Suara pintu depan terdengar roboh akibat kena dobrak. Lima orang perampok kemudian melangkah masuk ke dalam rumah Anindhita. Perempuan itu segera keluar sambil meneteng sebilah Pedang di tangan kanannya.
Para perampok itu rupanya telah sampai di ruangan tengah. Anindhita pun muncul dan berdiri di hadapan mereka. Tanpa basa-basi, dia langsung mencabut pedangnya dari dalam sarung.
“Kurang ajar! Berani sekali kalian mendobrak pintu rumahku hingga roboh! Dasar kalian para pengikut Iblis!” ucap Anindhita, sambil dia mengacungkan ujung pedangnya ke arah para perampok tersebut.
Para perampok itu kaget, ternyata yang muncul menghadapi mereka bukanlah seorang pria, melainkan seorang perempuan cantik berbaju ungu, tapi yang lebih membuat mereka terkejut lagi adalah saat melihat pedang yang dipegang oleh Anindhita.
“Lihatlah, dia memegang sebuah senjata pusaka! Itu mirip seperti Pedang Penebas Setan!” kata salah seorang perampok kepada kawan-kawannya yang lain.
Kemudian seorang lagi pun berkata, “Hah, Pedang Penebas Setan! Berarti itu merupakan salah satu dari Empat Pusaka Penakluk Jagat!!”
Lalu kawannya yang pertama bicara tadi pun menjawab, “Taring Beruang pasti akan sangat senang kalau kita membawakan pedang itu ke hadapannya!”
“Kalian semua para penjahat terkutuk!” teriak Anindhita. “Majulah sini kalau kalian berani!”
“Kurang ajar kau, Perempuan Cantik! Rupanya kau belum tahu siapa kami. Kami adalah Gerombolan Kelabang Merah, anak buah Taring Beruang, pendekar hebat yang sudah tersohor namanya di seluruh bumi persilatan!”
Anindhita pun dengan galaknya menyergah, “Persetan dengan Kelabang Merah! Persetan siapa itu Taring Beruang! Selangkah lagi kalian berani maju, maka Pedang ini akan mencabut nyawa kalian!”
Perampok yang berdiri paling depan kelihatannya sudah mulai geram mendengar ucapan Anindhita barusan. Dia pun juga mencabut sebilah golok dari pianggangnya. Akhirnya tanpa menunggu lama, si perampok mulai menyerang.
Di waktu yang masih sama, para pemuda saat itu tengah berjuang dengan segenap upaya untuk mempertahankan desa mereka. Tiba-tiba Jagat Pramudita muncul ke tengah perkelahian dengan tubuh yang melayang di udara. Dia melemparkan jarum-jarum beracun ke arah para perampok itu.
Seketika saja setelah jarum-jarum itu menusuk tubuh mereka, para perampok tersebut langsung tumbang. Jarum ini merupakan senjata rahasia dari Mpu Seta yang sangat ampuh untuk melawan musuh dalam jumlah banyak.
Jagat Pramudita kemudian turun menginjak tanah. Dia segera mencabut pedang panjang yang tergantung di belakangnya. Setiap perampok yang maju dengan cepat langsung dia tebas satu persatu. Dia memainkan pedang dengan begitu lihai dan tangguh, bahkan tak ada satu senjata musuh pun yang bisa menyentuh dirinya.
Di tempat lain, Taring Beruang sedang sibuk memandu para pasukannya agar segera membawa barang-barang hasil rampokan menuju kapal. Di antara mereka ada beberapa orang yang memikul karung beras, ada yang menarik hewan ternak, dan ada pula yang berlari mengangkut buntalan besar yang berisi uang serta perhiasan.
Dengan suara yang menggelegar, Taring Beruang memerintahkan kepada anak-anak buahnya, “Ayo, cepat! Jangan lambat! Bawa semua barang hasil jarahan kita masuk ke kapal!”
Ketika jarak mereka sudah semakin dekat dari tepian pantai, dan kapal besar mereka sudah kelihatan tidak jauh lagi di depan sana, tiba-tiba lalu Jaka Purnama muncul, sambil berlari di udara, tubuhnya melayang melewati di atas para perampok dan menginjaki kepala mereka satu persatu.
Para perampok yang tengah memikul barang rampasan itu pun terkejut dan jatuh terjerungkup. Jaka Purnama lalu turun menginjak tanah dan berdiri tepat di hadapan mereka.
Para perampok itu berdiri pelan-pelan dan melihat ke Jaka Purnama. Mereka menyaksikan seorang pendekar gagah dengan pakaian serba biru berdiri tegap menghadang mereka.
“Dasar Perampok Biadab! Turunkan semua barang-barang milik warga yang telah kalian rampas! Barang-barang itu bukan hak kalian!” ucap Jaka Purnama dengan suara lantang.
Para perampok itu segera menurunkan setiap barang yang mereka bawa, sebagian lagi ada yang mengikatkan hewan-hewan ternak di batang pohon. Mereka masing-masing kemudian mencabut golok, mendekat ke arah Jaka Purnama, lalu langsung berbaris membentuk lingkaran mengelilinginya.
