Home / Pendekar / 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT / Bab 9 : Kenangan Masa Lalu

Share

Bab 9 : Kenangan Masa Lalu

Author: Adil Perwira
last update Last Updated: 2024-10-23 20:00:00

"Sayang, maafkan aku karena datang terlambat. Bertahanlah!” Jaka Purnama mengusap keringat yang bercucuran di dahi istrinya itu dan lalu memeluknya.

“Tidak apa-apa, Kang Mas. Musibah ini sudah menjadi takdir,” ujar Anindhita. Suaranya terdengar lemah sebab menahan rasa sakit karena sebilah golok masih tertancap di perutnya.

Jaka Purnama tak kuasa menahan air mata. Dia menggenggam tangan kanan isterinya itu dan menciumnya. “Bertahanlah, Sayang. Aku akan menolongmu.”

“Tidak usah, Kang Mas,” jawab Anindhita terhengal. “Aku sudah tidak tahan lagi, Waktuku telah hampir sampai. Jagalah buah hati kita baik-baik. Maafkanlah aku yang tak bisa lagi menemanimu , Kang Mas.”

Air mata Jaka Purnama mengalir tambah deras karena mendengar ucapan isterinya barusan. Dia memeluk erat tubuh Anindhita dan berkata, “Aku sangat mencintaimu. Jangan tinggalkan aku, Anindhita!”

“Aku juga sangat mencintaimu, Kang Mas, namun sebagai manusia kita tidak mungkin melawan takdir. Terimakasih karena selama ini Kang Mas sudah menyayangiku, menjaga, dan mengasihiku dengan setulus hati. Selamat tinggal, Kang Mas Jaka Purnama.”

Setelah kalimat terakhir yang diucapkannya itu, mata Anindhita pun tertutup. Bibirnya kelihatan masih terbuka, namun nafasnya sudah putus, perempuan yang sangat dikasihi oleh Jaka Purnama itu kini telah tiada.

Tangisan seorang bayi di ayunan tiba-tiba pecah dari dalam kamar. Seakan anak itu bisa merasakan dan mengatahui bahwa roh ibunya telah pergi meninggalkan dunia.

Waluyo duduk berjongkok di samping Jaka Purnama. Tangannya mengusap-usap bahu si lelaki yang tengah berduka itu.  Dia berusaha menenangkannya. 

Dengan suara lirih, Waluyo berucap, “Sudahlah, Nak. Kuatkan jiwamu. Relakanlah kepergian isterimu. Aku juga berat menerima kenyataan ini. Karena walau bagaimana pun, Anindhita juga merupakan puteri dari kakangku, Datuk Subrata. Tapi benar apa yang tadi Anindhita telah katakan, bahwa sebagai manusia kita tidak mungkin melawan takdir.”

Jaka Purnama membelai pipi Anindhita, kemudian dia  mencium kening isterinya itu dengan penuh cinta.

“Kenapa kejadian seperti ini harus menimpa padamu, Anindhita. Kau adalah perempuan yang baik, tapi kenapa takdir begitu kejam terhadap dirimu. Mengapa kita harus berpisah.”

Waluyo dan Jagat Pramudita hanya bisa terharu. Mereka bisa membayangkan bagaimana beratnya kalau harus berpisah dari orang yang dicintai. Harapan menua bersama dan manisnya kemesraan di hari-hari lalu kini telah putus, menjelma jadi awan kelabu yang mengguyurkan hujan air mata.

Jaka Purnama mengambil pedang pusaka yang tergeletak di lantai, dia pun memasukkannya kembali ke dalam sarung. Itu adalah pusaka milik keluarga isterinya yang selalu dicari-cari oleh banyak pendekar di dunia persilatan. 

Dalam beberapa waktu, Jaka Purnama kembali mengingat kenangan masa lampau saat pertama kali dia bertemu dengan Anindhita. 

Bermula pada suatu sore saat Jaka Purnama dalam perjalanan pulang ke Desa Tanjung Bambu dari sehabis menziarahi kuburan ayah dan ibunya di Desa Hulu Sungai.

Kala itu warna langit sudah memucat, Jaka Purnama melihat ada serombongan prajurit kerajaan yang membawa sebuah tandu besar sedang dicegat oleh gerombolan perampok bersenjata.

