Saat yang dinanti tiba. Hari telah memasuki waktu malam, dan keramaian di pesta pertunangan Naura telah mulai terasa. Arch, dan Sarah, telah sampai di lokasi pesta tanpa terlambat, meski Naura sempat menyatakan kritik terselubung bahwa seharusnya mereka datang lebih awal, mengingat Sarah adalah sepupu Naura.
Kritik terselubung itu sejatinya juga didasari pertimbangan lain, bahwa ketika pesta telah dimulai maka itu artinya Naura tak kan punya cukup kesempatan untuk menjalin komunikasi pribadi dengan tamu undangan dadakannya, Arch, dalam rangka mengorek keterangan darinya tentang sejauh mana kedekatan si pemuda dengan saudari sepupunya. Alasan kedua ini, meski tak dipaparkan oleh Naura, namun dipahami dengan baik oleh Sarah sejak sebelum keberangkatannya. Itulah kenapa dia memilih untuk tak berangkat lebih awal, sehingga dia akan selamat dari cercaan pertanyaan tak penting.
Naura, menyambut Sarah di tengah para tamu yang mulai ramai berdatangan, dan dia berbisik pelan ke telinga Sarah, "Bagus, kupikir sepupuku yang perhatian akan datang lebih awal dari yang lain tapi rupanya tidak. Sekarang kita tidak punya banyak waktu lagi untuk mengobrol. Sambutlah teman-teman Eric di sebelah sana. Aku akan mengambilkan gelang milik—ah, dimana Arch?"
"Entahlah," jawab Sarah yang juga terlihat bingung mencari Arch. Namun saat beberapa detik kemudian melihat posisi keberadaan si pemuda, dia lantas berujar, "Ah, itu dia!" sambil mengarahkan jari telunjuknya tepat ke arah Arch.
Naura tertawa. "Rupanya rombongan gadis-gadis genit sudah merebutnya darimu. Haha! Mereka adalah sebagian kecil dari teman-teman SMA-ku. Mereka memang tak tahu malu sejak dulu. Ah, ya Tuhan! Kasihan Arch! Lihatlah! Dia terlihat tak berminat, tapi kesulitan untuk pergi."
"Sudahlah. Mereka pasti melakukannya karena mengira Arch temanmu. Ah, sekarang dimana teman-teman Eric? Oh, itu mereka! Aku akan ke sana," Sarah berkata lalu berjalan menuju ke segerombolan muda-mudi yang merupakan rekan-rekan Eric, yang semuanya mengenal Sarah dengan baik. Mereka adalah muda-mudi yang terlibat dalam liburan ke Bali lebih dari empat tahun lalu, yang kemudian terus menjalin persahabatan dengan Sarah dan Naura hingga kini. Ada banyak rekan-rekan Eric yang lain, tapi rombongan ini menjadi prioritas Sarah saat ini.
Di kesempatan yang sama, Naura masuk ke dalam kamarnya guna mengambil kotak perhiasan kecil berisi gelang milik Arch, dan membawa kotak itu di tangannya ketika dia keluar dari kamar. Naura baru sampai di dekat sebuah meja di taman, namun salah asisten rumah tangganya menghentikannya. "Nona," ucapnya, "Nona meninggalkan ponsel Nona di dapur."
"Oh, astaga!"
"Ada yang menelepon Nona berulang kali. Cobalah Nona angkat."
"Baik, Bi. Terima kasih," kata Naura sembari meletakkan kotak perhiasan kecil itu di meja taman, lalu menerima ponsel dari tangan si Bibi dan berlalu meninggalkan tempat itu sembari sibuk berbincang dengan si penelepon. Kabar yang rupanya disampaikan oleh si penelepon—yang adalah salah satu teman kuliah Naura—adalah bahwa si penelepon tidak bisa hadir di acara pertunangan Naura, dan untuk itu dia minta maaf. Permintaan maaf diterima, dan Naura lalu kembali masuk ke kamarnya untuk menyimpan ponselnya dengan baik di sana.
