Home / Pendekar / 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT / Bab 1 : Gunung Sarang Siluman

Share

4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT
4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT
Author: Adil Perwira

Bab 1 : Gunung Sarang Siluman

Author: Adil Perwira
last update Last Updated: 2024-10-03 23:04:20

Di waktu pagi ketika matahari baru terbit, cahayanya berwarna keemasan menyapa daun-daun di pepohonan yang basah oleh embun. Saat itu aroma daging manusia yang tengah dibakar di atas perapian terbawa angin keluar melewati pintu gua.

Gunung Ratri sudah lama dikenal sebagai Gunung Sarang Siluman, begitulah masyarakat Desa Lubuk Cempaka menamainya. Di puncak gunung itu terdapat sebuah gua yang menjadi tempat tinggal siluman jahat, warga menjulukinya sebagai Iblis Hitam.

Iblis Hitam suka turun ke desa mencari anak-anak kecil untuk dibawa dan jadikan santapan, bahkan dia juga sering menculik gadis-gadis untuk memuaskan nafsunya. Warga desa sudah tidak tahan lagi dengan kekejaman siluman tersebut.

Sudah banyak para pendekar yang datang menyerang ke gua itu. Namun mereka semua kalah dan mati terbunuh di tangan si Iblis Hitam. Kesaktian siluman ini sungguh sangat luar biasa. Tidak ada satu pun orang yang mampu menandingi kekuatannya yang begitu besar.

Pagi ini empat orang pendekar sepuh telah berkumpul di Gunung Ratri. Mereka adalah para jagoan dari berbagai aliran silat. Kedatangan mereka atas permohonan dari para penduduk desa. Sebab sudah terlalu banyak korban nyawa yang berjatuhan karena kejahatan si Iblis Hitam.

Empat orang pendekar sepuh itu ialah Datuk Subrata, Datuk Ancala Raya, Datuk Gastiadi, dan Nenek Kumari. Mereka semua dikenal sebagai para pendekar sepuh penjaga kedamaian di dunia persilatan.

Datuk Subrata yang paling tua di antara mereka berempat berucap, “Siluman terkutuk itu tidak akan dapat dibunuh kecuali di dalam sarangnya sendiri. Kita harus masuk menyerbu ke dalam sana.”

“Kita tetap harus hati-hati,” ujar Datuk Ancala Raya. “Karena siluman itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Sudah puluhan pendekar yang mati di tangannya.”

Datuk Gastiadi kemudian mengeluarkan tiga butir batu mutiara dari balik bajunya. Batu mutiara itu berwarna hijau, putih, dan juga biru. Ketiganya tampak indah dan berkilau, sehingga membuat terkagum Nenek Kumari yang berdiri di sampingnya.

“Mutiara yang sangat indah sekali. Baru pertama kali ini aku melihatnya,” kata Nenek Kumari.

“Ini adalah Tiga Mutiara Inti Samudera, mustika milik kerajaan siluman ular kipas,” Datuk Gastiadi memberitahukan kepada para sahabatnya.

“Darimana kau mendapatkan benda itu?” Datuk Ancala Raya heran dan mengerutkan dahi.

“Aku meminjamnya dari Dewi Ratu Niranjana, penguasa kerajaan Ular Kipas,” jawab Datuk Gastiadi. Kemudian dia berkata lagi, “Jika ketiga mutiara ini disatukan dan dibacakan mantra tertentu, maka akan berubah menjadi sebuah rantai emas yang dapat membelenggu siluman sekuat apapun.”

“Sungguh mustika yang sangat hebat!” Datuk Subrata mengangguk-angguk karena kagum mendengarnya.

Nenek Kumari lalu menghentakkan tongkat tembaganya ke tanah. “Ayo, kita serbu ke dalam gua itu sekarang! Aku sudah tak sabar lagi ingin menghajar siluman biadab itu dengan Tongkat Tembaga Merah milikku ini!”