Jaka Purnama memperhatikan penampilan para lelaki yang ada di sekelilingnya itu. “Ternyata benar kalau ini adalah kalian, Gerombolan Kelabang Merah, para penjahat hina yang suka merampas hak milik orang lain!”
Dengan santai, Aryajanggala menghampiri Jaka Purnama yang sedang terkurung dalam formasi lingkaran pasukan Kelabang Merah. Dia berdiri di luar lingkaran tersebut dan menatap ke Jaka Purnama dengan sorot mata yang tajam.
“Baguslah kalau kau sudah mengenal siapa kami, Kisanak,” kata Aryajanggala. “Ternyata nyalimu cukup besar juga berani menghadang anak-anak buahku di tempat ini.”
Ini baru pertama kalinya Jaka Purnama melihat langsung sosok penjahat besar pemilik julukan sebagai Taring Beruang itu. Aryajanggala adalah lelaki dengan badan kekar, berkulit gelap, rambutnya tebal dan keriting bak pohon beringin, dan wajahnya penuh dengan brewok. Dia mengenakan baju merah tanpa lengan, celana hitam, dan ada sebilah keris yang terselip di sabuknya pada sisi sebelah kiri.
Di bawah sinaran bulan yang temaram, Jaka Purnama coba menghitung satu persatu jumlah musuh yang mengelilinginya, mereka semua ada delapan orang, berdiri di dekatnya dan menutup semua arah mata angin. Tak ada celah sama sekali untuk bisa keluar dari kepungan formasi itu.
Jaka Purnama memejamkan mata dan mulai berkonsentrasi. Dia berusaha mengaktifkan ajian Tenaga Dalam Inti Indurashmi. Dengan ajian ini dia tidak lagi melihat gerakan musuh menggunakan mata jasmani, namun segala gerak dan laku musuh akan bisa terbaca dengan pandangan mata batin. Ajian ini bahkan dapat mengetahui jurus lawannya sebelum lawan tersebut menyerang.
Dengan cepat, musuh yang berdiri di hadapan langsung maju dan melakukan sabetan ke arah leher. Jaka Purnama dapat merasakan hawa dari serangan itu sebelum serangan tersebut menyentuh dirinya, dia langsung menghindar dengan membalik badan seraya menunduk.
Kedua telapak tangan Jaka Purnama turun menyentuh tanah, dia menjadikannya sebagai tumpuan yang kuat untuk menahan berat tubuhnya. Kemudian dengan kedua kakinya sekaligus, Jaka Purnama melepaskan terjangan ke tulang rusuk lawan.
Lelaki itu langsung terpelenting ke belakang dan jatuh terguling kesakitan. Beberapa bilah tulang rusuknya patah akibat terjangan yang kuat itu.
Setelah melakukan terjangan dengan dua kaki, Jaka Purnama kembali membalik badan dan mengambil posisi telentang di tanah. Kemudian dia menghentakkan kedua kakinya ke tanah dan langsung melompat bangkit, dengan cepat, dia sudah kembali berdiri membentuk sikap kuda-kuda tengah.
Sebuah serangan datang lagi dari arah belakang. Kali ini seorang laki-laki melompat dan hendak membelah ubun-ubun Jaka Purnama.
Jaka Purna segera mengelak, dia melompat berputar ke sebelah kiri. Setelah serangan tersebut berhasil terhindarkan, lelaki tersebut rupanya kembali lagi menyerang dengan menikamkan goloknya ke arah Jaka Purnama.
Jaka Purnama menangkis tikaman itu dengan mengayunkan kaki kirinya ke dalam, diikuti pula dengan serangan siku yang tepat mengenai ke ulu hati lawan, kemudian kaki kanannya lanjut menendang dada lawan dengan sangat keras. Penjahat itu pun jatuh terjungkal dan lalu muntah darah.
