"Sayang, maafkan aku karena datang terlambat. Bertahanlah!” Jaka Purnama mengusap keringat yang bercucuran di dahi istrinya itu dan lalu memeluknya.
“Tidak apa-apa, Kang Mas. Musibah ini sudah menjadi takdir,” ujar Anindhita. Suaranya terdengar lemah sebab menahan rasa sakit karena sebilah golok masih tertancap di perutnya.
Jaka Purnama tak kuasa menahan air mata. Dia menggenggam tangan kanan isterinya itu dan menciumnya. “Bertahanlah, Sayang. Aku akan menolongmu.”
“Tidak usah, Kang Mas,” jawab Anindhita terhengal. “Aku sudah tidak tahan lagi, Waktuku telah hampir sampai. Jagalah buah hati kita baik-baik. Maafkanlah aku yang tak bisa lagi menemanimu , Kang Mas.”
Air mata Jaka Purnama mengalir tambah deras karena mendengar ucapan isterinya barusan. Dia memeluk erat tubuh Anindhita dan berkata, “Aku sangat mencintaimu. Jangan tinggalkan aku, Anindhita!”
“Aku juga sangat mencintaimu, Kang Mas, namun sebagai manusia kita tidak mungkin melawan takdir. Terimakasih karena selama ini Kang Mas sudah menyayangiku, menjaga, dan mengasihiku dengan setulus hati. Selamat tinggal, Kang Mas Jaka Purnama.”
Setelah kalimat terakhir yang diucapkannya itu, mata Anindhita pun tertutup. Bibirnya kelihatan masih terbuka, namun nafasnya sudah putus, perempuan yang sangat dikasihi oleh Jaka Purnama itu kini telah tiada.
Tangisan seorang bayi di ayunan tiba-tiba pecah dari dalam kamar. Seakan anak itu bisa merasakan dan mengatahui bahwa roh ibunya telah pergi meninggalkan dunia.
Waluyo duduk berjongkok di samping Jaka Purnama. Tangannya mengusap-usap bahu si lelaki yang tengah berduka itu. Dia berusaha menenangkannya.
Dengan suara lirih, Waluyo berucap, “Sudahlah, Nak. Kuatkan jiwamu. Relakanlah kepergian isterimu. Aku juga berat menerima kenyataan ini. Karena walau bagaimana pun, Anindhita juga merupakan puteri dari kakangku, Datuk Subrata. Tapi benar apa yang tadi Anindhita telah katakan, bahwa sebagai manusia kita tidak mungkin melawan takdir.”
Jaka Purnama membelai pipi Anindhita, kemudian dia mencium kening isterinya itu dengan penuh cinta.
“Kenapa kejadian seperti ini harus menimpa padamu, Anindhita. Kau adalah perempuan yang baik, tapi kenapa takdir begitu kejam terhadap dirimu. Mengapa kita harus berpisah.”
Waluyo dan Jagat Pramudita hanya bisa terharu. Mereka bisa membayangkan bagaimana beratnya kalau harus berpisah dari orang yang dicintai. Harapan menua bersama dan manisnya kemesraan di hari-hari lalu kini telah putus, menjelma jadi awan kelabu yang mengguyurkan hujan air mata.
Jaka Purnama mengambil pedang pusaka yang tergeletak di lantai, dia pun memasukkannya kembali ke dalam sarung. Itu adalah pusaka milik keluarga isterinya yang selalu dicari-cari oleh banyak pendekar di dunia persilatan.
Dalam beberapa waktu, Jaka Purnama kembali mengingat kenangan masa lampau saat pertama kali dia bertemu dengan Anindhita.
Bermula pada suatu sore saat Jaka Purnama dalam perjalanan pulang ke Desa Tanjung Bambu dari sehabis menziarahi kuburan ayah dan ibunya di Desa Hulu Sungai.
Kala itu warna langit sudah memucat, Jaka Purnama melihat ada serombongan prajurit kerajaan yang membawa sebuah tandu besar sedang dicegat oleh gerombolan perampok bersenjata.
Perampok-perampok itu diketuai oleh Wandra Parama, seorang lelaki yang menjuluki dirinya sebagai Panglima Sanca. Dia memakai julukan itu agar terdengar lebih menakutkan.