Akhirnya mereka berempat pun segera bergerak menyerbu ke gua tempat kediaman si Iblis Hitam. Tapi ketika para pendekar sepuh sudah hampir mendekati pintu gua itu, tiba-tiba siluman yang mereka cari keluar sendiri dari sarangnya, dia menampakkan wujud di hadapan para pendekar, seakan telah mengetahui kalau pagi ini ada lagi empat orang pendekar sakti yang ingin menantangnya.

Siluman itu bertubuh besar, berkulitnya hitam legam, mempunyai dua taring yang panjang, memiliki dua tanduk di kepalanya yang menyerupai seperti tanduk kerbau, dan wajahnya pun sangat menyeramkan, membuat jantung siapa saja akan berdebar kalau berjumpa dengannya.

Sambil mengangkat dagu, si Iblis Hitam pun berkata, “Pantas saja dari tadi aku mencium aroma tanah busuk, rupanya para kakek dan nenek jompo telah berkumpul di wilayah kekuasaanku ini! Hahahahaha.”

Datuk Ancala Raya merasa tersinggung karena ucapan tersebut. Dia lalu berkata, “Kurang ajar kau, Iblis Hitam! Hari ini adalah hari kematianmu! Bersiaplah menerimanya!”

Iblis Hitam gelak tertawa mendengar gertakan itu. Dia kemudian menantang, “Coba saja keluarkan seluruh kesaktian kalian jika memang mampu membunuhku! Tubuh kalian berempatlah yang akan kubuat hancur lebur sampai jadi debu!”

Nenek Kumari sudah emosi, dia menghentakkan tongkatnya ke tanah. “Sombong sekali kau, Siluman Busuk! Rasakanlah kekuatan dari tongkat pusaka milikku ini!”

Nenek Kumari pun memulai serangan, dia mengayunkan tongkatnya dari kiri ke kanan. Keluarlah cahaya kemerahan yang menyerupai nyala api. Iblis Hitam tak sempat menghindar dari serangan tersebut. Cahaya merah itu mengenai tubuhnya, membuatnya terpental ke belakang.

Namun hanya sebentar satelah itu, Iblis hitam langsung bangkit dan kembali lagi berdiri. “Dasar keparat kau, Nenek Tua!” makinya terhadap Nenek Kumari.

Iblis hitam melompat tinggi ke udara, tubuhnya melayang dan berputar-putar, dia lalu menerjang Nenek Kumari dengan kakinya yang besar.

Nenek Kumari segera melintangkan Tongkat Tembaga Merah di depan dadanya untuk menahan terjangan itu. Tapi rupanya tenaga Iblis Hitam terlalu kuat, si nenek tak kuasa menahan serangan tersebut, hingga dia terpental dan lalu jatuh.

Pertarungan kini sudah dimulai, Datuk Gastiadi pun mengeluarkan jurus Cakar Lima Jari Penghancur Tengkorak. Dia ikut maju menyerang Iblis Hitam. jurusnya itu hendak mengincar ke ubun-ubun siluman tersebut.

Iblis Hitam dapat merasakan hawa dari serangan itu sebelum cakar Datuk Gatiadi sampai padanya. Sedikit lagi tangan kanan si datuk akan menyentuh kepala siluman itu, tapi Iblis Hitam menoleh dan langsung bertindak, dia menangkap lengan Datuk Gatiadi dengan tangan kirinya.

Tangan kanan Iblis Hitam kemudian memukul perut Datuk Gastiadi, setelah itu dia mencengkram kerah baju pendekar tua itu, lalu diangkat dan dilemparnyalah tubuh Datuk Gastiadi hingga jatuh terguling di tanah.

Melihat kedua orang sahabatnya yang sudah jatuh, Datuk Ancala Raya tidak tinggal diam, dia pun berlari dan ingin menyerang si Iblis Hitam.

“Terima ini, Siluman Biadab! Jurus Tendangan Ekor Hiu Memecah Karang! Hiyaaa!”

Datuk Ancala Raya melompat tinggi, tubuhnya lalu berputar bagaikan angin tornado, tendangan kaki kirinya lalu mengayun sangat deras dengan kekuatan penuh, menghantam tepat ke bagian tengkuk Iblis Hitam hingga membuatnya kesakitan.

