Beranda / Pendekar / 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT / Bab 9 : Kenangan Masa Lalu

Share

Bab 9 : Kenangan Masa Lalu

Penulis: Adil Perwira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-23 20:00:00

"Sayang, maafkan aku karena datang terlambat. Bertahanlah!” Jaka Purnama mengusap keringat yang bercucuran di dahi istrinya itu dan lalu memeluknya.

“Tidak apa-apa, Kang Mas. Musibah ini sudah menjadi takdir,” ujar Anindhita. Suaranya terdengar lemah sebab menahan rasa sakit karena sebilah golok masih tertancap di perutnya.

Jaka Purnama tak kuasa menahan air mata. Dia menggenggam tangan kanan isterinya itu dan menciumnya. “Bertahanlah, Sayang. Aku akan menolongmu.”

“Tidak usah, Kang Mas,” jawab Anindhita terhengal. “Aku sudah tidak tahan lagi, Waktuku telah hampir sampai. Jagalah buah hati kita baik-baik. Maafkanlah aku yang tak bisa lagi menemanimu , Kang Mas.”

Air mata Jaka Purnama mengalir tambah deras karena mendengar ucapan isterinya barusan. Dia memeluk erat tubuh Anindhita dan berkata, “Aku sangat mencintaimu. Jangan tinggalkan aku, Anindhita!”

“Aku juga sangat mencintaimu, Kang Mas, namun sebagai manusia kita tidak mungkin melawan takdir. Terimakasih karena selama ini Kang Mas sudah menyayangiku, menjaga, dan mengasihiku dengan setulus hati. Selamat tinggal, Kang Mas Jaka Purnama.”

Setelah kalimat terakhir yang diucapkannya itu, mata Anindhita pun tertutup. Bibirnya kelihatan masih terbuka, namun nafasnya sudah putus, perempuan yang sangat dikasihi oleh Jaka Purnama itu kini telah tiada.

Tangisan seorang bayi di ayunan tiba-tiba pecah dari dalam kamar. Seakan anak itu bisa merasakan dan mengatahui bahwa roh ibunya telah pergi meninggalkan dunia.

Waluyo duduk berjongkok di samping Jaka Purnama. Tangannya mengusap-usap bahu si lelaki yang tengah berduka itu.  Dia berusaha menenangkannya. 

Dengan suara lirih, Waluyo berucap, “Sudahlah, Nak. Kuatkan jiwamu. Relakanlah kepergian isterimu. Aku juga berat menerima kenyataan ini. Karena walau bagaimana pun, Anindhita juga merupakan puteri dari kakangku, Datuk Subrata. Tapi benar apa yang tadi Anindhita telah katakan, bahwa sebagai manusia kita tidak mungkin melawan takdir.”

Jaka Purnama membelai pipi Anindhita, kemudian dia  mencium kening isterinya itu dengan penuh cinta.

“Kenapa kejadian seperti ini harus menimpa padamu, Anindhita. Kau adalah perempuan yang baik, tapi kenapa takdir begitu kejam terhadap dirimu. Mengapa kita harus berpisah.”

Waluyo dan Jagat Pramudita hanya bisa terharu. Mereka bisa membayangkan bagaimana beratnya kalau harus berpisah dari orang yang dicintai. Harapan menua bersama dan manisnya kemesraan di hari-hari lalu kini telah putus, menjelma jadi awan kelabu yang mengguyurkan hujan air mata.

Jaka Purnama mengambil pedang pusaka yang tergeletak di lantai, dia pun memasukkannya kembali ke dalam sarung. Itu adalah pusaka milik keluarga isterinya yang selalu dicari-cari oleh banyak pendekar di dunia persilatan. 

Dalam beberapa waktu, Jaka Purnama kembali mengingat kenangan masa lampau saat pertama kali dia bertemu dengan Anindhita. 

Bermula pada suatu sore saat Jaka Purnama dalam perjalanan pulang ke Desa Tanjung Bambu dari sehabis menziarahi kuburan ayah dan ibunya di Desa Hulu Sungai.

Kala itu warna langit sudah memucat, Jaka Purnama melihat ada serombongan prajurit kerajaan yang membawa sebuah tandu besar sedang dicegat oleh gerombolan perampok bersenjata.

