Beranda / Pendekar / 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT / Bab 3 : Ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan

Share

Bab 3 : Ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan

Penulis: Adil Perwira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-03 23:11:34

Temaram cahaya bulan purnama membanjiri angkasa, sinarnya yang pucat menembus kegelepan dalam hutan.

Malam itu tak terlihat ada awan hitam yang mengawang di antara bintang-bintang, langit begitu cerah, dan suasana hening tanpa desau angin yang menggerakkan daun-daun di pohon.

Jauh di dalam hutan belantara yang tertutup oleh pepohonan dan semak belukar, ada sebuah gua yang bagian dalamnya diterangi cahaya obor, di tempat itu duduklah tiga orang lelaki untuk suatu perbincangan.

Yang pertama dan sekaligus yang paling tua bernama Datuk Bahuwirya, dia seorang pendekar linuih, terkenal dengan julukan sebagai Mpu Seta, karena kebiasannya yang suka mengenakan pakaian dari kain sutera putih.

Yang kedua seorang lelaki muda berbaju coklat dan berikat kepala hitam. Dia duduk sambil mengasuh sebilah pedang di atas pahanya. Namanya Jagat Pramudita. Lelaki muda ini merupakan anak tunggal Mpu Seta.

Adapun orang ketiga yang juga duduk di tempat itu ialah seorang pendekar yang gagah perkasa. Dia mengenakan pakaian dan ikat kepala yang serba berwarna biru. Namanya Jaka Purnama. Dia adalah sahabat dekat Jagat Pramudita dan sekaligus murid Mpu Seta.

“Ada perihal apa sehingga Ayah memanggil kami berdua untuk datang kemari?” tanya Jagat Pramudita.

Mpu Seta kemudian mengeluarkan sebuah gulungan lontar dari balik jubah yang ia kenakan. Dia meletakkan gulungan itu di hadapannya. Jagat Pramudita dan Jaka Purnama hanya diam saat melihat benda tersebut.

“Apa ini, Ayah?” Jagat Pramudita merasa penasaran.

Mpu Seta menarik nafas yang begitu dalam dan lalu menghembuskannya. Kemudian dia menjawab, “Ini adalah gulungan lontar yang berisi tentang ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan.”

Seketika itu Jagat Pramudita dan Jaka Purnama pun sontak terkejut. Karena nama ajian itu memang pernah mereka dengar.

“Maaf, Guru.” Jaka Purnama memberi hormat kepada Mpu Seta dengan menyatukan kedua telapak tangannya. “Bukankah ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan merupakan jurus terlarang yang telah menghebohkan dunia persilatan? Sudah banyak korban nyawa berjatuhan akibat ganasnya ajian tersebut!”

Mpu Seta menganggukkan dagu ketika mendengarnya. Dia menatap ke Jaka Purnama dan lalu berkata, “Jurus itu sebenarnya akulah yang menciptakan. Tetapi murid pertamaku yang bernama Argani Bhadrika telah menyalahgunakan ilmu tersebut. Kini nama ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan sudah membuat gempar di seantero dunia persilatan.”

Dua orang lelaki yang duduk di hadapan Mpu Seta itu saling menatap satu sama lain. Mereka terkejut setelah mengetahui hal tersebut. Sebelumnya Mpu Seta tidak pernah menceritakan hal ini pada mereka. 

Mpu Seta tidak heran melihat ekpresi wajah anak tunggal dan juga murdinya itu, dia bisa memakluminya.

Mpu Seta melanjutkan, “Argani membikin keonaran dan menebar kerusuhan dimana-mana. Semua itu dia lakukan hanya demi mencapai hasratnya untuk memiliki keempat senjata sakti yang bernama Empat Pusaka Penakluk Jagat. Konon siapa pun yang memilikinya akan dapat menguasai dunia persilatan.”

Jagat Pramudita dan Jaka Purnama mengangguk paham dengan apa yang Mpu Seta jelaskan itu. Belakangan ini kehebohan besar memang tengah melanda dunia persilatan. Banyak para pendekar yang mati di tangan seorang lelaki bertopeng pemilik ajian Tatapan Rawali Menembus Awan. Ternyata lelaki itu juga adalah murid Mpu Seta, namun dia telah murtad.