Tak berhenti sampai di situ, Datuk Ancala Raya menjatuhkan badannya dan berputar lagi di tanah untuk melakukan teknik sapuan. Kaki kirinya mengayun ke arah dalam dan menghantam kuda-kuda si Iblis Hitam. Teknik sapuan itu berhasil merobohkan siluman tersebut, dia terjungkal ke belakang karena kuda-kudanya kehilangan keseimbangan.

Tidak terima dihajar seperti demikian, Iblis Hitam segera bangkit dan kembali berdiri. Dia melompat ke arah Datuk Ancala Raya. Tangannya yang panjang terulur ke depan dan mencengkeram leher si pendekar tua itu. “Akan kubunuh kau, Kakek Tua!”

Cengkeraman Iblis Hitam sangat kuat, sampai-sampai Datuk Ancala Raya tidak bisa bernafas. Dia mampu mengangkat tubuh Datuk Ancala Raya hanya dengan sebelah tangan saja.

Sorot mata Iblis Hitam menyala bagaikan kobaran api. Dia betul-betul marah sekali! Datuk Ancala Raya tersedak karena menahan lehernya yang sakit, dia berusaha melepaskan tapi tidak bisa. 

Datuk Subrata yang dari tadi masih diam akhirnya mulai bertindak. Dia berlari seraya mencabut sebilah pedang yang tergantung di belakangnya.

Pedang ini adalah senjata pusaka yang bernama Pedang Penebas Setan. Kehebatan dari pedang pusaka tersebut sudah masyhur terdengar di seluruh dunia persilatan.

Datuk Subrata melompat, dia mengangkat pedang itu membujur di atas kepalanya, kemudian langsung dipancungnyalah tangan si Iblis Hitam yang sedang mencekik leher Datuk Ancala Raya.

Saat mata pedang yang tajam itu menimpa lengan Iblis Hitam yang besar, seketika lengannya langsung putus dan memuncratkan banyak sekali darah, potongan lengan itu lalu berdebuk jatuh di tanah.

Datuk Subrata lanjut menendang perut Iblis Hitam dengan tumitnya. Siluman itu pun terdorong mundur beberapa langkah ke belakang.

Berkat pertolongan Datuk Subrata, akhirnya Datuk Ancala Raya selamat dari cekikan siluman buas tersebut, padahal hampir saja tadi dia kehabisan nafas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 2 : Melodi Rintihan Naga

    Pedang Penebas Setan di tangan Datuk Subrata kini basah dengan lumuran darah. Dari ujung lancipnya yang menghadap ke bawah bertetesan bekas darah Iblis Hitam yang berwarna merah pekat.“Kau tidak apa-apa?” tanya Datuk Subrata pada Datuk Ancala Raya.Dengan nafas yang masih ngos-ngosan dia menjawab, “Aku baik-baik saja. Hampir tadi siluman itu membunuhku. Dia sangat kuat sekali.”Nenek Kumari dan Datuk Gastiadi yang sudah bangun berjalan menghampiri Datuk Subrata dan Datuk Ancala Raya.“Kita harus segera menggiring makhluk terkutuk ini masuk ke dalam sarangnya. Karena hanya di sarangnyalah dia akan bisa dibunuh,” kata Datuk Subrata mengingatkan kembali pada para sahabatnya.Lengan kanan Iblis Hitam yang semula tadi sempat putus dan terguling di tanah, sekarang tiba-tiba tumbuh lagi di tempat yang sama. Dengan proses yang sangat cepat, lengan buntung itu kembali sempurna seperti sediakala.Datuk Ancala Raya akhirnya mencabut Seruling Naga Emas yang terselip di pinggangnya. Dia mendekatk

    Last Updated : 2024-10-03
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 3 : Ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan

