mungkin akan sulit diterima kenalan barunya itu. Sementara Arch, memesan minuman untuk dirinya dan juga sang pemilik penginapan yang ekspreksinya tampak sarat pemikiran. Pemandangan yang aneh, bagi beberapa pegawainya di bagian resto, melihat Sarah bersikap layaknya tamu yang pasif, padahal biasanya dia yang aktif memastikan segala pelayanan untuk tamu berjalan maksimal.
"Lihatlah Nona Sarah," celetuk salah satu pegawai. "Tidakkah dia terlihat melamun?"
"Kau benar," timpal yang lain. "Apa yang sedang dipikirkannya? Dan—hei, si pria bule itu menatapnya. Tidakkah kau lihat itu? Apakah mereka berpacaran?"
Meira, yang karena satu keperluan, melintas di pojokan ruangan resto, dan mendengar obrolan nan asyik dua orang pegawai itu, lantas berkenan memberi mereka interupsi, "Jangan banyak bergosip! Kalau Nona Sarah mendengarnya, kalian bisa berada dalam masalah."
Ultimatum itu sontak membuat duo pegawai itu diam tak berani melanjutkan obrolan usil mereka, dan kemudian berlalu meninggalkan Meira dengan sungkan. Namun, seolah melanjutkan tingkah konyol duo pegawai itu, Meira memperhatikan Sarah dan Arch, lalu berujar pelan pada dirinya sendiri, "Ya Tuhan, memang benar! Mereka terlihat cocok sekali. Luar biasa!"
Arch mendapati Sarah benar-benar larut dalam sebuah dunia pemikiran nan asing di luar sana, tak berkonsentrasi sama sekali dengan kebersamaan mereka berdua kala itu, hingga pemuda warga negara asing itu berkata pelan, "Kuharap kau baik-baik saja, Sarah."
Sarah tersentak. Sembari berkata, "Oh!", dia menegakkan posisi duduknya, dan terkejut mendapati dua gelas teh telah tersaji di depan mereka berdua, padahal Sarah tak menyadari kala teh itu disajikan di depannya.
"Apa semua baik-baik saja?" tanya Arch.
"Ya. Semua baik-baik saja. Em—Arch," ucap Sarah terbata, "mari kita kembali bicara soal ... em—barangmu yang hilang." Sarah berkata gugup dengan ujung jari yang mengetuk-ngetuk meja dengan cemas berulang kali. Arch yang mendapati pemandangan ini lantas memajukan tubuhnya yang sebelumnya dia sandarkan dengan rileks ke kursi.
"Sarah, tolonglah," ucap Arch, "jangan salah paham. Aku tidak bermaksud mengatakan hal tidak baik soal penginapan ini. Aku memang kehilangan sebuah barang, tapi—"
"Aku minta maaf soal gelang itu, Arch!" potong Sarah dengan sigap meski tak terencana. Kalimat Arch entah kenapa terasa mencekam baginya, dan dia tak kuasa menunggu kalimat itu diakhiri oleh Arch.
Arch terkesiap. "Gelang?" ucapnya pelan, cenderung terdengar keluar begitu saja dari mulutnya secara spontan. Sarah menelan ludah tak kuasa menjawab. "Darimana kau tahu aku kehilangan gelang, Sarah?" lanjut Arch.
Sarah menundukkan wajahnya. Dia memejamkan matanya dengan erat, dan Arch yang sadar situasi lalu dengan segera memegang punggung tangan Sarah yang berada di atas meja untuk sesaat saja sembari berkata, "Tenanglah! Jangan takut!", kemudian melepaskannya. Sarah pun terperangah. Sesaat kemudian, dia tersenyum lega, dan kegelisahan di wajahnya terlihat memudar.
"Kalau begitu benar," lanjut Arch dengan tenang, "aku kehilangan gelang itu di penginapan ini. Kurasa ingatanku memang tidak begitu payah." Sarah melirik Arch untuk sesaat dan mendapati pria itu menatapnya kemudian tersenyum. "Seingatku aku menyimpannya di saku jaketku, Sarah," ucapnya kemudian.
