Pedang Penebas Setan di tangan Datuk Subrata kini basah dengan lumuran darah. Dari ujung lancipnya yang menghadap ke bawah bertetesan bekas darah Iblis Hitam yang berwarna merah pekat.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Datuk Subrata pada Datuk Ancala Raya.
Dengan nafas yang masih ngos-ngosan dia menjawab, “Aku baik-baik saja. Hampir tadi siluman itu membunuhku. Dia sangat kuat sekali.”
Nenek Kumari dan Datuk Gastiadi yang sudah bangun berjalan menghampiri Datuk Subrata dan Datuk Ancala Raya.
“Kita harus segera menggiring makhluk terkutuk ini masuk ke dalam sarangnya. Karena hanya di sarangnyalah dia akan bisa dibunuh,” kata Datuk Subrata mengingatkan kembali pada para sahabatnya.
Lengan kanan Iblis Hitam yang semula tadi sempat putus dan terguling di tanah, sekarang tiba-tiba tumbuh lagi di tempat yang sama. Dengan proses yang sangat cepat, lengan buntung itu kembali sempurna seperti sediakala.
Datuk Ancala Raya akhirnya mencabut Seruling Naga Emas yang terselip di pinggangnya. Dia mendekatkan lubang seruling itu kebibir dan mulai memainkan sebuah melodi.
Alunan bunyi seruling itu terdengar menggema hingga ke segala penjuru. Melodi yang dimainkan oleh Datuk Ancala Raya terdengar begitu lirih dan seakan menyayat-nyayat gendang telinga. Semua orang terpaksa menutup kuping saat seruling Naga Emas dimainkan.
Iblis Hitam menyumpali dua lubang kupingnya dengan jari telunjuk. Dia berteriak kesakitan. “Aaaa! Dasar keparat! Melodi apa ini!”
Seruling Naga Emas adalah senjata pusaka milik aliran silat Lenggo Geni. Hanya Datuk Ancala Raya satu-satunya orang yang pandai memainkan seruling tersebut. Irama seruling yang dimainkannya itu bernama Melodi Rintihan Naga.
Saat melodi sakral itu dimainkan, maka langit pun seketika menjadi gelap, awan-awan hitam berkumpul menghijab sinar matahari, deburan angin bertiup kencang dan bergemuruh, cahaya-cahaya kilat menari di angkasa, dan diikuti pula dentuman suara halilintar yang sambung menyambung. Melodi ini sungguh dapat mengubah suasana menjadi menakutkan!
Iblis Hitam akhirnya tidak kuasa lagi mendengar alunan melodi tersebut. Dia pun segera melarikan diri ke puncak gunung Ratri dan masuk ke dalam gua untuk berlindung.
Karena Iblis Hitam sudah masuk ke sarangnya, Datuk Ancala Raya pun berhenti meniup seruling.
“Dia sekarang bersembunyi di dalam. Ayo, inilah waktunya untuk membunuh siluman jahat itu!” kata Datuk Gastiadi.
Tanpa menunggu lama lagi, mereka berempat pun berlari menuju ke arah gua untuk mengejar si Iblis Hitam.
Gua Sarang Siluman terletak di bagian puncak tertinggi gunung Ratri. Jalan menuju gua yang menanjak ke atas, ditambah lagi banyak bebatuan besar di sekitarnya tidak menyulitkan para pendekar sepuh itu untuk mendaki. Sebab kaki-kaki mereka sudah terlatih menempuh medan yang sulit.
Para pendekar itu bergerak dengan sangat lincah. Mereka melompat di atas batu-batu besar seperti gerombolan harimau yang tengah berlomba mencapai puncak bukit.
Dari jarak yang sudah sangat dekat dengan pintu gua, terciumlah oleh mereka aroma yang menyengat hidung, yakni bau daging manusia yang tengah dibakar di atas perapian.
Iblis Hitam masih merasakan sakit di kedua belah kupingnya. Sambil duduk di atas sebuah batu besar, dia sibuk mengorek-ngorek lubang kupingnya dengan jari telunjuk, berusaha menghilangkan sisa dengung yang membuatnya kurang nyaman.
Kepalanya juga masih sakit, dan penglihatan matanya jadi kabur, pengaruh kekuatan dari melodi Jeritan Naga benar-benar telah membuatnya pusing. Baru kali ini Iblis Hitam dibuat kabur oleh lawannya saat pertarungan.
Keempat pendekar sepuh berlari masuk melewati pintu gua. Mereka semua lalu berdiri di hadapan Iblis Hitam. Sekarang dia dikepung dan tak mungkin lagi bisa kabur.