    Temaram cahaya bulan purnama membanjiri angkasa, sinarnya yang pucat menembus kegelepan dalam hutan.Malam itu tak terlihat ada awan hitam yang mengawang di antara bintang-bintang, langit begitu cerah, dan suasana hening tanpa desau angin yang menggerakkan daun-daun di pohon.Jauh di dalam hutan belantara yang tertutup oleh pepohonan dan semak belukar, ada sebuah gua yang bagian dalamnya diterangi cahaya obor, di tempat itu duduklah tiga orang lelaki untuk suatu perbincangan.Yang pertama dan sekaligus yang paling tua bernama Datuk Bahuwirya, dia seorang pendekar linuih, terkenal dengan julukan sebagai Mpu Seta, karena kebiasannya yang suka mengenakan pakaian dari kain sutera putih.Yang kedua seorang lelaki muda berbaju coklat dan berikat kepala hitam. Dia duduk sambil mengasuh sebilah pedang di atas pahanya. Namanya Jagat Pramudita. Lelaki muda ini merupakan anak tunggal Mpu Seta.Adapun orang ketiga yang juga duduk di tempat itu ialah seorang pendekar yang gagah perkasa. Dia mengena

    Last Updated : 2024-10-03
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 4 : Serangan Gerombolan Kelabang Merah

    Seribu orang pasukan perampok yang berpakaian serba hitam telah datang menyerang ke desa Tanjung Bambu yang berada tidak jauh dari pesisir pantai. Mereka datang lewat jalan laut dengan menggunakan kapal besar.Setiap perampok itu menutupi wajahnya dengan cadar merah, memakai caping, dan mengenakan sabuk merah di pinggang sebagai tanda bahwa mereka adalah Gerombolan Kelabang Merah.Gerombolan ini terkenal sebagai bajak laut ganas yang suka merampok di pulau-pulau kecil dan juga desa-desa di sekitar pantai. Mereka dipimpin oleh seorang penjahat yang bernama Aryajanggala.Di dunia persilatan, Aryajanggala lebih dikenal sebagai Taring Beruang. Julukan itu menjadi lekat karena ciri khasnya yang suka mengenakan kalung dan juga gelang dari taring serta gigi-gigi hewan beruang. Dia sangat dipatuhi oleh para bawahannya. Kedatangan pasukan perampok yang tiba-tiba di malam hari membuat warga jadi terkejut dan tidak siap. Mereka berpencar dan mendobrak setiap pintu rumah untuk merampas uang maupu

    Last Updated : 2024-10-06
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 5 : Melihat Dengan Mata Batin

    Suara pintu depan terdengar roboh akibat kena dobrak. Lima orang perampok kemudian melangkah masuk ke dalam rumah Anindhita. Perempuan itu segera keluar sambil meneteng sebilah Pedang di tangan kanannya.Para perampok itu rupanya telah sampai di ruangan tengah. Anindhita pun muncul dan berdiri di hadapan mereka. Tanpa basa-basi, dia langsung mencabut pedangnya dari dalam sarung.“Kurang ajar! Berani sekali kalian mendobrak pintu rumahku hingga roboh! Dasar kalian para pengikut Iblis!” ucap Anindhita, sambil dia mengacungkan ujung pedangnya ke arah para perampok tersebut.Para perampok itu kaget, ternyata yang muncul menghadapi mereka bukanlah seorang pria, melainkan seorang perempuan cantik berbaju ungu, tapi yang lebih membuat mereka terkejut lagi adalah saat melihat pedang yang dipegang oleh Anindhita.“Lihatlah, dia memegang sebuah senjata pusaka! Itu mirip seperti Pedang Penebas Setan!” kata salah seorang perampok kepada kawan-kawannya yang lain.Kemudian seorang lagi pun berkata,

    Last Updated : 2024-10-17
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 6 : Amukan Pedang Penebas Setan

