Ekspresi lelah membayang di wajah seorang pria bule jangkung berbola mata biru dengan garis wajah tegas mengesankan, yang lalu dengan serta merta disambut dengan keramahan bercampur kantuk oleh Sarah, "Selamat malam, Tuan. Selamat datang di penginapan kami." Anggukan kepala takzim Sarah membersamai keluarnya suara dari mulutnya yang meski diucapkan dengan sedikit sisa kesadaran akibat dominasi rasa kantuk, namun masih terdengar nyaring.
Tidak ada jawaban. Pria itu memandang dengan sigap ke arah Sarah begitu pertanyaan ditujukan kepadanya, namun tak memberikan kejelasan apapun selain binar mata yang terperangah. Sarah, yang kemudian teringat bahwa lawan bicaranya itu adalah orang asing, lantas bermaksud membenahi ucapannya, "Good eve—"
"Selamat malam. Terima kasih. Saya bahkan tidak sadar bahwa ini adalah penginapan."
"Oh," suara bernada sedikit terkejut terlontar dari lisan Sarah, dan segera dia pun sadar, bahwa posisi mereka berdua bahkan masih belum masuk area penginapan. Sarah yang berjalan dengan lelah, sepulang dari swalayan, kurang bisa berkonsentrasi dengan baik. Begitu melihat seorang musafir letih berjalan dengan gontai di samping penginapan kecil milik keluarganya, dia menganggap penghuni penginapannya akan segera bertambah satu, hingga lantas membuatnya menghadang sang musafir dan menyampaikan ucapan selamat datang tak diminta.
"Maaf, Tuan. Saya pasti mengejutkan Anda," kata Sarah, sedikit membungkukkan badan, meminta maaf. "Tapi ini memang penginapan, Tuan. Dan sepertinya Anda sangat lelah. Menginap di penginapan kami akan menjadi pilihan tepat bagi Anda, dan—ah, saya terkesan dengan kemampuan Anda dalam berbahasa Indonesia."
"Kalau begitu, saya rasa saya yang mengejutkan Anda," jawab sang musafir dengan tenang. "Tidak perlu terkejut. Saya memang cukup menguasai bahasa Indonesia. Dan kebetulan, saya juga ... em, tersesat."
Sarah mengangguk-anggukkan kepala sembari menyapukan pandangannya pada penampilan sang musafir yang terlihat tak membawa banyak barang. Sarah percaya dengan pengakuan pria itu, dan menduga bahwa dia tersesat saat sedang berjalan-jalan. "Menarik," gumam Sarah.
"Maaf?" kata sang musafir.
"Oh, maksud saya, pengalaman yang menarik, Tuan. Tersesat adalah bagian dari petualangan. Tidak akan jadi masalah jika Anda suka berpetualang."
"Oh, tersesat adalah bagian dari petualangan," ulang sang musafir pelan dengan ekspresi geli, namun kemudian dilanjutkan dengan menanggapi ucapan Sarah dengan ramah, "terima kasih. Anda telah membuat saya bisa bernafas lega. Paling tidak saya bisa istirahat di penginapan Anda malam ini, kalau begitu?"
"Tentu, Tuan. Mari," ucap Sarah sembari mempersilakan sang tamu berjalan mengikutinya, masuk ke halaman penginapan, yang disana, sang tamu berhenti sejenak memandang penampilan gedung penginapan itu dari arah depan.
"Penginapan sederhana yang cukup manis," ucapnya pelan.
"Mari, Tuan," ulang Sarah. Sang tamu mengangguk dengan patuh, dan, segera setelah menyelesaikan semua urusan di meja depan, tanpa menunggu lama sang tamu pun diantar ke kamarnya.
"Terima kasih," ucap sang tamu pada si pengantar ketika telah mencapai kamarnya.
"Sama-sama, Tuan."
"Arch, panggil saya Arch," timpal sang tamu. "Mungkin bagimu ini bisnis, tapi bagiku ini sebuah pertolongan. Bayangkan akan selelah apa diriku malam ini, kalau kau tidak menghadangku di depan penginapanmu, tadi."
Sarah tersenyum ramah dan mengangguk. Ketiadaan orang lain yang bisa membantunya tepat di detik itu, membuatnya harus mengantarkan tamunya itu sendiri ke kamarnya. "Tidak masalah, Tuan—maksud saya Arch. Segera beritahukan pada kami, jika Anda memerlukan sesuatu."
