Safira memberikan satu cup minuman segar untuk Alice, wanita itu tersenyum tampak puas dengan pekerjaan yang dilakukan oleh Alice hari ini. Safira senang, dia tidak salah memilih orang, selain Alice polos, senyuman cerah yang terus dia tunjukan membawa energy yang positif.“Minumlah.”“Terima kasih.” Alice mengusap wajahnya yang masih memerah karena pengap, beruntungnya kini kostum badutnya sudah dia lepas karena semua lembaran kertas telah disebarkan.Safira menopang dagunya, menunggu Alice mengatur napasnya dan meredakan rasa lelahnya usai bekerja. “Kau mau bekerja lagi besok?” tanya Safira lagi.Mata Alice mengerjap, gadis itu terkejut sekaligus tidak percaya. “Anda masih mau memberi saya kesempatan?”Safira mengangguk dengan senyuman, dirongohnya sebuah amplop dari saku jassnya dan diletakan di meja. “Ini bayaranmu hari ini, jika kau masih tertarik bekerja, besok datanglah jam sepuluh pagi.” Alice terperangah tangan mungilnya sampai gemetar dan matanya memanas terdesak ingin mena
Setengah jam berlalu dengan cepat, dihabiskan hanya untuk duduk santai sambil berbicara hal-hal sederhana, saling bercerita tentang apa yang mereka lalui hari ini.Hal yang tidak pernah Theodor mengerti, terjadi tanpa alasan. Satu moment yang dia habiskan bersama Alice selalu meninggalkan banyak kesa, hingga tanpa sadar sudah waktunya kini mereka kembali dan beranjak pergi meninggalkan bangku kayu itu.Sebuah bayangan terlihat bergerak di sebuah dinding tembok pembatas, bergerak halus dan jelas. Bayangan itu milik Alice dan Theodor, keduanya berjalan dengan pelan dan saling menjaga jarak, sama seperti apa yang pernah mereka lakukan sebelumnya.Daun-daun maple tersapu di jalanan, menumpuk berwarna merah cerah menyilaukan.Hangat sinar matahari sore mengusap wajah, Theodor mencuri-curi pandang pada Alice yang banyak tersenyum sepanjang mereka berbicara. Theodor tahu, Alice adalah seseorang yang banyak tersenyum sejak mereka bertemu, namun hari ini Alice tersenyum dengan cara yang berb
Langit sudah gelap, lampu-lampu sudah menyala. Hayes berdiri di depan jendela kamarnya, tidak mengalihkan perhatiannya dari gerbang yang cukup jauh dari keberadaan rumah.Lampu-lampu taman menyala, menyinari jalanan setapak.“Dia belum kembali,” bisik Hayes dengan rahang mengetat menahan amarah.Alice pergi dalam waktu yang lama, bahkan Hayes sudah tenggelam dalam kebosanan berdiri menunggunya pulang. Entah apa yang sebenarnya dilakukan Alice di luar sana, apakah dia tengah bersenang-senang dengan ibunya yang sudah melukai Ivana hari ini?Hayes sudah berusaha mencoba untuk tidak berpikir bahwa Alice memang memberitahu Giselle tentang keberadaan ibunya hari ini ada di butik.Tetapi, dengan perginya Alice selama ini tanpa ada yang tahu kemana perginya dia, bukankah Hayes patut curiga?Satu persatu pikiran buruk bermunculan di kepala Hayes.Beberapa menit kemudian, gerbang besar kediaman keluarga Borsman terbuka, sebuah taksi yang masuk ke dalam menjadi perhatian Hayes.Tangan Hayes terp
Damian duduk di sudut ruangan, menunggu Ivana yang kini tengah makan malam tanpa bantuannya. Meski tidak bisa melihat, Ivana sudah cukup pandai mengambil makanannya sendiri sehingga tidak perlu merepotkan banyak orang.Kejadian yang telah terjadi di butik tidak Damian perpanjang meski Hayes bersikukuh untuk melaporkan apa yang telah Giselle perbuat pada Ivana. Ivana sendiri belum membuka suara atas keputusan Hayes yang ingin menjebloskan Giselle ke penjara.Kamera dari cctv beberapa sudut ruangan sudah cukup menjelaskan jika Giselle adalah pelaku, akan sangat dengan mudahnya wanita itu dijebloskan ke penjara.Ketenangan di wajah Damian melihat Ivana yang tengah sakit menciptakan kejanggalan. Apakah Damian tidak khawatir bila Ivana akan kembali terluka? Mengapa dia bersikap seperti tidak peduli?Piring di pangkuan Ivana sudah kosong, dengan tenang Damian beranjak untuk mengambilnya untuk dibawa ke dapur.“Damian.” Tangan Ivana bergerak di udara mencari-cari keberadaan Damian, suaranya