Pimpinan perampok tersebut meminta rombongan prajurit supaya menyerahkan permaisuri yang berada di dalam tandu. Dia tidak mengizinkan mereka lewat jika keinginannya tidak dipenuhi.
Di antara para prajurit yang mengiringi permaisuri, ada seorang perempuan cantik berbaju ungu yang duduk di atas kuda putih. Sebilah pedang tampak tergantung di punggungnya. Penampilannya mirip seorang pendekar.
Perempuan tersebut melompat dari atas kuda hingga dia pun berdiri tegak di hadapan semua perampok. “Kalian penjahat-penjahat tidak tahu diri! Beraninya mencegat permaisuri dari kerajaan Jayakastara! Memang ada urusan apa kalian?”
“Sri Dewi Jayasri adalah kekasihku. Aku sudah lama memiliki hubungan dengannya,” jawab Panglima Sanca.
“Heh, mana mungkin seorang permaisuri kerajaan bisa punya hubungan dengan penjahat tengik sepertimu,” tukas perempuan berbaju ungu.
“Sudah, jangan banyak omong!” tegas Panglima Sanca. “Jika kalian tidak segera menyerahkan permaisuri kepadaku, maka pasukanku akan menghabisi kalian semua!”
Perempuan itu menatap pada Panglima Sanca dengan sorot mata yang tajam. “Sombong sekali kau, Penjahat Tengik! Aku tahu kau adalah Wandra Parama, penjahat yang suka menodai kesucian gadis-gadis!”
Jaka Purnama mengintip peristiwa itu dari balik pohon besar. Dia menduga kalau sebentar lagi akan terjadi pertarungan.
Panglima sanca yang tersinggung langsung mecabut pedang dari pinggangnya. “Kurang ajar kau, hai Perempuan! Akan kucabik-cabik tubuhmu dengan pedang tajamku ini!”
“Maju sini! Dasar Penjahat Busuk!” Anindhita menantang.
Dengan mengangkat ujung pedangnya ke langit, Panglima Sanca memberi isyarat kepada para anak buahnya. “Ayo semuanya, serang!!”
Para prajurit yang tegak di belakang Anindhita juga segera mencabut senjata mereka untuk melindungi sang permaisuri. Perkelahian pun akhirnya pecah diantara dua kelompok tersebut.
Jaka Purnama fokus memperhatikan duel antara Panglima Sanca dan si perempuan berbaju ungu. Dia sampai dibuat ternganga karena kagum.
Serangan demi serangan dilancarkan oleh Panglima Sanca, tapi si perempuan mampu menghindarinya dengan cepat, tak ada satu pun sayatan pedang yang berhasil melukai tubuhnya..
Langkah kaki perempuan itu sangat lincah dan tangannya juga begitu lihai memainkan pedang, Panglima Sanca berhasil dibuat terdesak olehnya hingga semakin mundur ke belakang.
“Gadis ini punya kemampuan bela diri yang hebat,” ujar Jaka Purnama dalam hati.
Merasa geram karena dirinya dibuat terdesak, Panglima Sanca lalu mengeluarkan jurus pedang andalannya, yakni jurus Pedang Mengamuk Membelah Hujan.
Panglima Sanca balas menyerang dengan beringas. Benturan demi benturan antar dua pedang berdengung berulang kali. Sebagai penonton, Jaka Purnama sangat terpukau, ternyata perempuan berbaju ungu itu masih mampu menghadapi jurus tersebut.
Panglima Sanca berteriak, “Hiyaaa!”
Dia menebaskan pedangnya sekuat tenaga dengan penuh amarah. Si perempuan pun segera membujurkan pedang miliknya di samping wajah untuk menahan tebasan tersebut.
Ketika dua mata pedang itu saling berbenturan, tiba-tiba pedang di tangan Panglima Sanca patah karena kalah. Jaka Purnama sontak terkejut, dia kaget melihat betapa kerasnya pedang di tangan perempuan itu.
Si perempuan kemudian menendang dada Panglima Sanca. Penjahat itu terjungkal ke belakang. Namun dengan cepat dia bisa segera bangun lagi. Panglima Sanca masih belum mau mengaku walau senjatanya sudah patah.