"Tidak. Terima kasih. Kau juga terlihat lelah. Istirahatlah! Aku tidak akan membutuhkan apapun sampai besok pagi."
Sarah kembali tersenyum takzim dan berujar dengan tenang—seolah tak peduli jika ekspresi ngantuknya telah menjadi sorotan, "Baik. Datanglah ke resto penginapan besok pagi, dan makan pagimu akan siap mulai jam tujuh pagi. Kami membatasinya hanya sampai jam sepuluh. Kuharap kau bisa beristirahat nyenyak malam ini."
Arch mengangguk. "Baiklah," katanya. Senyum ramah yang tak berlebihan mewarnai roman mukanya yang menyimpan karisma tak terelakkan bahkan meski dalam kondisi letih. Ketika si gadis pengantar hendak meninggalkannya, dia berujar, "Bagaimana aku harus memanggilmu, Nona?"
Sarah tersenyum ringan sembari berkata, "Sarah."
Sarah lantas berlalu meninggalkan Arch yang kemudian menutup pintu kamarnya, bersiap untuk istirahat. Jawa telah membuatnya mampu melupakan kepenatan jiwanya yang sumber utamanya selalu berpusar pada urusan pekerjaan, dan di hari keduanya di Jawa Tengah ini, tepat sebelum dia memejamkan matanya, dia mengatakan pada dirinya sendiri—meniru apa yang diucapkan oleh Sarah, "Tersesat adalah bagian dari petualangan. Tidak terlalu buruk jika aku akhirnya mendapatkan penginapan cukup nyaman dengan pelayanan yang cukup baik."
Lelap segera membuai jiwa raga Arch hingga pemuda itu berlepas dari semua kelelahan yang menderanya. Didukung dengan kondisi tubuh yang bersih setelah mandi, pria itu berbaring di atas tempat tidur dengan nyaman dihiasi aroma tubuh yang segar. Peluh tidak lagi mengusiknya, dan penat tak menyisakan celah bagi apapun untuk bisa mengganggu tidur nyenyaknya.
Ketika mentari telah beberapa saat menunjukkan sinarnya yang terhitung lembut di pagi harinya, Sarah, tepat di saat itu, telah berada di dapur, mengecek kesiapan semua bahan yang harus dimasak koki resto penginapan, yang meskipun menunya tak selengkap hotel berbintang, namun sudah cukup memadai dengan menyuguhkan dua jenis pilihan menu. Menu makanan Indonesia, dan menu makanan barat sederhana, seperti paket sarapan gaya Amerika, pasta, sandwich, dan beberapa menu sederhana lainnya. Jika para tamu ingin mencicipi makanan Indonesia, maka mereka dipastikan akan mendapatkan pilihan menu yang jauh lebih beragam, karena Sarah telah memilih koki-koki yang cukup handal, yang dia dapatkan atas rekomendasi salah seorang temannya.
Setelah menyerahkan sejumlah uang pada salah satu pegawai bagian dapur untuk dibelanjakan, Sarah berlalu menuju ke ruangan lain di samping dapur, di mana di sana dia berpapasan dengan seorang pegawai lain, yang mengatakan bahwa dia baru saja mendapat permintaan dari tamu yang datang semalam, bernama Arch, untuk mencucikan sebuah jaket. "Dia ingin aku mencucinya, dan mengeringkannya dengan cepat," kata si pegawai.
"Dia pasti ingin segera meninggalkan penginapan ini, dan kembali melanjutkan perjalanan liburannya. Semalam dia tersesat," ujar Sarah menanggapi.
"Bukan hal baru," gumam si pegawai.
"Lakukanlah dengan baik, Meira. Mungkin dia akan merekomendasikan tempat ini pada temannya, jika dia merasa puas dengan pelayanan tempat ini."
"Kudengar kau sendiri yang semalam melayani pendaftarannya?"
"Iya, benar. Aku melihatnya berjalan gontai di samping penginapan, lalu aku menghampirinya."