“Hari ini sudah tibanya saat kematianmu,” kata Datuk Subrata, seraya mencabut senjata pusaka Pedang Penebas Setan dari punggungnya.
Iblis Hitam sadar kalau dia tidak akan selamat, dia lupa kalau dia tidak boleh bertarung apabila sudah berada di dalam sarangnya, tampaknya para pendekar sepuh telah mengetahui hal itu. Tapi walau demikian, Iblis Hitam juga tentu tidak mau langsung menyerah begitu saja tanpa harga diri.
Iblis Hitam berusaha melakukan perlawanan. Dia bergerak maju untuk menyerang lawan-lawannya. Nenek Kumari pun segera menghunuskan tongkatnya dengan kuat menghantam ke perut Iblis Hitam, membuatnya terdorong ke belakang hingga pinggangnya membentur ke batu besar tempat tadi dia duduk.
Datuk Gastiadi lalu mengeluarkan Tiga Mutiara Inti Samudera dari balik bajunya. Mulutnya pun berkomat-kamit melafalkan mantra dengan cepat, kemudian dia meniup ke batu-batu mutiara itu.
Seketika batu-batu mutiara di telapak tangan Datuk Gastiadi memancarkan cahaya kuning keemasan. Cahaya tersebut lalu berubah wujud menjadi sebuah rantai emas yang panjang.
Datuk Gastiadi mengayunkannya ke tubuh Iblis Hitam, rantai emas itu pun membelenggu tubuh Iblis Hitam yang besar dengan sangat kuat.
Akibat pengaruh dari rantai emas itu, seluruh kesaktian pada diri Iblis Hitam pun sirna. Datuk Subrata tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia segera berlari dan lalu melompat sambil menggenggam pedang di tangan kanannya.
Dengan sekali tebasan saja yang dilakukan oleh Datuk Subrata ke leher Iblis Hitam, arterinya pun langsung putus, darah merah muncrat membasahi wajah serta pakaian Datuk Subrata.
Batang leher Iblis Hitam terpenggal dari badannya. Kepalanya jatuh ke bawah dan terguling ke dekat perapian. Tubuh besar siluman jahat tersebut akhirnya tumbang. Dia mati dengan begitu mengenaskan.
Kini keempat pendekar sepuh menghela nafas panjang. Mereka merasa lega karena makhluk biadab itu akhirnya berhasil dibinasakan. Setelah ini tidak akan adalagi huru-hara yang melanda para penduduk di Desa Lubuk Cempaka. Semua orang akan bisa hidup tenang tanpa gangguan siluman jahat.
Baru beberapa saat setelah kematian Iblis Hitam, tiba-tiba suara siluman itu kembali terdengar menggema pada dinding-dinding gua.
“Kalian para pendekar keparat! Suatu hari nanti aku akan menuntut balas kepada kalian semua dan seluruh anak cucu keturunan kalian!”
Datuk Subrata dan para sahabatnya pun melihat ke langit-langit gua, bahkan mereka juga memperhatikan ke seluruh dinding gua. Suara itu menggema sangat nyaring dan jelas, namun tidak kelihatan wujud orangnya yang berbicara.
“Tubuhku memang sudah kalian bunuh, tapi sukmaku akan tetap abadi selama dunia ini belum hancur. Tunggulah lima puluh tahun kemudian, aku akan kembali menitis dan membalas dendam pada kalian semua!”