“Alice, apa aku boleh tahu, apa yang selama ini kau lakukan ketika di rumah keluargamu?” Sebuah pertanyaan sederhana yang Theodor persiapkan akhirnya keluar.Alice tersenyum malu, beberapa kali gadis itu melihat Theodor lalu tertunduk gelisah, keraguan di matanya yang ingin bercerita menyadarkan Theodor bahwa gadis itu belum siap bercerita.“Kau tidak perlu menjawab jika belum siap.”Alice menggeleng. “Aku bekerja di rumah, sebenarnya berkat menikah dengan Hayes, untuk pertama kalinya aku bisa keluar rumah.”Mata Theodor terbelalak, pikirannya kesulitan mencerna pengakuan yang tidak pernah sekalipun Theodor bayangkan. “Lalu, bagaimana dengan lukamu?” bisik Theodor kian ingin tahu.Alice membuang mukanya seketika, melihat ke sekeliling hanya untuk memastikan jika di sekitar mereka sudah tidak siapapun lagi. Alice kembali melihat Theodor, senyuman yang sempat dia tunjukan tampak gemetar, Alice kehilangan kepercayaan dirinya.“Jika kau memberitahumu, apa kau akan membenciku juga?” bisik
Hayes kembali masuk ke dalam kamar Ivana, memastikan seperti apa keadaannya sekarang. Ketika Hayes datang, Ivana tengah duduk seperti menantikan sesuatu.“Damian,” sambut Ivana dengan senyuman, sudah cukup lama dia menantikan Damian, akhirnya kini dia kembali.Hayes menutup pintu kamar dengan hati-hati. “Ini aku,” jawab Hayes mendekat.“Hayes,” sapa Ivana dengan senyuman yang sedikit memudar.Hayes mendekat, duduk di sisi ranjang dan memperhatikan keadaan Ivana yang sedikit lebih baik dari sebelumnya. Sejenak dia melihat ke sekitar, memastikan semua barang-barang yang tajam sudah dibenahi Mery.Ivana akan melukai dirinya sendiri jika keadaannya sedang tidak parah, bahkan kini dokter keluarga Borsman harus menginap semalam hanya untuk memastikan Ivana baik-baik saja.Punggung Ivana bersandar pada kepala ranjang, di tariknya selimut untuk menutupi tubuhnya yang dingin. “Ada apa Hayes?”“Bagaiamana keadaan Ibu?” tanya Hayes dengan lembut.“Seperti yang kau lihat, sekarang ibu merasa sedi
Sinar matahari pagi sudah terlihat balik jendela, hangat dan lembut selimut menahan Alice untuk tidur lebih lama lagi, gadis itu terbaring dengan damai tidak bergerak sedikitpun.Suara derap langkah di kesunyian terdengar, derak lembut gordeng terdengar lebih jelas, sinar matahari menerobos masuk ke dalam, menerangi kamar.Cahaya yang terang cukup menyilaukan mengusik tidur lelap Alice. Perlahan Alice membuka matanya, menarik napasnya dalam-dalam untuk mengumpulkan semua kesadarannya, Alice melihat bagian langit-langit kamar yang terdapat sebuah lampu.Samar kening Alice mengerut, tersadar jika setiap pagi dia bangun, bagian langit-langit kamarnya tidak ada lampu.Permukaan tangan Alice merasakan halus permukaan sofa.“Bukankah semalam aku ada di pinggiran danau?” bisik Alice teringat kembali dengan tempat terakhirnya semalam tidur.Dengan cepat Alice terduduk waspada, gadis itu tampak terkejut begitu tersadar jika kini dia tertidur di ranjang Hayes. Dengan cepat Alice melompat turun
“Alice, lusa nanti kau harus menemani Hayes untuk menghadiri acara, apa kau bisa mengosongkan waktumu?” tanya Damian memulai percakapan.Alice tersenyum dengan tenang. “Baik Ayah.”Suara alarm dari smartwatch yag terpasang di pergelangan tangan membuat Damian segera beranjak dan mengambil roti isinya yang belum dia habiskan. “Aku memiliki pertemuan penting, kalian selesaikan sarapan kalian.”“Hati-hati di jalan, Ayah,” ucap Alice.Damian tersenyum lebar, pria paruh baya itu melangkah cepat menuju ruangan ruangan kerjanya untuk membawa keperluannya terlebih dahulu sebelum pergi untuk bekerja.Hayes menegakan tubuhnya, diam-diam memperhatikan cara makan Alice yang terlalu pelan dan hati-hati, setiap kali dia akan menyuapkan sesuatu, sendok di tangannya selalu mengaduk seperti sedang mencari sesuatu.“Apa kau tahu, lusa nanti itu kunjungan apa?” tanya Hayes membangun percakapan untuk pertama kalinya di meja makan.“Aku tidak tahu,” jawab Alice samar terdengar.“Hipodrom milik keluargaku