"Dia tampan, kan?" Meira berkata usil. Matanya menyiratkan kejahilan tingkat tinggi, dengan senyum yang semakin membuat ucapannya sulit untuk tak ditanggapi. Tapi, setelah sempat tersenyum, Sarah hanya mengatakan dengan tenang bahwa ketampanan dan kecantikan adahal pemandangan yang mudah didapatkan dewasa ini. Baik dari penduduk lokal, atau pun orang asing. Meira kembali tertawa jahil namun tak membantah, dan tepat saat dia merogoh saku jaket itu, dia memekik tajam, mendapati sebuah kotak perhiasan kecil berada di sana.
"Oh, astaga!" seru Meira. "Lihatlah! Untung aku belum sampai mencucinya." Meira lalu membuka kotak itu.
"Kau tidak perlu membukanya, Meira. Langsung saja kembalikan pada Arch," ujar Sarah yang berjalan mendekat pada Meira, namun Meira yang tak menggubrisnya telah membuka kotak itu, dan mendapati sebuah gelang berlian rupawan memahkotai dengan anggun bagian dalam kotak itu.
Meira dan Sarah diam terpukau melihat keindahan gelang itu. Namun seolah bersikap kompak, kesan keindahan perhiasan itu rupanya tak mengejutkan mereka terlalu lama. Bahkan dengan segera berganti dengan celetukan ringan dari Meira, "Mungkinkah ini untuk pacarnya?"
Sarah mengerutkan alis sekejap, lalu berujar, "Mungkin. Entahlah! Tapi kurasa, itu kemungkinan paling besar." Sarah melentikkan punggungnya, lalu menambahkan, "Kalau begitu segeralah kembalikan pada Arch."
"Aduh," tukas Meira, sembari menutup kotak itu lalu menyerahkannya pada Sarah, "tolong kau saja yang mengembalikannya, Sarah. Maaf, tapi aku harus ke toilet sebentar." Meira tanpa ba-bi-bu, langsung beralih menuju toilet, meninggalkan Sarah yang geleng-geleng kepala melihatnya.
Sarah mengijinkan temannya—yang sekaligus adalah karyawannya itu—untuk menyelesaikan keperluannya, dan ketika Sarah hendak beranjak menuju kamar Arch, suara adiknya tiba-tiba mengejutkannya, "Kak Sarah, ada telepon dari Kak Naura. Katanya penting."
***
Sarah bergegas menuju ke dalam rumahnya, menindaklanjuti seruan nyaring adiknya untuk mengangkat telepon dari sepupunya, Naura. Sarah berjanji pada dirinya sendiri, akan segera mengembalikan gelang Arch, begitu dia selesai berbicara dengan sepupunya. Dia memasukkan kotak perhiasan itu ke kantong jaketnya sendiri, dan berjalan sedikit tergesa-gesa agar sepupunya tak perlu menunggu terlalu lama.Sepupunya sedikit menggerutu di awal percakapan itu, menyatakan kekesalannya karena Sarah tak mengangkat teleponnya yang ditujukan ke nomor pribadi Sarah, sebelumnya. Sarah menanggapinya dengan permintaan maaf tak dibuat-buat, dengan menyertakan dalih bahwa padatnya aktivitas pagi telah mengilhaminya untuk meninggalkan ponselnya begitu saja di kamarnya dalam rangka menghindari interupsi, hingga alhasil tak mengetahui jika sang sepupu menghubunginya."Lagipula yang penting sekarang kita sudah terhubung," imbuh Sarah. "Langkahmu tepat dengan beralih meng
Meira, tanpa membuang waktu, segera menghubungi Sarah dengan mimik muka tegang lagi serius. Dia berharap, bibit masalah yang dia lihat saat ini tak benar-benar berkembang menjadi masalah. Dia yang diserahi tugas untuk mencuci jaket itu, maka barang yang ada dalam saku pakaian itu menjadi tanggung jawabnya.Namun Sarah, meskipun nomornya aktif, tak kunjung mengangkat panggilan darurat Meira. Hingga berkali-kali. Meira terus mencoba tanpa lelah, diselingi protes-protes tajam karena rasa jengkel, hingga pada percobaan yang ke lima, Evan, adik Sarah, memberinya interupsi memilukan. "Percuma Kak Meira menghubungi nomor Kak Sarah terus-terusan. Dia meninggalkan ponselnya di kamarnya. Lihatlah!"Evan menyodorkan ponsel Sarah tepat di depan Meira, yang membuat Meira bisa melihat dengan jelas dalam ekspresi kecut, panggilan dari dirinya sendiri masuk ke ponsel itu."Aku heran kenapa ada dering suara ponsel yang tak kunjung berhenti di kamar Kak Sarah,"
