Setelah selesai dari mengenang masa lalu yang indah itu, Jaka Purnama bangkit dan menuju kamar. Dia menghampiri buah cinta mereka yang berada dalam ayunan.
Jaka Purnama mengambil anak itu dan lalu menggendongnya. “Kasihan sekali kamu, Giandra. Ibumu telah pergi meninggalkan dunia ini, padahal kamu masih sangat membutuhkan kehadirannya di dekatmu.”
Waluyo dan Jagat Pramudita juga masuk ke dalam kamar untuk melihat anak tersebut.
“Anakmu ini tampan sekali, sama seperti ayahnya,” ujar Waluyo.
Jaka Purnama mengusap pipi bayi laki-lakinya itu. “Aku berharap suatu saat nanti dia akan menjadi kesatria tangguh yang selalu berpegang pada kebenaran. Aku dan Anindhita memberikannya nama Giandra Lesmana, artinya orang yang pintar, berpengetahuan luas, dan beruntung dalam hidup.”
“Giandra Lesmana, sungguh nama yang sangat gagah, segagah orangnya,” ujar Jagat Pramudita.
Jaka Purnama lalu membalik
Di kala kegelapan malam semakin larut, sebagian bintang-bintang pun telah lenyap, kabut hitam yang tebal keluar dari kawah Gunung Ratri, menyelimuti puncaknya yang tinggi dan bergerak hingga ke kakinya.Di lereng gunung tersebut ada suatu area hutan yang penuh dengan pohon-pohon beringin besar. Tempat itu merupakan wilayah yang sangat sunyi, bukan kawasan yang biasa dijamah oleh para pemburu hewan.Di situ berkumpullah empat orang pendekar. Mereka sedang berdiri membentuk lingkaran. Kabut yang menyelimuti di sekeliling mereka seakan tidak mereka pedulikan.Enam belas batang bambu panjang tertancap di sekitaran tempat itu. Pada setiap ujung batangnya dinyalakan api sebagai pencahayaan. Itulah yang jadi sumber penerang sehingga mereka masih bisa melihat wajah satu sama lain.Keempat pendekar ini menamai kelompoknya sebagai Persaudaraan Iblis. Pemimpin tertinggi mereka ialah Argani Bhadrika, dia seorang lelaki bertopeng yang tak pernah ingin menampakkan wajah aslinya.Di antara anggota y
Dalam sebuah gua yang diterangi cahaya obor, Mpu Seta sedang melakukan meditasi. Dia hanya duduk bersila dan diam sambil menyatukan dua telapak tangan. Bola matanya terpejam, aliran nafasnya naik dan turun dengan sangat tenang, setenang suasana malam di tengah hutan belantara.Tiba-tiba seorang kakek bertubuh tinggi muncul secara ajaib di hadapannya. Kakek tua tersebut mengenakan jubah kuning, celana kuning, dan ikat kepala yang juga berwarna kuning. Rambutnya tergerai panjang dan lurus, putih dan berkilauan seperti perak.Mpu Seta pun pelan-pelan membuka mata. Sosok itu berdiri tegak dengan tubuh yang tinggi semampai. Sanggul di puncak kepala si kakek itu hampir saja menyentuh langit-langit gua. Mpu Seta dapat mengenali kalau yang datang ini adalah sukma dari mendiang gurunya, yaitu Resi Cakrasyananda.Mpu Seta langsung turun dari atas batu besar tempat dia duduk. Kini dia berdiri sambil membungkukkan badan menjura hormat.“Ada perihal apa yang mem
Matahari bersinar terang. Gumpalan awan-awan putih menghiasi langit biru. Cuaca di hari itu sangat baik, namun juga terasa panas menjilati kulit.Setelah berjalan kaki cukup jauh meninggalkan desa Tanjung Bambu, Jaka Purnama menumpangi sebuah rakit untuk menyeberang sungai, hingga tibalah dia di suatu kampung yang ramai dengan para penduduk.Jaka Purnama berjalan menyusuri kampung tersebut. Para pedagang terlihat berjualan di pinggiran jalan. Ada banyak sayur-sayuran, buah-buah segera, dan juga aneka manik-manik yang jadi kesukaan para gadis remaja.Seorang pengemis tua yang berbadan bungkuk tiba-tiba muncul mendekati Jaka Purnama, Dia berpakaian compang-camping, menadahkan tempurung yang kosong dengan kedua tangan.“Saya sudah dua hari belum makan, Tuan. Sudilah Tuan memberi saya sedikit uang,” ujar pengemis itu meminta.Jaka Purnama pun mengambil beberapa keping uang dari buntalan kain yang tergantung di pinggangnya, lalu dia memasukkannya ke dalam tempurung kosong yang dipegang ole
