Sarah terpaku mendengar saran Meira yang sejujurnya teramat masuk akal itu. Seharusnya semuanya selesai dengan mudah tepat seperti katanya, namun ekspresi Sarah berubah kecut, setelah mengingat sekelebat bayangan bahwa asisten rumah tangga Naura, Bi Ira, sempat terlihat mengemasi beberapa pakaian di kursi ruang santai itu, yang memang dilakukan atas perintah Naura. Sarah kontan mendesah, menyesali kecerobohan dirinya yang telah melupakan gelang itu begitu saja.
"Bagaimana jika jaketku tadi turut diambil juga oleh Bi Ira," gumam Sarah. "Oh, bodohnya diriku! Seharusnya aku tidak melepaskan jaketku, tadi. Bagaimana kalau jaket itu turut dicuci pula?"
Meira mengerutkan kening mendengar gerutu tak begitu jelas dari mulut Sarah, namun meski tak begitu jelas, Meira mampu menangkap beberapa kata yang dirasa cukup meresahkan.
"Jaketmu diambil Bi Ira? Jaketmu dicuci?" ulang Meira penuh selidik, yang kemudian dijawab Sarah dengan lirikan penuh rasa bersalah disertai anggukan lemah.
"Luar biasa!" sambar Meira sarkastis. "Bi Ira akan membuat drama ini menjadi lebih panjang. Bukankah begitu? Ah, tidak, tidak," Meira membatalkan argumennya sendiri, lalu menambahkan, "Kalaupun Bi Ira tak sengaja turut mengambil jaketmu, dia tidak mungkin mencuci jaket itu begitu saja. Dia akan mengambil kotak perhiasan kecil itu dari saku jaketmu, dan akan mengamankannya. Ah, itu pasti! Kalau begitu, kau hanya perlu kembali ke sana, dan menanyakannya pada Bi Ira, dan dia pasti akan memberitahumu. Tenanglah, kita akan selamat dari masalah."
"Ya, kau benar," timpal Sarah. "Semoga dia benar-benar mengamankannya dan tidak melupakannya."
"Maaf," sela Meira khidmat. "Meskipun aku tidak begitu mengenal asisten rumah tangga Naura, tapi aku, sekali waktu pernah bertemu dengannya, saat bertandang ke rumah Naura untuk satu keperluan atas perintahmu. Aku lupa kapan tepatnya. Tapi sepertinya, dia orang yang jujur."
"Maksudku bukan itu—tentu saja dia orang yang jujur! Sayangnya, tadi Naura sempat mengatakan dia orangnya sedikit pelupa."
"Apa?!"
Pekikan suara Meira tak cukup membuat Sarah gentar dan terkejut, karena di saat yang bersamaan, ada hal lain yang jauh lebih mengejutkannya dan lebih membuatnya gentar. Arch, tepat pada saat itu, tampak tengah berjalan mendekat pada mereka berdua, berjalan dari arah belakang Meira. Meira, yang mendapati tatapan Sarah terlihat fokus menuju satu titik di belakangnya, lalu perlahan menoleh ke belakang, dan kontan lututnya pun gemetaran. Hatinya mengatakan, tak ada alasan lain dari kedatangan Arch pada mereka berdua, selain untuk menanyakan perihal gelang itu.
Mungkin Arch sudah menyadari bahwa gelang miliknya hilang. Jika Arch lalu mencari gelang itu di saku jaketnya—yang sudah diserahkan kembali oleh Meira setengah jam yang lalu—dan tidak berhasil mendapatkannya, maka sudah sewajarnya jika dia mendatangi si tukang cuci. Refleksi suram ini berkembang di benak Meira, dan kontan membuatnya ciut. Instingnya membimbingnya untuk berjalan menuju salah satu sisi Sarah, lalu dengan gemetaran menautkan tangannya ke lengan teman sekaligus bosnya itu. "Aku pasrah padamu," bisiknya pada Sarah.