Si perempuan kemudian mengayunkan pedangnya ke leher Panglima Sanca. Sayangnya serangan ini sangat terburu-buru dan kurang perhitungan, Panglima berhasil mengelak dengan sedikit menunduk sambil melangkah maju. Di saat yang sama pula, dia melepaskan pukulan dengan telapak tangan kanannya ke dada perempuan tersebut. Si perempuan pun jatuh ke tanah.
Perempuan berbaju ungu tiba-tiba memuntahkan darah. Pukulan telapak tangan yang mengenainya tadi cukup dahsyat. Itu adalah merupakan jurus tenaga dalam.
Dengan Bangga Panglima Sanca tertawa. “Hahahahaha! Rasakanlah itu, Pendekar Cantik! Itulah ajian milikku yang dinamakan Pukulan Badai Menerpa Awan.”
Melihat lawannya yang sudah tak berdaya lagi, Panglima Sanca ingin segera maju menyerang, tapi Jaka Purnama yang saat itu mengintip di atas pohon tidak tinggal diam, dia segera melemparkan tiga bilah jarum beracun dan tepat mengenai ke leher Panglima Sanca.
“Aaaaa! Keparat! Siapa yang sudah menyerangku diam-diam!” Panglima Sancara berputar dan melihat ke segala arah, tapi dia tidak menemukan si penyerangnya itu.
Jaka Purnama tiba-tiba muncul dengan berlari di udara. Dia langsung menerjang Panglima Sanca dengan kedua kakinya. Penjahat itu pun terpelanting jauh hingga badannya membentur pohon beringin.
Tanpa pikir panjang, Jaka Purnama segera mendekati perempuan berbaju ungu yang menderita luka dalam. Dia membantunya untuk bangkit.
“Terimakasih banyak, Pendekar. Kau telah menyelamatkanku,” ujar si perempuan.
“Bertahanlah, kau baru saja terkena pukulan tenaga dalam. Aku akan coba untuk mengobatimu.” Jaka Purnama menggunakan ajian Tenaga Dalam Inti Indurashmi, dia berusaha mengalirkannya kebagian tubuh si perempuan yang terkena pukulan.
Melihat ketua mereka yang sudah di kalahkan, para penjahat itu akhirnya mundur. Mental mereka redup sebab sang pimpinan sudah mengerang kesakitan di tanah akibat tertusuk tiga bilah jarum beracun.
“Bawa ketua kalian pergi dari sini sebelum aku kehilangan kesabaran dan mencabut nyawanya!” tegas Jaka Purnama pada gerombolan perampok Itu.
Para penjahat itu segera membantu ketua mereka untuk bangkit. Mereka akhirnya kemudian pergi meninggalkan tempat tersebut.
Para prajurit kerajaan pun menghampiri Jaka Purnama. Mereka semua menyatukan kedua tangan dan memberi hormat.
Salah seorang dari mereka berkata, “Terimakasih banyak, Pendekar. Anda telah mengalahkan ketua dari gerombolan penjahat busuk itu.”
Jaka Purnama hanya mengangguk tanpa mengucapkan apa pun. Dia kembali menoleh pada perempuan berbaju ungu.
“Bagaimana dengan luka dalammu? Apa kau baik-baik saja?” tanya Jaka Purnama khawatir.
“Aku baik-baik saja, Pendekar,” jawab si perempuan. “Bekat pertolonganmu, sekarang rasa nyeri akibat pukulan tadi sudah berkurang.”
Sejenak terjadilah saling tatap antara Jaka Purnama dan si perempuan berbaju ungu. Kuntum-kuntum bunga mawar pun tanpa diduga bermekaran di hati keduanya.
Seketika itu ada rasa yang sangat indah telah lahir, keindahannya bak musim semi datang bersinggah, ia tak terbahasakan, tapi gejolaknya tak terpungkiri. Keduanya sudah sama-sama dewasa untuk menyikapi perasaan apa itu namanya.
“Boleh aku tahu siapa namamu,” tanya Jaka Purnama ingin berkenalan.