"Benar," timpal Sarah. "Kau menyimpannya di saku jaketmu, dan kau lupa mengambilnya sebelum kau menyerahkannya pada Meira untuk dicuci."
"Ah! Itulah kesalahanku," sambar Arch. "Aku lupa soal itu. Payahnya diriku."
"Dan yang terjadi kemudian adalah," lanjut Sarah mengabaikan interupsi Arch, "Meira menyerahkan gelang itu padaku untuk dikembalikan. Sayangnya, saat aku hendak mengembalikannya padamu, sepupuku meneleponku. Aku memasukkan kotak perhiasan kecil itu ke kantong jaketku, lalu mengangkat telepon itu dan asyik bicara dengannya, hingga tanpa sengaja ... melupakan rencanaku untuk mengembalikan gelang itu padamu. Dan setelah itu, aku pergi begitu saja ke rumah sepupuku, karena dia memintaku untuk ke rumahnya, membantunya mengecek persiapan pesta pertunangannya nanti malam, dan—"
"Wah! Pesta pertunangan! Selamat untuknya."
"Terima kasih!" jawab Sarah spontan atas interupsi Arch. "Tapi aku belum selesai, Arch, sayangnya ... aku ... saat aku ke rumahnya, aku melepas jaket itu, dan setelah itu ... aku .... "
Sarah terdiam setelah suaranya memudar dengan loyo. Arch menangkap sinyal ketidakberesan itu sekaligus roman muka nan sedih, yang lantas membuatnya merasa tak tega untuk membuatnya menjadi lebih buruk. Dengan ekspresi tenang, dia melanjutkan alur narasi sedih yang mungkin menjadi kelanjutan kisah itu, "Dan kau melupakan jaket itu. Kau meninggalkannya di rumah sepupumu. Begitukah?"
Sarah, memandang Arch dengan tatapan penuh sesal lalu mengangguk. "Ya," ucapnya.
Tak dinyana, Arch justru tersenyum. Bahkan ucapannya setelah itu terkesan main-main. "Sudah menjadi nasib gelang itu kalau begitu, Sarah. Dilupakan dan diabaikan oleh banyak orang." Arch mengakhiri ucapannya dengan tawa konyol. Namun anehnya, ekspresinya setelah itu juga tak terlihat gusar.
"Arch, kau tidak marah karena ini?" tanya Sarah.
"Marah? Untuk apa?" tukas Arch.
"Kau percaya dengan ceritaku?"
Arch tertawa menyambut ucapan itu dan dengan ringan berkata, "Sudah kubilang, aku percaya padamu, Sarah. Kau tidak perlu cemas."
"Ah, ini membuatku lega," desah Sarah. "Tapi ... bagaimana kau bisa merasa setenang itu? Bagaimana kalau aku gagal mengembalikannya padamu? Apakah gelang itu untuk kekasihmu?"
Arch melirik Sarah untuk sekejap. Tak langsung berkata-kata, dia menggerakkan tangannya terlebih dahulu untuk mengambil gelas teh di depannya dan meminumnya. "Tepatnya bukan seperti itu, Sarah," ucapnya kemudian dengan tenang. "Gelang itu bukan untuk kekasihku. Faktanya, aku tidak punya kekasih. Itu adalah gelang milik adik temanku. Dia meninggalkannya di rumah kakaknya saat berkunjung ke Jerman, bulan lalu. Dia lalu menghubungi kakaknya dan memintanya mengirimkannya. Tapi karena mengetahui aku akan ke Indonesia, maka kakaknya memilih menitipkannya padaku. Kebetulan aku juga mengenal adiknya itu dengan baik. "
Arch, untuk sesaat memandang Sarah yang terlihat khusyuk menyimak, lalu saat dia hendak melanjutkan ceritanya, Sarah mendahuluinya, "Apakah maksudmu, adik temanmu itu tinggal di Indonesia?"
"Ya!" Arch mengiakan.
"Di mana tepatnya?"
"Di Yogyakarta. Sudah dua tahun ini dia resmi menjadi warga negara Indonesia."