Perampok-perampok itu diketuai oleh Wandra Parama, seorang lelaki yang menjuluki dirinya sebagai Panglima Sanca. Dia memakai julukan itu agar terdengar lebih menakutkan.

Pimpinan perampok tersebut meminta rombongan prajurit supaya  menyerahkan permaisuri yang berada di dalam tandu. Dia tidak mengizinkan mereka lewat jika keinginannya tidak dipenuhi.

Di antara para prajurit yang mengiringi permaisuri, ada seorang perempuan cantik berbaju ungu yang duduk di atas kuda putih. Sebilah pedang tampak tergantung di punggungnya. Penampilannya mirip seorang pendekar. 

Perempuan tersebut melompat dari atas kuda hingga dia pun berdiri tegak di hadapan semua perampok. “Kalian penjahat-penjahat tidak tahu diri! Beraninya mencegat permaisuri dari kerajaan Jayakastara! Memang ada urusan apa kalian?”

“Sri Dewi Jayasri adalah kekasihku. Aku sudah lama memiliki hubungan dengannya,” jawab Panglima Sanca.

“Heh, mana mungkin seorang permaisuri kerajaan bisa punya hubungan dengan penjahat tengik sepertimu,” tukas perempuan berbaju ungu.

“Sudah, jangan banyak omong!” tegas Panglima Sanca. “Jika kalian tidak segera menyerahkan permaisuri kepadaku, maka pasukanku akan menghabisi kalian semua!”

Perempuan itu menatap pada Panglima Sanca dengan sorot mata yang tajam. “Sombong sekali kau, Penjahat Tengik! Aku tahu kau adalah Wandra Parama, penjahat yang suka menodai kesucian gadis-gadis!”

Jaka Purnama mengintip peristiwa itu dari balik pohon besar. Dia menduga kalau sebentar lagi akan terjadi pertarungan.

Panglima sanca yang tersinggung langsung mecabut pedang dari pinggangnya. “Kurang ajar kau, hai Perempuan! Akan kucabik-cabik tubuhmu dengan pedang tajamku ini!” 

“Maju sini! Dasar Penjahat Busuk!” Anindhita menantang.

Dengan mengangkat ujung pedangnya ke langit, Panglima Sanca memberi isyarat kepada para anak buahnya. “Ayo semuanya, serang!!”

Para prajurit yang tegak di belakang Anindhita juga segera mencabut senjata mereka untuk melindungi sang permaisuri. Perkelahian pun akhirnya pecah diantara dua kelompok tersebut.

Jaka Purnama fokus memperhatikan duel antara Panglima Sanca dan si perempuan berbaju ungu. Dia sampai dibuat ternganga karena kagum.

Serangan demi serangan dilancarkan oleh Panglima Sanca, tapi si perempuan mampu menghindarinya dengan cepat, tak ada satu pun sayatan pedang yang berhasil melukai tubuhnya..

Langkah kaki perempuan itu sangat lincah dan tangannya juga begitu lihai memainkan pedang, Panglima Sanca berhasil dibuat terdesak olehnya hingga semakin mundur ke belakang.

“Gadis ini punya kemampuan bela diri yang hebat,” ujar Jaka Purnama dalam hati.

Merasa geram karena dirinya dibuat terdesak, Panglima Sanca lalu mengeluarkan jurus pedang andalannya, yakni jurus Pedang Mengamuk Membelah Hujan. 

Panglima Sanca balas menyerang dengan beringas. Benturan demi benturan antar dua pedang berdengung berulang kali. Sebagai penonton, Jaka Purnama sangat terpukau, ternyata perempuan berbaju ungu itu masih mampu menghadapi jurus tersebut.

Panglima Sanca berteriak, “Hiyaaa!”

Dia menebaskan pedangnya sekuat tenaga dengan penuh amarah. Si perempuan pun segera membujurkan pedang miliknya di samping wajah untuk menahan tebasan tersebut.

Ketika dua mata pedang itu saling berbenturan, tiba-tiba pedang di tangan Panglima Sanca patah karena kalah. Jaka Purnama sontak terkejut, dia kaget melihat betapa kerasnya pedang di tangan perempuan itu.

Si perempuan kemudian menendang dada Panglima Sanca. Penjahat itu terjungkal ke belakang. Namun dengan cepat dia bisa segera bangun lagi. Panglima Sanca masih belum mau mengaku walau senjatanya sudah patah. 