Perampok-perampok itu diketuai oleh Wandra Parama, seorang lelaki yang menjuluki dirinya sebagai Panglima Sanca. Dia memakai julukan itu agar terdengar lebih menakutkan.

Pimpinan perampok tersebut meminta rombongan prajurit supaya  menyerahkan permaisuri yang berada di dalam tandu. Dia tidak mengizinkan mereka lewat jika keinginannya tidak dipenuhi.

Di antara para prajurit yang mengiringi permaisuri, ada seorang perempuan cantik berbaju ungu yang duduk di atas kuda putih. Sebilah pedang tampak tergantung di punggungnya. Penampilannya mirip seorang pendekar. 

Perempuan tersebut melompat dari atas kuda hingga dia pun berdiri tegak di hadapan semua perampok. “Kalian penjahat-penjahat tidak tahu diri! Beraninya mencegat permaisuri dari kerajaan Jayakastara! Memang ada urusan apa kalian?”

“Sri Dewi Jayasri adalah kekasihku. Aku sudah lama memiliki hubungan dengannya,” jawab Panglima Sanca.

“Heh, mana mungkin seorang permaisuri kerajaan bisa punya hubungan dengan penjahat tengik sepertimu,” tukas perempuan berbaju ungu.

“Sudah, jangan banyak omong!” tegas Panglima Sanca. “Jika kalian tidak segera menyerahkan permaisuri kepadaku, maka pasukanku akan menghabisi kalian semua!”

Perempuan itu menatap pada Panglima Sanca dengan sorot mata yang tajam. “Sombong sekali kau, Penjahat Tengik! Aku tahu kau adalah Wandra Parama, penjahat yang suka menodai kesucian gadis-gadis!”

Jaka Purnama mengintip peristiwa itu dari balik pohon besar. Dia menduga kalau sebentar lagi akan terjadi pertarungan.

Panglima sanca yang tersinggung langsung mecabut pedang dari pinggangnya. “Kurang ajar kau, hai Perempuan! Akan kucabik-cabik tubuhmu dengan pedang tajamku ini!” 

“Maju sini! Dasar Penjahat Busuk!” Anindhita menantang.

Dengan mengangkat ujung pedangnya ke langit, Panglima Sanca memberi isyarat kepada para anak buahnya. “Ayo semuanya, serang!!”

Para prajurit yang tegak di belakang Anindhita juga segera mencabut senjata mereka untuk melindungi sang permaisuri. Perkelahian pun akhirnya pecah diantara dua kelompok tersebut.

Jaka Purnama fokus memperhatikan duel antara Panglima Sanca dan si perempuan berbaju ungu. Dia sampai dibuat ternganga karena kagum.

Serangan demi serangan dilancarkan oleh Panglima Sanca, tapi si perempuan mampu menghindarinya dengan cepat, tak ada satu pun sayatan pedang yang berhasil melukai tubuhnya..

Langkah kaki perempuan itu sangat lincah dan tangannya juga begitu lihai memainkan pedang, Panglima Sanca berhasil dibuat terdesak olehnya hingga semakin mundur ke belakang.

“Gadis ini punya kemampuan bela diri yang hebat,” ujar Jaka Purnama dalam hati.

Merasa geram karena dirinya dibuat terdesak, Panglima Sanca lalu mengeluarkan jurus pedang andalannya, yakni jurus Pedang Mengamuk Membelah Hujan. 

Panglima Sanca balas menyerang dengan beringas. Benturan demi benturan antar dua pedang berdengung berulang kali. Sebagai penonton, Jaka Purnama sangat terpukau, ternyata perempuan berbaju ungu itu masih mampu menghadapi jurus tersebut.

Panglima Sanca berteriak, “Hiyaaa!”

Dia menebaskan pedangnya sekuat tenaga dengan penuh amarah. Si perempuan pun segera membujurkan pedang miliknya di samping wajah untuk menahan tebasan tersebut.

Ketika dua mata pedang itu saling berbenturan, tiba-tiba pedang di tangan Panglima Sanca patah karena kalah. Jaka Purnama sontak terkejut, dia kaget melihat betapa kerasnya pedang di tangan perempuan itu.

Si perempuan kemudian menendang dada Panglima Sanca. Penjahat itu terjungkal ke belakang. Namun dengan cepat dia bisa segera bangun lagi. Panglima Sanca masih belum mau mengaku walau senjatanya sudah patah. 