"Oh," desah Sarah. "Jadi gelang itu bukan milikmu. Ini lebih kacau lagi," ucapnya kemudian. "Kau mengantonginya di sakumu. Apakah kau sudah berencana bertemu dengannya, semalam?"
Arch untuk sekejap tersenyum geli. "Ya. Awalnya. Tapi aku belum sempat menghubunginya. Tapi kenapa kau terlihat begitu risau, Sarah? Kenapa kau merasa ragu dan takut kau tidak akan bisa mengembalikan gelang itu?"
Sarah terdiam untuk sesaat. Dia melirik Arch penuh makna. Setelah menghela nafas panjang, dia kemudian berujar, "Tidak. Tidak ada apa-apa. Ini hanya masalah sederhana." Sarah dengan memasang harapan tinggi kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi Naura saat itu juga, di depan Arch, memberitahunya perihal gelang dan jaketnya.
Percakapan itu berlangsung beberapa saat, karena Naura harus menanyakannya pada Bi Ira, namun di akhir percakapan dia memberikan kabar gembira, bahwa gelang itu telah diselamatkan oleh si asisten rumah tangga sebelum jaketnya dicuci—si asisten rupanya tak ingat jika itu bukan termasuk salah satu koleksi pakaian majikannya.
Akan tetapi, ketika Sarah mengatakan dia berniat mengambilnya segera, Naura menukasnya dengan bertanya, "Apakah gelang ini milikmu? Aku belum pernah melihat kau memakai gelang ini. Ya Tuhan, cantik sekali."
"Astaga, apakah kau membuka kotak itu?" tanya Sarah dengan geram, sementara Arch hanya tersenyum mendengarnya.
"Ya. Gelang berlian ini cantik sekali. Kau membelinya sendiri? Ah, tidak, tidak. Kau selalu mengajakku jika ingin membeli perhiasan, dan aku belum pernah melihat yang satu ini. Atau seseorang memberikannya padamu? Wah! Jangan-jangan kau sudah punya pacar!"
"Berhenti berbicara ngawur! Kau tahu aku tidak punya pacar. Ya ampun! Amankan gelang itu! Jaga, dan jangan sampai hilang. Gelang itu milik salah satu tamu penginapanku, dan aku harus mengembalikannya."
"Apa?" sela Naura. "Apa yang sudah terjadi, sampai kau bisa menyimpan perhiasan milik tamumu di kantong jaketmu? Kau bisa dituduh mencuri, dasar gadis konyol!"
"Aku tahu! Astaga!" timpal Sarah. "Arch—maksudku tamuku, pemilik gelang itu, kini menunggu gelang itu dikembalikan. Jadi pastikan gelang itu aman, okay?!"
"Oh! Jadi namanya Arch!" seru Naura tercerahkan. "Dia seorang pria! Apakah kalian dekat?"
"Apa maksudmu?" sergah Sarah. "Jangan bica—"
"Berapa lama dia akan tinggal di penginapanmu?" potong Naura.
"Dia? Em, mungkin seminggu. Kami akan jalan-jalan beberapa hari. Tapi—ah, ya Tuhan. Untuk apa kau tanyakan itu? Astaga!" Sarah mulai terlihat kewalahan, dan Arch tersenyum geli merasa terhibur.
"Ah, ya Tuhan! Jalan-jalan bersama!" ulang Naura dengan tawa riang. "Kalau begitu kalian dekat! Aku punya rencana kalau begitu."
"Apa maksudmu?"
"Jangan kesal, Sarah Sayang. Tapi kau, tidak boleh mengambil gelang ini sendirian. Kau harus datang bersama pemiliknya. Sampaikanlah padanya, aku mengundangnya di acara pertunanganku nanti malam."
"Apa?!"
Keterkejutan Sarah tak mendapat kesempatan untuk ditanggapi, karena Naura ketika itu telah menutup teleponnya. Sarah menggumam tak karuan saat menurunkan ponsel dari telinganya, dan ketika secara terpaksa dia menyampaikan permintaan gila Naura itu pada Arch, Arch terlihat diam sesaat lalu kemudian tersenyum.