    Jaka Purnama menyapukan pandangannya ke sekeliling, sekarang tersisa enam orang lagi yang belum maju. Mereka masih mencari-cari kesempatan untuk menyerang.“Kurang ajar, ternyata kemampuanmu boleh juga, Pendekar!” teriak Aryajanggala kagum, tapi juga merasa kesal.Dua orang musuh tiba-tiba bergerak secara bersamaan dari arah kiri dan kanan. Mereka menghunuskan golok ke depan!Jaka Purna segera mengelak dengan melakukan teknik kayang sampai ujung jarinya menyentuh tanah. Dua golok yang tersorong dari arah berlawanan itu hanya melintas di atas dadanya, bahkan malah membuat kedua penjahat itu jadi saling bertikaman satu sama lain.Dari posisi kayang, Jaka Purnama bangkit dan kembali berdiri. Dia melepas caping yang menutupi kepala dua orang lelaki itu. Lalu Jaka Purnama pun memegang kepala keduanya dan membenturkan jidat mereka satu sama lain.“Bummm!”Perbenturan itu membuat jidat keduanya jadi benjol dan mengakibatkan keduanya pusing. Untuk sesaat mereka terhuyung-huyung dan lalu akhir

    Last Updated : 2024-10-23
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 7 : Keris Lidah Naga

    Jaka Purnama masih menghadapi musuh yang tinggal tersisa empat orang. Aryajanggala dari tadi belum juga maju, dia masih diam dan mengawasi, coba memperhatikan seberapa hebat Jaka Purnama bertarung.Keempat musuh itu kembali berkeliling mengepung Jaka Purnama. Mereka memainkan golok dengan gaya bersilat-silat untuk memecah konsentrasinya.Jaka Purnama memandangi lawannya itu satu persatu. Dia tetap waspada dan berusaha agar tidak lengah.“Kali ini kau akan mampus, Pendekar!” ujar Aryajanggala “Cepat serang dan cabik-cabik dia!”Mereka pun menyerang dari empat penjuru secara bersamaan. Jaka Purnama menyilangkan dua kepalan tangannya di depan dada. Cahaya putih pun tiba-tiba terpancar dari tubuh Jaka Purnama dan melingkupi dirinya“Hiyaaaaa!” Jaka Purnama berteriak keras sambil merentangkan kedua belah tangan.Cahaya putih itu seketika melebar dan memukul semua musuh yang maju. Bak daun melayang dihembus angin kencang, keempat penjahat itu terpantal jauh dan jatuh terguling.Aryajanggala

    Last Updated : 2024-10-23
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 8 : Mengejutkan Di Rumah

    Wluyo dan Jagat Pramudita akhirnya tiba jua di pantai malam itu. Mereka terkejut menyaksikan ada sesosok tubuh yang telungkup di bibir pantai dengan kondisi mengenaskan. Keduanya segera menghampiri Jaka Purnama.“Jaka, kau tidak apa-apa?” tanya Jagat Pramudita.“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Jaka Purnama.Waluyo menepuk bahu Jaka Purnama dan tersenyum. “Syukurlah kalau begitu.” Dia kemudian menunjuk ke tubuh Aryajanggala yang telungkup dalam kondisi sekarat. “Apakah lelaki ini yang dijuluki sebagai Taring Beruang, pimpinan gerombolan Kelabang Merah?”Jaka Purnama menganggukkan dagu. “Iya, dia sudah kukalahkan dengan ajian Sinar Bulan Membelah Samudera.”“Ajian Sinar Bulan Membelah Samudera?” Waluyo mengerutkan kening. “Aku baru mendengar kalau ada nama jurus seperti itu. Apakah itu jurus dari gurumu, Mpu Seta?”Jagat Pramudita tersenyum menatap Waluyo. Dia kemudian yang menjawab pertanyaan tersebut.“Sinar Bulan Membelah Samudera merupakan s

    Last Updated : 2024-10-23
  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 9 : Kenangan Masa Lalu

