Share

Bab 2 : Melodi Rintihan Naga

Pedang Penebas Setan di tangan Datuk Subrata kini basah dengan lumuran darah. Dari ujung lancipnya yang menghadap ke bawah bertetesan bekas darah Iblis Hitam yang berwarna merah pekat.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Datuk Subrata pada Datuk Ancala Raya.

Dengan nafas yang masih ngos-ngosan dia menjawab, “Aku baik-baik saja. Hampir tadi siluman itu membunuhku. Dia sangat kuat sekali.”

Nenek Kumari dan Datuk Gastiadi yang sudah bangun berjalan menghampiri Datuk Subrata dan Datuk Ancala Raya.

“Kita harus segera menggiring makhluk terkutuk ini masuk ke dalam sarangnya. Karena hanya di sarangnyalah dia akan bisa dibunuh,” kata Datuk Subrata mengingatkan kembali pada para sahabatnya.

Lengan kanan Iblis Hitam yang semula tadi sempat putus dan terguling di tanah, sekarang tiba-tiba tumbuh lagi di tempat yang sama. Dengan proses yang sangat cepat, lengan buntung itu kembali sempurna seperti sediakala.

Datuk Ancala Raya akhirnya mencabut Seruling Naga Emas yang terselip di pinggangnya. Dia mendekatkan lubang seruling itu kebibir dan mulai memainkan sebuah melodi.

Alunan bunyi seruling itu terdengar menggema hingga ke segala penjuru. Melodi yang dimainkan oleh Datuk Ancala Raya terdengar begitu lirih dan seakan menyayat-nyayat gendang telinga. Semua orang terpaksa menutup kuping saat seruling Naga Emas dimainkan.

Iblis Hitam menyumpali dua lubang kupingnya dengan jari telunjuk. Dia berteriak kesakitan. “Aaaa! Dasar keparat! Melodi apa ini!”

Seruling Naga Emas adalah senjata pusaka milik aliran silat Lenggo Geni. Hanya Datuk Ancala Raya satu-satunya orang yang pandai memainkan seruling tersebut. Irama seruling yang dimainkannya itu bernama Melodi Rintihan Naga.

Saat melodi sakral itu dimainkan, maka langit pun seketika menjadi gelap, awan-awan hitam berkumpul menghijab sinar matahari, deburan angin bertiup kencang dan bergemuruh, cahaya-cahaya kilat menari di angkasa, dan diikuti pula dentuman suara halilintar yang sambung menyambung. Melodi ini sungguh dapat mengubah suasana menjadi menakutkan!

Iblis Hitam akhirnya tidak kuasa lagi mendengar alunan melodi tersebut. Dia pun segera melarikan diri ke puncak gunung Ratri dan masuk ke dalam gua untuk berlindung.

Karena Iblis Hitam sudah masuk ke sarangnya, Datuk Ancala Raya pun berhenti meniup seruling.

“Dia sekarang bersembunyi di dalam. Ayo, inilah waktunya untuk membunuh siluman jahat itu!” kata Datuk Gastiadi.

Tanpa menunggu lama lagi, mereka berempat pun berlari menuju ke arah gua untuk mengejar si Iblis Hitam.

Gua Sarang Siluman terletak di bagian puncak tertinggi gunung Ratri. Jalan menuju gua yang menanjak ke atas, ditambah lagi banyak bebatuan besar di sekitarnya tidak menyulitkan para pendekar sepuh itu untuk mendaki. Sebab kaki-kaki mereka sudah terlatih menempuh medan yang sulit.

Para pendekar itu bergerak dengan sangat lincah. Mereka melompat di atas batu-batu besar seperti gerombolan harimau yang tengah berlomba mencapai puncak bukit.

Dari jarak yang sudah sangat dekat dengan pintu gua, terciumlah oleh mereka aroma yang menyengat hidung, yakni bau daging manusia yang tengah dibakar di atas perapian.