Si perempuan kemudian mengayunkan pedangnya ke leher Panglima Sanca. Sayangnya serangan ini sangat terburu-buru dan kurang perhitungan, Panglima berhasil mengelak dengan sedikit menunduk sambil melangkah maju. Di saat yang sama pula, dia melepaskan pukulan dengan telapak tangan kanannya ke dada perempuan tersebut. Si perempuan pun jatuh ke tanah.

Perempuan berbaju ungu tiba-tiba memuntahkan darah. Pukulan telapak tangan yang mengenainya tadi cukup dahsyat. Itu adalah merupakan jurus tenaga dalam.

Dengan Bangga Panglima Sanca tertawa. “Hahahahaha! Rasakanlah itu, Pendekar Cantik! Itulah ajian milikku yang dinamakan Pukulan Badai Menerpa Awan.”

Melihat lawannya yang sudah tak berdaya lagi, Panglima Sanca ingin segera maju menyerang, tapi Jaka Purnama yang saat itu mengintip di atas pohon tidak tinggal diam, dia segera melemparkan tiga bilah jarum beracun dan tepat mengenai ke leher Panglima Sanca.

“Aaaaa! Keparat! Siapa yang sudah menyerangku diam-diam!” Panglima Sancara berputar dan melihat ke segala arah, tapi dia tidak menemukan si penyerangnya itu.

Jaka Purnama tiba-tiba muncul dengan berlari di udara. Dia langsung menerjang Panglima Sanca dengan kedua kakinya. Penjahat itu pun terpelanting jauh hingga badannya membentur pohon beringin.

Tanpa pikir panjang, Jaka Purnama segera mendekati perempuan berbaju ungu yang menderita luka dalam. Dia membantunya untuk bangkit.

“Terimakasih banyak, Pendekar. Kau telah menyelamatkanku,” ujar si perempuan.

“Bertahanlah, kau baru saja terkena pukulan tenaga dalam. Aku akan coba untuk mengobatimu.” Jaka Purnama menggunakan ajian Tenaga Dalam Inti Indurashmi, dia berusaha mengalirkannya kebagian tubuh si perempuan yang terkena pukulan.

Melihat ketua mereka yang sudah di kalahkan, para penjahat itu akhirnya mundur. Mental mereka redup sebab sang pimpinan sudah mengerang kesakitan di tanah akibat tertusuk tiga bilah jarum beracun. 

“Bawa ketua kalian pergi dari sini sebelum aku kehilangan kesabaran dan mencabut nyawanya!” tegas Jaka Purnama pada gerombolan perampok Itu.

Para penjahat itu segera membantu ketua mereka untuk bangkit. Mereka akhirnya kemudian pergi meninggalkan tempat tersebut.

Para prajurit kerajaan pun menghampiri Jaka Purnama. Mereka semua menyatukan kedua tangan dan memberi hormat. 

Salah seorang dari mereka berkata, “Terimakasih banyak, Pendekar. Anda telah mengalahkan ketua dari gerombolan penjahat busuk itu.”

Jaka Purnama hanya mengangguk tanpa mengucapkan apa pun. Dia kembali menoleh pada perempuan berbaju ungu. 

“Bagaimana dengan luka dalammu? Apa kau baik-baik saja?” tanya Jaka Purnama khawatir.

“Aku baik-baik saja, Pendekar,” jawab si perempuan. “Bekat pertolonganmu, sekarang rasa nyeri akibat pukulan tadi sudah berkurang.”

Sejenak terjadilah saling tatap antara Jaka Purnama dan si perempuan berbaju ungu. Kuntum-kuntum bunga mawar pun tanpa diduga bermekaran di hati keduanya.

Seketika itu ada rasa yang sangat indah telah lahir, keindahannya bak musim semi datang bersinggah, ia tak terbahasakan, tapi gejolaknya tak terpungkiri. Keduanya sudah sama-sama dewasa untuk menyikapi perasaan apa itu namanya. 

“Boleh aku tahu siapa namamu,” tanya Jaka Purnama ingin berkenalan.

“Namaku Anindhita,” jawab si perempuan sambil tersenyum manis. “Aku adalah pengawal pribadi Permaisuri Sri Dewi Jayasri. Boleh aku tahu siapa nama Tuan Pendekar.”