Sarah menelan ludah dengan berat. Dia menyadari sepenuh hati, bahwa perkara sederhana ini bisa menjadi pelik, mengingat tamunya itu adalah orang yang baru mengenalnya. Menjelaskan perkara ini padanya bisa disalahpahami sebagai upaya tipu-tipu. Bukan tidak mungkin, Arch bisa menyangsikan kejujuran dirinya, dan menuduhnya telah mencuri.
Sarah memejamkan matanya dengan kencang dan erat dengan pikiran bingung dalam beberapa detik. Alhasil, Meira mengambil inisiatif untuk menyapa Arch lebih dulu, karena tak kunjung mendapati rekannya bersuara, sementara Arch sudah berhenti tepat di depan mereka. "Se-se-selamat pagi, Tuan Arch," ucap Meira gagap. "A-ada apa Anda kemari?" lanjutnya.
"Em ... " nada bicara Arch terdengar mengambang, "bukankah tadi aku sudah menceritakan padamu perihal keperluanku terhadap Sarah?"
"Oh!" seru Meira terkejut namun gembira. "Soal keinginan Anda untuk meminta bantuan Sarah?" lanjutnya dengan riang, sementara Sarah terpengah dengan alis mata yang sontak terangkat. "Silakan Anda diskusikan berdua dengan Sarah kalau begitu, Tuan Arch. Aku tidak akan mengganggu kalian berdua."
Sarah memegang dan menahan tangan Meira, yang nampaknya akan segera dilepaskan dari lengannya untuk berlalu pergi, namun Meira dengan ekspresi riang—seolah baru saja mendapatkan keberuntungan terbesar dalam hidupnya—mengerlingkan mata padanya dan berkata, "Tuan Arch, akan menyampaikan padamu sesuatu yang sudah membuatnya menunggumu sejak tadi pagi. Kalian bicaralah berdua. Lagipula aku ada banyak pekerjaan."
"Banyak pekerjaan katamu?" timpal Sarah dengan mengerutkan kening.
"Iya, Bos. Pegawaimu ini memang banyak pekerjaan. Sampai jumpa lagi, nanti."
Meira, dengan langkah penuh kebahagiaan, berlalu meninggalkan Sarah yang menatap kepergiannya dengan sendu sekaligus tak terima. Pandangannya tak kunjung beralih dari Meira meski langkahnya telah semakin jauh, dan tatapan itu baru terhenti saat suara Arch mengusiknya, "What's the matter?"
"Oh," ujar Sarah dengan spontan, dengan sedikit nada terkejut akibat suara yang mendadak, lalu mengalihkan pandang dengan menunduk, dan mengusapkan sebagian jari tangan ke keningnya. Semua gestur itu semakin menampakkan kegelisahan yang mewarnai pikirannya, dan Arch mendeham dengan saksama untuk memberinya interupsi.
"Ada apa denganmu?" tanya Arch.
"Aku?" timpal Sarah sedikit gugup. "Aku tidak papa. Em, bagaimana dengan istirahatmu semalam? Kuharap kau mendapatkan tidur yang nyenyak."
Arch tersenyum. Tak pelak senyum itu membuat Sarah ikut tersenyum pula dengan sedikit desah nafas lega, mengurangi intensitas kecemasan dalam dirinya. "Nyenyak, Sarah. Sangat nyenyak," jawabnya. "Terima kasih. Aku sangat menghargai bantuanmu semalam."
"Kau sudah mengatakan itu sebelumnya. Tidak perlu kau ulang lagi."
"Tapi itu sangat berarti buatku," sanggah Arch. "Pertolonganmu itu tepat di saat yang tepat."
"Sudahlah, Arch. Kau membuatku malu. Kau menginap dengan membayar uang sewa. Jadi kita sebenarnya saling menguntungkan. Dan—em, apakah setelah ini kau akan langsung meninggalkan penginapan?"