Disambut dengan panggilan 'sayang' oleh sang tunangan, Naura lalu membaur bersama para tamu, menenggelamkan diri di tengah hiruk-pikuk para undangan. Tepat di saat itu, Sarah yang melihat Naura tertawa-tawa riang gembira bersama teman-temannya tanpa membawa apapun di tangannya, dengan cepat menyimpulkan bahwa sepupunya itu telah melupakan si kotak perhiasan yang malang. Sarah berpikir, sang sepupu mungkin belum mengambilnya, atau mungkin dia meninggalkannya di suatu tempat. Kemungkinan kedua terasa menakutkan bagi Sarah, hingga membuatnya akhirnya dengan terpaksa menginterupsi keasyikan sang sepupu bersama para tamu dengan berkata, "Naura, kau terlihat luar biasa. Tapi Sayangku, kita perlu bicara sebentar. Eric, maaf, aku harus meminjam calon tunanganmu sebentar."
"Oh, astaga!" pekik Naura lemah, yang kemudian disambut dengan senyum permintaan maaf. "Gelang itu, Sarah. Aku melupakannya. Aku minta maaf."
Dibarengi dengan anggukan kepala penuh senyum dari Eric, Naura kemudian undur diri sejenak bersama Sarah, untuk mengambil si perhiasan. "Aku tadi lupa meninggalkan kotak perhiasan itu di meja taman. Iya. Aku ingat. Di meja taman," ucap Naura sembari berjalan, ketika mereka sampai di lorong menuju taman.
"Ya Tuhan! Semoga perhiasan itu tidak hilang lagi," sahut Sarah. "Entah kenapa, gelang itu seolah seperti belut yang licin. Dia seolah melupakan pemiliknya dan tidak mau kembali."
Naura tertawa mendengar perumpamaan yang dikatakan Sarah. Dengan sedikit menyesal, dia meningkahi, "Maaf, maaf, yang terakhir ini murni keteledoranku. Aku tadi harus mengangkat telepon dari temanku, dan alhasil melupakannya."
"Itu persis seperti yang terjadi padaku, tadi pagi. Aku melupakan gelang itu, karena harus mengangkat telepon darimu," timpal Sarah yang membuat tawa Naura semakin lepas. "Kau tahu?" lanjut Sarah, "Bahkan Arch sendiri juga melupakan gelang itu, dengan membiarkannya bertahan di kantong jaketnya yang dia serahkan pada Meira untuk dicuci. Sungguh malang nasib gelang itu! Seperti kata Arch, gelang itu dilupakan dan diabaikan oleh banyak orang!"
"Haha! Lucu benar kau ini! Tapi, ya ampun," sela Naura masih dengan sisa tawanya, "aku melupakan Arch. Ngomong-ngomong di mana dia sekarang?"
Sarah mendadak berhenti dari langkahnya, yang diikuti pula oleh Naura, dan dengan ekspresi sedikit berpikir Sarah berkata, "Aku tidak tahu." Sarah mendesah. "Aku tadi sempat mencoba mencarinya tapi dia tidak terlihat dalam jarak pandangku. Tapi kesibukanku menyambut tamumu lalu membuatku melupakannya. Ah, sudahlah! Dia tidak akan pergi meninggalkan pesta ini tanpa aku, dan setelah ini aku akan mencarinya lagi dengan membawa gelang itu."
"Kalau begitu, ayo!" timpal Naura. "Aku meninggalkannya di taman, di mana orang lain bisa bebas keluar masuk area itu. Jangan sampai orang iseng mengambilnya lebih dulu."
"Ah, jangan sampai!"
Dengan tergesa-gesa, Sarah dan Naura menyelesaikan langkah-langkah mereka menuju taman, dan tepat ketika mereka mulai memasuki area taman, mereka berhenti sesaat karena melihat beberapa orang tengah berdiri di tepi taman. Salah seorang dari mereka langsung menyapa tanpa sungkan, begitu melihat kedatangan duo gadis itu, "Hei, Naura, sahabatku yang akan segera bertunangan!" serunya sembari mendekat ke arah Sarah dan Naura. "Pestamu sungguh meriah. Selamat atas pertunanganmu!" lanjutnya kemudian. Saat ini orang itu telah sampai di depan Naura. Pandangannya lalu bergeser penuh makna pada Sarah, dan dia berujar tenang, "Hai, Sarah."