Jaka Purnama pun balas tersenyum dan menjawab, “Namaku Jaka Purnama.”

Sejak hari itu, bunga-bunga mawar tak dapat tercegah terus bermekaran di hati keduanya. Mereka jadi sering melakukan pertemuan dan sering berbincang. Seiring waktu yang berjalan, hubungan keduanya pun semakin dekat, hingga mereka memutuskan untuk menikah dan menjalani hidup bersama.

Bab terkait

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 10 : Perpisahan Dengan Buah Hati

    Setelah selesai dari mengenang masa lalu yang indah itu, Jaka Purnama bangkit dan menuju kamar. Dia menghampiri buah cinta mereka yang berada dalam ayunan.Jaka Purnama mengambil anak itu dan lalu menggendongnya. “Kasihan sekali kamu, Giandra. Ibumu telah pergi meninggalkan dunia ini, padahal kamu masih sangat membutuhkan kehadirannya di dekatmu.”Waluyo dan Jagat Pramudita juga masuk ke dalam kamar untuk melihat anak tersebut.“Anakmu ini tampan sekali, sama seperti ayahnya,” ujar Waluyo.Jaka Purnama mengusap pipi bayi laki-lakinya itu. “Aku berharap suatu saat nanti dia akan menjadi kesatria tangguh yang selalu berpegang pada kebenaran. Aku dan Anindhita memberikannya nama Giandra Lesmana, artinya orang yang pintar, berpengetahuan luas, dan beruntung dalam hidup.”“Giandra Lesmana, sungguh nama yang sangat gagah, segagah orangnya,” ujar Jagat Pramudita.Jaka Purnama lalu membalik

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 11 : Persaudaraan Iblis

    Di kala kegelapan malam semakin larut, sebagian bintang-bintang pun telah lenyap, kabut hitam yang tebal keluar dari kawah Gunung Ratri, menyelimuti puncaknya yang tinggi dan bergerak hingga ke kakinya.Di lereng gunung tersebut ada suatu area hutan yang penuh dengan pohon-pohon beringin besar. Tempat itu merupakan wilayah yang sangat sunyi, bukan kawasan yang biasa dijamah oleh para pemburu hewan.Di situ berkumpullah empat orang pendekar. Mereka sedang berdiri membentuk lingkaran. Kabut yang menyelimuti di sekeliling mereka seakan tidak mereka pedulikan.Enam belas batang bambu panjang tertancap di sekitaran tempat itu. Pada setiap ujung batangnya dinyalakan api sebagai pencahayaan. Itulah yang jadi sumber penerang sehingga mereka masih bisa melihat wajah satu sama lain.Keempat pendekar ini menamai kelompoknya sebagai Persaudaraan Iblis. Pemimpin tertinggi mereka ialah Argani Bhadrika, dia seorang lelaki bertopeng yang tak pernah ingin menampakkan wajah aslinya.Di antara anggota y

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 12 : Perang Antara Cahaya & Kegelapan

    Dalam sebuah gua yang diterangi cahaya obor, Mpu Seta sedang melakukan meditasi. Dia hanya duduk bersila dan diam sambil menyatukan dua telapak tangan. Bola matanya terpejam, aliran nafasnya naik dan turun dengan sangat tenang, setenang suasana malam di tengah hutan belantara.Tiba-tiba seorang kakek bertubuh tinggi muncul secara ajaib di hadapannya. Kakek tua tersebut mengenakan jubah kuning, celana kuning, dan ikat kepala yang juga berwarna kuning. Rambutnya tergerai panjang dan lurus, putih dan berkilauan seperti perak.Mpu Seta pun pelan-pelan membuka mata. Sosok itu berdiri tegak dengan tubuh yang tinggi semampai. Sanggul di puncak kepala si kakek itu hampir saja menyentuh langit-langit gua. Mpu Seta dapat mengenali kalau yang datang ini adalah sukma dari mendiang gurunya, yaitu Resi Cakrasyananda.Mpu Seta langsung turun dari atas batu besar tempat dia duduk. Kini dia berdiri sambil membungkukkan badan menjura hormat.“Ada perihal apa yang mem

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 13 : Perjalanan ke Lembah Cendana

