“Kau sudah siap?” tanya Safira.Alice mengangguk dengan senyuman lebarnya yang tidak terlihat karena memakai topeng besar, gadis itu mengenakan sebuah kostum badut yang ditugaskan untuk menyebarkan selembaran kertas pada para pengguna jalan.Alice sempat ragu saat Safira membawanya pergi ke suatu tempat, dan beruntungnya Safira ternyata orang baik yang benar-benar menawarkan pekerjaan kepada Alice.Apapun pekerjaan yang ditawarkan, Alice sudah bertekad akan mengerjakannya karena dia harus memiliki uang. Alice tidak ingin membawa apapun jika nanti dia keluar dari kediaman Borsman, sudah cukup banyak uang yang Damian keluarkan hanya untuk membawanya keluar dari kediaman Giselle.“Perhatikan langkahmu. Ingatlah dengan semua yang aku katakan tadi. Kau boleh beristirahat jika lelah. Kertas harus sudah tersebar sebelum jam empat sore, perusahaan akan menuntutmu jika kau melakukan kecurangan dengan membuang kertasnya,” nasihat Safira, mengulang kembali apa yang telah dia katakan sebelumnya.
“Kau sangat luar biasa, pakaian itu membuatku pangling sampai aku tidak percaya jika kau merancangnya beberapa tahun lalu.” Stefany berdecak kagum dengan deretan pakaian yang terpasang di tubuh mannequin.“Kau terlalu berlebihan,” sahut Ivana.“Aku serius,” tegas Stefany.Ivana akan melakukan pameran busana untuk pertama kalinya setelah dia mengalami kecelakaan dan kehilangan penglihatannya. Ivana sudah menyiapkan semuanya sejak tiga tahun yang lalu, semuanya terhambat karena Ivana terpuruk dan kehilangan hasratnya pada fashion.Ivana ingin melakukan pameran untuk yang terakhir kalinya sebelum dia mengumumkan bahwa perusahannya akan diberikan kepada Hayes.Ivana tidak begitu yakin dengan keputusannya untuk melakukan pameran, mengingat jika emosi tidak mudah terkendali dan sering kali histeris hingga membutuhkan obat.Karena hal itulah, Ivana meminta bantuan Stefany untuk mengambil alih pameran kali ini. Ivana tidak ingin menunjukan diri di hadapan banyak orang, cukup dengan orang-oran
Safira memberikan satu cup minuman segar untuk Alice, wanita itu tersenyum tampak puas dengan pekerjaan yang dilakukan oleh Alice hari ini. Safira senang, dia tidak salah memilih orang, selain Alice polos, senyuman cerah yang terus dia tunjukan membawa energy yang positif.“Minumlah.”“Terima kasih.” Alice mengusap wajahnya yang masih memerah karena pengap, beruntungnya kini kostum badutnya sudah dia lepas karena semua lembaran kertas telah disebarkan.Safira menopang dagunya, menunggu Alice mengatur napasnya dan meredakan rasa lelahnya usai bekerja. “Kau mau bekerja lagi besok?” tanya Safira lagi.Mata Alice mengerjap, gadis itu terkejut sekaligus tidak percaya. “Anda masih mau memberi saya kesempatan?”Safira mengangguk dengan senyuman, dirongohnya sebuah amplop dari saku jassnya dan diletakan di meja. “Ini bayaranmu hari ini, jika kau masih tertarik bekerja, besok datanglah jam sepuluh pagi.” Alice terperangah tangan mungilnya sampai gemetar dan matanya memanas terdesak ingin mena
Setengah jam berlalu dengan cepat, dihabiskan hanya untuk duduk santai sambil berbicara hal-hal sederhana, saling bercerita tentang apa yang mereka lalui hari ini.Hal yang tidak pernah Theodor mengerti, terjadi tanpa alasan. Satu moment yang dia habiskan bersama Alice selalu meninggalkan banyak kesa, hingga tanpa sadar sudah waktunya kini mereka kembali dan beranjak pergi meninggalkan bangku kayu itu.Sebuah bayangan terlihat bergerak di sebuah dinding tembok pembatas, bergerak halus dan jelas. Bayangan itu milik Alice dan Theodor, keduanya berjalan dengan pelan dan saling menjaga jarak, sama seperti apa yang pernah mereka lakukan sebelumnya.Daun-daun maple tersapu di jalanan, menumpuk berwarna merah cerah menyilaukan.Hangat sinar matahari sore mengusap wajah, Theodor mencuri-curi pandang pada Alice yang banyak tersenyum sepanjang mereka berbicara. Theodor tahu, Alice adalah seseorang yang banyak tersenyum sejak mereka bertemu, namun hari ini Alice tersenyum dengan cara yang berb