Sarah, terheran-heran melihat respon Arch, dan menjadi lebih heran lagi saat mendengar Arch mengatakan, "Sebuah kehormatan bagiku mendapatkan undangan sepupumu. Aku akan memenuhi undangannya."
"Kau?" ucap Sarah terperangah. "Memenuhi permintaan konyol sepupuku?"
"Kau merasa keberatan datang kesana bersamaku?"
"Oh," ucap Sarah dalam ekspresi yang terlihat bingung. "Tidak." Suasana hening untuk sesaat. "Aku tahu kita harus mengambil gelang itu. Aku minta maaf untuk semua kekacauan ini, Arch."
Arch untuk sekejap memandang Sarah dengan ekspresi tak terbaca, lalu dengan tenang berkata, "Kau tidak perlu meminta maaf ataupun merasa bersalah, Sarah. Kutegaskan padamu, itu tidak perlu."
***
Saat yang dinanti tiba. Hari telah memasuki waktu malam, dan keramaian di pesta pertunangan Naura telah mulai terasa. Arch, dan Sarah, telah sampai di lokasi pesta tanpa terlambat, meski Naura sempat menyatakan kritik terselubung bahwa seharusnya mereka datang lebih awal, mengingat Sarah adalah sepupu Naura.Kritik terselubung itu sejatinya juga didasari pertimbangan lain, bahwa ketika pesta telah dimulai maka itu artinya Naura tak kan punya cukup kesempatan untuk menjalin komunikasi pribadi dengan tamu undangan dadakannya, Arch, dalam rangka mengorek keterangan darinya tentang sejauh mana kedekatan si pemuda dengan saudari sepupunya. Alasan kedua ini, meski tak dipaparkan oleh Naura, namun dipahami dengan baik oleh Sarah sejak sebelum keberangkatannya. Itulah kenapa dia memilih untuk tak berangkat lebih awal, sehingga dia akan selamat dari cercaan pertanyaan tak penting.Naura, menyambut Sarah di tengah para tamu yang mulai rama
Sarah, tak terlihat tertarik untuk menanggapi perhatian khusus Ben, dan, setelah sempat menjawab sapaan teman-teman Naura dengan ramah, dia menambahkan dalam ucapannya, "Naura benar! Kalian masuklah ke ruangan pesta, dan nikmatilah pesta ini! Naura sudah mempersiapkan pesta yang meriah untuk kalian!" Sembari melepas senyum formal pada sekawanan teman Naura itu, Sarah melepas kode pada Naura dengan kerlingan mata dan ujung alis kanan yang terangkat, agar Naura memberinya waktu untuk mencari gelang Arch. Naura pun memahami isyarat itu dengan sangat baik, dan segera mengajak teman-temannya masuk ke ruangan pesta, meninggalkan taman. Semua orang dalam rombongan itu bersikap patuh pada sang pemilik acara dan mereka tenggelam dalam tawa dan suka cita saat berjalan meninggalkan taman itu. Namun, satu orang tersisa, dan dia terlihat tak sedikitpun berminat untuk mengikuti jejak teman-temannya meninggalkan taman. Sarah beradu pandang untuk sesaat dengan pemuda yang tersisa itu, lalu beruja
Sarah terperanjat. Keterkejutannya yang besar membuatnya hanya mampu mengeluarkan satu kata saja, menyebut nama pria yang dia tabrak, "Arch?"Arch tersenyum. "Iya, ini memang aku. Aku mencarimu dari tadi, tapi tidak berhasil menemukanmu. Untungnya sepupumu memberitahuku bahwa kau mungkin ada di sini.""Se-pupuku?" ucap Sarah terbata, lebih karena spontan berkata, tanpa berpikir. Bayangan tentang perhiasan Arch yang kini kembali hilang, membuatnya merasa tak siap bertemu tamu penginapannya itu."Iya, Sarah. Naura yang memberitahuku. Ada apa denganmu? Kau terlihat tidak baik-baik saja.""Aku?" ucap Sarah, kembali dengan nada kosong."Kelihatannya memang telah terjadi sesuatu," gumam Arch. "Kenapa kau memegangi tangan kananmu?" Arch meraih tangan kanan Sarah dan melihatnya."Oh, aku—" ucap Sarah tersendat sembari menarik tangannya, "aku t
