Bella memandangi layar handponenya dengan kecewa, sudah lebih dari dua hari dia kembali dari Bali dengan cara kabur dan menantikan Hayes mendatangi atau menghubunginya, menanyakan sesuatu kepadanya, tetapi Hayes tidak pernah menghubunginya sama sekali, seakan tidak ada sesuatu yang terjadi di antara mereka berdua.Bella sudah mengeluarkan banyak uang untuk menaikan scandalnya bersama Hayes dan memanifulasi pikiran public bahwa dia dan Hayes sudah berpacaran sejak mereka berada di bangku menengah atas.Apa yang telah Bella lakukan cukup berdampak besar, bahkan kini dia tinggal di apartement karena ada beberapa media yang mencarinya sampai ke rumah.Belum sempat masalah yang dibuat Bella reda, kini tiba-tiba saja scandalnya ditutupi oleh berita Hayes yang membawa Alice ke public.Wajah Alice yang terpublikasi tak pelak menjadi bahan perbandingan dengan Bella. Bella sangat percaya diri bahwa dirinya sempurna, dia jauh lebih baik dari Alice dalam segala hal, Alice tidak ada apa-apanya bag
Lembaran majalah terbuka di tangan Damian, pria paruh baya itu melihat gosip tentang Hayes yang tersebar. Sejak awal berita itu muncul, Damian sudah mengetahuinya, dia diam karena memberi kesempatan Hayes untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.“Hayes keluar rumah?” tanya Damian.“Benar, Tuan. Sekitar tiga puluh menit yang lalu,” jawab Mery.Damian menghela napasnya dengan berat, setelah berbicara dengan Alice di bawah pohon apel, Damian langsung pergi ke kamar untuk membersihkan diri dan belum sempat menemui Hayes.Selama Damian pergi ke luar negeri, Damian selalu mendapatkan banyak laporan dari Mery mengenai keadaan rumah.Damian sudah tahu semuanya, termasuk Ivana yang masih tidak berubah.Tidak ada toleransi lagi untuk Ivana, wanita itu tidak akan pernah berubah. Selalu mengingkari janjinya.“Mery.” Damian berhenti berbicara, sejenak memikirkan sesuatu yang penting. “Menurutkmu, pernikahan Alice dan Hayes akan berakhir dengan baik?” tanya Damian serius.Wajah Mery sedikit terangk
“Kau sudah siap?” tanya Safira.Alice mengangguk dengan senyuman lebarnya yang tidak terlihat karena memakai topeng besar, gadis itu mengenakan sebuah kostum badut yang ditugaskan untuk menyebarkan selembaran kertas pada para pengguna jalan.Alice sempat ragu saat Safira membawanya pergi ke suatu tempat, dan beruntungnya Safira ternyata orang baik yang benar-benar menawarkan pekerjaan kepada Alice.Apapun pekerjaan yang ditawarkan, Alice sudah bertekad akan mengerjakannya karena dia harus memiliki uang. Alice tidak ingin membawa apapun jika nanti dia keluar dari kediaman Borsman, sudah cukup banyak uang yang Damian keluarkan hanya untuk membawanya keluar dari kediaman Giselle.“Perhatikan langkahmu. Ingatlah dengan semua yang aku katakan tadi. Kau boleh beristirahat jika lelah. Kertas harus sudah tersebar sebelum jam empat sore, perusahaan akan menuntutmu jika kau melakukan kecurangan dengan membuang kertasnya,” nasihat Safira, mengulang kembali apa yang telah dia katakan sebelumnya.