“Kurang ajar! Siapa yang berani ikut campur!” teriak si lelaki berkepala botak itu dengan penuh amarah.Jaka Purnama yang duduk di tempat paling belakang pun berucap padanya, “Tindakanmu sungguh sangat keterlaluan! Menggunakan kekuatan untuk menindas orang yang lemah. Benar-benar memalukan!”Pemimpin rombongan itu menatap ke Jaka Purnama dengan bola mata yang menyala seperti bara api. “Keparat! Ternyata kau yang tadi menyerangku secara diam-diam!” Dia lalu berkata kepada semua anak buahnya, “Ayo, kalian tunggu apalagi? Cepat hajar dia!”Para lelaki itu pun mencabut golok-golok mereka dari pinggang dan hendak menyerang Jaka Purnama.Jaka Purnama segera berdiri dan langsung bersalto depan melompati meja. Saat kedua kakinya menginjak di lantai dengan hentakan yang kuat, dia pun langsung mengambil sikap kuda-kuda samping.Satu orang lelaki di antara mereka pun maju seperti macan yang kelaparan. Sera
Jaka Purnama menjura hormat kepada dua orang pendekar yang telah membantunya itu. “Terimakasih banyak, Sobat berdua telah membantuku menghadapi para bromocorah tadi. Perkenalkan, namaku Jaka Purnama, dari Desa Tanjung Bambu.”Sambil memegang pedang yang sudah tersarung, lelaki berbaju abu-abu dengan rambut panjang yang tersanggul di puncak kepalanya juga balas memberi hormat.“Tidak perlu berterimakasih, Sobat. Sudah menjadi kewajiban kita para pendekar untuk menumpas kejahatan. Perkenalkan,. namaku Abirama, dan ini adalah adik kandungku, Alindra. Kami dari perguruan Teratai Jingga di balik Bukit Sarang Merpati.”“Perguruan Teratai Jingga?” Sejenak Jaka Purnama mengerutkan dahi. Dia merasa pernah mendengar nama itu. “Oh, iya, aku baru ingat. Ternyata kalian adalah murid Nyai Maheswari. Beliau seorang tokoh pendekar wanita yang terkenal ahli dalam ilmu pengobatan.”“Betul sekali, Kakang Pendekar,” ujar Alindra. “Rupanya Kakang juga mengetahui tentang guru kami.”Abirama lalu bertanya,
Bab 16 : Makhluk Penjaga Lembah CendanaBerminggu lamanya perjalanan panjang ditempuh, hutan dan tebing perbukitan telah dilewati, sungai-sungai telah diseberangi, dan segala rintangan maupun marabahaya sudah dihadapi. Ketika siang panas matahari menjilati kulit, dan saat malam tiba dinginnya udara menusuk ke tulang, namun apapun itu, tak dapat menyurutkan semangat Jaka Purnama.Kini tibalah dia di tempat yang menjadi tujuannya, yaitu Lembah Cendana. Kawasan ini dikelilingi oleh pegunungan yang terlatak pada empat penjuru mata angin.Di sebelah Timur tampaklah satu gunung yang paling tinggi. Setiap kali matahari terbit di waktu pagi, maka cahayanya akan terlihat terang benderang di puncak gunung itu, sehingga dinamakanlah ia sebagai Gunung Bhanurasmi, yaitu gunung matahari.Di sebelah Barat ada tiga barisan gunung yang bernama Bukit Tiga Baris, di sebelah Utara ada dua buah gunung yang rapat dan dinamai Gunung Bujang Dara, sedangkan di sebelah Selatan ada satu gunung yang paling kecil