    Matahari bersinar terang. Gumpalan awan-awan putih menghiasi langit biru. Cuaca di hari itu sangat baik, namun juga terasa panas menjilati kulit.Setelah berjalan kaki cukup jauh meninggalkan desa Tanjung Bambu, Jaka Purnama menumpangi sebuah rakit untuk menyeberang sungai, hingga tibalah dia di suatu kampung yang ramai dengan para penduduk.Jaka Purnama berjalan menyusuri kampung tersebut. Para pedagang terlihat berjualan di pinggiran jalan. Ada banyak sayur-sayuran, buah-buah segera, dan juga aneka manik-manik yang jadi kesukaan para gadis remaja.Seorang pengemis tua yang berbadan bungkuk tiba-tiba muncul mendekati Jaka Purnama, Dia berpakaian compang-camping, menadahkan tempurung yang kosong dengan kedua tangan.“Saya sudah dua hari belum makan, Tuan. Sudilah Tuan memberi saya sedikit uang,” ujar pengemis itu meminta.Jaka Purnama pun mengambil beberapa keping uang dari buntalan kain yang tergantung di pinggangnya, lalu dia memasukkannya ke dalam tempurung kosong yang dipegang ole

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 14 : Pertarungan Yang Membuat Heboh

    “Kurang ajar! Siapa yang berani ikut campur!” teriak si lelaki berkepala botak itu dengan penuh amarah.Jaka Purnama yang duduk di tempat paling belakang pun berucap padanya, “Tindakanmu sungguh sangat keterlaluan! Menggunakan kekuatan untuk menindas orang yang lemah. Benar-benar memalukan!”Pemimpin rombongan itu menatap ke Jaka Purnama dengan bola mata yang menyala seperti bara api. “Keparat! Ternyata kau yang tadi menyerangku secara diam-diam!” Dia lalu berkata kepada semua anak buahnya, “Ayo, kalian tunggu apalagi? Cepat hajar dia!”Para lelaki itu pun mencabut golok-golok mereka dari pinggang dan hendak menyerang Jaka Purnama.Jaka Purnama segera berdiri dan langsung bersalto depan melompati meja. Saat kedua kakinya menginjak di lantai dengan hentakan yang kuat, dia pun langsung mengambil sikap kuda-kuda samping.Satu orang lelaki di antara mereka pun maju seperti macan yang kelaparan. Sera

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 15 : Saling Tolong Menolong

    Jaka Purnama menjura hormat kepada dua orang pendekar yang telah membantunya itu. “Terimakasih banyak, Sobat berdua telah membantuku menghadapi para bromocorah tadi. Perkenalkan, namaku Jaka Purnama, dari Desa Tanjung Bambu.”Sambil memegang pedang yang sudah tersarung, lelaki berbaju abu-abu dengan rambut panjang yang tersanggul di puncak kepalanya juga balas memberi hormat.“Tidak perlu berterimakasih, Sobat. Sudah menjadi kewajiban kita para pendekar untuk menumpas kejahatan. Perkenalkan,. namaku Abirama, dan ini adalah adik kandungku, Alindra. Kami dari perguruan Teratai Jingga di balik Bukit Sarang Merpati.”“Perguruan Teratai Jingga?” Sejenak Jaka Purnama mengerutkan dahi. Dia merasa pernah mendengar nama itu. “Oh, iya, aku baru ingat. Ternyata kalian adalah murid Nyai Maheswari. Beliau seorang tokoh pendekar wanita yang terkenal ahli dalam ilmu pengobatan.”“Betul sekali, Kakang Pendekar,” ujar Alindra. “Rupanya Kakang juga mengetahui tentang guru kami.”Abirama lalu bertanya,

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-25
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 16 : Makhluk Penjaga Lembah Cendana

    Bab 16 : Makhluk Penjaga Lembah CendanaBerminggu lamanya perjalanan panjang ditempuh, hutan dan tebing perbukitan telah dilewati, sungai-sungai telah diseberangi, dan segala rintangan maupun marabahaya sudah dihadapi. Ketika siang panas matahari menjilati kulit, dan saat malam tiba dinginnya udara menusuk ke tulang, namun apapun itu, tak dapat menyurutkan semangat Jaka Purnama.Kini tibalah dia di tempat yang menjadi tujuannya, yaitu Lembah Cendana. Kawasan ini dikelilingi oleh pegunungan yang terlatak pada empat penjuru mata angin.Di sebelah Timur tampaklah satu gunung yang paling tinggi. Setiap kali matahari terbit di waktu pagi, maka cahayanya akan terlihat terang benderang di puncak gunung itu, sehingga dinamakanlah ia sebagai Gunung Bhanurasmi, yaitu gunung matahari.Di sebelah Barat ada tiga barisan gunung yang bernama Bukit Tiga Baris, di sebelah Utara ada dua buah gunung yang rapat dan dinamai Gunung Bujang Dara, sedangkan di sebelah Selatan ada satu gunung yang paling kecil