Naura melanjutkan ucapannya, di tengah rasa senangnya mengetahui kabar membahagiakan Arch dan Sarah, "Aku kemari, bermaksud untuk mengajak kalian masuk ke ruangan pesta. Aku dan Eric akan memulai acara inti kami.""Waw, itu menyenangkan! Selamat, Sayangku!" Sarah menghambur pada Naura dan menghadiahinya pelukan erat, dan untuk sejenak ekspreksi Naura berubah haru. Arch tersenyum memperhatikannya, sementara Ben tampak tak fokus. Pikiran Ben masih tertuju pada kabar mengejutkan perihal status Sarah dan Arch, yang menurutnya terkesan ganjil dan aneh. Pikiran kritisnya membisikinya untuk tak serta merta percaya dengan pengumuman meresahkan itu."Jangan sekarang," kata Naura kemudian, sembari melepaskan pelukannya. "Detik ini kami masih belum bertunangan.""Akan segera," timpal Sarah, "dasar kau ini! Aku tidak akan punya kesempatan untuk menyelamatimu nanti, karena pasti tamu undanganmu yang berjubel itu tak kan mau memberiku
Ben, menuruti kata hatinya, benar-benar berjalan menuju Arch dan Sarah yang tampak tengah asyik berbincang. Sarah agak gugup awalnya saat melihat kedatangannya, namun Arch meyakinkannya untuk bersikap tenang, atau Ben akan mencurigai mereka."Hai, Sarah," ucap Ben, yang kemudian dengan malas mengalihkan pandang sejenak pada Arch, lalu melanjutkannya, "hai, Arch." Ben mendeham, sekali saja, lalu kembali berkata, "Sarah, aku turut senang dengan hubungan kalian. Ini ... benar kata Naura, adalah kabar baik! Aku ragu sebenarnya, memikirkan kapan sebenarnya kalian jadian, karena beberapa hari lalu kudengar dari Naura, kau masih belum punya kekasih—tapi baiklah! Mari kita lupakan saja itu."Sarah merasakan jantungnya berdebar sedikit lebih kencang mendengar analisa singkat Ben, namun di saat yang bersamaan, dia melihat Arch justru tengah berjuang menahan senyum geli."Sarah," lanjut Ben, "bagaimana kalau
Ekspresi lelah membayang di wajah seorang pria bule jangkung berbola mata biru dengan garis wajah tegas mengesankan, yang lalu dengan serta merta disambut dengan keramahan bercampur kantuk oleh Sarah, "Selamat malam, Tuan. Selamat datang di penginapan kami." Anggukan kepala takzim Sarah membersamai keluarnya suara dari mulutnya yang meski diucapkan dengan sedikit sisa kesadaran akibat dominasi rasa kantuk, namun masih terdengar nyaring.Tidak ada jawaban. Pria itu memandang dengan sigap ke arah Sarah begitu pertanyaan ditujukan kepadanya, namun tak memberikan kejelasan apapun selain binar mata yang terperangah. Sarah, yang kemudian teringat bahwa lawan bicaranya itu adalah orang asing, lantas bermaksud membenahi ucapannya, "Good eve—""Selamat malam. Terima kasih. Saya bahkan tidak sadar bahwa ini adalah penginapan.""Oh," suara bernada sedikit terkejut terlontar dari lisan Sarah, dan segera dia pun sadar, bahwa po
Sarah bergegas menuju ke dalam rumahnya, menindaklanjuti seruan nyaring adiknya untuk mengangkat telepon dari sepupunya, Naura. Sarah berjanji pada dirinya sendiri, akan segera mengembalikan gelang Arch, begitu dia selesai berbicara dengan sepupunya. Dia memasukkan kotak perhiasan itu ke kantong jaketnya sendiri, dan berjalan sedikit tergesa-gesa agar sepupunya tak perlu menunggu terlalu lama.Sepupunya sedikit menggerutu di awal percakapan itu, menyatakan kekesalannya karena Sarah tak mengangkat teleponnya yang ditujukan ke nomor pribadi Sarah, sebelumnya. Sarah menanggapinya dengan permintaan maaf tak dibuat-buat, dengan menyertakan dalih bahwa padatnya aktivitas pagi telah mengilhaminya untuk meninggalkan ponselnya begitu saja di kamarnya dalam rangka menghindari interupsi, hingga alhasil tak mengetahui jika sang sepupu menghubunginya."Lagipula yang penting sekarang kita sudah terhubung," imbuh Sarah. "Langkahmu tepat dengan beralih meng