Tak lama setelah perjumpaannya dengan siluman musang, tiba-tiba Jaka Purnama melihat lagi dari balik pohon muncul seorang lelaki tua berbaju hijau dengan rambut putih yang tersanggul. Dia berjalan menggunakan tongkat dan menghampiri Jaka Purnama.Orang tua itu berkumis tebal dan memiliki jenggot yang panjang hingga ke pusat, semuanya tampak putih, menandakan kalau usianya memang sudah sangat tua, hal itu dibuktikan pula dengan kulit wajahnya yang terlihat keriput dan bola matanya yang sudah kelabu.Jaka Purnama mundur beberapa langkah dan mengambil sikap waspada, namun orang tua itu mengisyaratkan dengan telapak tangan agar Jaka Purnama tidak usah takut. Dengan suara serak, dia berkata, “Tenanglah, Ki Sanak. Aku ini bukan orang dunia persilatan yang suka berkelahi. Kau tidak perlu waspada begitu melihatku.”Orang tua tersebut memang kelihatan lebih ramah dan bersahabat jika dibandingkan dengan siluman musang tadi. Jaka Purnama memberi hormat dengan menyatukan kedua tangan.Orang tua
Sangat berbeda dengan siluman beruang tadi, Janaloka muncul sebagai penghalang bukan untuk menguji ilmu kanuragan Jaka Purnama, melainkan untuk menguji wawasan dan juga kecerdasannya.Jaka Purnama memberi hormat dan membungkukkan badan. “Dengan pengetahuanku yang terbatas, aku akan berusaha menjawab ketiga pertanyaan itu. Silahkan Kakek ajukan.”Janaloka pun memulai dengan pertanyaan pertama. “Sebutkan padaku anjing apa yang paling buas, babi apa yang paling pemalas, dan harimau apa yang paling kuat?”Jaka Purnama merasa tidak asing saat mendengar pertanyaan tersebut. Ini adalah hal yang kerap dibahas oleh Mpu Seta saat dia menasehati Jaka Purnama dan Jagat Pramudita setiap kali selesai latihan. Tanpa butuh waktu lama, dia sudah mengerti maksud pertanyaan itu dan langsung bisa menjawabnya. Dengan yakin, Jaka Purnama menjawab, “Anjing yang paling buas adalah gejolak amarah dalam diri, babi yang paling pemalas adalah sifat kemelekatan terhadap hal duniawi, dan harimau yang paling kuat
Setelah pertarungan besar babak pertama selesai, masih ada tujuh ratus orang lagi dari prajurit kerajaan yang tersisa. Namun yang memilukan, Abirama akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan sang adik.Senopati Wibisana coba mendekat ke Alindra. Wanita itu masih menangis dan memeluk erat sang kakang yang sudah tak bernyawa lagi. Dengan perasaan iba, dia pun duduk di samping Alindra dan berusaha menabahkan.“Bersabarlah, Alindra. Kakangmu adalah seorang pendekar sejati. Dia sudah berjuang dalam pertempuran ini. Jiwanya pasti ditempatkan di Swargaloka yang agung.”Bola mata Alindra basah berlinangan, duka citanya begitu mendalam, dengan tatapan yang sayu, dia melihat ke Senopati Wibisana.“Kakang Abirama tewas karena melindungiku. Dia rela mengobarkan jiwanya untuk menyelamatkanku.”Senopati Wibisana hanya bisa mengangguk. Dia mengerti kesedihan di hati Alindra saat ini. Memang bukan hal yang mudah jika harus berpisah dari seorang saudara kandung yang selama ini selalu menjaga
Setelah membalaskan kematian gurunya pada Manik Maya, Alindra secepatnya menghampiri Abirama yang tadi terkena serbuk racun. Kedua mata Kakangnya itu sudah tak bisa melihat lagi, sebab Serbuk Tujuh Bunga telah merusak kornea matanya.Alindra duduk di sebelah Abirama dan memeluk pundak kakangnya itu. Dia merasakan kalau badan Abirama sangat panas. Ini adalah dampak buruk dari pengaruh racun yang terhirup.“Kakang harus bertahan! Percayalah, Paman Mpu Bhiantar pasti bisa mengobatimu. Aku yakin kalau dia masih menyimpan serbuk Cendawan Biru.”Sambil berpejam dan tersenyum, walau menahan sakit, Abirama berkata dengan suara serak, “Sudahlah, Adikku. Sudahlah terlambat untuk kembali ke istana dan berobat dengan paman Mpu. Ajalku sebentar lagi akan tiba. Yang terpenting kau telah membalaskan kematian guru kita.”“Jangan bicara begitu, Kakang! Kakang pasti akan diobati secepatnya. Bertahanlah!”Abirama menggenggam tangan kanan sang adik yang dari tadi memeluknya erat. Dia menghadapkan mukanya