Naura tersenyum jahil. Diliriknya Sarah yang tersenyum masam, lalu Naura berujar, "Terima kasih, Ben, atas kedatanganmu. Aku tidak tahu kenapa kau dan beberapa teman—ah, hai!" Naura melambaikan tangan pada empat orang yang tersisa dari rombongan Ben, yang kemudian membuat keempat orang itu mendekat ke arahnya. "Aku tidak mengerti kenapa kalian malah berdiam diri di taman. Seharusnya kalian berada di ruang pesta."
"Maafkan kami, Naura," timpal salah satu dari mereka dengan tawa, "tadi kami hanya berniat mencari udara segar sejenak sembari ngobrol ringan di antara kami. Baiklah. Ayo, Ben, kita masuk ke ruangan pesta! Naura, kau sungguh hebat! Pestamu sangat meriah.
"Ah, terima kasih!" sahut Naura, yang dalam sekali lirik saja, langsung bisa melihat bahwa tatapan Ben begitu fokus tertuju pada Sarah. Naura pun memberikan interupsi, "Em—tidakkah sebaiknya kita masuk ke ruangan pesta sekarang? Kalian—bukankah kalian juga merindukan teman-teman lama kita yang lain? Aku baru saja melihat, rombongan mereka yang baru datang dari luar kota. Ayo sekarang kita bergabung dengan mereka!"
***
Sarah, tak terlihat tertarik untuk menanggapi perhatian khusus Ben, dan, setelah sempat menjawab sapaan teman-teman Naura dengan ramah, dia menambahkan dalam ucapannya, "Naura benar! Kalian masuklah ke ruangan pesta, dan nikmatilah pesta ini! Naura sudah mempersiapkan pesta yang meriah untuk kalian!" Sembari melepas senyum formal pada sekawanan teman Naura itu, Sarah melepas kode pada Naura dengan kerlingan mata dan ujung alis kanan yang terangkat, agar Naura memberinya waktu untuk mencari gelang Arch. Naura pun memahami isyarat itu dengan sangat baik, dan segera mengajak teman-temannya masuk ke ruangan pesta, meninggalkan taman. Semua orang dalam rombongan itu bersikap patuh pada sang pemilik acara dan mereka tenggelam dalam tawa dan suka cita saat berjalan meninggalkan taman itu. Namun, satu orang tersisa, dan dia terlihat tak sedikitpun berminat untuk mengikuti jejak teman-temannya meninggalkan taman. Sarah beradu pandang untuk sesaat dengan pemuda yang tersisa itu, lalu beruja
Sarah terperanjat. Keterkejutannya yang besar membuatnya hanya mampu mengeluarkan satu kata saja, menyebut nama pria yang dia tabrak, "Arch?"Arch tersenyum. "Iya, ini memang aku. Aku mencarimu dari tadi, tapi tidak berhasil menemukanmu. Untungnya sepupumu memberitahuku bahwa kau mungkin ada di sini.""Se-pupuku?" ucap Sarah terbata, lebih karena spontan berkata, tanpa berpikir. Bayangan tentang perhiasan Arch yang kini kembali hilang, membuatnya merasa tak siap bertemu tamu penginapannya itu."Iya, Sarah. Naura yang memberitahuku. Ada apa denganmu? Kau terlihat tidak baik-baik saja.""Aku?" ucap Sarah, kembali dengan nada kosong."Kelihatannya memang telah terjadi sesuatu," gumam Arch. "Kenapa kau memegangi tangan kananmu?" Arch meraih tangan kanan Sarah dan melihatnya."Oh, aku—" ucap Sarah tersendat sembari menarik tangannya, "aku t
Naura melanjutkan ucapannya, di tengah rasa senangnya mengetahui kabar membahagiakan Arch dan Sarah, "Aku kemari, bermaksud untuk mengajak kalian masuk ke ruangan pesta. Aku dan Eric akan memulai acara inti kami.""Waw, itu menyenangkan! Selamat, Sayangku!" Sarah menghambur pada Naura dan menghadiahinya pelukan erat, dan untuk sejenak ekspreksi Naura berubah haru. Arch tersenyum memperhatikannya, sementara Ben tampak tak fokus. Pikiran Ben masih tertuju pada kabar mengejutkan perihal status Sarah dan Arch, yang menurutnya terkesan ganjil dan aneh. Pikiran kritisnya membisikinya untuk tak serta merta percaya dengan pengumuman meresahkan itu."Jangan sekarang," kata Naura kemudian, sembari melepaskan pelukannya. "Detik ini kami masih belum bertunangan.""Akan segera," timpal Sarah, "dasar kau ini! Aku tidak akan punya kesempatan untuk menyelamatimu nanti, karena pasti tamu undanganmu yang berjubel itu tak kan mau memberiku