“Namaku Anindhita,” jawab si perempuan sambil tersenyum manis. “Aku adalah pengawal pribadi Permaisuri Sri Dewi Jayasri. Boleh aku tahu siapa nama Tuan Pendekar.”
Jaka Purnama pun balas tersenyum dan menjawab, “Namaku Jaka Purnama.”
Sejak hari itu, bunga-bunga mawar tak dapat tercegah terus bermekaran di hati keduanya. Mereka jadi sering melakukan pertemuan dan sering berbincang. Seiring waktu yang berjalan, hubungan keduanya pun semakin dekat, hingga mereka memutuskan untuk menikah dan menjalani hidup bersama.
Setelah selesai dari mengenang masa lalu yang indah itu, Jaka Purnama bangkit dan menuju kamar. Dia menghampiri buah cinta mereka yang berada dalam ayunan.Jaka Purnama mengambil anak itu dan lalu menggendongnya. “Kasihan sekali kamu, Giandra. Ibumu telah pergi meninggalkan dunia ini, padahal kamu masih sangat membutuhkan kehadirannya di dekatmu.”Waluyo dan Jagat Pramudita juga masuk ke dalam kamar untuk melihat anak tersebut.“Anakmu ini tampan sekali, sama seperti ayahnya,” ujar Waluyo.Jaka Purnama mengusap pipi bayi laki-lakinya itu. “Aku berharap suatu saat nanti dia akan menjadi kesatria tangguh yang selalu berpegang pada kebenaran. Aku dan Anindhita memberikannya nama Giandra Lesmana, artinya orang yang pintar, berpengetahuan luas, dan beruntung dalam hidup.”“Giandra Lesmana, sungguh nama yang sangat gagah, segagah orangnya,” ujar Jagat Pramudita.Jaka Purnama lalu membalik
Di kala kegelapan malam semakin larut, sebagian bintang-bintang pun telah lenyap, kabut hitam yang tebal keluar dari kawah Gunung Ratri, menyelimuti puncaknya yang tinggi dan bergerak hingga ke kakinya.Di lereng gunung tersebut ada suatu area hutan yang penuh dengan pohon-pohon beringin besar. Tempat itu merupakan wilayah yang sangat sunyi, bukan kawasan yang biasa dijamah oleh para pemburu hewan.Di situ berkumpullah empat orang pendekar. Mereka sedang berdiri membentuk lingkaran. Kabut yang menyelimuti di sekeliling mereka seakan tidak mereka pedulikan.Enam belas batang bambu panjang tertancap di sekitaran tempat itu. Pada setiap ujung batangnya dinyalakan api sebagai pencahayaan. Itulah yang jadi sumber penerang sehingga mereka masih bisa melihat wajah satu sama lain.Keempat pendekar ini menamai kelompoknya sebagai Persaudaraan Iblis. Pemimpin tertinggi mereka ialah Argani Bhadrika, dia seorang lelaki bertopeng yang tak pernah ingin menampakkan wajah aslinya.Di antara anggota y
Dalam sebuah gua yang diterangi cahaya obor, Mpu Seta sedang melakukan meditasi. Dia hanya duduk bersila dan diam sambil menyatukan dua telapak tangan. Bola matanya terpejam, aliran nafasnya naik dan turun dengan sangat tenang, setenang suasana malam di tengah hutan belantara.Tiba-tiba seorang kakek bertubuh tinggi muncul secara ajaib di hadapannya. Kakek tua tersebut mengenakan jubah kuning, celana kuning, dan ikat kepala yang juga berwarna kuning. Rambutnya tergerai panjang dan lurus, putih dan berkilauan seperti perak.Mpu Seta pun pelan-pelan membuka mata. Sosok itu berdiri tegak dengan tubuh yang tinggi semampai. Sanggul di puncak kepala si kakek itu hampir saja menyentuh langit-langit gua. Mpu Seta dapat mengenali kalau yang datang ini adalah sukma dari mendiang gurunya, yaitu Resi Cakrasyananda.Mpu Seta langsung turun dari atas batu besar tempat dia duduk. Kini dia berdiri sambil membungkukkan badan menjura hormat.“Ada perihal apa yang mem