Selagi Abirama, Patrioda, dan Senopati Wibisana sibuk menolong para prajurit yang dibantai oleh Gerombolan Kelabang Merah, Manik Maya akhirnya melompat turun dari atas pohon. Kini dia berdiri tegak di hadapan Alindra dan menantangnya bertarung.“Sudah bertahun lamanya aku menunggu saat ini tiba. Hari ini kau tak akan selamat dari senjata trisulaku!”“Heh, kau yakin sekali mampu mengalahkanku. Justru dirimulah yang akan jadi bangkai di hutan ini. Bersiaplah!”Manik Maya menghunuskan pedang dari dalam sarung. Dia bergerak maju dan melibaskan serangan. Sabetan demi sabetan datang beruntun memburu Alindra, kecepatan Manik Maya dalam bermain jurus memang tak boleh dianggap remeh.“Ting! Ting! Ting!” Berulangkali pedang tajam itu berbenturan dengan sepasang trisula yang Alindra genggam. Hingga saat ada kesempatan untuk membalas serangan, Alindra bergerak cepat memutar badan, dia menghantam pipi Manik Maya dengan siku kirinya
Sebagaimana perintah yang diamanatkan oleh Tubagus Dharmasuri, maka kini Senopati Wibisana, keempat pendekar, dan seribu orang prajurit yang menyertainya mulai berkeliling menyusuri kawasan di lereng Gunung Ratri.“Aku berharap para pendekar ini bisa kompak saat melawan musuh, lebih lagi si Patrioda, dia amat sombong dan susah diatur,” batin Senopati Wibisana, hatinya merasa cemas.Baru saja keangkuhannya redup sejenak, kini Patrioda sudah mulai lagi berucap sok hebat. “Mana musuh-musuh kita? Heh, tampaknya mereka takut dan tidak berani keluar. Seperti kucing saja Persaudaraan Iblis ini.”“Kita harus tetap waspada. Jangan menganggap remeh lawan. Siapa tahu mereka sedang mengintai kita saat ini,” ujar Senopati Wibisana mengingatkan.Tiba-tiba kemudian, Damayanti mencabut sebilah anak panah dan melepaskannya ke arah semak-semak. Dia tahu kalau ada yang tengah bersembunyi di tempat itu.“Ada apa, Damayanti?&rd
Pagi hari saat surya baru mulai terbit di langit timur, sekitar dua ribu orang prajurit tengah berkumpul di depan pintu gerbang Istana Kerajaan Jayakastara. Pagi ini mereka bersiap-siap untuk melakukan penggempuran ke lokasi yang jadi tempat persembunyian Persaudaraan Iblis.Patih Tubagus Dharmasuri, selaku komandan tertinggi yang bertugas memimpin seluruh pasukan, berdiri tegak di hadapan para prajuritnya, para senopati, dan juga para pendekar. Laki-laki tua itu menyampaikan pidato sebelum sebelum mereka akan bergerak ke sarang musuh.“Sekarang telah tiba waktunya bagi kita untuk memusnahkan Persaudaraan Iblis yang selama ini meresahkan masyarakat. Demi melindungi umat manusia, dan demi mempertahankan kerajaan Jayakastara, aku harap kalian sudah siap bertempur walau hingga titik darah penghabisan. Apa kalian sanggup!”“Ya, kami sanggup!” sahut semua yang hadir dengan penuh semangat.“Bagus, itulah kesetiaan yang diinginkan o