Ben, menuruti kata hatinya, benar-benar berjalan menuju Arch dan Sarah yang tampak tengah asyik berbincang. Sarah agak gugup awalnya saat melihat kedatangannya, namun Arch meyakinkannya untuk bersikap tenang, atau Ben akan mencurigai mereka."Hai, Sarah," ucap Ben, yang kemudian dengan malas mengalihkan pandang sejenak pada Arch, lalu melanjutkannya, "hai, Arch." Ben mendeham, sekali saja, lalu kembali berkata, "Sarah, aku turut senang dengan hubungan kalian. Ini ... benar kata Naura, adalah kabar baik! Aku ragu sebenarnya, memikirkan kapan sebenarnya kalian jadian, karena beberapa hari lalu kudengar dari Naura, kau masih belum punya kekasih—tapi baiklah! Mari kita lupakan saja itu."Sarah merasakan jantungnya berdebar sedikit lebih kencang mendengar analisa singkat Ben, namun di saat yang bersamaan, dia melihat Arch justru tengah berjuang menahan senyum geli."Sarah," lanjut Ben, "bagaimana kalau
Ekspresi lelah membayang di wajah seorang pria bule jangkung berbola mata biru dengan garis wajah tegas mengesankan, yang lalu dengan serta merta disambut dengan keramahan bercampur kantuk oleh Sarah, "Selamat malam, Tuan. Selamat datang di penginapan kami." Anggukan kepala takzim Sarah membersamai keluarnya suara dari mulutnya yang meski diucapkan dengan sedikit sisa kesadaran akibat dominasi rasa kantuk, namun masih terdengar nyaring.Tidak ada jawaban. Pria itu memandang dengan sigap ke arah Sarah begitu pertanyaan ditujukan kepadanya, namun tak memberikan kejelasan apapun selain binar mata yang terperangah. Sarah, yang kemudian teringat bahwa lawan bicaranya itu adalah orang asing, lantas bermaksud membenahi ucapannya, "Good eve—""Selamat malam. Terima kasih. Saya bahkan tidak sadar bahwa ini adalah penginapan.""Oh," suara bernada sedikit terkejut terlontar dari lisan Sarah, dan segera dia pun sadar, bahwa po
Sarah bergegas menuju ke dalam rumahnya, menindaklanjuti seruan nyaring adiknya untuk mengangkat telepon dari sepupunya, Naura. Sarah berjanji pada dirinya sendiri, akan segera mengembalikan gelang Arch, begitu dia selesai berbicara dengan sepupunya. Dia memasukkan kotak perhiasan itu ke kantong jaketnya sendiri, dan berjalan sedikit tergesa-gesa agar sepupunya tak perlu menunggu terlalu lama.Sepupunya sedikit menggerutu di awal percakapan itu, menyatakan kekesalannya karena Sarah tak mengangkat teleponnya yang ditujukan ke nomor pribadi Sarah, sebelumnya. Sarah menanggapinya dengan permintaan maaf tak dibuat-buat, dengan menyertakan dalih bahwa padatnya aktivitas pagi telah mengilhaminya untuk meninggalkan ponselnya begitu saja di kamarnya dalam rangka menghindari interupsi, hingga alhasil tak mengetahui jika sang sepupu menghubunginya."Lagipula yang penting sekarang kita sudah terhubung," imbuh Sarah. "Langkahmu tepat dengan beralih meng