Matahari bersinar terang. Gumpalan awan-awan putih menghiasi langit biru. Cuaca di hari itu sangat baik, namun juga terasa panas menjilati kulit.Setelah berjalan kaki cukup jauh meninggalkan desa Tanjung Bambu, Jaka Purnama menumpangi sebuah rakit untuk menyeberang sungai, hingga tibalah dia di suatu kampung yang ramai dengan para penduduk.Jaka Purnama berjalan menyusuri kampung tersebut. Para pedagang terlihat berjualan di pinggiran jalan. Ada banyak sayur-sayuran, buah-buah segera, dan juga aneka manik-manik yang jadi kesukaan para gadis remaja.Seorang pengemis tua yang berbadan bungkuk tiba-tiba muncul mendekati Jaka Purnama, Dia berpakaian compang-camping, menadahkan tempurung yang kosong dengan kedua tangan.“Saya sudah dua hari belum makan, Tuan. Sudilah Tuan memberi saya sedikit uang,” ujar pengemis itu meminta.Jaka Purnama pun mengambil beberapa keping uang dari buntalan kain yang tergantung di pinggangnya, lalu dia memasukkannya ke dalam tempurung kosong yang dipegang ole
“Kurang ajar! Siapa yang berani ikut campur!” teriak si lelaki berkepala botak itu dengan penuh amarah.Jaka Purnama yang duduk di tempat paling belakang pun berucap padanya, “Tindakanmu sungguh sangat keterlaluan! Menggunakan kekuatan untuk menindas orang yang lemah. Benar-benar memalukan!”Pemimpin rombongan itu menatap ke Jaka Purnama dengan bola mata yang menyala seperti bara api. “Keparat! Ternyata kau yang tadi menyerangku secara diam-diam!” Dia lalu berkata kepada semua anak buahnya, “Ayo, kalian tunggu apalagi? Cepat hajar dia!”Para lelaki itu pun mencabut golok-golok mereka dari pinggang dan hendak menyerang Jaka Purnama.Jaka Purnama segera berdiri dan langsung bersalto depan melompati meja. Saat kedua kakinya menginjak di lantai dengan hentakan yang kuat, dia pun langsung mengambil sikap kuda-kuda samping.Satu orang lelaki di antara mereka pun maju seperti macan yang kelaparan. Sera
Jaka Purnama menjura hormat kepada dua orang pendekar yang telah membantunya itu. “Terimakasih banyak, Sobat berdua telah membantuku menghadapi para bromocorah tadi. Perkenalkan, namaku Jaka Purnama, dari Desa Tanjung Bambu.”Sambil memegang pedang yang sudah tersarung, lelaki berbaju abu-abu dengan rambut panjang yang tersanggul di puncak kepalanya juga balas memberi hormat.“Tidak perlu berterimakasih, Sobat. Sudah menjadi kewajiban kita para pendekar untuk menumpas kejahatan. Perkenalkan,. namaku Abirama, dan ini adalah adik kandungku, Alindra. Kami dari perguruan Teratai Jingga di balik Bukit Sarang Merpati.”“Perguruan Teratai Jingga?” Sejenak Jaka Purnama mengerutkan dahi. Dia merasa pernah mendengar nama itu. “Oh, iya, aku baru ingat. Ternyata kalian adalah murid Nyai Maheswari. Beliau seorang tokoh pendekar wanita yang terkenal ahli dalam ilmu pengobatan.”“Betul sekali, Kakang Pendekar,” ujar Alindra. “Rupanya Kakang juga mengetahui tentang guru kami.”Abirama lalu bertanya,