    "Sayang, maafkan aku karena datang terlambat. Bertahanlah!” Jaka Purnama mengusap keringat yang bercucuran di dahi istrinya itu dan lalu memeluknya.“Tidak apa-apa, Kang Mas. Musibah ini sudah menjadi takdir,” ujar Anindhita. Suaranya terdengar lemah sebab menahan rasa sakit karena sebilah golok masih tertancap di perutnya.Jaka Purnama tak kuasa menahan air mata. Dia menggenggam tangan kanan isterinya itu dan menciumnya. “Bertahanlah, Sayang. Aku akan menolongmu.”“Tidak usah, Kang Mas,” jawab Anindhita terhengal. “Aku sudah tidak tahan lagi, Waktuku telah hampir sampai. Jagalah buah hati kita baik-baik. Maafkanlah aku yang tak bisa lagi menemanimu , Kang Mas.”Air mata Jaka Purnama mengalir tambah deras karena mendengar ucapan isterinya barusan. Dia memeluk erat tubuh Anindhita dan berkata, “Aku sangat mencintaimu. Jangan tinggalkan aku, Anindhita!”“Aku juga sangat mencintai

    Last Updated : 2024-10-23

Latest chapter

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 121 : Rasa Perhatian Yang Spesial

    Setelah pertarungan besar babak pertama selesai, masih ada tujuh ratus orang lagi dari prajurit kerajaan yang tersisa. Namun yang memilukan, Abirama akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam pelukan sang adik.Senopati Wibisana coba mendekat ke Alindra. Wanita itu masih menangis dan memeluk erat sang kakang yang sudah tak bernyawa lagi. Dengan perasaan iba, dia pun duduk di samping Alindra dan berusaha menabahkan.“Bersabarlah, Alindra. Kakangmu adalah seorang pendekar sejati. Dia sudah berjuang dalam pertempuran ini. Jiwanya pasti ditempatkan di Swargaloka yang agung.”Bola mata Alindra basah berlinangan, duka citanya begitu mendalam, dengan tatapan yang sayu, dia melihat ke Senopati Wibisana.“Kakang Abirama tewas karena melindungiku. Dia rela mengobarkan jiwanya untuk menyelamatkanku.”Senopati Wibisana hanya bisa mengangguk. Dia mengerti kesedihan di hati Alindra saat ini. Memang bukan hal yang mudah jika harus berpisah dari seorang saudara kandung yang selama ini selalu menjaga

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 120 : Kobaran Api Biru

    Setelah membalaskan kematian gurunya pada Manik Maya, Alindra secepatnya menghampiri Abirama yang tadi terkena serbuk racun. Kedua mata Kakangnya itu sudah tak bisa melihat lagi, sebab Serbuk Tujuh Bunga telah merusak kornea matanya.Alindra duduk di sebelah Abirama dan memeluk pundak kakangnya itu. Dia merasakan kalau badan Abirama sangat panas. Ini adalah dampak buruk dari pengaruh racun yang terhirup.“Kakang harus bertahan! Percayalah, Paman Mpu Bhiantar pasti bisa mengobatimu. Aku yakin kalau dia masih menyimpan serbuk Cendawan Biru.”Sambil berpejam dan tersenyum, walau menahan sakit, Abirama berkata dengan suara serak, “Sudahlah, Adikku. Sudahlah terlambat untuk kembali ke istana dan berobat dengan paman Mpu. Ajalku sebentar lagi akan tiba. Yang terpenting kau telah membalaskan kematian guru kita.”“Jangan bicara begitu, Kakang! Kakang pasti akan diobati secepatnya. Bertahanlah!”Abirama menggenggam tangan kanan sang adik yang dari tadi memeluknya erat. Dia menghadapkan mukanya

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 119 : Hadiah Pukulan Terakhir

    Selagi Abirama, Patrioda, dan Senopati Wibisana sibuk menolong para prajurit yang dibantai oleh Gerombolan Kelabang Merah, Manik Maya akhirnya melompat turun dari atas pohon. Kini dia berdiri tegak di hadapan Alindra dan menantangnya bertarung.“Sudah bertahun lamanya aku menunggu saat ini tiba. Hari ini kau tak akan selamat dari senjata trisulaku!”“Heh, kau yakin sekali mampu mengalahkanku. Justru dirimulah yang akan jadi bangkai di hutan ini. Bersiaplah!”Manik Maya menghunuskan pedang dari dalam sarung. Dia bergerak maju dan melibaskan serangan. Sabetan demi sabetan datang beruntun memburu Alindra, kecepatan Manik Maya dalam bermain jurus memang tak boleh dianggap remeh.“Ting! Ting! Ting!” Berulangkali pedang tajam itu berbenturan dengan sepasang trisula yang Alindra genggam. Hingga saat ada kesempatan untuk membalas serangan, Alindra bergerak cepat memutar badan, dia menghantam pipi Manik Maya dengan siku kirinya