Meira, tanpa membuang waktu, segera menghubungi Sarah dengan mimik muka tegang lagi serius. Dia berharap, bibit masalah yang dia lihat saat ini tak benar-benar berkembang menjadi masalah. Dia yang diserahi tugas untuk mencuci jaket itu, maka barang yang ada dalam saku pakaian itu menjadi tanggung jawabnya.Namun Sarah, meskipun nomornya aktif, tak kunjung mengangkat panggilan darurat Meira. Hingga berkali-kali. Meira terus mencoba tanpa lelah, diselingi protes-protes tajam karena rasa jengkel, hingga pada percobaan yang ke lima, Evan, adik Sarah, memberinya interupsi memilukan. "Percuma Kak Meira menghubungi nomor Kak Sarah terus-terusan. Dia meninggalkan ponselnya di kamarnya. Lihatlah!"Evan menyodorkan ponsel Sarah tepat di depan Meira, yang membuat Meira bisa melihat dengan jelas dalam ekspresi kecut, panggilan dari dirinya sendiri masuk ke ponsel itu."Aku heran kenapa ada dering suara ponsel yang tak kunjung berhenti di kamar Kak Sarah,"
Sarah terpaku mendengar saran Meira yang sejujurnya teramat masuk akal itu. Seharusnya semuanya selesai dengan mudah tepat seperti katanya, namun ekspresi Sarah berubah kecut, setelah mengingat sekelebat bayangan bahwa asisten rumah tangga Naura, Bi Ira, sempat terlihat mengemasi beberapa pakaian di kursi ruang santai itu, yang memang dilakukan atas perintah Naura. Sarah kontan mendesah, menyesali kecerobohan dirinya yang telah melupakan gelang itu begitu saja."Bagaimana jika jaketku tadi turut diambil juga oleh Bi Ira," gumam Sarah. "Oh, bodohnya diriku! Seharusnya aku tidak melepaskan jaketku, tadi. Bagaimana kalau jaket itu turut dicuci pula?"Meira mengerutkan kening mendengar gerutu tak begitu jelas dari mulut Sarah, namun meski tak begitu jelas, Meira mampu menangkap beberapa kata yang dirasa cukup meresahkan."Jaketmu diambil Bi Ira? Jaketmu dicuci?" ulang Meira penuh selidik, yang kemudian dijawab Sarah dengan lirikan penuh rasa bersalah disertai
Ben, menuruti kata hatinya, benar-benar berjalan menuju Arch dan Sarah yang tampak tengah asyik berbincang. Sarah agak gugup awalnya saat melihat kedatangannya, namun Arch meyakinkannya untuk bersikap tenang, atau Ben akan mencurigai mereka."Hai, Sarah," ucap Ben, yang kemudian dengan malas mengalihkan pandang sejenak pada Arch, lalu melanjutkannya, "hai, Arch." Ben mendeham, sekali saja, lalu kembali berkata, "Sarah, aku turut senang dengan hubungan kalian. Ini ... benar kata Naura, adalah kabar baik! Aku ragu sebenarnya, memikirkan kapan sebenarnya kalian jadian, karena beberapa hari lalu kudengar dari Naura, kau masih belum punya kekasih—tapi baiklah! Mari kita lupakan saja itu."Sarah merasakan jantungnya berdebar sedikit lebih kencang mendengar analisa singkat Ben, namun di saat yang bersamaan, dia melihat Arch justru tengah berjuang menahan senyum geli."Sarah," lanjut Ben, "bagaimana kalau
Naura melanjutkan ucapannya, di tengah rasa senangnya mengetahui kabar membahagiakan Arch dan Sarah, "Aku kemari, bermaksud untuk mengajak kalian masuk ke ruangan pesta. Aku dan Eric akan memulai acara inti kami.""Waw, itu menyenangkan! Selamat, Sayangku!" Sarah menghambur pada Naura dan menghadiahinya pelukan erat, dan untuk sejenak ekspreksi Naura berubah haru. Arch tersenyum memperhatikannya, sementara Ben tampak tak fokus. Pikiran Ben masih tertuju pada kabar mengejutkan perihal status Sarah dan Arch, yang menurutnya terkesan ganjil dan aneh. Pikiran kritisnya membisikinya untuk tak serta merta percaya dengan pengumuman meresahkan itu."Jangan sekarang," kata Naura kemudian, sembari melepaskan pelukannya. "Detik ini kami masih belum bertunangan.""Akan segera," timpal Sarah, "dasar kau ini! Aku tidak akan punya kesempatan untuk menyelamatimu nanti, karena pasti tamu undanganmu yang berjubel itu tak kan mau memberiku