Jagat Pramudita berkata, “Ayah, menurut cerita yang aku dengar dari orang-orang, bahwa si penebar huru-hara itu selalu menutupi wajahnya dengan topeng kayu. Darimana ayah tahu bahwa itu adalah Argani Bhadrika, orang yang dahulu pernah menjadi murid Ayah?”

“Tentu saja aku sangat mengetahuinya,” tegas Mpu Seta. “Meski sudah tiga belas tahun lamanya aku menyendiri di dalam gua ini, jauh dari keramaian dunia, tetapi sahabatku yang bernama Janaloka masih sering datang berkunjung, dia menceritakan kepadaku tentang berbagai kejadian-kejadian di luar sana.”

“Tapi aku baru tahu kalau ayah punya murid yang bernama Argani Bhadrika. Sejak kapan itu, Ayah?” tanya Jagat Pramudita sambil mengerutkan alis. “Bahkan aku terkejut kalau ternyata ilmu terlarang itu Ayahlah yang sudah menciptakan.”

Mpu Seta tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia bisa mengerti kalau anaknya itu sekarang kaget, sebab kejadian ini adalah peristiwa yang sudah sangat lama di masa lalu

Mpu Seta menjelaskan, “Ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan memang aku sendiri yang menciptakannya, dan ilmu tersebut belum pernah kuwariskan kepada seorang pun jua, kecuali hanya kepada murid pertamaku itu, yakni Argani Bhadrika. Saat dia belajar ilmu silat dariku, kau kala itu masih sangat kecil dan masih berada dalam ayunan, Jagat.”

“Maaf, Guru,” tukas Jaka Purnama. “Saat ini dimana-mana orang menilai bahwa ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan adalah ilmu terlarang, karena jurus itu sangat kejam dan berbahaya. Bahkan banyak para pendekar tua yang menyebutnya sebagai ilmu iblis.”

Mpu Seta menekan dadanya dengan telapak tangan dan terbatuk-batuk. Jagat Pramudita pun menuangkan air rebusan daun kopi ke dalam gelas dan lalu memberikannya kepada Mpu Seta.

“Minumlah dulu, Ayah,” kata Jagat Pramudita, seraya menyodorkan sebuah gelas.

Setelah orang tua itu minum beberapa tegukan, dia mengusap-usap dadanya sebentar, dan lalu mulai berbicara lagi.

“Kamu benar, Jaka Purnama,” Mpu Seta mengangguk. “Ilmu itu memang akan menjadi mengerikan apabila digunakan oleh orang yang jahat. Ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan hanya bisa dilawan dengan ajian yang sarupa, atau ajian yang lebih tiinggi dari itu, tidak banyak ilmu yang mungkin mampu menandinginya.”

Mpu Seta mengangkat gelasnya dan minum lagi air rebusan daun kopi beberapa tegukan. Kemudian dia lanjut berbicara. “Ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan terbagi jadi sembilan tingkatan. Jika orang yang mendalaminya telah sampai di tingkatan yang ketujuh, maka batinnya akan mengalami gejolak syahwat dan amarah yang berkobar-kobar. Dia harus mampu menjalaninya dengan penuh kesabaran hingga menyelesaikan sampai tingkat kesembilan.”

Alis Jaka Purnama terangkat sebelah. Dia tak bisa membayangkan betapa sulitnya untuk dapat menguasai ajian tersebut. “Sungguh ilmu yang sangat berat sekali. Tentu tidak sembarangan orang dapat menguasainya”

“Iya, sebab ini memang bukanlah ilmu kanuragan biasa. Dibutuhkan kegigihan dan juga ketabahan untuk mendalaminya,“ kata Mpu Seta kepada Jaka Purnama. Orang tua itu lalu melanjutkan lagi penjelasannya, “Tujuan akhir dari ajian ini adalah untuk mencapai moksa, yaitu kesucian jiwa. Dengan mencapai kesucian jiwa, maka terbukalah jalan untuk kembali kepada Tuhan. Itulah sebenarnya inti ajian tersebut.”

Jagat Pramudita dan Jaka Purnama takjub mendengarkan penjelasan Mpu Seta. Mereka sangat menyayangkan kalau ajian tersebut kini telah disalahgunakan untuk perbuatan jahat, sangat bertentangan dengan tujuan utamanya yaitu untuk mensucikan jiwa. 