Bab 16 : Makhluk Penjaga Lembah CendanaBerminggu lamanya perjalanan panjang ditempuh, hutan dan tebing perbukitan telah dilewati, sungai-sungai telah diseberangi, dan segala rintangan maupun marabahaya sudah dihadapi. Ketika siang panas matahari menjilati kulit, dan saat malam tiba dinginnya udara menusuk ke tulang, namun apapun itu, tak dapat menyurutkan semangat Jaka Purnama.Kini tibalah dia di tempat yang menjadi tujuannya, yaitu Lembah Cendana. Kawasan ini dikelilingi oleh pegunungan yang terlatak pada empat penjuru mata angin.Di sebelah Timur tampaklah satu gunung yang paling tinggi. Setiap kali matahari terbit di waktu pagi, maka cahayanya akan terlihat terang benderang di puncak gunung itu, sehingga dinamakanlah ia sebagai Gunung Bhanurasmi, yaitu gunung matahari.Di sebelah Barat ada tiga barisan gunung yang bernama Bukit Tiga Baris, di sebelah Utara ada dua buah gunung yang rapat dan dinamai Gunung Bujang Dara, sedangkan di sebelah Selatan ada satu gunung yang paling kecil
Tak lama setelah perjumpaannya dengan siluman musang, tiba-tiba Jaka Purnama melihat lagi dari balik pohon muncul seorang lelaki tua berbaju hijau dengan rambut putih yang tersanggul. Dia berjalan menggunakan tongkat dan menghampiri Jaka Purnama.Orang tua itu berkumis tebal dan memiliki jenggot yang panjang hingga ke pusat, semuanya tampak putih, menandakan kalau usianya memang sudah sangat tua, hal itu dibuktikan pula dengan kulit wajahnya yang terlihat keriput dan bola matanya yang sudah kelabu.Jaka Purnama mundur beberapa langkah dan mengambil sikap waspada, namun orang tua itu mengisyaratkan dengan telapak tangan agar Jaka Purnama tidak usah takut. Dengan suara serak, dia berkata, “Tenanglah, Ki Sanak. Aku ini bukan orang dunia persilatan yang suka berkelahi. Kau tidak perlu waspada begitu melihatku.”Orang tua tersebut memang kelihatan lebih ramah dan bersahabat jika dibandingkan dengan siluman musang tadi. Jaka Purnama memberi hormat dengan menyatukan kedua tangan.Orang tua
Pagi hari saat surya baru mulai terbit di langit timur, sekitar dua ribu orang prajurit tengah berkumpul di depan pintu gerbang Istana Kerajaan Jayakastara. Pagi ini mereka bersiap-siap untuk melakukan penggempuran ke lokasi yang jadi tempat persembunyian Persaudaraan Iblis.Patih Tubagus Dharmasuri, selaku komandan tertinggi yang bertugas memimpin seluruh pasukan, berdiri tegak di hadapan para prajuritnya, para senopati, dan juga para pendekar. Laki-laki tua itu menyampaikan pidato sebelum sebelum mereka akan bergerak ke sarang musuh.“Sekarang telah tiba waktunya bagi kita untuk memusnahkan Persaudaraan Iblis yang selama ini meresahkan masyarakat. Demi melindungi umat manusia, dan demi mempertahankan kerajaan Jayakastara, aku harap kalian sudah siap bertempur walau hingga titik darah penghabisan. Apa kalian sanggup!”“Ya, kami sanggup!” sahut semua yang hadir dengan penuh semangat.“Bagus, itulah kesetiaan yang diinginkan o
Semua anggota Persaudaraan Iblis saling merapat satu sama lain. Mereka ngeri dengan apa yang sebentar lagi akan terjadi. Dunia bagaikan hendak kiamat. Berulangkali suara guntur meraung-raung di angkasa!“Gawat! Argani sudah benar-benar mencapai puncak amarahnya. Dia akan menggunakan jurus Hujan Halilintar Menggempur Bumi,” sebut Jimbalang Loreng memberitahu pada teman-temannya.“Hah, jurus Halilintar Menggempur Bumi? Darimana kau bisa tahu kalau ketua kita memiliki ilmu semacama itu?” tanya Manik Maya serasa tak percaya.“Dia pernah mengisahkannya padaku,” jawab Jimbalang Loreng. “Jurus ini merupakan puncak tertinggi dari ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan sejauh yang dikuasai oleh Argani. Aku khawatir kalau dia akan kehilangan kesadarannya akibat pengaruh dari kedahsyatan jurus ini.”Panglima Sanca terus memperhatikan betapa seram pemandangan di langit. Dia rasa kalau sebentar lagi sambaran-sambaran petir yang bertubi-tubi akan turun dari atas sana. Bukan hanya Nyai Jamanika yang n