Si perempuan kemudian mengayunkan pedangnya ke leher Panglima Sanca. Sayangnya serangan ini sangat terburu-buru dan kurang perhitungan, Panglima berhasil mengelak dengan sedikit menunduk sambil melangkah maju. Di saat yang sama pula, dia melepaskan pukulan dengan telapak tangan kanannya ke dada perempuan tersebut. Si perempuan pun jatuh ke tanah.

Perempuan berbaju ungu tiba-tiba memuntahkan darah. Pukulan telapak tangan yang mengenainya tadi cukup dahsyat. Itu adalah merupakan jurus tenaga dalam.

Dengan Bangga Panglima Sanca tertawa. “Hahahahaha! Rasakanlah itu, Pendekar Cantik! Itulah ajian milikku yang dinamakan Pukulan Badai Menerpa Awan.”

Melihat lawannya yang sudah tak berdaya lagi, Panglima Sanca ingin segera maju menyerang, tapi Jaka Purnama yang saat itu mengintip di atas pohon tidak tinggal diam, dia segera melemparkan tiga bilah jarum beracun dan tepat mengenai ke leher Panglima Sanca.

“Aaaaa! Keparat! Siapa yang sudah menyerangku diam-diam!” Panglima Sancara berputar dan melihat ke segala arah, tapi dia tidak menemukan si penyerangnya itu.

Jaka Purnama tiba-tiba muncul dengan berlari di udara. Dia langsung menerjang Panglima Sanca dengan kedua kakinya. Penjahat itu pun terpelanting jauh hingga badannya membentur pohon beringin.

Tanpa pikir panjang, Jaka Purnama segera mendekati perempuan berbaju ungu yang menderita luka dalam. Dia membantunya untuk bangkit.

“Terimakasih banyak, Pendekar. Kau telah menyelamatkanku,” ujar si perempuan.

“Bertahanlah, kau baru saja terkena pukulan tenaga dalam. Aku akan coba untuk mengobatimu.” Jaka Purnama menggunakan ajian Tenaga Dalam Inti Indurashmi, dia berusaha mengalirkannya kebagian tubuh si perempuan yang terkena pukulan.

Melihat ketua mereka yang sudah di kalahkan, para penjahat itu akhirnya mundur. Mental mereka redup sebab sang pimpinan sudah mengerang kesakitan di tanah akibat tertusuk tiga bilah jarum beracun. 

“Bawa ketua kalian pergi dari sini sebelum aku kehilangan kesabaran dan mencabut nyawanya!” tegas Jaka Purnama pada gerombolan perampok Itu.

Para penjahat itu segera membantu ketua mereka untuk bangkit. Mereka akhirnya kemudian pergi meninggalkan tempat tersebut.

Para prajurit kerajaan pun menghampiri Jaka Purnama. Mereka semua menyatukan kedua tangan dan memberi hormat. 

Salah seorang dari mereka berkata, “Terimakasih banyak, Pendekar. Anda telah mengalahkan ketua dari gerombolan penjahat busuk itu.”

Jaka Purnama hanya mengangguk tanpa mengucapkan apa pun. Dia kembali menoleh pada perempuan berbaju ungu. 

“Bagaimana dengan luka dalammu? Apa kau baik-baik saja?” tanya Jaka Purnama khawatir.

“Aku baik-baik saja, Pendekar,” jawab si perempuan. “Bekat pertolonganmu, sekarang rasa nyeri akibat pukulan tadi sudah berkurang.”

Sejenak terjadilah saling tatap antara Jaka Purnama dan si perempuan berbaju ungu. Kuntum-kuntum bunga mawar pun tanpa diduga bermekaran di hati keduanya.

Seketika itu ada rasa yang sangat indah telah lahir, keindahannya bak musim semi datang bersinggah, ia tak terbahasakan, tapi gejolaknya tak terpungkiri. Keduanya sudah sama-sama dewasa untuk menyikapi perasaan apa itu namanya. 

“Boleh aku tahu siapa namamu,” tanya Jaka Purnama ingin berkenalan.

“Namaku Anindhita,” jawab si perempuan sambil tersenyum manis. “Aku adalah pengawal pribadi Permaisuri Sri Dewi Jayasri. Boleh aku tahu siapa nama Tuan Pendekar.”

Jaka Purnama pun balas tersenyum dan menjawab, “Namaku Jaka Purnama.”