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 118 : Awal Mula Perang

    Sebagaimana perintah yang diamanatkan oleh Tubagus Dharmasuri, maka kini Senopati Wibisana, keempat pendekar, dan seribu orang prajurit yang menyertainya mulai berkeliling menyusuri kawasan di lereng Gunung Ratri.“Aku berharap para pendekar ini bisa kompak saat melawan musuh, lebih lagi si Patrioda, dia amat sombong dan susah diatur,” batin Senopati Wibisana, hatinya merasa cemas.Baru saja keangkuhannya redup sejenak, kini Patrioda sudah mulai lagi berucap sok hebat. “Mana musuh-musuh kita? Heh, tampaknya mereka takut dan tidak berani keluar. Seperti kucing saja Persaudaraan Iblis ini.”“Kita harus tetap waspada. Jangan menganggap remeh lawan. Siapa tahu mereka sedang mengintai kita saat ini,” ujar Senopati Wibisana mengingatkan.Tiba-tiba kemudian, Damayanti mencabut sebilah anak panah dan melepaskannya ke arah semak-semak. Dia tahu kalau ada yang tengah bersembunyi di tempat itu.“Ada apa, Damayanti?&rd

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 117 : Saling Mengatur Strategi Perang

    Pagi hari saat surya baru mulai terbit di langit timur, sekitar dua ribu orang prajurit tengah berkumpul di depan pintu gerbang Istana Kerajaan Jayakastara. Pagi ini mereka bersiap-siap untuk melakukan penggempuran ke lokasi yang jadi tempat persembunyian Persaudaraan Iblis.Patih Tubagus Dharmasuri, selaku komandan tertinggi yang bertugas memimpin seluruh pasukan, berdiri tegak di hadapan para prajuritnya, para senopati, dan juga para pendekar. Laki-laki tua itu menyampaikan pidato sebelum sebelum mereka akan bergerak ke sarang musuh.“Sekarang telah tiba waktunya bagi kita untuk memusnahkan Persaudaraan Iblis yang selama ini meresahkan masyarakat. Demi melindungi umat manusia, dan demi mempertahankan kerajaan Jayakastara, aku harap kalian sudah siap bertempur walau hingga titik darah penghabisan. Apa kalian sanggup!”“Ya, kami sanggup!” sahut semua yang hadir dengan penuh semangat.“Bagus, itulah kesetiaan yang diinginkan o

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 116 : Dendam Kesumat Nyai Jamanika

    Semua anggota Persaudaraan Iblis saling merapat satu sama lain. Mereka ngeri dengan apa yang sebentar lagi akan terjadi. Dunia bagaikan hendak kiamat. Berulangkali suara guntur meraung-raung di angkasa!“Gawat! Argani sudah benar-benar mencapai puncak amarahnya. Dia akan menggunakan jurus Hujan Halilintar Menggempur Bumi,” sebut Jimbalang Loreng memberitahu pada teman-temannya.“Hah, jurus Halilintar Menggempur Bumi? Darimana kau bisa tahu kalau ketua kita memiliki ilmu semacama itu?” tanya Manik Maya serasa tak percaya.“Dia pernah mengisahkannya padaku,” jawab Jimbalang Loreng. “Jurus ini merupakan puncak tertinggi dari ajian Tatapan Rajawali Menembus Awan sejauh yang dikuasai oleh Argani. Aku khawatir kalau dia akan kehilangan kesadarannya akibat pengaruh dari kedahsyatan jurus ini.”Panglima Sanca terus memperhatikan betapa seram pemandangan di langit. Dia rasa kalau sebentar lagi sambaran-sambaran petir yang bertubi-tubi akan turun dari atas sana. Bukan hanya Nyai Jamanika yang n