Arch sejenak memandang Sarah dengan ekspresi tak terbaca, sebelum kemudian tersenyum tipis. Dia kemudian berkata, "Untuk liburanku kali ini, aku sudah menyewa aparteman pribadi milik teman dekatku sendiri, Sarah. Tapi aku bisa saja tinggal di penginapan ini untuk beberapa hari ke depan, karena aku mendadak terpikirkan ide baru." Sorot mata Arch terlihat berbinar, sementara Sarah sontak mengangkat alisnya, merasa terkejut sekaligus penasaran. "Aku," lanjut Arch, "punya sedikit tawaran untukmu."
"Tawaran?" Sarah mengerutkan kening. Arch kembali menganggukkan kepala dengan khidmat, dan kemudian mulai menyampaikan maksudnya.
"Bagaimana," ucap Arch, "kalau kau menjadi pemandu wisataku selama seminggu ke depan?" Sarah terperangah. Bola matanya melebar, dan mencoba meminta Arch menjelaskan kembali maksudnya.
"Aku? Menjadi pemandu wisatamu?"
"Ya," Arch mengiakan. "Kau—semoga kau tak keberatan, dan tolong jangan salah paham—akan menemaniku jalan-jalan di beberapa tempat wisata selama seminggu, dan aku akan membayar jasamu untuk itu. Anggaplah ini seperti permintaan seorang teman. Atau mungkin ... pelayanan tambahan untuk tamumu ini."
"Tapi—kenapa mendadak kau menginginkan rencana liburan seperti itu?" sela Sarah.
Arch menggelengkan kepalanya sebelum menjawab lugas, "Entahlah." Dengan senyum tipisnya dia melanjutkan, "Sebenarnya aku sudah terbiasa berwisata solo. Kadang aku mengajak satu atau dua orang temanku, tapi jarang berada dalam rombongan yang besar. Aku punya alasanku sendiri—tapi itu tidak terlalu penting untuk dibahas. Singkatnya, Sarah, entah karena alasan apa, aku ingin ada orang yang menemaniku dalam liburanku kali ini. Dan kurasa, kaulah orang yang tepat."
Ekspresi tak jelas mengambang di wajah Sarah, seiring dengan ucapannya yang tersendat, "Tapi aku—"
Suasana hening dalam beberapa detik, dan Arch diam menunggu jawaban Sarah. "Sebenarnya, Arch, ada beberapa orang pemandu wisata yang menjalin kerja sama dengan penginapan kami. Dan kau bisa menyewa jasa mereka."
Roman muka Arch seketika tampak kecewa. Semangatnya seolah turun. Pemuda itu menarik nafas panjang, dan Sarah seketika itu pula menyesal telah menyampaikan kata-kata yang mungkin tak menyenangkan di telinga tamunya itu. "Tapi ... " ralat Sarah, "aku ... aku tak keberatan jika kau memang ingin meminta bantuanku, Arch."
"Ah," desah Arch dengan binar mata lega. "Aku suka jawaban ini, Sarah."
"Tapi bolehkah aku tahu," sela Sarah dengan kalem, "kenapa kau bersikeras ingin aku yang menemanimu?"
"Karena aku percaya padamu."
"Kau percaya padaku?" ulang Sarah.
"Ya. Bahkan aku juga percaya jika kau bisa membantuku mengurus satu urusan yang lain." Arch kini terlihat menunjukkan ekspresi sarat pertimbangan, dan Sarah menaikkan alis matanya penuh tanya. Gadis itu diam sesaat sembari menunggu ucapan Arch selanjutnya.
"Aku," lanjut Arch, "kehilangan sebuah benda, Sarah, dan kurasa aku kehilangan benda itu saat berada di penginapan ini. Jangan salah paham, aku tidak menyalahkan siapapun. Tapi kalau kau bisa membantuku, aku akan lebih berterima kasih lagi padamu."