Sejak hari itu, bunga-bunga mawar tak dapat tercegah terus bermekaran di hati keduanya. Mereka jadi sering melakukan pertemuan dan sering berbincang. Seiring waktu yang berjalan, hubungan keduanya pun semakin dekat, hingga mereka memutuskan untuk menikah dan menjalani hidup bersama.

Related chapters

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 10 : Perpisahan Dengan Buah Hati

    Setelah selesai dari mengenang masa lalu yang indah itu, Jaka Purnama bangkit dan menuju kamar. Dia menghampiri buah cinta mereka yang berada dalam ayunan.Jaka Purnama mengambil anak itu dan lalu menggendongnya. “Kasihan sekali kamu, Giandra. Ibumu telah pergi meninggalkan dunia ini, padahal kamu masih sangat membutuhkan kehadirannya di dekatmu.”Waluyo dan Jagat Pramudita juga masuk ke dalam kamar untuk melihat anak tersebut.“Anakmu ini tampan sekali, sama seperti ayahnya,” ujar Waluyo.Jaka Purnama mengusap pipi bayi laki-lakinya itu. “Aku berharap suatu saat nanti dia akan menjadi kesatria tangguh yang selalu berpegang pada kebenaran. Aku dan Anindhita memberikannya nama Giandra Lesmana, artinya orang yang pintar, berpengetahuan luas, dan beruntung dalam hidup.”“Giandra Lesmana, sungguh nama yang sangat gagah, segagah orangnya,” ujar Jagat Pramudita.Jaka Purnama lalu membalik

    Last Updated : 2024-10-23
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 11 : Persaudaraan Iblis

    Di kala kegelapan malam semakin larut, sebagian bintang-bintang pun telah lenyap, kabut hitam yang tebal keluar dari kawah Gunung Ratri, menyelimuti puncaknya yang tinggi dan bergerak hingga ke kakinya.Di lereng gunung tersebut ada suatu area hutan yang penuh dengan pohon-pohon beringin besar. Tempat itu merupakan wilayah yang sangat sunyi, bukan kawasan yang biasa dijamah oleh para pemburu hewan.Di situ berkumpullah empat orang pendekar. Mereka sedang berdiri membentuk lingkaran. Kabut yang menyelimuti di sekeliling mereka seakan tidak mereka pedulikan.Enam belas batang bambu panjang tertancap di sekitaran tempat itu. Pada setiap ujung batangnya dinyalakan api sebagai pencahayaan. Itulah yang jadi sumber penerang sehingga mereka masih bisa melihat wajah satu sama lain.Keempat pendekar ini menamai kelompoknya sebagai Persaudaraan Iblis. Pemimpin tertinggi mereka ialah Argani Bhadrika, dia seorang lelaki bertopeng yang tak pernah ingin menampakkan wajah aslinya.Di antara anggota y

    Last Updated : 2024-10-24
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 12 : Perang Antara Cahaya & Kegelapan

    Dalam sebuah gua yang diterangi cahaya obor, Mpu Seta sedang melakukan meditasi. Dia hanya duduk bersila dan diam sambil menyatukan dua telapak tangan. Bola matanya terpejam, aliran nafasnya naik dan turun dengan sangat tenang, setenang suasana malam di tengah hutan belantara.Tiba-tiba seorang kakek bertubuh tinggi muncul secara ajaib di hadapannya. Kakek tua tersebut mengenakan jubah kuning, celana kuning, dan ikat kepala yang juga berwarna kuning. Rambutnya tergerai panjang dan lurus, putih dan berkilauan seperti perak.Mpu Seta pun pelan-pelan membuka mata. Sosok itu berdiri tegak dengan tubuh yang tinggi semampai. Sanggul di puncak kepala si kakek itu hampir saja menyentuh langit-langit gua. Mpu Seta dapat mengenali kalau yang datang ini adalah sukma dari mendiang gurunya, yaitu Resi Cakrasyananda.Mpu Seta langsung turun dari atas batu besar tempat dia duduk. Kini dia berdiri sambil membungkukkan badan menjura hormat.“Ada perihal apa yang mem

    Last Updated : 2024-10-24
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 13 : Perjalanan ke Lembah Cendana