Semua anggota Persaudaraan Iblis saling merapat satu sama lain. Mereka ngeri dengan apa yang sebentar lagi akan terjadi. Dunia bagaikan hendak kiamat. Berulangkali suara guntur meraung-raung di angkasa!“Gawat! Argani sudah benar-benar mencapai puncak amarahnya. Dia akan menggunakan jurus Hujan Halilintar Menggempur Bumi,” sebut Jimbalang Loreng memberitahu pada teman-temannya.“Hah, jurus Halilintar Menggempur Bumi? Darimana kau bisa tahu kalau ketua kita memiliki ilmu semacama itu?” tanya Manik Maya serasa tak percaya.“Dia pernah mengisahkannya padaku,” jawab Jimbalang Loreng. “Jurus ini merupakan puncak tertinggi dari ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan sejauh yang dikuasai oleh Argani. Aku khawatir kalau dia akan kehilangan kesadarannya akibat pengaruh dari kedahsyatan jurus ini.”Panglima Sanca terus memperhatikan betapa seram pemandangan di langit. Dia rasa kalau sebentar lagi sambaran-sambaran petir yang bertubi-tubi akan turun dari atas sana. Bukan hanya Nyai Jamanika yang n
“Hmmh.” Nafas Nyai Jamanika berdengus seperti banteng. Tatapan matanya yang mengerikan memandangi pada semua orang satu persatu bak singa kelaparan.Semua anggota Persaudaraan Iblis yang hadir di tempat itu merasakan aura kegelapan yang sangat kuat terpancar dari si nenek peot tersebut. Padahal tadi energinya terasa biasa-biasa saja, namun sekarang Nyai Jamanika sudah mulai menampakkan kalau dia bukanlah nenek sembarangan.Jimbalang Loreng dan para anggota yang lain akhirnya gentar. Semakin lama pancaran aura kegelapan si nenek itu semakin meningkat. Apakah tak lama lagi dia akan mengamuk di sarang Persaudaraan Iblis? Jika hal itu terjadi, maka tak ada satu pun yang mampu menandingi kesaktiannya.“Tenanglah, hai Nyai,” bujuk Panglima Sanca. “Sebentar lagi ketua kami akan datang ke sini. Kami tak ingin kalau harus ribut denganmu.”Nyai Jamanika tersenyum kecut. Dia kembali memandangi semua orang dengan sorot matanya yang tajam. “Aku tidak suka kalau harus lama-lama menunggu. Sepertinya
Karena memisahkan diri dari orang-orang dan tidak mau ikut berkumpul bersama yang lain, Patrioda duduk bersila di atas ranjang dalam kamar tamu tempat dia beristirahat. Hatinya betul-betul kesal dengan kemunculan Giandra di istana ini.“Hmmh. Pendekar muda itu kelihatan sekali ingin cari muka di hadapan para petinggi kerajaan. Padahal baru cuma bisa mengobati orang yang keracunan saja, tapi lagaknya sudah macam pahlawan.”Sambil memangku kedua tangan di bawah dada, Patridoa diam sebentar dan merenung. Dia sadar kalau kehadiran Giandra di istana ini bisa menjadi sumber perhatian banyak orang, apalagi Patrioda sangat takut jika Puteri Seroja yang jadi dambaan hatinya nanti akan diganggu oleh Giandra.“Kalau sampai pemuda itu berani mendekati Puteri Serojaku, aku tidak segan-segan untuk menendangnya keluar dari istana ini. Cuih! Apa hebatnya dia itu!”Sebelum memutuskan untuk pergi dari padepokan Lenggo Geni dan bergabung di kerajaan ini, Patrioda sudah membayangkan bahwa dia harus bisa m
Setelah selesai mengobati Prabu Surya Buana di kamarnya, Giandra dan Tubagus Dharmasuri segera dibawa lagi oleh Senopati Wibisana untuk menemui Mpu Bhiantar dan Senopati Taraka yang juga sedang demam akibat keracunan.Dua orang yang sakit itu berada di sebuah ruangan khusus dalam lingkungan istana. Mereka tengah berbaring ditemani oleh Abirama dan juga Alindra.Senopati Wibisana mengetuk pintu dari luar. Alindra pun berdiri dan membukakannya.“Bagaimana keadaan mereka?” tanya Senopati Wibisana.Alindra hanya menggeleng. “Kami sudah memberikan mereka berdua ramuan obat, tapi nampaknya tidak mempan. Aku dan kakang Abirama bahkan tidak tahu jenis racun apa yang digunakan oleh Manik Maya.”Senopati Wibisana lalu melangkah masuk ke dalam ruangan, begitu pula Tubagus Dharmasuri dan Giandra, keduanya mengikutnya di belakang.Mpu Bhiantar kelihatan menggigil seperti orang yang sangat kedinginan. Nafasnya terdengar sesak. Seme