“Argani Bhadrika hanya mampu menguasainya hingga tingkatan ketujuh,” kata Empu Seta. “Dia tidak mampu menahan gejolak nafsu sehingga akal dan hati nuraninya pun kalah. Apabila si penempuh ajian tersebut gagal pada tingkatan yang ketujuh, maka wajahnya akan berubah menjadi buruk rupa. Itu sebagai gambaran dari buruknya hati orang tersebut. Barangkali hal demikian sudah menimpa Arghani, itulah kenapa dia selalu menutupi wajahnya dengan topeng kayu.”

Jagat Pramudita lalu berucap, “Kalau satu orang Argani saja dengan ajian itu bisa menggemparkan dunia persilatan, bagaimana lagi jika seandainya gulungan lontar ini jatuh ke tangan para penjahat lain, tentu akan lebih banyak lagi bencana bermunculan.”

“Iya, tentu saja demikian,” angguk Jaka Purnama sependapat.

“Oleh sebab itulah aku memanggil kalian berdua datang kemari,” ujar Mpu Seta. “Ada tugas penting yang hendak aku berikan kepada kalian terkait dengan huru-hara yang sedang terjadi saat ini.”

Mpu Seta mengambil lagi gelasnya dan minum beberapa tegukan. Kemudian dia memandang kepada putranya. “Jagat Pramudita.”

“Iya, Ayah. Aku siap untuk menjalankan tugas apapun yang Ayah berikan padaku.” Jagat Pramudita menghaturkan hormat dengan menyatukan dua telapak tangan.

Mpu Seta pun memberinya sebuah amanah. “Aku tugaskan kamu untuk menyimpan dan menjaga gulungan lontar ini, Anakku. Jangan sampai jatuh ke tangan siapa pun.”

Dengan tegas putranya itu menjawab, “Aku bersumpah di hadapanmu, Ayah, bahwa aku akan menjaga benda ini walau harus nyawa yang jadi taruhan!” 

“Bagus, Anakku. Memang begitulah seyogyanya sifat seorang satria.” Mpu Seta merasa bangga.

Orang tua itu kemudian menoleh kepada Jaka Purnama, dia juga akan memberinya sebuah tugas.

“Jaka Purnama, pergilah ke Lembah Cendana di kaki gunung Bhanurasmi. Carilah orang yang bernama Ki Nawasena, dia adalah kakak seperguruanku. Mintalah bimbingannya untuk meningkatkan ajian Tenaga Dalam Inti Indurashmi. Sebab Tenaga Dalam Inti Indurashmi yang kuturunkan padamu masih belum sempurna. Hanya Ki Nawasena satu-satunya orang yang memahami ilmu itu melebihi aku. Jika ilmu tersebut berhasil kau sempurnakan, aku yakin dengannya akan dapat mengalahkan Argani Bhadrika.”

Jaka Purnama memberi hormat dengan menyatukan telapak tangan. “Baiklah, Guru, aku akan segera mencari tempat itu dan menemui orang yang Guru maksud.”

Tangan kanan Mpu Seta lalu menjangkau ke belakang, tampaknya dia sedang mengambil sesuatu. Ternyata dia mengeluarkan jubah sutera putih yang kerap dia kenakan sewaktu muda dulu.

“Jaka Purnama, ambillah jubah sutera putih ini,” ucap Empu Seta, seraya menyodorkan jubah itu ke anak muridnya tersebut. Jaka Purnama pun meraihnya dengan dua tangan.

Mpu Seta lau tersenyum menatap wajah Jaka Purnama. “Pakailah olehmu jubah itu, dengan demikian, Ki Nawasena akan percaya bahwa kau benar-benar adalah muridku yang aku utus.”

Jaka Purnama memperhatikan pada jubah sutera di tangannya itu. Dia merasa pakaian ini terlalu agung untuk dia kenakan, tapi ini adalah perintah gurunya, dan dia tahu kalau Mpu Seta paling tidak suka jika perintahnya tidak dipatuhi.

Mpu Seta sekarang duduk dengan lebih santai, dia menegakkan lututnya yang sebelah kiri dan memeluknya dengan kedua tangan. Sambil menatap ke langit-langit gua yang tersinari cahaya obor, dia mulai merenung. 

“Seharusnya masalah ini aku sendirilah yang turun tangan menyelesaikannya. Namun aku sudah bersumpah untuk tidak lagi ikut campur di dunia persilatan yang penuh dengan pertumpahan darah dan memutuskan menjadi seorang petapa hingga akhir hayatku.”