Sarah terperanjat. Jantungnya berdetak kencang. Kepalanya mendadak pening. Seketika gadis itu menjadi kuyu karena menyadari bahwa inilah saat baginya untuk memberikan sebuah penjelasan yang mungkin akan sedikit merepotkan.
***Sarah masih merasakan kakinya gemetaran, tepat di saat Arch melanjutkan ucapannya dengan tenang, "Ayo, kita duduk di kursi restomu, Sarah."Sarah menurut patuh. Dia berjalan beriringan dengan Arch menuju salah satu kursi resto yang saat itu sedang tidak begitu ramai. Sarah terdiam, sibuk menata mentalnya sebelum menyampaikan sesuatu yang mungkin akan sulit diterima kenalan barunya itu. Sementara Arch, memesan minuman untuk dirinya dan juga sang pemilik penginapan yang ekspreksinya tampak sarat pemikiran. Pemandangan yang aneh, bagi beberapa pegawainya di bagian resto, melihat Sarah bersikap layaknya tamu yang pasif, padahal biasanya dia yang aktif memastikan segala pelayanan untuk tamu berjalan maksimal."Lihatlah Nona Sarah," celetuk salah satu pegawai. "Tidakkah dia terlihat melamun?""Kau benar," timpal yang lain. "Apa yang sedang dipikirkannya? Dan—hei, si pria bule itu menatapnya. Tidakkah kau lihat itu?
Saat yang dinanti tiba. Hari telah memasuki waktu malam, dan keramaian di pesta pertunangan Naura telah mulai terasa. Arch, dan Sarah, telah sampai di lokasi pesta tanpa terlambat, meski Naura sempat menyatakan kritik terselubung bahwa seharusnya mereka datang lebih awal, mengingat Sarah adalah sepupu Naura.Kritik terselubung itu sejatinya juga didasari pertimbangan lain, bahwa ketika pesta telah dimulai maka itu artinya Naura tak kan punya cukup kesempatan untuk menjalin komunikasi pribadi dengan tamu undangan dadakannya, Arch, dalam rangka mengorek keterangan darinya tentang sejauh mana kedekatan si pemuda dengan saudari sepupunya. Alasan kedua ini, meski tak dipaparkan oleh Naura, namun dipahami dengan baik oleh Sarah sejak sebelum keberangkatannya. Itulah kenapa dia memilih untuk tak berangkat lebih awal, sehingga dia akan selamat dari cercaan pertanyaan tak penting.Naura, menyambut Sarah di tengah para tamu yang mulai rama
Sarah, tak terlihat tertarik untuk menanggapi perhatian khusus Ben, dan, setelah sempat menjawab sapaan teman-teman Naura dengan ramah, dia menambahkan dalam ucapannya, "Naura benar! Kalian masuklah ke ruangan pesta, dan nikmatilah pesta ini! Naura sudah mempersiapkan pesta yang meriah untuk kalian!" Sembari melepas senyum formal pada sekawanan teman Naura itu, Sarah melepas kode pada Naura dengan kerlingan mata dan ujung alis kanan yang terangkat, agar Naura memberinya waktu untuk mencari gelang Arch. Naura pun memahami isyarat itu dengan sangat baik, dan segera mengajak teman-temannya masuk ke ruangan pesta, meninggalkan taman. Semua orang dalam rombongan itu bersikap patuh pada sang pemilik acara dan mereka tenggelam dalam tawa dan suka cita saat berjalan meninggalkan taman itu. Namun, satu orang tersisa, dan dia terlihat tak sedikitpun berminat untuk mengikuti jejak teman-temannya meninggalkan taman. Sarah beradu pandang untuk sesaat dengan pemuda yang tersisa itu, lalu beruja