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-25
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 17 : Bertemu Sahabat Lama Guru

    Tak lama setelah perjumpaannya dengan siluman musang, tiba-tiba Jaka Purnama melihat lagi dari balik pohon muncul seorang lelaki tua berbaju hijau dengan rambut putih yang tersanggul. Dia berjalan menggunakan tongkat dan menghampiri Jaka Purnama.Orang tua itu berkumis tebal dan memiliki jenggot yang panjang hingga ke pusat, semuanya tampak putih, menandakan kalau usianya memang sudah sangat tua, hal itu dibuktikan pula dengan kulit wajahnya yang terlihat keriput dan bola matanya yang sudah kelabu.Jaka Purnama mundur beberapa langkah dan mengambil sikap waspada, namun orang tua itu mengisyaratkan dengan telapak tangan agar Jaka Purnama tidak usah takut. Dengan suara serak, dia berkata, “Tenanglah, Ki Sanak. Aku ini bukan orang dunia persilatan yang suka berkelahi. Kau tidak perlu waspada begitu melihatku.”Orang tua tersebut memang kelihatan lebih ramah dan bersahabat jika dibandingkan dengan siluman musang tadi. Jaka Purnama memberi hormat dengan menyatukan kedua tangan.Orang tua

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-25

Bab terbaru

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 113 : Diam-diam Menguping

    Setelah selesai mengobati Prabu Surya Buana di kamarnya, Giandra dan Tubagus Dharmasuri segera dibawa lagi oleh Senopati Wibisana untuk menemui Mpu Bhiantar dan Senopati Taraka yang juga sedang demam akibat keracunan.Dua orang yang sakit itu berada di sebuah ruangan khusus dalam lingkungan istana. Mereka tengah berbaring ditemani oleh Abirama dan juga Alindra.Senopati Wibisana mengetuk pintu dari luar. Alindra pun berdiri dan membukakannya.“Bagaimana keadaan mereka?” tanya Senopati Wibisana.Alindra hanya menggeleng. “Kami sudah memberikan mereka berdua ramuan obat, tapi nampaknya tidak mempan. Aku dan kakang Abirama bahkan tidak tahu jenis racun apa yang digunakan oleh Manik Maya.”Senopati Wibisana lalu melangkah masuk ke dalam ruangan, begitu pula Tubagus Dharmasuri dan Giandra, keduanya mengikutnya di belakang.Mpu Bhiantar kelihatan menggigil seperti orang yang sangat kedinginan. Nafasnya terdengar sesak. Seme

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 112 : Mengobati Sang Prabu

    Giandra dan Tubagus Dharmasuri akhirnya tiba juga di Istana Jayakastara saat hari sudah malam. Baru sebentar mereka melewati para pengawal di depan gerbang dan masuk ke halaman, tiba-tiba Senopati Wibisana langsung muncul menghampiri keduanya.Senopati Wibisana kelihatan kalang kabut. Dia berjalan sangat cepat, membuat Tubagus Dharmasuri jadi curiga kalau telah terjadi sesuatu.“Untunglah Gusti Patih telah kembali. Kita sedang ada masalah di Istana!”Tubagus Dharmasuri memberi isyarat dengan telapak tangan agar Senopati Wibisana tenang dan jangan seperti orang kebangkaran jenggot begitu.“Memangnya ada masalah apa? Bicaralah pelan-pelan.”“Ada orang jahat yang menaruh racun ke dalam tempayan. Gusti Prabu Surya Buana, Senopati Taraka, dan Mpu Bhiantar langsung tiba-tiba mengalami demam parah setelah minum kopi beberapa saat yang lalu.”Tubagus Dharmasuri memandang ke Giandra. “Sepertinya kita terlamba