“Sudahlah, Ayah, tidak ada yang perlu disesalkan,” ucap Jagat Pramudita menenangkan batin ayahnya. “Dunia persilatan memang sedari dulu selalu ricuh dengan permusuhan antar para pendekar, saling bunuh, dan bahkan menjadi tempat untuk beradu kesombongan. Sebagai seorang resi yang telah mencapai kewaskitaan, Ayah tidak patut lagi berbaur dalam dunia yang demikian.”

Mpu Seta menganggukkan dagu. Dia sadar bahwa apa yang dikatakan putranya itu memang benar. 

Bab terkait

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 4 : Serangan Gerombolan Kelabang Merah

    Seribu orang pasukan perampok yang berpakaian serba hitam telah datang menyerang ke desa Tanjung Bambu yang berada tidak jauh dari pesisir pantai. Mereka datang lewat jalan laut dengan menggunakan kapal besar.Setiap perampok itu menutupi wajahnya dengan cadar merah, memakai caping, dan mengenakan sabuk merah di pinggang sebagai tanda bahwa mereka adalah Gerombolan Kelabang Merah.Gerombolan ini terkenal sebagai bajak laut ganas yang suka merampok di pulau-pulau kecil dan juga desa-desa di sekitar pantai. Mereka dipimpin oleh seorang penjahat yang bernama Aryajanggala.Di dunia persilatan, Aryajanggala lebih dikenal sebagai Taring Beruang. Julukan itu menjadi lekat karena ciri khasnya yang suka mengenakan kalung dan juga gelang dari taring serta gigi-gigi hewan beruang. Dia sangat dipatuhi oleh para bawahannya. Kedatangan pasukan perampok yang tiba-tiba di malam hari membuat warga jadi terkejut dan tidak siap. Mereka berpencar dan mendobrak setiap pintu rumah untuk merampas uang maupu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-06
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 5 : Melihat Dengan Mata Batin

    Suara pintu depan terdengar roboh akibat kena dobrak. Lima orang perampok kemudian melangkah masuk ke dalam rumah Anindhita. Perempuan itu segera keluar sambil meneteng sebilah Pedang di tangan kanannya.Para perampok itu rupanya telah sampai di ruangan tengah. Anindhita pun muncul dan berdiri di hadapan mereka. Tanpa basa-basi, dia langsung mencabut pedangnya dari dalam sarung.“Kurang ajar! Berani sekali kalian mendobrak pintu rumahku hingga roboh! Dasar kalian para pengikut Iblis!” ucap Anindhita, sambil dia mengacungkan ujung pedangnya ke arah para perampok tersebut.Para perampok itu kaget, ternyata yang muncul menghadapi mereka bukanlah seorang pria, melainkan seorang perempuan cantik berbaju ungu, tapi yang lebih membuat mereka terkejut lagi adalah saat melihat pedang yang dipegang oleh Anindhita.“Lihatlah, dia memegang sebuah senjata pusaka! Itu mirip seperti Pedang Penebas Setan!” kata salah seorang perampok kepada kawan-kawannya yang lain.Kemudian seorang lagi pun berkata,

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 6 : Amukan Pedang Penebas Setan

    Jaka Purnama menyapukan pandangannya ke sekeliling, sekarang tersisa enam orang lagi yang belum maju. Mereka masih mencari-cari kesempatan untuk menyerang.“Kurang ajar, ternyata kemampuanmu boleh juga, Pendekar!” teriak Aryajanggala kagum, tapi juga merasa kesal.Dua orang musuh tiba-tiba bergerak secara bersamaan dari arah kiri dan kanan. Mereka menghunuskan golok ke depan!Jaka Purna segera mengelak dengan melakukan teknik kayang sampai ujung jarinya menyentuh tanah. Dua golok yang tersorong dari arah berlawanan itu hanya melintas di atas dadanya, bahkan malah membuat kedua penjahat itu jadi saling bertikaman satu sama lain.Dari posisi kayang, Jaka Purnama bangkit dan kembali berdiri. Dia melepas caping yang menutupi kepala dua orang lelaki itu. Lalu Jaka Purnama pun memegang kepala keduanya dan membenturkan jidat mereka satu sama lain.“Bummm!”Perbenturan itu membuat jidat keduanya jadi benjol dan mengakibatkan keduanya pusing. Untuk sesaat mereka terhuyung-huyung dan lalu akhir