Sarah terperanjat. Keterkejutannya yang besar membuatnya hanya mampu mengeluarkan satu kata saja, menyebut nama pria yang dia tabrak, "Arch?"Arch tersenyum. "Iya, ini memang aku. Aku mencarimu dari tadi, tapi tidak berhasil menemukanmu. Untungnya sepupumu memberitahuku bahwa kau mungkin ada di sini.""Se-pupuku?" ucap Sarah terbata, lebih karena spontan berkata, tanpa berpikir. Bayangan tentang perhiasan Arch yang kini kembali hilang, membuatnya merasa tak siap bertemu tamu penginapannya itu."Iya, Sarah. Naura yang memberitahuku. Ada apa denganmu? Kau terlihat tidak baik-baik saja.""Aku?" ucap Sarah, kembali dengan nada kosong."Kelihatannya memang telah terjadi sesuatu," gumam Arch. "Kenapa kau memegangi tangan kananmu?" Arch meraih tangan kanan Sarah dan melihatnya."Oh, aku—" ucap Sarah tersendat sembari menarik tangannya, "aku t
Naura melanjutkan ucapannya, di tengah rasa senangnya mengetahui kabar membahagiakan Arch dan Sarah, "Aku kemari, bermaksud untuk mengajak kalian masuk ke ruangan pesta. Aku dan Eric akan memulai acara inti kami.""Waw, itu menyenangkan! Selamat, Sayangku!" Sarah menghambur pada Naura dan menghadiahinya pelukan erat, dan untuk sejenak ekspreksi Naura berubah haru. Arch tersenyum memperhatikannya, sementara Ben tampak tak fokus. Pikiran Ben masih tertuju pada kabar mengejutkan perihal status Sarah dan Arch, yang menurutnya terkesan ganjil dan aneh. Pikiran kritisnya membisikinya untuk tak serta merta percaya dengan pengumuman meresahkan itu."Jangan sekarang," kata Naura kemudian, sembari melepaskan pelukannya. "Detik ini kami masih belum bertunangan.""Akan segera," timpal Sarah, "dasar kau ini! Aku tidak akan punya kesempatan untuk menyelamatimu nanti, karena pasti tamu undanganmu yang berjubel itu tak kan mau memberiku
Ben, menuruti kata hatinya, benar-benar berjalan menuju Arch dan Sarah yang tampak tengah asyik berbincang. Sarah agak gugup awalnya saat melihat kedatangannya, namun Arch meyakinkannya untuk bersikap tenang, atau Ben akan mencurigai mereka."Hai, Sarah," ucap Ben, yang kemudian dengan malas mengalihkan pandang sejenak pada Arch, lalu melanjutkannya, "hai, Arch." Ben mendeham, sekali saja, lalu kembali berkata, "Sarah, aku turut senang dengan hubungan kalian. Ini ... benar kata Naura, adalah kabar baik! Aku ragu sebenarnya, memikirkan kapan sebenarnya kalian jadian, karena beberapa hari lalu kudengar dari Naura, kau masih belum punya kekasih—tapi baiklah! Mari kita lupakan saja itu."Sarah merasakan jantungnya berdebar sedikit lebih kencang mendengar analisa singkat Ben, namun di saat yang bersamaan, dia melihat Arch justru tengah berjuang menahan senyum geli."Sarah," lanjut Ben, "bagaimana kalau
Ekspresi lelah membayang di wajah seorang pria bule jangkung berbola mata biru dengan garis wajah tegas mengesankan, yang lalu dengan serta merta disambut dengan keramahan bercampur kantuk oleh Sarah, "Selamat malam, Tuan. Selamat datang di penginapan kami." Anggukan kepala takzim Sarah membersamai keluarnya suara dari mulutnya yang meski diucapkan dengan sedikit sisa kesadaran akibat dominasi rasa kantuk, namun masih terdengar nyaring.Tidak ada jawaban. Pria itu memandang dengan sigap ke arah Sarah begitu pertanyaan ditujukan kepadanya, namun tak memberikan kejelasan apapun selain binar mata yang terperangah. Sarah, yang kemudian teringat bahwa lawan bicaranya itu adalah orang asing, lantas bermaksud membenahi ucapannya, "Good eve—""Selamat malam. Terima kasih. Saya bahkan tidak sadar bahwa ini adalah penginapan.""Oh," suara bernada sedikit terkejut terlontar dari lisan Sarah, dan segera dia pun sadar, bahwa po