Temaram cahaya bulan purnama membanjiri angkasa, sinarnya yang pucat menembus kegelepan dalam hutan.Malam itu tak terlihat ada awan hitam yang mengawang di antara bintang-bintang, langit begitu cerah, dan suasana hening tanpa desau angin yang menggerakkan daun-daun di pohon.Jauh di dalam hutan belantara yang tertutup oleh pepohonan dan semak belukar, ada sebuah gua yang bagian dalamnya diterangi cahaya obor, di tempat itu duduklah tiga orang lelaki untuk suatu perbincangan.Yang pertama dan sekaligus yang paling tua bernama Datuk Bahuwirya, dia seorang pendekar linuih, terkenal dengan julukan sebagai Mpu Seta, karena kebiasannya yang suka mengenakan pakaian dari kain sutera putih.Yang kedua seorang lelaki muda berbaju coklat dan berikat kepala hitam. Dia duduk sambil mengasuh sebilah pedang di atas pahanya. Namanya Jagat Pramudita. Lelaki muda ini merupakan anak tunggal Mpu Seta.Adapun orang ketiga yang juga duduk di tempat itu ialah seorang pendekar yang gagah perkasa. Dia mengen
Seribu orang pasukan perampok yang berpakaian serba hitam telah datang menyerang ke desa Tanjung Bambu yang berada tidak jauh dari pesisir pantai. Mereka datang melalui jalan laut dengan menggunakan kapal besar.Setiap perampok itu menutupi wajahnya dengan cadar berwarna merah, memakai caping di kepala, dan mengenakan sabuk merah di pinggang sebagai tanda bahwa mereka adalah Gerombolan Kelabang Merah.Gerombolan ini terkenal sebagai bajak laut ganas yang suka merampok di pulau-pulau kecil dan juga desa-desa yang ada di sekitar pinggir pantai. Mereka dipimpin oleh seorang penjahat yang bernama Aryajanggala.Di dunia persilatan, Aryajanggala lebih dikenal dengan julukan Taring Beruang. Julukan itu menjadi lekat karena ciri khasnya yang selalu mengenakan kalung dan gelang dari taring serta gigi-gigi hewan beruang. Dia sangat dipatuhi oleh para bawahannya. Kedatangan pasukan perampok yang secara tiba-tiba di malam hari membuat warga terkejut dan tidak siap. Mereka berpencar dan mendobrak
Suara pintu depan terdengar roboh akibat kena dobrak. Lima orang perampok kemudian melangkah masuk ke dalam rumah Anindhita. Perempuan itu segera keluar sambil meneteng sebilah Pedang di tangan kanannya.Para perampok itu rupanya telah sampai di ruangan tengah. Anindhita pun muncul dan berdiri di hadapan mereka. Tanpa basa-basi, dia langsung mencabut pedangnya dari dalam sarung.“Kurang ajar! Berani sekali kalian mendobrak pintu rumahku hingga roboh! Dasar kalian para pengikut Iblis!” ucap Anindhita, sambil dia mengacungkan ujung pedangnya ke arah para perampok tersebut.Para perampok itu kaget, ternyata yang muncul menghadapi mereka bukanlah seorang pria, melainkan seorang perempuan cantik berbaju ungu, tapi yang lebih membuat mereka terkejut lagi adalah saat melihat pedang yang dipegang oleh Anindhita.“Lihatlah, dia memegang sebuah senjata pusaka! Itu mirip seperti Pedang Penebas Setan!” kata salah seorang perampok kepada kawan-kawannya yang lain.Kemudian seorang lagi pun berkata
Jaka Purnama menyapukan pandangannya ke sekeliling, sekarang tersisa enam orang lagi yang belum maju. Mereka masih mencari-cari kesempatan untuk menyerang.“Kurang ajar, ternyata kemampuanmu boleh juga, Pendekar!” teriak Aryajanggala kagum, tapi juga merasa kesal.Dua orang musuh tiba-tiba bergerak secara bersamaan dari arah kiri dan kanan. Mereka menghunuskan golok ke depan!Jaka Purna segera mengelak dengan melakukan teknik kayang sampai ujung jarinya menyentuh tanah. Dua golok yang tersorong dari arah berlawanan itu hanya melintas di atas dadanya, bahkan malah membuat kedua penjahat itu jadi saling bertikaman satu sama lain.Dari posisi kayang, Jaka Purnama bangkit dan kembali berdiri. Dia melepas caping yang menutupi kepala dua orang lelaki itu. Lalu Jaka Purnama pun memegang kepala keduanya dan membenturkan jidat mereka satu sama lain.“Bummm!”Perbenturan itu membuat jidat keduanya jadi benjol dan mengakibatkan keduanya pusing. Untuk sesaat mereka terhuyung-huyung dan lalu akhir
Di waktu pagi ketika matahari baru terbit, cahayanya berwarna keemasan menyapa daun-daun di pepohonan yang basah oleh embun. Saat itu aroma daging manusia yang tengah dibakar di atas perapian terbawa angin keluar melewati pintu gua.Gunung Ratri sudah lama dikenal sebagai Gunung Sarang Siluman, begitulah masyarakat Desa Lubuk Cempaka menamainya. Di puncak gunung tersebut terdapat sebuah gua yang menjadi tempat tinggal siluman jahat, warga menjulukinya sebagai Iblis Hitam.Iblis Hitam suka turun ke desa mencari anak-anak kecil untuk dibawa dan jadikan santapan, bahkan dia juga sering menculik gadis-gadis untuk memuaskan nafsunya. Warga desa sudah tidak tahan lagi dengan kekejaman siluman tersebut.Sudah banyak para pendekar yang datang menyerang ke gua itu. Namun mereka semua kalah dan mati terbunuh di tangan si Iblis Hitam. Kesaktian siluman ini sungguh sangat luar biasa. Tidak ada satu pun orang yang mampu menandingi kekuatannya yang begitu besar.Pagi ini empat orang pendekar sepuh