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 7 : Keris Lidah Naga

    Jaka Purnama masih menghadapi musuh yang tinggal tersisa empat orang. Aryajanggala dari tadi belum juga maju, dia masih diam dan mengawasi, coba memperhatikan seberapa hebat Jaka Purnama bertarung.Keempat musuh itu kembali berkeliling mengepung Jaka Purnama. Mereka memainkan golok dengan gaya bersilat-silat untuk memecah konsentrasinya.Jaka Purnama memandangi lawannya itu satu persatu. Dia tetap waspada dan berusaha agar tidak lengah.“Kali ini kau akan mampus, Pendekar!” ujar Aryajanggala “Cepat serang dan cabik-cabik dia!”Mereka pun menyerang dari empat penjuru secara bersamaan. Jaka Purnama menyilangkan dua kepalan tangannya di depan dada. Cahaya putih pun tiba-tiba terpancar dari tubuh Jaka Purnama dan melingkupi dirinya“Hiyaaaaa!” Jaka Purnama berteriak keras sambil merentangkan kedua belah tangan.Cahaya putih itu seketika melebar dan memukul semua musuh yang maju. Bak daun melayang dihembus angin kencang, keempat penjahat itu terpantal jauh dan jatuh terguling.Aryajanggala

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 8 : Mengejutkan Di Rumah

    Wluyo dan Jagat Pramudita akhirnya tiba jua di pantai malam itu. Mereka terkejut menyaksikan ada sesosok tubuh yang telungkup di bibir pantai dengan kondisi mengenaskan. Keduanya segera menghampiri Jaka Purnama.“Jaka, kau tidak apa-apa?” tanya Jagat Pramudita.“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Jaka Purnama.Waluyo menepuk bahu Jaka Purnama dan tersenyum. “Syukurlah kalau begitu.” Dia kemudian menunjuk ke tubuh Aryajanggala yang telungkup dalam kondisi sekarat. “Apakah lelaki ini yang dijuluki sebagai Taring Beruang, pimpinan gerombolan Kelabang Merah?”Jaka Purnama menganggukkan dagu. “Iya, dia sudah kukalahkan dengan ajian Sinar Bulan Membelah Samudera.”“Ajian Sinar Bulan Membelah Samudera?” Waluyo mengerutkan kening. “Aku baru mendengar kalau ada nama jurus seperti itu. Apakah itu jurus dari gurumu, Mpu Seta?”Jagat Pramudita tersenyum menatap Waluyo. Dia kemudian yang menjawab pertanyaan tersebut.“Sinar Bulan Membelah Samudera merupakan s

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 9 : Kenangan Masa Lalu

    "Sayang, maafkan aku karena datang terlambat. Bertahanlah!” Jaka Purnama mengusap keringat yang bercucuran di dahi istrinya itu dan lalu memeluknya.“Tidak apa-apa, Kang Mas. Musibah ini sudah menjadi takdir,” ujar Anindhita. Suaranya terdengar lemah sebab menahan rasa sakit karena sebilah golok masih tertancap di perutnya.Jaka Purnama tak kuasa menahan air mata. Dia menggenggam tangan kanan isterinya itu dan menciumnya. “Bertahanlah, Sayang. Aku akan menolongmu.”“Tidak usah, Kang Mas,” jawab Anindhita terhengal. “Aku sudah tidak tahan lagi, Waktuku telah hampir sampai. Jagalah buah hati kita baik-baik. Maafkanlah aku yang tak bisa lagi menemanimu , Kang Mas.”Air mata Jaka Purnama mengalir tambah deras karena mendengar ucapan isterinya barusan. Dia memeluk erat tubuh Anindhita dan berkata, “Aku sangat mencintaimu. Jangan tinggalkan aku, Anindhita!”“Aku juga sangat mencintai

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 10 : Perpisahan Dengan Buah Hati