Sarah bergegas menuju ke dalam rumahnya, menindaklanjuti seruan nyaring adiknya untuk mengangkat telepon dari sepupunya, Naura. Sarah berjanji pada dirinya sendiri, akan segera mengembalikan gelang Arch, begitu dia selesai berbicara dengan sepupunya. Dia memasukkan kotak perhiasan itu ke kantong jaketnya sendiri, dan berjalan sedikit tergesa-gesa agar sepupunya tak perlu menunggu terlalu lama.Sepupunya sedikit menggerutu di awal percakapan itu, menyatakan kekesalannya karena Sarah tak mengangkat teleponnya yang ditujukan ke nomor pribadi Sarah, sebelumnya. Sarah menanggapinya dengan permintaan maaf tak dibuat-buat, dengan menyertakan dalih bahwa padatnya aktivitas pagi telah mengilhaminya untuk meninggalkan ponselnya begitu saja di kamarnya dalam rangka menghindari interupsi, hingga alhasil tak mengetahui jika sang sepupu menghubunginya."Lagipula yang penting sekarang kita sudah terhubung," imbuh Sarah. "Langkahmu tepat dengan beralih meng
Ben, menuruti kata hatinya, benar-benar berjalan menuju Arch dan Sarah yang tampak tengah asyik berbincang. Sarah agak gugup awalnya saat melihat kedatangannya, namun Arch meyakinkannya untuk bersikap tenang, atau Ben akan mencurigai mereka."Hai, Sarah," ucap Ben, yang kemudian dengan malas mengalihkan pandang sejenak pada Arch, lalu melanjutkannya, "hai, Arch." Ben mendeham, sekali saja, lalu kembali berkata, "Sarah, aku turut senang dengan hubungan kalian. Ini ... benar kata Naura, adalah kabar baik! Aku ragu sebenarnya, memikirkan kapan sebenarnya kalian jadian, karena beberapa hari lalu kudengar dari Naura, kau masih belum punya kekasih—tapi baiklah! Mari kita lupakan saja itu."Sarah merasakan jantungnya berdebar sedikit lebih kencang mendengar analisa singkat Ben, namun di saat yang bersamaan, dia melihat Arch justru tengah berjuang menahan senyum geli."Sarah," lanjut Ben, "bagaimana kalau
Naura melanjutkan ucapannya, di tengah rasa senangnya mengetahui kabar membahagiakan Arch dan Sarah, "Aku kemari, bermaksud untuk mengajak kalian masuk ke ruangan pesta. Aku dan Eric akan memulai acara inti kami.""Waw, itu menyenangkan! Selamat, Sayangku!" Sarah menghambur pada Naura dan menghadiahinya pelukan erat, dan untuk sejenak ekspreksi Naura berubah haru. Arch tersenyum memperhatikannya, sementara Ben tampak tak fokus. Pikiran Ben masih tertuju pada kabar mengejutkan perihal status Sarah dan Arch, yang menurutnya terkesan ganjil dan aneh. Pikiran kritisnya membisikinya untuk tak serta merta percaya dengan pengumuman meresahkan itu."Jangan sekarang," kata Naura kemudian, sembari melepaskan pelukannya. "Detik ini kami masih belum bertunangan.""Akan segera," timpal Sarah, "dasar kau ini! Aku tidak akan punya kesempatan untuk menyelamatimu nanti, karena pasti tamu undanganmu yang berjubel itu tak kan mau memberiku