    Matahari bersinar terang. Gumpalan awan-awan putih menghiasi langit biru. Cuaca di hari itu sangat baik, namun juga terasa panas menjilati kulit.Setelah berjalan kaki cukup jauh meninggalkan desa Tanjung Bambu, Jaka Purnama menumpangi sebuah rakit untuk menyeberang sungai, hingga tibalah dia di suatu kampung yang ramai dengan para penduduk.Jaka Purnama berjalan menyusuri kampung tersebut. Para pedagang terlihat berjualan di pinggiran jalan. Ada banyak sayur-sayuran, buah-buah segera, dan juga aneka manik-manik yang jadi kesukaan para gadis remaja.Seorang pengemis tua yang berbadan bungkuk tiba-tiba muncul mendekati Jaka Purnama, Dia berpakaian compang-camping, menadahkan tempurung yang kosong dengan kedua tangan.“Saya sudah dua hari belum makan, Tuan. Sudilah Tuan memberi saya sedikit uang,” ujar pengemis itu meminta.Jaka Purnama pun mengambil beberapa keping uang dari buntalan kain yang tergantung di pinggangnya, lalu dia memasukkannya ke dalam tempurung kosong yang dipegang ole

    Last Updated : 2024-10-24
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 14 : Pertarungan Yang Membuat Heboh

    “Kurang ajar! Siapa yang berani ikut campur!” teriak si lelaki berkepala botak itu dengan penuh amarah.Jaka Purnama yang duduk di tempat paling belakang pun berucap padanya, “Tindakanmu sungguh sangat keterlaluan! Menggunakan kekuatan untuk menindas orang yang lemah. Benar-benar memalukan!”Pemimpin rombongan itu menatap ke Jaka Purnama dengan bola mata yang menyala seperti bara api. “Keparat! Ternyata kau yang tadi menyerangku secara diam-diam!” Dia lalu berkata kepada semua anak buahnya, “Ayo, kalian tunggu apalagi? Cepat hajar dia!”Para lelaki itu pun mencabut golok-golok mereka dari pinggang dan hendak menyerang Jaka Purnama.Jaka Purnama segera berdiri dan langsung bersalto depan melompati meja. Saat kedua kakinya menginjak di lantai dengan hentakan yang kuat, dia pun langsung mengambil sikap kuda-kuda samping.Satu orang lelaki di antara mereka pun maju seperti macan yang kelaparan. Sera

    Last Updated : 2024-10-24
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 15 : Saling Tolong Menolong

    Jaka Purnama menjura hormat kepada dua orang pendekar yang telah membantunya itu. “Terimakasih banyak, Sobat berdua telah membantuku menghadapi para bromocorah tadi. Perkenalkan, namaku Jaka Purnama, dari Desa Tanjung Bambu.”Sambil memegang pedang yang sudah tersarung, lelaki berbaju abu-abu dengan rambut panjang yang tersanggul di puncak kepalanya juga balas memberi hormat.“Tidak perlu berterimakasih, Sobat. Sudah menjadi kewajiban kita para pendekar untuk menumpas kejahatan. Perkenalkan,. namaku Abirama, dan ini adalah adik kandungku, Alindra. Kami dari perguruan Teratai Jingga di balik Bukit Sarang Merpati.”“Perguruan Teratai Jingga?” Sejenak Jaka Purnama mengerutkan dahi. Dia merasa pernah mendengar nama itu. “Oh, iya, aku baru ingat. Ternyata kalian adalah murid Nyai Maheswari. Beliau seorang tokoh pendekar wanita yang terkenal ahli dalam ilmu pengobatan.”“Betul sekali, Kakang Pendekar,” ujar Alindra. “Rupanya Kakang juga mengetahui tentang guru kami.”Abirama lalu bertanya,

    Last Updated : 2024-10-25
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 16 : Makhluk Penjaga Lembah Cendana

    Bab 16 : Makhluk Penjaga Lembah CendanaBerminggu lamanya perjalanan panjang ditempuh, hutan dan tebing perbukitan telah dilewati, sungai-sungai telah diseberangi, dan segala rintangan maupun marabahaya sudah dihadapi. Ketika siang panas matahari menjilati kulit, dan saat malam tiba dinginnya udara menusuk ke tulang, namun apapun itu, tak dapat menyurutkan semangat Jaka Purnama.Kini tibalah dia di tempat yang menjadi tujuannya, yaitu Lembah Cendana. Kawasan ini dikelilingi oleh pegunungan yang terlatak pada empat penjuru mata angin.Di sebelah Timur tampaklah satu gunung yang paling tinggi. Setiap kali matahari terbit di waktu pagi, maka cahayanya akan terlihat terang benderang di puncak gunung itu, sehingga dinamakanlah ia sebagai Gunung Bhanurasmi, yaitu gunung matahari.Di sebelah Barat ada tiga barisan gunung yang bernama Bukit Tiga Baris, di sebelah Utara ada dua buah gunung yang rapat dan dinamai Gunung Bujang Dara, sedangkan di sebelah Selatan ada satu gunung yang paling kecil