    Setelah selesai dari mengenang masa lalu yang indah itu, Jaka Purnama bangkit dan menuju kamar. Dia menghampiri buah cinta mereka yang berada dalam ayunan.Jaka Purnama mengambil anak itu dan lalu menggendongnya. “Kasihan sekali kamu, Giandra. Ibumu telah pergi meninggalkan dunia ini, padahal kamu masih sangat membutuhkan kehadirannya di dekatmu.”Waluyo dan Jagat Pramudita juga masuk ke dalam kamar untuk melihat anak tersebut.“Anakmu ini tampan sekali, sama seperti ayahnya,” ujar Waluyo.Jaka Purnama mengusap pipi bayi laki-lakinya itu. “Aku berharap suatu saat nanti dia akan menjadi kesatria tangguh yang selalu berpegang pada kebenaran. Aku dan Anindhita memberikannya nama Giandra Lesmana, artinya orang yang pintar, berpengetahuan luas, dan beruntung dalam hidup.”“Giandra Lesmana, sungguh nama yang sangat gagah, segagah orangnya,” ujar Jagat Pramudita.Jaka Purnama lalu membalik

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 11 : Persaudaraan Iblis

    Di kala kegelapan malam semakin larut, sebagian bintang-bintang pun telah lenyap, kabut hitam yang tebal keluar dari kawah Gunung Ratri, menyelimuti puncaknya yang tinggi dan bergerak hingga ke kakinya.Di lereng gunung tersebut ada suatu area hutan yang penuh dengan pohon-pohon beringin besar. Tempat itu merupakan wilayah yang sangat sunyi, bukan kawasan yang biasa dijamah oleh para pemburu hewan.Di situ berkumpullah empat orang pendekar. Mereka sedang berdiri membentuk lingkaran. Kabut yang menyelimuti di sekeliling mereka seakan tidak mereka pedulikan.Enam belas batang bambu panjang tertancap di sekitaran tempat itu. Pada setiap ujung batangnya dinyalakan api sebagai pencahayaan. Itulah yang jadi sumber penerang sehingga mereka masih bisa melihat wajah satu sama lain.Keempat pendekar ini menamai kelompoknya sebagai Persaudaraan Iblis. Pemimpin tertinggi mereka ialah Argani Bhadrika, dia seorang lelaki bertopeng yang tak pernah ingin menampakkan wajah aslinya.Di antara anggota y

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24

Bab terbaru

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 113 : Diam-diam Menguping

    Setelah selesai mengobati Prabu Surya Buana di kamarnya, Giandra dan Tubagus Dharmasuri segera dibawa lagi oleh Senopati Wibisana untuk menemui Mpu Bhiantar dan Senopati Taraka yang juga sedang demam akibat keracunan.Dua orang yang sakit itu berada di sebuah ruangan khusus dalam lingkungan istana. Mereka tengah berbaring ditemani oleh Abirama dan juga Alindra.Senopati Wibisana mengetuk pintu dari luar. Alindra pun berdiri dan membukakannya.“Bagaimana keadaan mereka?” tanya Senopati Wibisana.Alindra hanya menggeleng. “Kami sudah memberikan mereka berdua ramuan obat, tapi nampaknya tidak mempan. Aku dan kakang Abirama bahkan tidak tahu jenis racun apa yang digunakan oleh Manik Maya.”Senopati Wibisana lalu melangkah masuk ke dalam ruangan, begitu pula Tubagus Dharmasuri dan Giandra, keduanya mengikutnya di belakang.Mpu Bhiantar kelihatan menggigil seperti orang yang sangat kedinginan. Nafasnya terdengar sesak. Seme

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 112 : Mengobati Sang Prabu

    Giandra dan Tubagus Dharmasuri akhirnya tiba juga di Istana Jayakastara saat hari sudah malam. Baru sebentar mereka melewati para pengawal di depan gerbang dan masuk ke halaman, tiba-tiba Senopati Wibisana langsung muncul menghampiri keduanya.Senopati Wibisana kelihatan kalang kabut. Dia berjalan sangat cepat, membuat Tubagus Dharmasuri jadi curiga kalau telah terjadi sesuatu.“Untunglah Gusti Patih telah kembali. Kita sedang ada masalah di Istana!”Tubagus Dharmasuri memberi isyarat dengan telapak tangan agar Senopati Wibisana tenang dan jangan seperti orang kebangkaran jenggot begitu.“Memangnya ada masalah apa? Bicaralah pelan-pelan.”“Ada orang jahat yang menaruh racun ke dalam tempayan. Gusti Prabu Surya Buana, Senopati Taraka, dan Mpu Bhiantar langsung tiba-tiba mengalami demam parah setelah minum kopi beberapa saat yang lalu.”Tubagus Dharmasuri memandang ke Giandra. “Sepertinya kita terlamba