Sarah terperanjat. Keterkejutannya yang besar membuatnya hanya mampu mengeluarkan satu kata saja, menyebut nama pria yang dia tabrak, "Arch?"Arch tersenyum. "Iya, ini memang aku. Aku mencarimu dari tadi, tapi tidak berhasil menemukanmu. Untungnya sepupumu memberitahuku bahwa kau mungkin ada di sini.""Se-pupuku?" ucap Sarah terbata, lebih karena spontan berkata, tanpa berpikir. Bayangan tentang perhiasan Arch yang kini kembali hilang, membuatnya merasa tak siap bertemu tamu penginapannya itu."Iya, Sarah. Naura yang memberitahuku. Ada apa denganmu? Kau terlihat tidak baik-baik saja.""Aku?" ucap Sarah, kembali dengan nada kosong."Kelihatannya memang telah terjadi sesuatu," gumam Arch. "Kenapa kau memegangi tangan kananmu?" Arch meraih tangan kanan Sarah dan melihatnya."Oh, aku—" ucap Sarah tersendat sembari menarik tangannya, "aku t
Sarah, tak terlihat tertarik untuk menanggapi perhatian khusus Ben, dan, setelah sempat menjawab sapaan teman-teman Naura dengan ramah, dia menambahkan dalam ucapannya, "Naura benar! Kalian masuklah ke ruangan pesta, dan nikmatilah pesta ini! Naura sudah mempersiapkan pesta yang meriah untuk kalian!" Sembari melepas senyum formal pada sekawanan teman Naura itu, Sarah melepas kode pada Naura dengan kerlingan mata dan ujung alis kanan yang terangkat, agar Naura memberinya waktu untuk mencari gelang Arch. Naura pun memahami isyarat itu dengan sangat baik, dan segera mengajak teman-temannya masuk ke ruangan pesta, meninggalkan taman. Semua orang dalam rombongan itu bersikap patuh pada sang pemilik acara dan mereka tenggelam dalam tawa dan suka cita saat berjalan meninggalkan taman itu. Namun, satu orang tersisa, dan dia terlihat tak sedikitpun berminat untuk mengikuti jejak teman-temannya meninggalkan taman. Sarah beradu pandang untuk sesaat dengan pemuda yang tersisa itu, lalu beruja
Saat yang dinanti tiba. Hari telah memasuki waktu malam, dan keramaian di pesta pertunangan Naura telah mulai terasa. Arch, dan Sarah, telah sampai di lokasi pesta tanpa terlambat, meski Naura sempat menyatakan kritik terselubung bahwa seharusnya mereka datang lebih awal, mengingat Sarah adalah sepupu Naura.Kritik terselubung itu sejatinya juga didasari pertimbangan lain, bahwa ketika pesta telah dimulai maka itu artinya Naura tak kan punya cukup kesempatan untuk menjalin komunikasi pribadi dengan tamu undangan dadakannya, Arch, dalam rangka mengorek keterangan darinya tentang sejauh mana kedekatan si pemuda dengan saudari sepupunya. Alasan kedua ini, meski tak dipaparkan oleh Naura, namun dipahami dengan baik oleh Sarah sejak sebelum keberangkatannya. Itulah kenapa dia memilih untuk tak berangkat lebih awal, sehingga dia akan selamat dari cercaan pertanyaan tak penting.Naura, menyambut Sarah di tengah para tamu yang mulai rama
Sarah masih merasakan kakinya gemetaran, tepat di saat Arch melanjutkan ucapannya dengan tenang, "Ayo, kita duduk di kursi restomu, Sarah."Sarah menurut patuh. Dia berjalan beriringan dengan Arch menuju salah satu kursi resto yang saat itu sedang tidak begitu ramai. Sarah terdiam, sibuk menata mentalnya sebelum menyampaikan sesuatu yang mungkin akan sulit diterima kenalan barunya itu. Sementara Arch, memesan minuman untuk dirinya dan juga sang pemilik penginapan yang ekspreksinya tampak sarat pemikiran. Pemandangan yang aneh, bagi beberapa pegawainya di bagian resto, melihat Sarah bersikap layaknya tamu yang pasif, padahal biasanya dia yang aktif memastikan segala pelayanan untuk tamu berjalan maksimal."Lihatlah Nona Sarah," celetuk salah satu pegawai. "Tidakkah dia terlihat melamun?""Kau benar," timpal yang lain. "Apa yang sedang dipikirkannya? Dan—hei, si pria bule itu menatapnya. Tidakkah kau lihat itu?