Meira, tanpa membuang waktu, segera menghubungi Sarah dengan mimik muka tegang lagi serius. Dia berharap, bibit masalah yang dia lihat saat ini tak benar-benar berkembang menjadi masalah. Dia yang diserahi tugas untuk mencuci jaket itu, maka barang yang ada dalam saku pakaian itu menjadi tanggung jawabnya.Namun Sarah, meskipun nomornya aktif, tak kunjung mengangkat panggilan darurat Meira. Hingga berkali-kali. Meira terus mencoba tanpa lelah, diselingi protes-protes tajam karena rasa jengkel, hingga pada percobaan yang ke lima, Evan, adik Sarah, memberinya interupsi memilukan. "Percuma Kak Meira menghubungi nomor Kak Sarah terus-terusan. Dia meninggalkan ponselnya di kamarnya. Lihatlah!"Evan menyodorkan ponsel Sarah tepat di depan Meira, yang membuat Meira bisa melihat dengan jelas dalam ekspresi kecut, panggilan dari dirinya sendiri masuk ke ponsel itu."Aku heran kenapa ada dering suara ponsel yang tak kunjung berhenti di kamar Kak Sarah,"
Ben, menuruti kata hatinya, benar-benar berjalan menuju Arch dan Sarah yang tampak tengah asyik berbincang. Sarah agak gugup awalnya saat melihat kedatangannya, namun Arch meyakinkannya untuk bersikap tenang, atau Ben akan mencurigai mereka."Hai, Sarah," ucap Ben, yang kemudian dengan malas mengalihkan pandang sejenak pada Arch, lalu melanjutkannya, "hai, Arch." Ben mendeham, sekali saja, lalu kembali berkata, "Sarah, aku turut senang dengan hubungan kalian. Ini ... benar kata Naura, adalah kabar baik! Aku ragu sebenarnya, memikirkan kapan sebenarnya kalian jadian, karena beberapa hari lalu kudengar dari Naura, kau masih belum punya kekasih—tapi baiklah! Mari kita lupakan saja itu."Sarah merasakan jantungnya berdebar sedikit lebih kencang mendengar analisa singkat Ben, namun di saat yang bersamaan, dia melihat Arch justru tengah berjuang menahan senyum geli."Sarah," lanjut Ben, "bagaimana kalau
Naura melanjutkan ucapannya, di tengah rasa senangnya mengetahui kabar membahagiakan Arch dan Sarah, "Aku kemari, bermaksud untuk mengajak kalian masuk ke ruangan pesta. Aku dan Eric akan memulai acara inti kami.""Waw, itu menyenangkan! Selamat, Sayangku!" Sarah menghambur pada Naura dan menghadiahinya pelukan erat, dan untuk sejenak ekspreksi Naura berubah haru. Arch tersenyum memperhatikannya, sementara Ben tampak tak fokus. Pikiran Ben masih tertuju pada kabar mengejutkan perihal status Sarah dan Arch, yang menurutnya terkesan ganjil dan aneh. Pikiran kritisnya membisikinya untuk tak serta merta percaya dengan pengumuman meresahkan itu."Jangan sekarang," kata Naura kemudian, sembari melepaskan pelukannya. "Detik ini kami masih belum bertunangan.""Akan segera," timpal Sarah, "dasar kau ini! Aku tidak akan punya kesempatan untuk menyelamatimu nanti, karena pasti tamu undanganmu yang berjubel itu tak kan mau memberiku
