Share

BAB 4: Rumah Baru

Alice memasuki pintu yang mengarah ke tangga darurat, dengan gaun pengantin yang masih melekat padanya, gadis itu terduduk di lantai dan bersandar ke pintu untuk mengatur napas menenangkan diri.

Tangan Alice yang gemetar dan berkeringat dingin beberapa kali mencoba meremas permukaan gaun.

“Ya Tuhan,” bisik Alice dengan lirihan sakitnya terngiang ucapan Giselle beberapa saat yang lalu.

Alice mengusap dadanya yang sesak dan sakit, beberapa kali dia memukulnya agar bisa tenang.

Luka yang terlalu dalam di dalam hatinya tidak mampu membuat Alice menangis, Alice kesulitan mengekspresikan kesedihannya karena sudah terlalu sering memendamnya dalam diam.

Pandangan Alice sedikit mengabur, kepalanya berdenyut sakit, dengan lemah gadis itu tetap berusaha mengatur napasnya agar bisa memiliki kekuatan untuk kembali bangkit.

Perlu beberapa menit untuk Alice menghabiskan waktu agar bisa keluar.

Tangan Alice terkepal kuat, dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa hari ini mungkin saja penderitaan terakhirnya, Alice berharap jika kehidupan barunya akan sedikit lebih baik.

Alice tidak boleh lemah, masih ada harapan untuknya merasakan arti sebuah kebahagiaan.

Baru beberapa langkah Alice berjalan, langkahnya gadis itu dibuat terhenti di balik jendela besar, pandangannya tertuju ke arah taman, memperhatikan Hayes yang terlihat tertawa dengan bahagia tengah berbicara dengan teman-temannya.

Ternyata, Pria yang sangat dingin dan terus menatap jijik Alice itu bisa tersenyum lebar dan hangat kepada orang lain.

Alice membuang muka, gadis itu kembali melangkah pergi, dia harus segera mengganti pakaiannya karena Damian akan membawanya pulang.

“Kakak.”

Alice membalikan badannya, melihat Athur yang ternyata berlari menyusulnya.

Mata Alice bergetar, setiap kali mendengar Athur diam-diam sering memanggilnya ‘kakak’ dikala tidak ada orang lain di sekitar mereka.

Berkat Athur yang sering memanggilnya kakak, Alice merasa di akui atas keberadaannya.

Athur selalu dimanja, diberikan apapun yang dia inginkan, dia juga orang yang sulit ditangani. Menakjubkannya Athur bisa berbuat kepada Alice lebih dari siapapun.

Athur baru mengetahui kebenaran bahwa Alice kakaknya adalah ketika dia menginjak delapan belas tahun.

Mereka memiliki hubungan yang canggung dan asing satu sama lainnya karena selama ini Alice selalu berusaha dijauhkan dari Athur. Bagi semua orang yang berada di kediaman Giselle, Alice tidak lebih seperti kotoran yang akan menodai Athur jika mereka berdekatan.

Karena hal itulah, Athur selalu berhati-hati dengan tindakannya. Alice dan Athur memiliki kesempatan saling melihat dan berbicara hanya ketika tidak ada siapapun yang melihat.

Jika seseorang melihat Alice berbicara dengan Athur, maka Alice akan mendapatkan hukuman.

“Kakak,” panggil Athur lagi sambil mengatur napasnya.

“Ada apa Athur?” tanya Alice samar.

Athur mengedarkan pandangannya, memastikan jika tidak ada seorangpun yang akan mendengarkan ucapannya. “Aku tahu mungkin aku berkata kurang ajar kepada Kakak, namun ingin tetap mengatakannya. Tolong jangan kembali ke rumahku, ini semua bukan karena aku tidak ingin melihat kehadiran Kakak, namun karena aku belum bisa benar-benar melindungi Kakak jika Kakak berada di rumah.”

Bibir Alice bergetar tidak mampu berkata-kata, perhatian Athur membuat dirinya terdesak ingin menangis.

“Mulailah hidup semau Kakak di rumah baru, jangan sia-siakan kesempatan yang ada untuk menikmati kebahagiaan.”

“Aku mengerti Athur, terima kasih atas perhatianmu.”

Athur mengusap wajahnya dengan kasar, pemuda itu terlihat sedih memikirkan seberapa rumitnya perjalanan hidup Alice, sementara dirinya tidak bisa melakukan apapun untuk melindunginya.

Athur mengambil kotak kecil obat dari balik saku jassnya. “Aku tidak memiliki kado apapun untuk hari pernikahan Kakak, bawalah obat ini dan jangan terluka lagi, aku harap saat nanti kita kembali bertemu, kakak menjadi orang yang hebat karena Tuhan selalu bersama Kakak.”

Dengan ragu Alice mengambilnya, belum sempat dia mengucapkan terima kasih, Athur sudah pergi berlari karena Inara datang menyusul.

Alice memeluk erat kotak kecil obatnya, ini untuk pertama kalinya dia mendapatkan hadiah dari seseorang.

***

Alice keluar dari mobil yang mengantarnya ke kediaman keluarga Brosman.

Alice mendongkakan kepalanya, gadis itu berdecak kagum melihat rumah besar berlantai tiga dengan sebuah taman besar, halaman luas yang membuat keberadaan bangunan rumah menjadi jauh dari gerbang utama.

Damian mempersilahkan Alice untuk masuk lebih dulu ke dalam rumah.

“Selamat datang di rumah, anggaplah jika ini rumahmu sendiri,” ucap Damian dengan senyuman ramahnya, mendorong bahu Alice untuk melangkah masuk lebih jauh.

Pandangan Alice mengedar, melihat ke penjuru arah rumah yang mewah besar dan artistik. Samar bibir Alice tersenyum, “Terima kasih Ayah atas sambutannya.”

“Pergilah beristirahat pasti kau lelah, nanti sore kau baru menemui isteriku di taman.”

Alice mengangguk patuh.

“Hayes, bawa Alice ke kamarmu,” titah Damian.

“Ikut aku,” ajak Hayes terdengar dingin tidak bersahabat.

Alice berjalan mengikuti langkah Hayes, mereka belum terlibat percakapan apapun semenjak di altar untuk melakukan sumpah pernikahan, bahkan sepanjang jalan pulang ke rumah, Hayes yang murah senyum dan ceria di depan teman-temannya mendadak dingin seperti es, dia tidak berucap sepatah katapun.

To Be Continued..

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Jane Melca
loh emang sedaRah bisa gitu nikah? kan sebapak lain ibu....
goodnovel comment avatar
Harini Rini
emang ada ibu seperti gisel
goodnovel comment avatar
Fitria Pangumpia
semoga kehidupannya brrsama hayes lebih baik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status