    Last Updated : 2024-10-25
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 17 : Bertemu Sahabat Lama Guru

    Tak lama setelah perjumpaannya dengan siluman musang, tiba-tiba Jaka Purnama melihat lagi dari balik pohon muncul seorang lelaki tua berbaju hijau dengan rambut putih yang tersanggul. Dia berjalan menggunakan tongkat dan menghampiri Jaka Purnama.Orang tua itu berkumis tebal dan memiliki jenggot yang panjang hingga ke pusat, semuanya tampak putih, menandakan kalau usianya memang sudah sangat tua, hal itu dibuktikan pula dengan kulit wajahnya yang terlihat keriput dan bola matanya yang sudah kelabu.Jaka Purnama mundur beberapa langkah dan mengambil sikap waspada, namun orang tua itu mengisyaratkan dengan telapak tangan agar Jaka Purnama tidak usah takut. Dengan suara serak, dia berkata, “Tenanglah, Ki Sanak. Aku ini bukan orang dunia persilatan yang suka berkelahi. Kau tidak perlu waspada begitu melihatku.”Orang tua tersebut memang kelihatan lebih ramah dan bersahabat jika dibandingkan dengan siluman musang tadi. Jaka Purnama memberi hormat dengan menyatukan kedua tangan.Orang tua

    Last Updated : 2024-10-25

Latest chapter

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 91 : Senyuman Yang Tak Dibalas

    Pagi ini adalah pertamakalinya Patrioda datang ke ibu kota sendirian dengan mengendarai kuda. Sebelumnya dia sama sekali belum pernah menginjak wilayah tersebut.Tempat ini sangat ramai dan banyak para pedagang. Patrio da terus membawa kudanya berjalan ke depan sambil menikmati pemandangan di sekelilingnya.Satu minggu sudah lamanya perjalanan yang Patrioda tempuh, dari mulai menyeberangi Sungai Pinang Muda, melewati beberapa kadipaten, menembus belantara yang liar, dan hingga sampailah juga dirinya di tempat yang sangat dia dambakan itu, yakni Istana Kerjaan Jayakastara.Baru melihat pintu gerbang saja pikiran Patrioda sudah mulai mengkhayal jauh, dia membayangkan kalau suatu saat dirinya bisa memiliki kedudukan di istana ini sebagai panglima perang, tentulah dengan begitu derajatnya akan naik, dan nama Perguruan Lenggo Geni juga akan ikut terangkat.Salah satu dari dua pengawal yang menjaga pintu gerbang bertanya pada Patrioda, “Ada urusan apa kaudatang kemari?”Sambil membusungkan

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 90 : Tabib Istana Yang Awet Muda

    Setelah Abirama dan Alindra menempuh perjalanan panjang yang cukup jauh, akhirnya kakak dan adik itu tiba juga di Istana Kerajaan Jayakastara pada waktu pagi hari.Karena mereka sudah membawa surat undangan, maka mereka pun diizinkan masuk oleh para pengawal yang menjaga pintu gerbang.Baru beberapa langkah saja keduanya berjalan, kedatangan mereka langsung disambut hangat oleh Mpu Bhiantar. Dia sudah tahu dari Senopati Taraka kalau dua orang murid Nyai Maheswari ini akan bergabung dengan kerajaan. Mpu Bhiantar sangat senang bisa berjumpa mereka.“Selamat datang, Anak-anakku. Sudah begitu lama aku tak pernah lagi melihat kalian. Akhirnya sekarang kita bisa bertemu lagi,” kata Mpu Bhiantar sambil tersenyum.Abirama dan Alindra pun juga balas tersenyum dan menjura hormat. Wajah Mpu Bhiantar terlihat awet sangat muda bagai tak pernah berubah dari dulu. Dia berkulit putih tanpa jenggot atau pun kumis. Rambutnya hitam lurus dan panjang tanpa ditumb