Sarah terperanjat. Keterkejutannya yang besar membuatnya hanya mampu mengeluarkan satu kata saja, menyebut nama pria yang dia tabrak, "Arch?"Arch tersenyum. "Iya, ini memang aku. Aku mencarimu dari tadi, tapi tidak berhasil menemukanmu. Untungnya sepupumu memberitahuku bahwa kau mungkin ada di sini.""Se-pupuku?" ucap Sarah terbata, lebih karena spontan berkata, tanpa berpikir. Bayangan tentang perhiasan Arch yang kini kembali hilang, membuatnya merasa tak siap bertemu tamu penginapannya itu."Iya, Sarah. Naura yang memberitahuku. Ada apa denganmu? Kau terlihat tidak baik-baik saja.""Aku?" ucap Sarah, kembali dengan nada kosong."Kelihatannya memang telah terjadi sesuatu," gumam Arch. "Kenapa kau memegangi tangan kananmu?" Arch meraih tangan kanan Sarah dan melihatnya."Oh, aku—" ucap Sarah tersendat sembari menarik tangannya, "aku t
Sarah, tak terlihat tertarik untuk menanggapi perhatian khusus Ben, dan, setelah sempat menjawab sapaan teman-teman Naura dengan ramah, dia menambahkan dalam ucapannya, "Naura benar! Kalian masuklah ke ruangan pesta, dan nikmatilah pesta ini! Naura sudah mempersiapkan pesta yang meriah untuk kalian!" Sembari melepas senyum formal pada sekawanan teman Naura itu, Sarah melepas kode pada Naura dengan kerlingan mata dan ujung alis kanan yang terangkat, agar Naura memberinya waktu untuk mencari gelang Arch. Naura pun memahami isyarat itu dengan sangat baik, dan segera mengajak teman-temannya masuk ke ruangan pesta, meninggalkan taman. Semua orang dalam rombongan itu bersikap patuh pada sang pemilik acara dan mereka tenggelam dalam tawa dan suka cita saat berjalan meninggalkan taman itu. Namun, satu orang tersisa, dan dia terlihat tak sedikitpun berminat untuk mengikuti jejak teman-temannya meninggalkan taman. Sarah beradu pandang untuk sesaat dengan pemuda yang tersisa itu, lalu beruja
Saat yang dinanti tiba. Hari telah memasuki waktu malam, dan keramaian di pesta pertunangan Naura telah mulai terasa. Arch, dan Sarah, telah sampai di lokasi pesta tanpa terlambat, meski Naura sempat menyatakan kritik terselubung bahwa seharusnya mereka datang lebih awal, mengingat Sarah adalah sepupu Naura.Kritik terselubung itu sejatinya juga didasari pertimbangan lain, bahwa ketika pesta telah dimulai maka itu artinya Naura tak kan punya cukup kesempatan untuk menjalin komunikasi pribadi dengan tamu undangan dadakannya, Arch, dalam rangka mengorek keterangan darinya tentang sejauh mana kedekatan si pemuda dengan saudari sepupunya. Alasan kedua ini, meski tak dipaparkan oleh Naura, namun dipahami dengan baik oleh Sarah sejak sebelum keberangkatannya. Itulah kenapa dia memilih untuk tak berangkat lebih awal, sehingga dia akan selamat dari cercaan pertanyaan tak penting.Naura, menyambut Sarah di tengah para tamu yang mulai rama
Sarah masih merasakan kakinya gemetaran, tepat di saat Arch melanjutkan ucapannya dengan tenang, "Ayo, kita duduk di kursi restomu, Sarah."Sarah menurut patuh. Dia berjalan beriringan dengan Arch menuju salah satu kursi resto yang saat itu sedang tidak begitu ramai. Sarah terdiam, sibuk menata mentalnya sebelum menyampaikan sesuatu yang mungkin akan sulit diterima kenalan barunya itu. Sementara Arch, memesan minuman untuk dirinya dan juga sang pemilik penginapan yang ekspreksinya tampak sarat pemikiran. Pemandangan yang aneh, bagi beberapa pegawainya di bagian resto, melihat Sarah bersikap layaknya tamu yang pasif, padahal biasanya dia yang aktif memastikan segala pelayanan untuk tamu berjalan maksimal."Lihatlah Nona Sarah," celetuk salah satu pegawai. "Tidakkah dia terlihat melamun?""Kau benar," timpal yang lain. "Apa yang sedang dipikirkannya? Dan—hei, si pria bule itu menatapnya. Tidakkah kau lihat itu?