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 111 : Terciduk di Dapur

    Matahari hampir terbenam di kaki cakrawala. Langit senja sudah semakin pucat. Sebentar lagi hari akan beranjak menuju malam. Dua orang pengawal yang tegak di depan gerbang istana tiba-tiba didatangi oleh laki-laki dan wanita yang mengendarai kereta kuda, mereka tampak membawa peti-peti berukuran besar.Manik Maya kala itu tengah menyamar dengan berpenampilan seperti seorang saudagar kaya raya, sedangkan Bayu merahasiakan tampangnya dengan menutup kepala menggunakan kain hitam.“Berhenti! Siapa kalian berdua? ada urusan apa datang ke istana? Sepertinya kalian bukan orang asli sini,” kata salah satu pengawal.Manik Maya pun mulai mengarang-ngarang cerita. “Kami berdua adalah saudagar dari tempat yang sangat jauh. Sengaja datang kemari untuk menghaturkan hadiah kepada gusti prabu agar beliau mau mendoakan suamiku yang sedang menderita sakit cacar.”Pengawal itu pun memperhatikan ke Bayu Halimun yang kepalanya tertutup kain hitam. &ldq

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 110 : Terpaksa Tunduk

    Beberapa saat waktu telah berlalu. Bayu Halimun dan Manik Maya akhirnya terbangun dari ketikdasaran mereka.Saat keduanya membuka mata, mereka memperdapati kondisi tubuh mereka yang digantung terbalik dengan kaki di atas dan kepala menghadap ke bawah.Badan Bayu Halimun dan Manik Maya dililit dengan kencang oleh akar-akar besar dan juga tumbuhan melayap. Mereka sekarang merasa pusing, sebab seluruh aliran darah menumpuk di bagian kepala.Keduanya mencoba untuk menggerak-gerakkan badan supaya bisa lepas. Namun usaha itu sia-sia belaka. Hanya membuang-buang tenaga dan membikin kepala mereka jadi tambah berdenyut.Nyai Jamanika berjalan di bawah sambil menggunakan tongkat. Dia gelak sekali mentertawakan dua pendekar itu. Kini kegeraman si nenek jelek itu telah terbayarkan dan hatinya pun puas.“Siapa suruh kalian mau coba-coba kabur dariku? Aku meminta baik-baik supaya kalian mengantarku menemui ketua Persaudaraan Iblis, tapi kalian malah cara g

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 109 : Sihir Kabut Hitam Delapan Penjuru

    Manik Maya menduga kalau ada dendam kesumat di hati Nyai Jamanika terhadap Mpu Bhiantar. Pasalnya si nenek berwajah mengerikan ini dahulu pernah ingin merebut kitab catatan racun milik Nyai Maheswari, hingga terjadilah pertarungan di antara keduanya.Dalam perkelahian tersebut hampir saja Nyai Maheswari kalah, tapi Mpu Bhiantar tiba-tiba muncul dan ikut campur, dia menyiramkan ke wajah Nyai Jamanika racun yang bernama “Getah Buah Hutan”. Itu yang membuat wajah Nyai Jamanika pun jadi rusak hingga sekarang.“Katakanlah, hai Nenek Peot, untuk apa dari tadi kau mengendengarkan pembincaraan kami.” desak Bayu Halimun. Dia curiga kalau si nenek ini mata-mata dari kerajaan.“Sebetulnya aku cuma kebetulan lewat dan bertemu kalian di sini. Jika memang kalian ingin berperang melawan Prabu Surya Buana dan para bawahannya, aku tertarik untuk ikut bergabung,” ujar Nyai Jamanika.Bayu Halimun merasa ragu mendengar hal itu. Dia berkata

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 108 : Ada Yang Diam-diam Menguping

    Setelah cukup jauh melarikan diri sambil menggendong Manik Maya, Bayu Halimun kini sampai di tengah hutan belantara yang tak ada satu pun rumah penduduk. Dia mendarat dan kemudian menurunkan wanita itu.“Kau tidak apa-apa?” tanya Bayu Halimun.Manik Maya berjalan menuju ke sebetang pohon beringin. Dia lalu duduk bernaung di bawahnya dan bersandar.Sambil mengusap lambungnya yang masih nyeri, Manik Maya menjawab, “Aku tidak apa-apa. Kalau tadi dirimu tidak segera muncul, maka habislah sudah aku di tangan pendekar itu.”Bayu Halimun tegak di samping Manik Maya. Dia memberitahu, “Aku disuruh oleh Argani Bhadrika untuk mengawasimu dan Celeng Ireng. Sebab Argani tahu bahwa tidak akan mudah bagi kalian untuk menjalankan tugas ini. Setelah bertemu kalian berdua aku pun terkejut, bagaimana bisa sampai terjadi pertarungan dengan para pendekar tadi? Apakah Celeng Ireng terbunuh.Manik Maya menarik Nafas dalam-dalam. Dia pun mena