Sarah terpaku mendengar saran Meira yang sejujurnya teramat masuk akal itu. Seharusnya semuanya selesai dengan mudah tepat seperti katanya, namun ekspresi Sarah berubah kecut, setelah mengingat sekelebat bayangan bahwa asisten rumah tangga Naura, Bi Ira, sempat terlihat mengemasi beberapa pakaian di kursi ruang santai itu, yang memang dilakukan atas perintah Naura. Sarah kontan mendesah, menyesali kecerobohan dirinya yang telah melupakan gelang itu begitu saja."Bagaimana jika jaketku tadi turut diambil juga oleh Bi Ira," gumam Sarah. "Oh, bodohnya diriku! Seharusnya aku tidak melepaskan jaketku, tadi. Bagaimana kalau jaket itu turut dicuci pula?"Meira mengerutkan kening mendengar gerutu tak begitu jelas dari mulut Sarah, namun meski tak begitu jelas, Meira mampu menangkap beberapa kata yang dirasa cukup meresahkan."Jaketmu diambil Bi Ira? Jaketmu dicuci?" ulang Meira penuh selidik, yang kemudian dijawab Sarah dengan lirikan penuh rasa bersalah disertai
Sarah masih merasakan kakinya gemetaran, tepat di saat Arch melanjutkan ucapannya dengan tenang, "Ayo, kita duduk di kursi restomu, Sarah."Sarah menurut patuh. Dia berjalan beriringan dengan Arch menuju salah satu kursi resto yang saat itu sedang tidak begitu ramai. Sarah terdiam, sibuk menata mentalnya sebelum menyampaikan sesuatu yang mungkin akan sulit diterima kenalan barunya itu. Sementara Arch, memesan minuman untuk dirinya dan juga sang pemilik penginapan yang ekspreksinya tampak sarat pemikiran. Pemandangan yang aneh, bagi beberapa pegawainya di bagian resto, melihat Sarah bersikap layaknya tamu yang pasif, padahal biasanya dia yang aktif memastikan segala pelayanan untuk tamu berjalan maksimal."Lihatlah Nona Sarah," celetuk salah satu pegawai. "Tidakkah dia terlihat melamun?""Kau benar," timpal yang lain. "Apa yang sedang dipikirkannya? Dan—hei, si pria bule itu menatapnya. Tidakkah kau lihat itu?
Saat yang dinanti tiba. Hari telah memasuki waktu malam, dan keramaian di pesta pertunangan Naura telah mulai terasa. Arch, dan Sarah, telah sampai di lokasi pesta tanpa terlambat, meski Naura sempat menyatakan kritik terselubung bahwa seharusnya mereka datang lebih awal, mengingat Sarah adalah sepupu Naura.Kritik terselubung itu sejatinya juga didasari pertimbangan lain, bahwa ketika pesta telah dimulai maka itu artinya Naura tak kan punya cukup kesempatan untuk menjalin komunikasi pribadi dengan tamu undangan dadakannya, Arch, dalam rangka mengorek keterangan darinya tentang sejauh mana kedekatan si pemuda dengan saudari sepupunya. Alasan kedua ini, meski tak dipaparkan oleh Naura, namun dipahami dengan baik oleh Sarah sejak sebelum keberangkatannya. Itulah kenapa dia memilih untuk tak berangkat lebih awal, sehingga dia akan selamat dari cercaan pertanyaan tak penting.Naura, menyambut Sarah di tengah para tamu yang mulai rama
Sarah, tak terlihat tertarik untuk menanggapi perhatian khusus Ben, dan, setelah sempat menjawab sapaan teman-teman Naura dengan ramah, dia menambahkan dalam ucapannya, "Naura benar! Kalian masuklah ke ruangan pesta, dan nikmatilah pesta ini! Naura sudah mempersiapkan pesta yang meriah untuk kalian!" Sembari melepas senyum formal pada sekawanan teman Naura itu, Sarah melepas kode pada Naura dengan kerlingan mata dan ujung alis kanan yang terangkat, agar Naura memberinya waktu untuk mencari gelang Arch. Naura pun memahami isyarat itu dengan sangat baik, dan segera mengajak teman-temannya masuk ke ruangan pesta, meninggalkan taman. Semua orang dalam rombongan itu bersikap patuh pada sang pemilik acara dan mereka tenggelam dalam tawa dan suka cita saat berjalan meninggalkan taman itu. Namun, satu orang tersisa, dan dia terlihat tak sedikitpun berminat untuk mengikuti jejak teman-temannya meninggalkan taman. Sarah beradu pandang untuk sesaat dengan pemuda yang tersisa itu, lalu beruja