Sarah terpaku mendengar saran Meira yang sejujurnya teramat masuk akal itu. Seharusnya semuanya selesai dengan mudah tepat seperti katanya, namun ekspresi Sarah berubah kecut, setelah mengingat sekelebat bayangan bahwa asisten rumah tangga Naura, Bi Ira, sempat terlihat mengemasi beberapa pakaian di kursi ruang santai itu, yang memang dilakukan atas perintah Naura. Sarah kontan mendesah, menyesali kecerobohan dirinya yang telah melupakan gelang itu begitu saja."Bagaimana jika jaketku tadi turut diambil juga oleh Bi Ira," gumam Sarah. "Oh, bodohnya diriku! Seharusnya aku tidak melepaskan jaketku, tadi. Bagaimana kalau jaket itu turut dicuci pula?"Meira mengerutkan kening mendengar gerutu tak begitu jelas dari mulut Sarah, namun meski tak begitu jelas, Meira mampu menangkap beberapa kata yang dirasa cukup meresahkan."Jaketmu diambil Bi Ira? Jaketmu dicuci?" ulang Meira penuh selidik, yang kemudian dijawab Sarah dengan lirikan penuh rasa bersalah disertai
Meira, tanpa membuang waktu, segera menghubungi Sarah dengan mimik muka tegang lagi serius. Dia berharap, bibit masalah yang dia lihat saat ini tak benar-benar berkembang menjadi masalah. Dia yang diserahi tugas untuk mencuci jaket itu, maka barang yang ada dalam saku pakaian itu menjadi tanggung jawabnya.Namun Sarah, meskipun nomornya aktif, tak kunjung mengangkat panggilan darurat Meira. Hingga berkali-kali. Meira terus mencoba tanpa lelah, diselingi protes-protes tajam karena rasa jengkel, hingga pada percobaan yang ke lima, Evan, adik Sarah, memberinya interupsi memilukan. "Percuma Kak Meira menghubungi nomor Kak Sarah terus-terusan. Dia meninggalkan ponselnya di kamarnya. Lihatlah!"Evan menyodorkan ponsel Sarah tepat di depan Meira, yang membuat Meira bisa melihat dengan jelas dalam ekspresi kecut, panggilan dari dirinya sendiri masuk ke ponsel itu."Aku heran kenapa ada dering suara ponsel yang tak kunjung berhenti di kamar Kak Sarah,"
Sarah bergegas menuju ke dalam rumahnya, menindaklanjuti seruan nyaring adiknya untuk mengangkat telepon dari sepupunya, Naura. Sarah berjanji pada dirinya sendiri, akan segera mengembalikan gelang Arch, begitu dia selesai berbicara dengan sepupunya. Dia memasukkan kotak perhiasan itu ke kantong jaketnya sendiri, dan berjalan sedikit tergesa-gesa agar sepupunya tak perlu menunggu terlalu lama.Sepupunya sedikit menggerutu di awal percakapan itu, menyatakan kekesalannya karena Sarah tak mengangkat teleponnya yang ditujukan ke nomor pribadi Sarah, sebelumnya. Sarah menanggapinya dengan permintaan maaf tak dibuat-buat, dengan menyertakan dalih bahwa padatnya aktivitas pagi telah mengilhaminya untuk meninggalkan ponselnya begitu saja di kamarnya dalam rangka menghindari interupsi, hingga alhasil tak mengetahui jika sang sepupu menghubunginya."Lagipula yang penting sekarang kita sudah terhubung," imbuh Sarah. "Langkahmu tepat dengan beralih meng