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 111 : Terciduk di Dapur

    Matahari hampir terbenam di kaki cakrawala. Langit senja sudah semakin pucat. Sebentar lagi hari akan beranjak menuju malam. Dua orang pengawal yang tegak di depan gerbang istana tiba-tiba didatangi oleh laki-laki dan wanita yang mengendarai kereta kuda, mereka tampak membawa peti-peti berukuran besar.Manik Maya kala itu tengah menyamar dengan berpenampilan seperti seorang saudagar kaya raya, sedangkan Bayu merahasiakan tampangnya dengan menutup kepala menggunakan kain hitam.“Berhenti! Siapa kalian berdua? ada urusan apa datang ke istana? Sepertinya kalian bukan orang asli sini,” kata salah satu pengawal.Manik Maya pun mulai mengarang-ngarang cerita. “Kami berdua adalah saudagar dari tempat yang sangat jauh. Sengaja datang kemari untuk menghaturkan hadiah kepada gusti prabu agar beliau mau mendoakan suamiku yang sedang menderita sakit cacar.”Pengawal itu pun memperhatikan ke Bayu Halimun yang kepalanya tertutup kain hitam. &ldq

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 110 : Terpaksa Tunduk

    Beberapa saat waktu telah berlalu. Bayu Halimun dan Manik Maya akhirnya terbangun dari ketikdasaran mereka.Saat keduanya membuka mata, mereka memperdapati kondisi tubuh mereka yang digantung terbalik dengan kaki di atas dan kepala menghadap ke bawah.Badan Bayu Halimun dan Manik Maya dililit dengan kencang oleh akar-akar besar dan juga tumbuhan melayap. Mereka sekarang merasa pusing, sebab seluruh aliran darah menumpuk di bagian kepala.Keduanya mencoba untuk menggerak-gerakkan badan supaya bisa lepas. Namun usaha itu sia-sia belaka. Hanya membuang-buang tenaga dan membikin kepala mereka jadi tambah berdenyut.Nyai Jamanika berjalan di bawah sambil menggunakan tongkat. Dia gelak sekali mentertawakan dua pendekar itu. Kini kegeraman si nenek jelek itu telah terbayarkan dan hatinya pun puas.“Siapa suruh kalian mau coba-coba kabur dariku? Aku meminta baik-baik supaya kalian mengantarku menemui ketua Persaudaraan Iblis, tapi kalian malah cara g

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 109 : Sihir Kabut Hitam Delapan Penjuru

    Manik Maya menduga kalau ada dendam kesumat di hati Nyai Jamanika terhadap Mpu Bhiantar. Pasalnya si nenek berwajah mengerikan ini dahulu pernah ingin merebut kitab catatan racun milik Nyai Maheswari, hingga terjadilah pertarungan di antara keduanya.Dalam perkelahian tersebut hampir saja Nyai Maheswari kalah, tapi Mpu Bhiantar tiba-tiba muncul dan ikut campur, dia menyiramkan ke wajah Nyai Jamanika racun yang bernama “Getah Buah Hutan”. Itu yang membuat wajah Nyai Jamanika pun jadi rusak hingga sekarang.“Katakanlah, hai Nenek Peot, untuk apa dari tadi kau mengendengarkan pembincaraan kami.” desak Bayu Halimun. Dia curiga kalau si nenek ini mata-mata dari kerajaan.“Sebetulnya aku cuma kebetulan lewat dan bertemu kalian di sini. Jika memang kalian ingin berperang melawan Prabu Surya Buana dan para bawahannya, aku tertarik untuk ikut bergabung,” ujar Nyai Jamanika.Bayu Halimun merasa ragu mendengar hal itu. Dia berkata

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 108 : Ada Yang Diam-diam Menguping