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 89 : Cahaya Jati Diri

    Siang hari di dalam hutan yang tertutup pohon-pohon kayu ara, Giandra sedang berlatih ajian Tatapan Rajawali Menembus dibawah bimbingan Tubagus Dharmasuri. Dia sudah berhasil mencapai tingkatan kedelapan, hanya tinggal satu langkah lagi baginya untuk menyempurnakan sampai tingkat kesembilan.Di atas sebuah batu besar, Giandra bersila dan berkonstrasi, berusaha menghidupkan setiap pusaran tenaga dalam pada dirinya. Ini adalah proses penyatuan antara buana alit dan buana agung supaya dapat menyelaraskan jiwa dengan alam semesta.Tubagus Dharmasuri terus memperhatikan Giandra. Lelaki tua itu hanya diam sambil memangku tangannya ke belakang. Dia melihat bahwa peningkatan Giandra cukup bagus dari hari ke hari . Berbagai latihan yang sulit telah berhasil Giandra lewati hingga akhirnya sampai ke titik ini.“Rasakanlah pusaran kekuatan yang berkobar dalam dirimu. Bayangankan setiap pintu tenaga dalam di tubuhmu laksana roda yang berputar, pancaran tenaganya menjad

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 88 : Lima Jari Penghancur Tengkorak

    Persaudaraan Iblis telah berhasil mengumpulkan dua belas mayat anak kecil dan mengumpulkannya dalam sebuah gubuk tua. Anak-anak itu diculik secara paksa, lalu dibunuh dengan sangat kejam dan mayatnya dibawa ke tempat ini.Sebentar lagi Argani akan membelah dada mereka dan memakan jantung anak-anak itu. Karena demikianlah syarat yang diperintahkan oleh Iblis Hitam.Sebelum Argani akan melakukan perbuatan terkutuknya, tiba-tiba Panglima Sanca baru kembali setelah tadi sempat dicari-cari oleh yang lain. Dia datang sambil menggendong Aryajanggala yang dalam keadaan sekarat.Bayu Halimun langsung bertanya, “Ada apa lagi ini? Apa yang terjadi pada Taring Beruang?”Panglima Sanca menurunkan lelaki itu ke lantai dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Dia kemudian menatap pada semua orang di gubuk tersebut. “Taring Beruang telah terkena panah beracun. Dia harus secepatnya diobati, kalau tidak, dia bisa tewas.”Manik Maya pun mendekati

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 87 : Pertarungan Dalam Hutan

    Sesosok manusia berpakaian serba putih melompat keluar dari bali semak belukar yang menjulang dan tebal. Dia bersalto depan dan akhirnya mendarat tepat di hadapan semua orang.Sosok itu adalah Damayanti yang menutupi wajahnya dengan selembar kain putih. Dia kelihatan cantik dengan bulu mata yang lentik dan rambut hitam panjang yang terganggul di puncak kepala.Panglima Sanca menggeram, “Hmm, ternyata kau hanya seorang perempuan! Berani sekali menyerangku dengan panah diam-diam. Cepat katakan siapa dirimu!”Damayanti menjawab, “Kalian tidak perlu tahu siapa aku, tapi yang jelas, aku adalah orang yang sangat menentang Persaudaraan Iblis! Kalian berdua tentu adalah bagian dari mereka, benar bukan?”Aryajanggala pun maju sambil mengepalkan kedua tangannya. “Sombong sekali, kau ingin menentang Persaudaraan Iblis? Aku baru tahu kalau rupanya masih ada pendekar aliran putih sepertimu. Dari perguruan mana kau berasal?”Damayanti menggantungkan busurnya ke pundak. Dia menatap tajam pada Aryaja

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 86 : Sebilah Panah dari Balik Semak

    Dua orang anak Gadis Suripto lari dengan penuh ketakutan. Mereka menembus hutan di belakang rumah dan tidak tahu harus pergi kemana. Sang kakak yang berbaju hitam terus menarik tangan adiknya agar lebih mempercepat langkah.“Hah …. Hah …. Hah …. Aku sudah tidak kaut lagi, Kak Sekar,” ucap si adik sambil terhengal capek.“Kita tidak boleh berhenti, Puspita,” kata si Kakak memaksa adiknya. “Dua orang penjahat itu pasti akan mengejar kita. Ayo, kau pasti kuat. kita harus mencari tempat yang aman untuk sembunyi.”Sambil tertunduk kelelahan, si adik berkata pada kakaknya, “Bagaimana keadaan romo dan si mbok sekarang, Kakak? Aku tidak ingin meninggalkan mereka! Aku mau kembali!”“Jangan, Puspita!” ujar si Kakak melarangnya keras. “Saat ini berbahaya sekali kalau kita kembali ke rumah. Ayo, kita lari lagi. Kuatkanlah dirimu, Puspita!”Si adik menyeka keringat yang