Sarah terpaku mendengar saran Meira yang sejujurnya teramat masuk akal itu. Seharusnya semuanya selesai dengan mudah tepat seperti katanya, namun ekspresi Sarah berubah kecut, setelah mengingat sekelebat bayangan bahwa asisten rumah tangga Naura, Bi Ira, sempat terlihat mengemasi beberapa pakaian di kursi ruang santai itu, yang memang dilakukan atas perintah Naura. Sarah kontan mendesah, menyesali kecerobohan dirinya yang telah melupakan gelang itu begitu saja."Bagaimana jika jaketku tadi turut diambil juga oleh Bi Ira," gumam Sarah. "Oh, bodohnya diriku! Seharusnya aku tidak melepaskan jaketku, tadi. Bagaimana kalau jaket itu turut dicuci pula?"Meira mengerutkan kening mendengar gerutu tak begitu jelas dari mulut Sarah, namun meski tak begitu jelas, Meira mampu menangkap beberapa kata yang dirasa cukup meresahkan."Jaketmu diambil Bi Ira? Jaketmu dicuci?" ulang Meira penuh selidik, yang kemudian dijawab Sarah dengan lirikan penuh rasa bersalah disertai
Meira, tanpa membuang waktu, segera menghubungi Sarah dengan mimik muka tegang lagi serius. Dia berharap, bibit masalah yang dia lihat saat ini tak benar-benar berkembang menjadi masalah. Dia yang diserahi tugas untuk mencuci jaket itu, maka barang yang ada dalam saku pakaian itu menjadi tanggung jawabnya.Namun Sarah, meskipun nomornya aktif, tak kunjung mengangkat panggilan darurat Meira. Hingga berkali-kali. Meira terus mencoba tanpa lelah, diselingi protes-protes tajam karena rasa jengkel, hingga pada percobaan yang ke lima, Evan, adik Sarah, memberinya interupsi memilukan. "Percuma Kak Meira menghubungi nomor Kak Sarah terus-terusan. Dia meninggalkan ponselnya di kamarnya. Lihatlah!"Evan menyodorkan ponsel Sarah tepat di depan Meira, yang membuat Meira bisa melihat dengan jelas dalam ekspresi kecut, panggilan dari dirinya sendiri masuk ke ponsel itu."Aku heran kenapa ada dering suara ponsel yang tak kunjung berhenti di kamar Kak Sarah,"
Sarah bergegas menuju ke dalam rumahnya, menindaklanjuti seruan nyaring adiknya untuk mengangkat telepon dari sepupunya, Naura. Sarah berjanji pada dirinya sendiri, akan segera mengembalikan gelang Arch, begitu dia selesai berbicara dengan sepupunya. Dia memasukkan kotak perhiasan itu ke kantong jaketnya sendiri, dan berjalan sedikit tergesa-gesa agar sepupunya tak perlu menunggu terlalu lama.Sepupunya sedikit menggerutu di awal percakapan itu, menyatakan kekesalannya karena Sarah tak mengangkat teleponnya yang ditujukan ke nomor pribadi Sarah, sebelumnya. Sarah menanggapinya dengan permintaan maaf tak dibuat-buat, dengan menyertakan dalih bahwa padatnya aktivitas pagi telah mengilhaminya untuk meninggalkan ponselnya begitu saja di kamarnya dalam rangka menghindari interupsi, hingga alhasil tak mengetahui jika sang sepupu menghubunginya."Lagipula yang penting sekarang kita sudah terhubung," imbuh Sarah. "Langkahmu tepat dengan beralih meng