Sarah terperanjat. Keterkejutannya yang besar membuatnya hanya mampu mengeluarkan satu kata saja, menyebut nama pria yang dia tabrak, "Arch?"Arch tersenyum. "Iya, ini memang aku. Aku mencarimu dari tadi, tapi tidak berhasil menemukanmu. Untungnya sepupumu memberitahuku bahwa kau mungkin ada di sini.""Se-pupuku?" ucap Sarah terbata, lebih karena spontan berkata, tanpa berpikir. Bayangan tentang perhiasan Arch yang kini kembali hilang, membuatnya merasa tak siap bertemu tamu penginapannya itu."Iya, Sarah. Naura yang memberitahuku. Ada apa denganmu? Kau terlihat tidak baik-baik saja.""Aku?" ucap Sarah, kembali dengan nada kosong."Kelihatannya memang telah terjadi sesuatu," gumam Arch. "Kenapa kau memegangi tangan kananmu?" Arch meraih tangan kanan Sarah dan melihatnya."Oh, aku—" ucap Sarah tersendat sembari menarik tangannya, "aku t
Naura melanjutkan ucapannya, di tengah rasa senangnya mengetahui kabar membahagiakan Arch dan Sarah, "Aku kemari, bermaksud untuk mengajak kalian masuk ke ruangan pesta. Aku dan Eric akan memulai acara inti kami.""Waw, itu menyenangkan! Selamat, Sayangku!" Sarah menghambur pada Naura dan menghadiahinya pelukan erat, dan untuk sejenak ekspreksi Naura berubah haru. Arch tersenyum memperhatikannya, sementara Ben tampak tak fokus. Pikiran Ben masih tertuju pada kabar mengejutkan perihal status Sarah dan Arch, yang menurutnya terkesan ganjil dan aneh. Pikiran kritisnya membisikinya untuk tak serta merta percaya dengan pengumuman meresahkan itu."Jangan sekarang," kata Naura kemudian, sembari melepaskan pelukannya. "Detik ini kami masih belum bertunangan.""Akan segera," timpal Sarah, "dasar kau ini! Aku tidak akan punya kesempatan untuk menyelamatimu nanti, karena pasti tamu undanganmu yang berjubel itu tak kan mau memberiku
Ben, menuruti kata hatinya, benar-benar berjalan menuju Arch dan Sarah yang tampak tengah asyik berbincang. Sarah agak gugup awalnya saat melihat kedatangannya, namun Arch meyakinkannya untuk bersikap tenang, atau Ben akan mencurigai mereka."Hai, Sarah," ucap Ben, yang kemudian dengan malas mengalihkan pandang sejenak pada Arch, lalu melanjutkannya, "hai, Arch." Ben mendeham, sekali saja, lalu kembali berkata, "Sarah, aku turut senang dengan hubungan kalian. Ini ... benar kata Naura, adalah kabar baik! Aku ragu sebenarnya, memikirkan kapan sebenarnya kalian jadian, karena beberapa hari lalu kudengar dari Naura, kau masih belum punya kekasih—tapi baiklah! Mari kita lupakan saja itu."Sarah merasakan jantungnya berdebar sedikit lebih kencang mendengar analisa singkat Ben, namun di saat yang bersamaan, dia melihat Arch justru tengah berjuang menahan senyum geli."Sarah," lanjut Ben, "bagaimana kalau
Naura melanjutkan ucapannya, di tengah rasa senangnya mengetahui kabar membahagiakan Arch dan Sarah, "Aku kemari, bermaksud untuk mengajak kalian masuk ke ruangan pesta. Aku dan Eric akan memulai acara inti kami.""Waw, itu menyenangkan! Selamat, Sayangku!" Sarah menghambur pada Naura dan menghadiahinya pelukan erat, dan untuk sejenak ekspreksi Naura berubah haru. Arch tersenyum memperhatikannya, sementara Ben tampak tak fokus. Pikiran Ben masih tertuju pada kabar mengejutkan perihal status Sarah dan Arch, yang menurutnya terkesan ganjil dan aneh. Pikiran kritisnya membisikinya untuk tak serta merta percaya dengan pengumuman meresahkan itu."Jangan sekarang," kata Naura kemudian, sembari melepaskan pelukannya. "Detik ini kami masih belum bertunangan.""Akan segera," timpal Sarah, "dasar kau ini! Aku tidak akan punya kesempatan untuk menyelamatimu nanti, karena pasti tamu undanganmu yang berjubel itu tak kan mau memberiku