“Kau sangat luar biasa, pakaian itu membuatku pangling sampai aku tidak percaya jika kau merancangnya beberapa tahun lalu.” Stefany berdecak kagum dengan deretan pakaian yang terpasang di tubuh mannequin.“Kau terlalu berlebihan,” sahut Ivana.“Aku serius,” tegas Stefany.Ivana akan melakukan pameran busana untuk pertama kalinya setelah dia mengalami kecelakaan dan kehilangan penglihatannya. Ivana sudah menyiapkan semuanya sejak tiga tahun yang lalu, semuanya terhambat karena Ivana terpuruk dan kehilangan hasratnya pada fashion.Ivana ingin melakukan pameran untuk yang terakhir kalinya sebelum dia mengumumkan bahwa perusahannya akan diberikan kepada Hayes.Ivana tidak begitu yakin dengan keputusannya untuk melakukan pameran, mengingat jika emosi tidak mudah terkendali dan sering kali histeris hingga membutuhkan obat.Karena hal itulah, Ivana meminta bantuan Stefany untuk mengambil alih pameran kali ini. Ivana tidak ingin menunjukan diri di hadapan banyak orang, cukup dengan orang-oran
Safira memberikan satu cup minuman segar untuk Alice, wanita itu tersenyum tampak puas dengan pekerjaan yang dilakukan oleh Alice hari ini. Safira senang, dia tidak salah memilih orang, selain Alice polos, senyuman cerah yang terus dia tunjukan membawa energy yang positif.“Minumlah.”“Terima kasih.” Alice mengusap wajahnya yang masih memerah karena pengap, beruntungnya kini kostum badutnya sudah dia lepas karena semua lembaran kertas telah disebarkan.Safira menopang dagunya, menunggu Alice mengatur napasnya dan meredakan rasa lelahnya usai bekerja. “Kau mau bekerja lagi besok?” tanya Safira lagi.Mata Alice mengerjap, gadis itu terkejut sekaligus tidak percaya. “Anda masih mau memberi saya kesempatan?”Safira mengangguk dengan senyuman, dirongohnya sebuah amplop dari saku jassnya dan diletakan di meja. “Ini bayaranmu hari ini, jika kau masih tertarik bekerja, besok datanglah jam sepuluh pagi.” Alice terperangah tangan mungilnya sampai gemetar dan matanya memanas terdesak ingin mena
Setengah jam berlalu dengan cepat, dihabiskan hanya untuk duduk santai sambil berbicara hal-hal sederhana, saling bercerita tentang apa yang mereka lalui hari ini.Hal yang tidak pernah Theodor mengerti, terjadi tanpa alasan. Satu moment yang dia habiskan bersama Alice selalu meninggalkan banyak kesa, hingga tanpa sadar sudah waktunya kini mereka kembali dan beranjak pergi meninggalkan bangku kayu itu.Sebuah bayangan terlihat bergerak di sebuah dinding tembok pembatas, bergerak halus dan jelas. Bayangan itu milik Alice dan Theodor, keduanya berjalan dengan pelan dan saling menjaga jarak, sama seperti apa yang pernah mereka lakukan sebelumnya.Daun-daun maple tersapu di jalanan, menumpuk berwarna merah cerah menyilaukan.Hangat sinar matahari sore mengusap wajah, Theodor mencuri-curi pandang pada Alice yang banyak tersenyum sepanjang mereka berbicara. Theodor tahu, Alice adalah seseorang yang banyak tersenyum sejak mereka bertemu, namun hari ini Alice tersenyum dengan cara yang berb
Langit sudah gelap, lampu-lampu sudah menyala. Hayes berdiri di depan jendela kamarnya, tidak mengalihkan perhatiannya dari gerbang yang cukup jauh dari keberadaan rumah.Lampu-lampu taman menyala, menyinari jalanan setapak.“Dia belum kembali,” bisik Hayes dengan rahang mengetat menahan amarah.Alice pergi dalam waktu yang lama, bahkan Hayes sudah tenggelam dalam kebosanan berdiri menunggunya pulang. Entah apa yang sebenarnya dilakukan Alice di luar sana, apakah dia tengah bersenang-senang dengan ibunya yang sudah melukai Ivana hari ini?Hayes sudah berusaha mencoba untuk tidak berpikir bahwa Alice memang memberitahu Giselle tentang keberadaan ibunya hari ini ada di butik.Tetapi, dengan perginya Alice selama ini tanpa ada yang tahu kemana perginya dia, bukankah Hayes patut curiga?Satu persatu pikiran buruk bermunculan di kepala Hayes.Beberapa menit kemudian, gerbang besar kediaman keluarga Borsman terbuka, sebuah taksi yang masuk ke dalam menjadi perhatian Hayes.Tangan Hayes terp
Damian duduk di sudut ruangan, menunggu Ivana yang kini tengah makan malam tanpa bantuannya. Meski tidak bisa melihat, Ivana sudah cukup pandai mengambil makanannya sendiri sehingga tidak perlu merepotkan banyak orang.Kejadian yang telah terjadi di butik tidak Damian perpanjang meski Hayes bersikukuh untuk melaporkan apa yang telah Giselle perbuat pada Ivana. Ivana sendiri belum membuka suara atas keputusan Hayes yang ingin menjebloskan Giselle ke penjara.Kamera dari cctv beberapa sudut ruangan sudah cukup menjelaskan jika Giselle adalah pelaku, akan sangat dengan mudahnya wanita itu dijebloskan ke penjara.Ketenangan di wajah Damian melihat Ivana yang tengah sakit menciptakan kejanggalan. Apakah Damian tidak khawatir bila Ivana akan kembali terluka? Mengapa dia bersikap seperti tidak peduli?Piring di pangkuan Ivana sudah kosong, dengan tenang Damian beranjak untuk mengambilnya untuk dibawa ke dapur.“Damian.” Tangan Ivana bergerak di udara mencari-cari keberadaan Damian, suaranya