Langit sudah gelap, lampu-lampu sudah menyala. Hayes berdiri di depan jendela kamarnya, tidak mengalihkan perhatiannya dari gerbang yang cukup jauh dari keberadaan rumah.Lampu-lampu taman menyala, menyinari jalanan setapak.“Dia belum kembali,” bisik Hayes dengan rahang mengetat menahan amarah.Alice pergi dalam waktu yang lama, bahkan Hayes sudah tenggelam dalam kebosanan berdiri menunggunya pulang. Entah apa yang sebenarnya dilakukan Alice di luar sana, apakah dia tengah bersenang-senang dengan ibunya yang sudah melukai Ivana hari ini?Hayes sudah berusaha mencoba untuk tidak berpikir bahwa Alice memang memberitahu Giselle tentang keberadaan ibunya hari ini ada di butik.Tetapi, dengan perginya Alice selama ini tanpa ada yang tahu kemana perginya dia, bukankah Hayes patut curiga?Satu persatu pikiran buruk bermunculan di kepala Hayes.Beberapa menit kemudian, gerbang besar kediaman keluarga Borsman terbuka, sebuah taksi yang masuk ke dalam menjadi perhatian Hayes.Tangan Hayes terp
Damian duduk di sudut ruangan, menunggu Ivana yang kini tengah makan malam tanpa bantuannya. Meski tidak bisa melihat, Ivana sudah cukup pandai mengambil makanannya sendiri sehingga tidak perlu merepotkan banyak orang.Kejadian yang telah terjadi di butik tidak Damian perpanjang meski Hayes bersikukuh untuk melaporkan apa yang telah Giselle perbuat pada Ivana. Ivana sendiri belum membuka suara atas keputusan Hayes yang ingin menjebloskan Giselle ke penjara.Kamera dari cctv beberapa sudut ruangan sudah cukup menjelaskan jika Giselle adalah pelaku, akan sangat dengan mudahnya wanita itu dijebloskan ke penjara.Ketenangan di wajah Damian melihat Ivana yang tengah sakit menciptakan kejanggalan. Apakah Damian tidak khawatir bila Ivana akan kembali terluka? Mengapa dia bersikap seperti tidak peduli?Piring di pangkuan Ivana sudah kosong, dengan tenang Damian beranjak untuk mengambilnya untuk dibawa ke dapur.“Damian.” Tangan Ivana bergerak di udara mencari-cari keberadaan Damian, suaranya
“Alice, apa aku boleh tahu, apa yang selama ini kau lakukan ketika di rumah keluargamu?” Sebuah pertanyaan sederhana yang Theodor persiapkan akhirnya keluar.Alice tersenyum malu, beberapa kali gadis itu melihat Theodor lalu tertunduk gelisah, keraguan di matanya yang ingin bercerita menyadarkan Theodor bahwa gadis itu belum siap bercerita.“Kau tidak perlu menjawab jika belum siap.”Alice menggeleng. “Aku bekerja di rumah, sebenarnya berkat menikah dengan Hayes, untuk pertama kalinya aku bisa keluar rumah.”Mata Theodor terbelalak, pikirannya kesulitan mencerna pengakuan yang tidak pernah sekalipun Theodor bayangkan. “Lalu, bagaimana dengan lukamu?” bisik Theodor kian ingin tahu.Alice membuang mukanya seketika, melihat ke sekeliling hanya untuk memastikan jika di sekitar mereka sudah tidak siapapun lagi. Alice kembali melihat Theodor, senyuman yang sempat dia tunjukan tampak gemetar, Alice kehilangan kepercayaan dirinya.“Jika kau memberitahumu, apa kau akan membenciku juga?” bisik
Hayes kembali masuk ke dalam kamar Ivana, memastikan seperti apa keadaannya sekarang. Ketika Hayes datang, Ivana tengah duduk seperti menantikan sesuatu.“Damian,” sambut Ivana dengan senyuman, sudah cukup lama dia menantikan Damian, akhirnya kini dia kembali.Hayes menutup pintu kamar dengan hati-hati. “Ini aku,” jawab Hayes mendekat.“Hayes,” sapa Ivana dengan senyuman yang sedikit memudar.Hayes mendekat, duduk di sisi ranjang dan memperhatikan keadaan Ivana yang sedikit lebih baik dari sebelumnya. Sejenak dia melihat ke sekitar, memastikan semua barang-barang yang tajam sudah dibenahi Mery.Ivana akan melukai dirinya sendiri jika keadaannya sedang tidak parah, bahkan kini dokter keluarga Borsman harus menginap semalam hanya untuk memastikan Ivana baik-baik saja.Punggung Ivana bersandar pada kepala ranjang, di tariknya selimut untuk menutupi tubuhnya yang dingin. “Ada apa Hayes?”“Bagaiamana keadaan Ibu?” tanya Hayes dengan lembut.“Seperti yang kau lihat, sekarang ibu merasa sedi