Jaka Purnama menyapukan pandangannya ke sekeliling, sekarang tersisa enam orang lagi yang belum maju. Mereka masih mencari-cari kesempatan untuk menyerang.“Kurang ajar, ternyata kemampuanmu boleh juga, Pendekar!” teriak Aryajanggala kagum, tapi juga merasa kesal.Dua orang musuh tiba-tiba bergerak secara bersamaan dari arah kiri dan kanan. Mereka menghunuskan golok ke depan!Jaka Purna segera mengelak dengan melakukan teknik kayang sampai ujung jarinya menyentuh tanah. Dua golok yang tersorong dari arah berlawanan itu hanya melintas di atas dadanya, bahkan malah membuat kedua penjahat itu jadi saling bertikaman satu sama lain.Dari posisi kayang, Jaka Purnama bangkit dan kembali berdiri. Dia melepas caping yang menutupi kepala dua orang lelaki itu. Lalu Jaka Purnama pun memegang kepala keduanya dan membenturkan jidat mereka satu sama lain.“Bummm!”Perbenturan itu membuat jidat keduanya jadi benjol dan mengakibatkan keduanya pusing. Untuk sesaat mereka terhuyung-huyung dan lalu akhir
Di waktu pagi ketika matahari baru terbit, cahayanya berwarna keemasan menyapa daun-daun di pepohonan yang basah oleh embun. Saat itu aroma daging manusia yang tengah dibakar di atas perapian terbawa angin keluar melewati pintu gua.Gunung Ratri sudah lama dikenal sebagai Gunung Sarang Siluman, begitulah masyarakat Desa Lubuk Cempaka menamainya. Di puncak gunung tersebut terdapat sebuah gua yang menjadi tempat tinggal siluman jahat, warga menjulukinya sebagai Iblis Hitam.Iblis Hitam suka turun ke desa mencari anak-anak kecil untuk dibawa dan jadikan santapan, bahkan dia juga sering menculik gadis-gadis untuk memuaskan nafsunya. Warga desa sudah tidak tahan lagi dengan kekejaman siluman tersebut.Sudah banyak para pendekar yang datang menyerang ke gua itu. Namun mereka semua kalah dan mati terbunuh di tangan si Iblis Hitam. Kesaktian siluman ini sungguh sangat luar biasa. Tidak ada satu pun orang yang mampu menandingi kekuatannya yang begitu besar.Pagi ini empat orang pendekar sepuh
Pedang Penebas Setan di tangan Datuk Subrata kini basah dengan lumuran darah. Dari ujung lancipnya yang menghadap ke bawah bertetesan bekas darah Iblis Hitam yang berwarna merah pekat.“Kau tidak apa-apa?” tanya Datuk Subrata pada Datuk Ancala Raya.Dengan nafas yang masih ngos-ngosan dia menjawab, “Aku baik-baik saja. Hampir tadi siluman itu membunuhku. Dia sangat kuat sekali.”Nenek Kumari dan Datuk Gastiadi yang sudah bangun berjalan menghampiri Datuk Subrata dan Datuk Ancala Raya.“Kita harus segera menggiring makhluk terkutuk ini masuk ke dalam sarangnya. Karena hanya di sarangnyalah dia akan bisa dibunuh,” kata Datuk Subrata mengingatkan kembali pada para sahabatnya.Lengan kanan Iblis Hitam yang semula tadi sempat putus dan terguling di tanah, sekarang tiba-tiba tumbuh lagi di tempat yang sama. Dengan proses yang sangat cepat, lengan buntung itu kembali sempurna seperti sediakala.Datuk Ancala Raya akhirnya mencabut Seruling Naga Emas yang terselip di pinggangnya. Dia mendekatk
Temaram cahaya bulan purnama membanjiri angkasa, sinarnya yang pucat menembus kegelepan dalam hutan.Malam itu tak terlihat ada awan hitam yang mengawang di antara bintang-bintang, langit begitu cerah, dan suasana hening tanpa desau angin yang menggerakkan daun-daun di pohon.Jauh di dalam hutan belantara yang tertutup oleh pepohonan dan semak belukar, ada sebuah gua yang bagian dalamnya diterangi cahaya obor, di tempat itu duduklah tiga orang lelaki untuk suatu perbincangan.Yang pertama dan sekaligus yang paling tua bernama Datuk Bahuwirya, dia seorang pendekar linuih, terkenal dengan julukan sebagai Mpu Seta, karena kebiasannya yang suka mengenakan pakaian dari kain sutera putih.Yang kedua seorang lelaki muda berbaju coklat dan berikat kepala hitam. Dia duduk sambil mengasuh sebilah pedang di atas pahanya. Namanya Jagat Pramudita. Lelaki muda ini merupakan anak tunggal Mpu Seta.Adapun orang ketiga yang juga duduk di tempat itu ialah seorang pendekar yang gagah perkasa. Dia mengen
Seribu orang pasukan perampok yang berpakaian serba hitam telah datang menyerang ke desa Tanjung Bambu yang berada tidak jauh dari pesisir pantai. Mereka datang melalui jalan laut dengan menggunakan kapal besar.Setiap perampok itu menutupi wajahnya dengan cadar berwarna merah, memakai caping di kepala, dan mengenakan sabuk merah di pinggang sebagai tanda bahwa mereka adalah Gerombolan Kelabang Merah.Gerombolan ini terkenal sebagai bajak laut ganas yang suka merampok di pulau-pulau kecil dan juga desa-desa yang ada di sekitar pinggir pantai. Mereka dipimpin oleh seorang penjahat yang bernama Aryajanggala.Di dunia persilatan, Aryajanggala lebih dikenal dengan julukan Taring Beruang. Julukan itu menjadi lekat karena ciri khasnya yang selalu mengenakan kalung dan gelang dari taring serta gigi-gigi hewan beruang. Dia sangat dipatuhi oleh para bawahannya. Kedatangan pasukan perampok yang secara tiba-tiba di malam hari membuat warga terkejut dan tidak siap. Mereka berpencar dan mendobrak