“Hmmh.” Nafas Nyai Jamanika berdengus seperti banteng. Tatapan matanya yang mengerikan memandangi pada semua orang satu persatu bak singa kelaparan.Semua anggota Persaudaraan Iblis yang hadir di tempat itu merasakan aura kegelapan yang sangat kuat terpancar dari si nenek peot tersebut. Padahal tadi energinya terasa biasa-biasa saja, namun sekarang Nyai Jamanika sudah mulai menampakkan kalau dia bukanlah nenek sembarangan.Jimbalang Loreng dan para anggota yang lain akhirnya gentar. Semakin lama pancaran aura kegelapan si nenek itu semakin meningkat. Apakah tak lama lagi dia akan mengamuk di sarang Persaudaraan Iblis? Jika hal itu terjadi, maka tak ada satu pun yang mampu menandingi kesaktiannya.“Tenanglah, hai Nyai,” bujuk Panglima Sanca. “Sebentar lagi ketua kami akan datang ke sini. Kami tak ingin kalau harus ribut denganmu.”Nyai Jamanika tersenyum kecut. Dia kembali memandangi semua orang dengan sorot matanya yang tajam. “Aku tidak suka kalau harus lama-lama menunggu. Sepertinya
Karena memisahkan diri dari orang-orang dan tidak mau ikut berkumpul bersama yang lain, Patrioda duduk bersila di atas ranjang dalam kamar tamu tempat dia beristirahat. Hatinya betul-betul kesal dengan kemunculan Giandra di istana ini.“Hmmh. Pendekar muda itu kelihatan sekali ingin cari muka di hadapan para petinggi kerajaan. Padahal baru cuma bisa mengobati orang yang keracunan saja, tapi lagaknya sudah macam pahlawan.”Sambil memangku kedua tangan di bawah dada, Patridoa diam sebentar dan merenung. Dia sadar kalau kehadiran Giandra di istana ini bisa menjadi sumber perhatian banyak orang, apalagi Patrioda sangat takut jika Puteri Seroja yang jadi dambaan hatinya nanti akan diganggu oleh Giandra.“Kalau sampai pemuda itu berani mendekati Puteri Serojaku, aku tidak segan-segan untuk menendangnya keluar dari istana ini. Cuih! Apa hebatnya dia itu!”Sebelum memutuskan untuk pergi dari padepokan Lenggo Geni dan bergabung di kerajaan ini, Patrioda sudah membayangkan bahwa dia harus bisa m
Setelah selesai mengobati Prabu Surya Buana di kamarnya, Giandra dan Tubagus Dharmasuri segera dibawa lagi oleh Senopati Wibisana untuk menemui Mpu Bhiantar dan Senopati Taraka yang juga sedang demam akibat keracunan.Dua orang yang sakit itu berada di sebuah ruangan khusus dalam lingkungan istana. Mereka tengah berbaring ditemani oleh Abirama dan juga Alindra.Senopati Wibisana mengetuk pintu dari luar. Alindra pun berdiri dan membukakannya.“Bagaimana keadaan mereka?” tanya Senopati Wibisana.Alindra hanya menggeleng. “Kami sudah memberikan mereka berdua ramuan obat, tapi nampaknya tidak mempan. Aku dan kakang Abirama bahkan tidak tahu jenis racun apa yang digunakan oleh Manik Maya.”Senopati Wibisana lalu melangkah masuk ke dalam ruangan, begitu pula Tubagus Dharmasuri dan Giandra, keduanya mengikutnya di belakang.Mpu Bhiantar kelihatan menggigil seperti orang yang sangat kedinginan. Nafasnya terdengar sesak. Seme