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 115 : Puncak Kemarahan Argani Bhadrika

    “Hmmh.” Nafas Nyai Jamanika berdengus seperti banteng. Tatapan matanya yang mengerikan memandangi pada semua orang satu persatu bak singa kelaparan.Semua anggota Persaudaraan Iblis yang hadir di tempat itu merasakan aura kegelapan yang sangat kuat terpancar dari si nenek peot tersebut. Padahal tadi energinya terasa biasa-biasa saja, namun sekarang Nyai Jamanika sudah mulai menampakkan kalau dia bukanlah nenek sembarangan.Jimbalang Loreng dan para anggota yang lain akhirnya gentar. Semakin lama pancaran aura kegelapan si nenek itu semakin meningkat. Apakah tak lama lagi dia akan mengamuk di sarang Persaudaraan Iblis? Jika hal itu terjadi, maka tak ada satu pun yang mampu menandingi kesaktiannya.“Tenanglah, hai Nyai,” bujuk Panglima Sanca. “Sebentar lagi ketua kami akan datang ke sini. Kami tak ingin kalau harus ribut denganmu.”Nyai Jamanika tersenyum kecut. Dia kembali memandangi semua orang dengan sorot matanya yang tajam. “Aku tidak suka kalau harus lama-lama menunggu. Sepertinya

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 114 : Orang Asing

    Karena memisahkan diri dari orang-orang dan tidak mau ikut berkumpul bersama yang lain, Patrioda duduk bersila di atas ranjang dalam kamar tamu tempat dia beristirahat. Hatinya betul-betul kesal dengan kemunculan Giandra di istana ini.“Hmmh. Pendekar muda itu kelihatan sekali ingin cari muka di hadapan para petinggi kerajaan. Padahal baru cuma bisa mengobati orang yang keracunan saja, tapi lagaknya sudah macam pahlawan.”Sambil memangku kedua tangan di bawah dada, Patridoa diam sebentar dan merenung. Dia sadar kalau kehadiran Giandra di istana ini bisa menjadi sumber perhatian banyak orang, apalagi Patrioda sangat takut jika Puteri Seroja yang jadi dambaan hatinya nanti akan diganggu oleh Giandra.“Kalau sampai pemuda itu berani mendekati Puteri Serojaku, aku tidak segan-segan untuk menendangnya keluar dari istana ini. Cuih! Apa hebatnya dia itu!”Sebelum memutuskan untuk pergi dari padepokan Lenggo Geni dan bergabung di kerajaan ini, Patrioda sudah membayangkan bahwa dia harus bisa m

  • 4 PUSAKA PENAKLUK JAGAT   Bab 113 : Diam-diam Menguping

    Setelah selesai mengobati Prabu Surya Buana di kamarnya, Giandra dan Tubagus Dharmasuri segera dibawa lagi oleh Senopati Wibisana untuk menemui Mpu Bhiantar dan Senopati Taraka yang juga sedang demam akibat keracunan.Dua orang yang sakit itu berada di sebuah ruangan khusus dalam lingkungan istana. Mereka tengah berbaring ditemani oleh Abirama dan juga Alindra.Senopati Wibisana mengetuk pintu dari luar. Alindra pun berdiri dan membukakannya.“Bagaimana keadaan mereka?” tanya Senopati Wibisana.Alindra hanya menggeleng. “Kami sudah memberikan mereka berdua ramuan obat, tapi nampaknya tidak mempan. Aku dan kakang Abirama bahkan tidak tahu jenis racun apa yang digunakan oleh Manik Maya.”Senopati Wibisana lalu melangkah masuk ke dalam ruangan, begitu pula Tubagus Dharmasuri dan Giandra, keduanya mengikutnya di belakang.Mpu Bhiantar kelihatan menggigil seperti orang yang sangat kedinginan. Nafasnya terdengar sesak. Seme

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status