Sarah terperanjat. Keterkejutannya yang besar membuatnya hanya mampu mengeluarkan satu kata saja, menyebut nama pria yang dia tabrak, "Arch?"Arch tersenyum. "Iya, ini memang aku. Aku mencarimu dari tadi, tapi tidak berhasil menemukanmu. Untungnya sepupumu memberitahuku bahwa kau mungkin ada di sini.""Se-pupuku?" ucap Sarah terbata, lebih karena spontan berkata, tanpa berpikir. Bayangan tentang perhiasan Arch yang kini kembali hilang, membuatnya merasa tak siap bertemu tamu penginapannya itu."Iya, Sarah. Naura yang memberitahuku. Ada apa denganmu? Kau terlihat tidak baik-baik saja.""Aku?" ucap Sarah, kembali dengan nada kosong."Kelihatannya memang telah terjadi sesuatu," gumam Arch. "Kenapa kau memegangi tangan kananmu?" Arch meraih tangan kanan Sarah dan melihatnya."Oh, aku—" ucap Sarah tersendat sembari menarik tangannya, "aku t
Sarah, tak terlihat tertarik untuk menanggapi perhatian khusus Ben, dan, setelah sempat menjawab sapaan teman-teman Naura dengan ramah, dia menambahkan dalam ucapannya, "Naura benar! Kalian masuklah ke ruangan pesta, dan nikmatilah pesta ini! Naura sudah mempersiapkan pesta yang meriah untuk kalian!" Sembari melepas senyum formal pada sekawanan teman Naura itu, Sarah melepas kode pada Naura dengan kerlingan mata dan ujung alis kanan yang terangkat, agar Naura memberinya waktu untuk mencari gelang Arch. Naura pun memahami isyarat itu dengan sangat baik, dan segera mengajak teman-temannya masuk ke ruangan pesta, meninggalkan taman. Semua orang dalam rombongan itu bersikap patuh pada sang pemilik acara dan mereka tenggelam dalam tawa dan suka cita saat berjalan meninggalkan taman itu. Namun, satu orang tersisa, dan dia terlihat tak sedikitpun berminat untuk mengikuti jejak teman-temannya meninggalkan taman. Sarah beradu pandang untuk sesaat dengan pemuda yang tersisa itu, lalu beruja
Saat yang dinanti tiba. Hari telah memasuki waktu malam, dan keramaian di pesta pertunangan Naura telah mulai terasa. Arch, dan Sarah, telah sampai di lokasi pesta tanpa terlambat, meski Naura sempat menyatakan kritik terselubung bahwa seharusnya mereka datang lebih awal, mengingat Sarah adalah sepupu Naura.Kritik terselubung itu sejatinya juga didasari pertimbangan lain, bahwa ketika pesta telah dimulai maka itu artinya Naura tak kan punya cukup kesempatan untuk menjalin komunikasi pribadi dengan tamu undangan dadakannya, Arch, dalam rangka mengorek keterangan darinya tentang sejauh mana kedekatan si pemuda dengan saudari sepupunya. Alasan kedua ini, meski tak dipaparkan oleh Naura, namun dipahami dengan baik oleh Sarah sejak sebelum keberangkatannya. Itulah kenapa dia memilih untuk tak berangkat lebih awal, sehingga dia akan selamat dari cercaan pertanyaan tak penting.Naura, menyambut Sarah di tengah para tamu yang mulai rama
Sarah masih merasakan kakinya gemetaran, tepat di saat Arch melanjutkan ucapannya dengan tenang, "Ayo, kita duduk di kursi restomu, Sarah."Sarah menurut patuh. Dia berjalan beriringan dengan Arch menuju salah satu kursi resto yang saat itu sedang tidak begitu ramai. Sarah terdiam, sibuk menata mentalnya sebelum menyampaikan sesuatu yang mungkin akan sulit diterima kenalan barunya itu. Sementara Arch, memesan minuman untuk dirinya dan juga sang pemilik penginapan yang ekspreksinya tampak sarat pemikiran. Pemandangan yang aneh, bagi beberapa pegawainya di bagian resto, melihat Sarah bersikap layaknya tamu yang pasif, padahal biasanya dia yang aktif memastikan segala pelayanan untuk tamu berjalan maksimal."Lihatlah Nona Sarah," celetuk salah satu pegawai. "Tidakkah dia terlihat melamun?""Kau benar," timpal yang lain. "Apa yang sedang dipikirkannya? Dan—hei, si pria bule itu menatapnya. Tidakkah kau lihat itu?