Giandra dan Tubagus Dharmasuri akhirnya tiba juga di Istana Jayakastara saat hari sudah malam. Baru sebentar mereka melewati para pengawal di depan gerbang dan masuk ke halaman, tiba-tiba Senopati Wibisana langsung muncul menghampiri keduanya.Senopati Wibisana kelihatan kalang kabut. Dia berjalan sangat cepat, membuat Tubagus Dharmasuri jadi curiga kalau telah terjadi sesuatu.“Untunglah Gusti Patih telah kembali. Kita sedang ada masalah di Istana!”Tubagus Dharmasuri memberi isyarat dengan telapak tangan agar Senopati Wibisana tenang dan jangan seperti orang kebangkaran jenggot begitu.“Memangnya ada masalah apa? Bicaralah pelan-pelan.”“Ada orang jahat yang menaruh racun ke dalam tempayan. Gusti Prabu Surya Buana, Senopati Taraka, dan Mpu Bhiantar langsung tiba-tiba mengalami demam parah setelah minum kopi beberapa saat yang lalu.”Tubagus Dharmasuri memandang ke Giandra. “Sepertinya kita terlamba
Matahari hampir terbenam di kaki cakrawala. Langit senja sudah semakin pucat. Sebentar lagi hari akan beranjak menuju malam. Dua orang pengawal yang tegak di depan gerbang istana tiba-tiba didatangi oleh laki-laki dan wanita yang mengendarai kereta kuda, mereka tampak membawa peti-peti berukuran besar.Manik Maya kala itu tengah menyamar dengan berpenampilan seperti seorang saudagar kaya raya, sedangkan Bayu merahasiakan tampangnya dengan menutup kepala menggunakan kain hitam.“Berhenti! Siapa kalian berdua? ada urusan apa datang ke istana? Sepertinya kalian bukan orang asli sini,” kata salah satu pengawal.Manik Maya pun mulai mengarang-ngarang cerita. “Kami berdua adalah saudagar dari tempat yang sangat jauh. Sengaja datang kemari untuk menghaturkan hadiah kepada gusti prabu agar beliau mau mendoakan suamiku yang sedang menderita sakit cacar.”Pengawal itu pun memperhatikan ke Bayu Halimun yang kepalanya tertutup kain hitam. &ldq
Beberapa saat waktu telah berlalu. Bayu Halimun dan Manik Maya akhirnya terbangun dari ketikdasaran mereka.Saat keduanya membuka mata, mereka memperdapati kondisi tubuh mereka yang digantung terbalik dengan kaki di atas dan kepala menghadap ke bawah.Badan Bayu Halimun dan Manik Maya dililit dengan kencang oleh akar-akar besar dan juga tumbuhan melayap. Mereka sekarang merasa pusing, sebab seluruh aliran darah menumpuk di bagian kepala.Keduanya mencoba untuk menggerak-gerakkan badan supaya bisa lepas. Namun usaha itu sia-sia belaka. Hanya membuang-buang tenaga dan membikin kepala mereka jadi tambah berdenyut.Nyai Jamanika berjalan di bawah sambil menggunakan tongkat. Dia gelak sekali mentertawakan dua pendekar itu. Kini kegeraman si nenek jelek itu telah terbayarkan dan hatinya pun puas.“Siapa suruh kalian mau coba-coba kabur dariku? Aku meminta baik-baik supaya kalian mengantarku menemui ketua Persaudaraan Iblis, tapi kalian malah cara g
Manik Maya menduga kalau ada dendam kesumat di hati Nyai Jamanika terhadap Mpu Bhiantar. Pasalnya si nenek berwajah mengerikan ini dahulu pernah ingin merebut kitab catatan racun milik Nyai Maheswari, hingga terjadilah pertarungan di antara keduanya.Dalam perkelahian tersebut hampir saja Nyai Maheswari kalah, tapi Mpu Bhiantar tiba-tiba muncul dan ikut campur, dia menyiramkan ke wajah Nyai Jamanika racun yang bernama “Getah Buah Hutan”. Itu yang membuat wajah Nyai Jamanika pun jadi rusak hingga sekarang.“Katakanlah, hai Nenek Peot, untuk apa dari tadi kau mengendengarkan pembincaraan kami.” desak Bayu Halimun. Dia curiga kalau si nenek ini mata-mata dari kerajaan.“Sebetulnya aku cuma kebetulan lewat dan bertemu kalian di sini. Jika memang kalian ingin berperang melawan Prabu Surya Buana dan para bawahannya, aku tertarik untuk ikut bergabung,” ujar Nyai Jamanika.Bayu Halimun merasa ragu mendengar hal itu. Dia berkata