Sarah terperanjat. Keterkejutannya yang besar membuatnya hanya mampu mengeluarkan satu kata saja, menyebut nama pria yang dia tabrak, "Arch?"Arch tersenyum. "Iya, ini memang aku. Aku mencarimu dari tadi, tapi tidak berhasil menemukanmu. Untungnya sepupumu memberitahuku bahwa kau mungkin ada di sini.""Se-pupuku?" ucap Sarah terbata, lebih karena spontan berkata, tanpa berpikir. Bayangan tentang perhiasan Arch yang kini kembali hilang, membuatnya merasa tak siap bertemu tamu penginapannya itu."Iya, Sarah. Naura yang memberitahuku. Ada apa denganmu? Kau terlihat tidak baik-baik saja.""Aku?" ucap Sarah, kembali dengan nada kosong."Kelihatannya memang telah terjadi sesuatu," gumam Arch. "Kenapa kau memegangi tangan kananmu?" Arch meraih tangan kanan Sarah dan melihatnya."Oh, aku—" ucap Sarah tersendat sembari menarik tangannya, "aku t
Sarah, tak terlihat tertarik untuk menanggapi perhatian khusus Ben, dan, setelah sempat menjawab sapaan teman-teman Naura dengan ramah, dia menambahkan dalam ucapannya, "Naura benar! Kalian masuklah ke ruangan pesta, dan nikmatilah pesta ini! Naura sudah mempersiapkan pesta yang meriah untuk kalian!" Sembari melepas senyum formal pada sekawanan teman Naura itu, Sarah melepas kode pada Naura dengan kerlingan mata dan ujung alis kanan yang terangkat, agar Naura memberinya waktu untuk mencari gelang Arch. Naura pun memahami isyarat itu dengan sangat baik, dan segera mengajak teman-temannya masuk ke ruangan pesta, meninggalkan taman. Semua orang dalam rombongan itu bersikap patuh pada sang pemilik acara dan mereka tenggelam dalam tawa dan suka cita saat berjalan meninggalkan taman itu. Namun, satu orang tersisa, dan dia terlihat tak sedikitpun berminat untuk mengikuti jejak teman-temannya meninggalkan taman. Sarah beradu pandang untuk sesaat dengan pemuda yang tersisa itu, lalu beruja
Saat yang dinanti tiba. Hari telah memasuki waktu malam, dan keramaian di pesta pertunangan Naura telah mulai terasa. Arch, dan Sarah, telah sampai di lokasi pesta tanpa terlambat, meski Naura sempat menyatakan kritik terselubung bahwa seharusnya mereka datang lebih awal, mengingat Sarah adalah sepupu Naura.Kritik terselubung itu sejatinya juga didasari pertimbangan lain, bahwa ketika pesta telah dimulai maka itu artinya Naura tak kan punya cukup kesempatan untuk menjalin komunikasi pribadi dengan tamu undangan dadakannya, Arch, dalam rangka mengorek keterangan darinya tentang sejauh mana kedekatan si pemuda dengan saudari sepupunya. Alasan kedua ini, meski tak dipaparkan oleh Naura, namun dipahami dengan baik oleh Sarah sejak sebelum keberangkatannya. Itulah kenapa dia memilih untuk tak berangkat lebih awal, sehingga dia akan selamat dari cercaan pertanyaan tak penting.Naura, menyambut Sarah di tengah para tamu yang mulai rama
Sarah masih merasakan kakinya gemetaran, tepat di saat Arch melanjutkan ucapannya dengan tenang, "Ayo, kita duduk di kursi restomu, Sarah."Sarah menurut patuh. Dia berjalan beriringan dengan Arch menuju salah satu kursi resto yang saat itu sedang tidak begitu ramai. Sarah terdiam, sibuk menata mentalnya sebelum menyampaikan sesuatu yang mungkin akan sulit diterima kenalan barunya itu. Sementara Arch, memesan minuman untuk dirinya dan juga sang pemilik penginapan yang ekspreksinya tampak sarat pemikiran. Pemandangan yang aneh, bagi beberapa pegawainya di bagian resto, melihat Sarah bersikap layaknya tamu yang pasif, padahal biasanya dia yang aktif memastikan segala pelayanan untuk tamu berjalan maksimal."Lihatlah Nona Sarah," celetuk salah satu pegawai. "Tidakkah dia terlihat melamun?""Kau benar," timpal yang lain. "Apa yang sedang dipikirkannya? Dan—hei, si pria bule itu menatapnya. Tidakkah kau lihat itu?