Iblis Hitam masih merasakan sakit di kedua belah kupingnya. Sambil duduk di atas sebuah batu besar, dia sibuk mengorek-ngorek lubang kupingnya dengan jari telunjuk, berusaha menghilangkan sisa dengung yang membuatnya kurang nyaman.

Kepalanya juga masih sakit, dan penglihatan matanya jadi kabur, pengaruh kekuatan dari melodi Jeritan Naga benar-benar telah membuatnya pusing. Baru kali ini Iblis Hitam dibuat kabur oleh lawannya saat pertarungan. 

Keempat pendekar sepuh berlari masuk melewati pintu gua. Mereka semua lalu berdiri di hadapan Iblis Hitam. Sekarang dia dikepung dan tak mungkin lagi bisa kabur.

“Hari ini sudah tibanya saat kematianmu,” kata Datuk Subrata, seraya mencabut senjata pusaka Pedang Penebas Setan dari punggungnya.

Iblis Hitam sadar kalau dia tidak akan selamat, dia lupa kalau dia tidak boleh bertarung apabila sudah berada di dalam sarangnya, tampaknya para pendekar sepuh telah mengetahui hal itu. Tapi walau demikian, Iblis Hitam  juga tentu tidak mau langsung menyerah begitu saja tanpa harga diri.

Iblis Hitam berusaha melakukan perlawanan. Dia bergerak maju untuk menyerang lawan-lawannya. Nenek Kumari pun segera menghunuskan tongkatnya dengan kuat menghantam ke perut Iblis Hitam, membuatnya terdorong ke belakang hingga pinggangnya membentur ke batu besar tempat tadi dia duduk.

Datuk Gastiadi lalu mengeluarkan Tiga Mutiara Inti Samudera dari balik bajunya. Mulutnya pun berkomat-kamit melafalkan mantra dengan cepat, kemudian dia meniup ke batu-batu mutiara itu.

Seketika batu-batu mutiara di telapak tangan Datuk Gastiadi memancarkan cahaya kuning keemasan. Cahaya tersebut lalu berubah wujud menjadi sebuah rantai emas yang panjang.

Datuk Gastiadi mengayunkannya ke tubuh Iblis Hitam, rantai emas itu pun membelenggu tubuh Iblis Hitam yang besar dengan sangat kuat.

Akibat pengaruh dari rantai emas itu, seluruh kesaktian pada diri Iblis Hitam pun sirna. Datuk Subrata tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia segera berlari dan lalu melompat sambil menggenggam pedang di tangan kanannya.

Dengan sekali tebasan saja yang dilakukan oleh Datuk Subrata ke leher Iblis Hitam, arterinya pun langsung putus, darah merah muncrat membasahi wajah serta pakaian Datuk Subrata.

Batang leher Iblis Hitam terpenggal dari badannya. Kepalanya jatuh ke bawah dan terguling ke dekat perapian. Tubuh besar siluman jahat tersebut akhirnya tumbang. Dia mati dengan begitu mengenaskan.

Kini keempat pendekar sepuh menghela nafas panjang. Mereka merasa lega karena makhluk biadab itu akhirnya berhasil dibinasakan. Setelah ini tidak akan adalagi huru-hara yang melanda para penduduk di Desa Lubuk Cempaka. Semua orang akan bisa hidup tenang tanpa gangguan siluman jahat.

Baru beberapa saat setelah kematian Iblis Hitam, tiba-tiba suara siluman itu kembali terdengar menggema pada dinding-dinding gua.

“Kalian para pendekar keparat! Suatu hari nanti aku akan menuntut balas kepada kalian semua dan seluruh anak cucu keturunan kalian!”

Datuk Subrata dan para sahabatnya pun melihat ke langit-langit gua, bahkan mereka juga memperhatikan ke seluruh dinding gua. Suara itu menggema sangat nyaring dan jelas, namun tidak kelihatan wujud orangnya yang berbicara.

“Tubuhku memang sudah kalian bunuh, tapi sukmaku akan tetap abadi selama dunia ini belum hancur. Tunggulah lima puluh tahun kemudian, aku akan kembali menitis dan membalas dendam pada kalian semua!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status