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 107 : Tewasnya Celeng Ireng

    Melihat temannya yang terkena totokan, Manik Maya segera menotok balik leher Celeng Ireng dengan dua jari untuk membuka lagi aliran darahnya. Namun walau demikian, Giandra dan Tubagus Dharmasuri sudah sampai ke dekat mereka, tak mungkin lagi bagi keduanya untuk kabur.“Sekarang kalian mau lari kemana? Aku tahu kalian pasti sedang merencanakan niat jahat. Cepat katakan!” bentak Tubagus Dharmasuri.Manik Maya dan Celeng Ireng pun saling bertatapan sesaat. Mereka tak menyangka kalau harus bertemu dengan dua pria ini. Tidak mudah bagi mereka untuk bisa selamat jika sudah dalam keadaan begini.“Ilmu Malih Rupomu sangat hebat sekali, hai Siluman Babi. Tapi sayang, kini penyamaranmu telah terbongkar,” ujar Giandra pada Celeng Ireng.Karena memang tidak ada pilihan lain kecuali bertarung, Manik Maya pun segera mencabut pedangya dari pinggang. Celeng Ireng juga mengangkat tangan kirinya, lalu tombak trisula pun tiba-tiba langsung muncul di

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 106 : Sihir Tipuan

    Di waktu siang saat terik matahari menjilati kulit, langit biru begitu cerah dan gumpalan awan putih berkilauan hingga ke ujung cakrawala, Giandra dan Tubagus Dharmasuri masih dalam perjalanan menuju istana. Mereka sudah bergerak dari pagi tadi meninggalkan padepokan, dan sekarang telah keluar dari kawasan Desa Tanjung Bambu.Perut keduanya kini mulai keroncongan, dahaga terasa menggelegak di tenggorokan, butir-butir keringat membasahi leher dan juga lengan mereka, bahkan kuda yang jadi tunggangan pun kelihatannya sudah capek dan ingin beristirahat.Karena hari beranjak semakin siang, akhirnya mereka pun memutuskan untuk berhenti dahulu demi melepas lelah. Tidak jauh di hadapan mereka terlihat ada sebuah warung tempat makan, Giandra mengajak Tubagus Dharmasuri untuk mampir di sana sebentar.Sesampainya mereka di depan warung itu, Keduanya pun turun dari atas tunggangan. Giandra menyeret kudanya dan kuda Tubagus Dharmasuri ke dekat pohon kelapa di seberang jalan,

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 105 : Berakhirnya Buruk Rupa Argani Bhadrika

    Di puncak Gunung Ratri, di depan pintu gua yang pernah menjadi sarang Iblis Hitam, tujuh orang anggota Persaudaraan Iblis bersama Dewa Kalajengking kembali akan melakukan ritual. Malam ini adalah penyempurnaan bersatunya sukma Iblis Hitam ke dalam tubuh Argani Bhadrika.Sambil berdiri menghadapi Dewa Kalajengking yang tegak di depan pintu gua, Argani Bhadrika memegang dua cupak tempurung di kedua belah tangannya yang berisi darah perawan. Dia menuangkan darah dalam cupak-cupak tempurung itu ke mulutnya secara bergantian kiri dan kanan. Pada kedua tepian bibirnya melelehlah sisa darah itu hingga ke bawah dagunya.Sesuah selesai minum, Argani lalu melemparkan kedua tempurung itu ke atas tumpukan tempurung-tempurung lain yang berserakan di tanah. Dia kemudian menyapu bekas lelehan darah di dagunya dengan punggung tangan.“Darah belas gadis perawan telah habis aku minum. Rasanya sangat manis dan kental. Sekarang lanjutkanlah upacaranya, hai Dewa Kalajengking!&

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status