Sarah terpaku mendengar saran Meira yang sejujurnya teramat masuk akal itu. Seharusnya semuanya selesai dengan mudah tepat seperti katanya, namun ekspresi Sarah berubah kecut, setelah mengingat sekelebat bayangan bahwa asisten rumah tangga Naura, Bi Ira, sempat terlihat mengemasi beberapa pakaian di kursi ruang santai itu, yang memang dilakukan atas perintah Naura. Sarah kontan mendesah, menyesali kecerobohan dirinya yang telah melupakan gelang itu begitu saja."Bagaimana jika jaketku tadi turut diambil juga oleh Bi Ira," gumam Sarah. "Oh, bodohnya diriku! Seharusnya aku tidak melepaskan jaketku, tadi. Bagaimana kalau jaket itu turut dicuci pula?"Meira mengerutkan kening mendengar gerutu tak begitu jelas dari mulut Sarah, namun meski tak begitu jelas, Meira mampu menangkap beberapa kata yang dirasa cukup meresahkan."Jaketmu diambil Bi Ira? Jaketmu dicuci?" ulang Meira penuh selidik, yang kemudian dijawab Sarah dengan lirikan penuh rasa bersalah disertai
Meira, tanpa membuang waktu, segera menghubungi Sarah dengan mimik muka tegang lagi serius. Dia berharap, bibit masalah yang dia lihat saat ini tak benar-benar berkembang menjadi masalah. Dia yang diserahi tugas untuk mencuci jaket itu, maka barang yang ada dalam saku pakaian itu menjadi tanggung jawabnya.Namun Sarah, meskipun nomornya aktif, tak kunjung mengangkat panggilan darurat Meira. Hingga berkali-kali. Meira terus mencoba tanpa lelah, diselingi protes-protes tajam karena rasa jengkel, hingga pada percobaan yang ke lima, Evan, adik Sarah, memberinya interupsi memilukan. "Percuma Kak Meira menghubungi nomor Kak Sarah terus-terusan. Dia meninggalkan ponselnya di kamarnya. Lihatlah!"Evan menyodorkan ponsel Sarah tepat di depan Meira, yang membuat Meira bisa melihat dengan jelas dalam ekspresi kecut, panggilan dari dirinya sendiri masuk ke ponsel itu."Aku heran kenapa ada dering suara ponsel yang tak kunjung berhenti di kamar Kak Sarah,"
Sarah bergegas menuju ke dalam rumahnya, menindaklanjuti seruan nyaring adiknya untuk mengangkat telepon dari sepupunya, Naura. Sarah berjanji pada dirinya sendiri, akan segera mengembalikan gelang Arch, begitu dia selesai berbicara dengan sepupunya. Dia memasukkan kotak perhiasan itu ke kantong jaketnya sendiri, dan berjalan sedikit tergesa-gesa agar sepupunya tak perlu menunggu terlalu lama.Sepupunya sedikit menggerutu di awal percakapan itu, menyatakan kekesalannya karena Sarah tak mengangkat teleponnya yang ditujukan ke nomor pribadi Sarah, sebelumnya. Sarah menanggapinya dengan permintaan maaf tak dibuat-buat, dengan menyertakan dalih bahwa padatnya aktivitas pagi telah mengilhaminya untuk meninggalkan ponselnya begitu saja di kamarnya dalam rangka menghindari interupsi, hingga alhasil tak mengetahui jika sang sepupu menghubunginya."Lagipula yang penting sekarang kita sudah terhubung," imbuh Sarah. "Langkahmu tepat dengan beralih meng