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 85 : Dua Anak Perawan Petani Jagung

    Persaudaraan Iblis berpencar dan memasuki setiap rumah warga, mereka hendak memburu anak-anak kecil yang usianya masih di bawah sepuluh tahun. Sambil membiarkan para anggotanya itu menjalankan tugas, Argani Bhadrika menunggu mereka di sebuah gubuk tua yang sudah tak berpengehuni lagi.Sementara itu, Panglima Sanca dan Aryajanggala mendobrak pintu rumah milik seorang petani jagung. Petani itu bernama Suripto, dia seorang lelaki lemah yang sudah tua dan sakit-sakitan, di rumah ini Suripto hanya diurusi oleh istri dan kedua anak perawannya.Istri Suripto yang bernama Juminah pun terkejut. Dia dan kedua anak perempuannya yang saat itu tengah sibuk di dapur langsung menuju ke luar untuk melihat apa yang terjadi.Sesampainya mereka di ruang tengah, ketiga wanita itu kaget melihat dua orang penjahat yang berbadan kekar dan bermuka sangat telah masuk ke dalam rumah mereka.Juminah yang berbadan gemuk dan mengenakan kain batik sebetas dada pun merentangkan kedua t

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 84 : Siap Mati Demi Melindungi Desa

    BAB 84Di waktu pagi saat matahari baru mulai terbit, Argani Bhadrika dan tujuh orang kawanannya telah tiba di Desa Lubuk Cempaka. Enam puluh orang pemuda ternyata sudah bersiap menyambut mereka dengan membawa tombak, golok, dan juga celurit. Warga sudah menduga kalau hari ini desa akan diserang.Kepala desa maju ke depan dan berdiri menghadap kepada Persaudaraan Iblis. Dia sama sekali tidak kenal dengan para pendekar yang datang itu, tapi dia bisa merasakan kalau kehadiran orang-orang ini adalah ingin membuat keonaran di wilayahnya.“Siapa kalian semua? Mengapa datang ke desa kami?” tanya Kepala Desa dengan nada tinggi.Argani Bhadrika yang saat itu wajahnya sudah tidak lagi mengenakan topeng kayu pun menjawab, “Kami adalah Persaudaraan Iblis. Kedatangan kami ingin mencari jantung anak-anak kecil. Aku dengar kalau di desa kalian banyak anak yang masih berumur di bawah sepuluh tahun.”Kepala Desa merasa geli saat melihat waj

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 83 : Syarat Penyatuan

    Sukma Iblis Hitam yang saat itu telah hadir hanya bisa berbicara kepada Dewa Kalajengking dan Persaudaraan Iblis melalui lubang di tengah pusaran api yang berputar di langit.Iblis Hitam berkata, Lima puluh tahun lamanya sudah aku menunggu. Akhirnya permintaanku diperkenankan jua oleh Yang Maha Kuasa. Aku bisa menuntut balas kepada para pendekar sepuh yang menjadi musuhku.”“Semua musuh-musuhmu telah lama mati, wahai Iblis Hitam,” ujar Dewa Kalajengking memberitahu siluman jahat tersebut. “Yang terakhir dari mereka adalah Datuk Ancala Raya, tubuhnya sudah berkalang dalam tanah. Para penerus mereka juga telah kami kalahkan, bahkan Empat Pusaka Penakluk Jagat yang dulu dipakai untuk membinasakanmu juga sudah aku hancurkan. Sekarang tidak adalagi yang perlu kaukhawatirkan.”Iblis Hitam pun gelak tertawa. “Hahahahahaha! Bagus sekali! Kau merencanakan dan menyusun semuanya dengan sangat baik, Dewa Kalajengking.”Si penyihir itu berkata lagi, “Wahai Iblis Hitam. Lihatlah pria yang duduk ber

DMCA.com Protection Status