Sarah terpaku mendengar saran Meira yang sejujurnya teramat masuk akal itu. Seharusnya semuanya selesai dengan mudah tepat seperti katanya, namun ekspresi Sarah berubah kecut, setelah mengingat sekelebat bayangan bahwa asisten rumah tangga Naura, Bi Ira, sempat terlihat mengemasi beberapa pakaian di kursi ruang santai itu, yang memang dilakukan atas perintah Naura. Sarah kontan mendesah, menyesali kecerobohan dirinya yang telah melupakan gelang itu begitu saja."Bagaimana jika jaketku tadi turut diambil juga oleh Bi Ira," gumam Sarah. "Oh, bodohnya diriku! Seharusnya aku tidak melepaskan jaketku, tadi. Bagaimana kalau jaket itu turut dicuci pula?"Meira mengerutkan kening mendengar gerutu tak begitu jelas dari mulut Sarah, namun meski tak begitu jelas, Meira mampu menangkap beberapa kata yang dirasa cukup meresahkan."Jaketmu diambil Bi Ira? Jaketmu dicuci?" ulang Meira penuh selidik, yang kemudian dijawab Sarah dengan lirikan penuh rasa bersalah disertai
Meira, tanpa membuang waktu, segera menghubungi Sarah dengan mimik muka tegang lagi serius. Dia berharap, bibit masalah yang dia lihat saat ini tak benar-benar berkembang menjadi masalah. Dia yang diserahi tugas untuk mencuci jaket itu, maka barang yang ada dalam saku pakaian itu menjadi tanggung jawabnya.Namun Sarah, meskipun nomornya aktif, tak kunjung mengangkat panggilan darurat Meira. Hingga berkali-kali. Meira terus mencoba tanpa lelah, diselingi protes-protes tajam karena rasa jengkel, hingga pada percobaan yang ke lima, Evan, adik Sarah, memberinya interupsi memilukan. "Percuma Kak Meira menghubungi nomor Kak Sarah terus-terusan. Dia meninggalkan ponselnya di kamarnya. Lihatlah!"Evan menyodorkan ponsel Sarah tepat di depan Meira, yang membuat Meira bisa melihat dengan jelas dalam ekspresi kecut, panggilan dari dirinya sendiri masuk ke ponsel itu."Aku heran kenapa ada dering suara ponsel yang tak kunjung berhenti di kamar Kak Sarah,"
Sarah bergegas menuju ke dalam rumahnya, menindaklanjuti seruan nyaring adiknya untuk mengangkat telepon dari sepupunya, Naura. Sarah berjanji pada dirinya sendiri, akan segera mengembalikan gelang Arch, begitu dia selesai berbicara dengan sepupunya. Dia memasukkan kotak perhiasan itu ke kantong jaketnya sendiri, dan berjalan sedikit tergesa-gesa agar sepupunya tak perlu menunggu terlalu lama.Sepupunya sedikit menggerutu di awal percakapan itu, menyatakan kekesalannya karena Sarah tak mengangkat teleponnya yang ditujukan ke nomor pribadi Sarah, sebelumnya. Sarah menanggapinya dengan permintaan maaf tak dibuat-buat, dengan menyertakan dalih bahwa padatnya aktivitas pagi telah mengilhaminya untuk meninggalkan ponselnya begitu saja di kamarnya dalam rangka menghindari interupsi, hingga alhasil tak mengetahui jika sang sepupu menghubunginya."Lagipula yang penting sekarang kita sudah terhubung," imbuh Sarah. "Langkahmu tepat dengan beralih meng