    Setelah cukup jauh melarikan diri sambil menggendong Manik Maya, Bayu Halimun kini sampai di tengah hutan belantara yang tak ada satu pun rumah penduduk. Dia mendarat dan kemudian menurunkan wanita itu.“Kau tidak apa-apa?” tanya Bayu Halimun.Manik Maya berjalan menuju ke sebetang pohon beringin. Dia lalu duduk bernaung di bawahnya dan bersandar.Sambil mengusap lambungnya yang masih nyeri, Manik Maya menjawab, “Aku tidak apa-apa. Kalau tadi dirimu tidak segera muncul, maka habislah sudah aku di tangan pendekar itu.”Bayu Halimun tegak di samping Manik Maya. Dia memberitahu, “Aku disuruh oleh Argani Bhadrika untuk mengawasimu dan Celeng Ireng. Sebab Argani tahu bahwa tidak akan mudah bagi kalian untuk menjalankan tugas ini. Setelah bertemu kalian berdua aku pun terkejut, bagaimana bisa sampai terjadi pertarungan dengan para pendekar tadi? Apakah Celeng Ireng terbunuh.Manik Maya menarik Nafas dalam-dalam. Dia pun mena

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 107 : Tewasnya Celeng Ireng

    Melihat temannya yang terkena totokan, Manik Maya segera menotok balik leher Celeng Ireng dengan dua jari untuk membuka lagi aliran darahnya. Namun walau demikian, Giandra dan Tubagus Dharmasuri sudah sampai ke dekat mereka, tak mungkin lagi bagi keduanya untuk kabur.“Sekarang kalian mau lari kemana? Aku tahu kalian pasti sedang merencanakan niat jahat. Cepat katakan!” bentak Tubagus Dharmasuri.Manik Maya dan Celeng Ireng pun saling bertatapan sesaat. Mereka tak menyangka kalau harus bertemu dengan dua pria ini. Tidak mudah bagi mereka untuk bisa selamat jika sudah dalam keadaan begini.“Ilmu Malih Rupomu sangat hebat sekali, hai Siluman Babi. Tapi sayang, kini penyamaranmu telah terbongkar,” ujar Giandra pada Celeng Ireng.Karena memang tidak ada pilihan lain kecuali bertarung, Manik Maya pun segera mencabut pedangya dari pinggang. Celeng Ireng juga mengangkat tangan kirinya, lalu tombak trisula pun tiba-tiba langsung muncul di

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 106 : Sihir Tipuan

    Di waktu siang saat terik matahari menjilati kulit, langit biru begitu cerah dan gumpalan awan putih berkilauan hingga ke ujung cakrawala, Giandra dan Tubagus Dharmasuri masih dalam perjalanan menuju istana. Mereka sudah bergerak dari pagi tadi meninggalkan padepokan, dan sekarang telah keluar dari kawasan Desa Tanjung Bambu.Perut keduanya kini mulai keroncongan, dahaga terasa menggelegak di tenggorokan, butir-butir keringat membasahi leher dan juga lengan mereka, bahkan kuda yang jadi tunggangan pun kelihatannya sudah capek dan ingin beristirahat.Karena hari beranjak semakin siang, akhirnya mereka pun memutuskan untuk berhenti dahulu demi melepas lelah. Tidak jauh di hadapan mereka terlihat ada sebuah warung tempat makan, Giandra mengajak Tubagus Dharmasuri untuk mampir di sana sebentar.Sesampainya mereka di depan warung itu, Keduanya pun turun dari atas tunggangan. Giandra menyeret kudanya dan kuda Tubagus Dharmasuri ke dekat pohon kelapa di seberang jalan,

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 105 : Berakhirnya Buruk Rupa Argani Bhadrika

    Di puncak Gunung Ratri, di depan pintu gua yang pernah menjadi sarang Iblis Hitam, tujuh orang anggota Persaudaraan Iblis bersama Dewa Kalajengking kembali akan melakukan ritual. Malam ini adalah penyempurnaan bersatunya sukma Iblis Hitam ke dalam tubuh Argani Bhadrika.Sambil berdiri menghadapi Dewa Kalajengking yang tegak di depan pintu gua, Argani Bhadrika memegang dua cupak tempurung di kedua belah tangannya yang berisi darah perawan. Dia menuangkan darah dalam cupak-cupak tempurung itu ke mulutnya secara bergantian kiri dan kanan. Pada kedua tepian bibirnya melelehlah sisa darah itu hingga ke bawah dagunya.Sesuah selesai minum, Argani lalu melemparkan kedua tempurung itu ke atas tumpukan tempurung-tempurung lain yang berserakan di tanah. Dia kemudian menyapu bekas lelehan darah di dagunya dengan punggung tangan.“Darah belas gadis perawan telah habis aku minum. Rasanya sangat manis dan kental. Sekarang lanjutkanlah upacaranya, hai Dewa Kalajengking!&

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status