Di waktu pagi ketika matahari baru terbit, cahayanya berwarna keemasan menyapa daun-daun di pepohonan yang basah oleh embun. Saat itu aroma daging manusia yang tengah dibakar di atas perapian terbawa angin keluar melewati pintu gua.
Gunung Ratri sudah lama dikenal sebagai Gunung Sarang Siluman, begitulah masyarakat Desa Lubuk Cempaka menamainya. Di puncak gunung itu terdapat sebuah gua yang menjadi tempat tinggal siluman jahat, warga menjulukinya sebagai Iblis Hitam.
Iblis Hitam suka turun ke desa mencari anak-anak kecil untuk dibawa dan jadikan santapan, bahkan dia juga sering menculik gadis-gadis untuk memuaskan nafsunya. Warga desa sudah tidak tahan lagi dengan kekejaman siluman tersebut.
Sudah banyak para pendekar yang datang menyerang ke gua itu. Namun mereka semua kalah dan mati terbunuh di tangan si Iblis Hitam. Kesaktian siluman ini sungguh sangat luar biasa. Tidak ada satu pun orang yang mampu menandingi kekuatannya yang begitu besar.
Pagi ini empat orang pendekar sepuh telah berkumpul di Gunung Ratri. Mereka adalah para jagoan dari berbagai aliran silat. Kedatangan mereka atas permohonan dari para penduduk desa. Sebab sudah terlalu banyak korban nyawa yang berjatuhan karena kejahatan si Iblis Hitam.
Empat orang pendekar sepuh itu ialah Datuk Subrata, Datuk Ancala Raya, Datuk Gastiadi, dan Nenek Kumari. Mereka semua dikenal sebagai para pendekar sepuh penjaga kedamaian di dunia persilatan.
Datuk Subrata yang paling tua di antara mereka berempat berucap, “Siluman terkutuk itu tidak akan dapat dibunuh kecuali di dalam sarangnya sendiri. Kita harus masuk menyerbu ke dalam sana.”
“Kita tetap harus hati-hati,” ujar Datuk Ancala Raya. “Karena siluman itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Sudah puluhan pendekar yang mati di tangannya.”
Datuk Gastiadi kemudian mengeluarkan tiga butir batu mutiara dari balik bajunya. Batu mutiara itu berwarna hijau, putih, dan juga biru. Ketiganya tampak indah dan berkilau, sehingga membuat terkagum Nenek Kumari yang berdiri di sampingnya.
“Mutiara yang sangat indah sekali. Baru pertama kali ini aku melihatnya,” kata Nenek Kumari.
“Ini adalah Tiga Mutiara Inti Samudera, mustika milik kerajaan siluman ular kipas,” Datuk Gastiadi memberitahukan kepada para sahabatnya.
“Darimana kau mendapatkan benda itu?” Datuk Ancala Raya heran dan mengerutkan dahi.
“Aku meminjamnya dari Dewi Ratu Niranjana, penguasa kerajaan Ular Kipas,” jawab Datuk Gastiadi. Kemudian dia berkata lagi, “Jika ketiga mutiara ini disatukan dan dibacakan mantra tertentu, maka akan berubah menjadi sebuah rantai emas yang dapat membelenggu siluman sekuat apapun.”
“Sungguh mustika yang sangat hebat!” Datuk Subrata mengangguk-angguk karena kagum mendengarnya.
Nenek Kumari lalu menghentakkan tongkat tembaganya ke tanah. “Ayo, kita serbu ke dalam gua itu sekarang! Aku sudah tak sabar lagi ingin menghajar siluman biadab itu dengan Tongkat Tembaga Merah milikku ini!”
Akhirnya mereka berempat pun segera bergerak menyerbu ke gua tempat kediaman si Iblis Hitam. Tapi ketika para pendekar sepuh sudah hampir mendekati pintu gua itu, tiba-tiba siluman yang mereka cari keluar sendiri dari sarangnya, dia menampakkan wujud di hadapan para pendekar, seakan telah mengetahui kalau pagi ini ada lagi empat orang pendekar sakti yang ingin menantangnya.
Siluman itu bertubuh besar, berkulitnya hitam legam, mempunyai dua taring yang panjang, memiliki dua tanduk di kepalanya yang menyerupai seperti tanduk kerbau, dan wajahnya pun sangat menyeramkan, membuat jantung siapa saja akan berdebar kalau berjumpa dengannya.
Sambil mengangkat dagu, si Iblis Hitam pun berkata, “Pantas saja dari tadi aku mencium aroma tanah busuk, rupanya para kakek dan nenek jompo telah berkumpul di wilayah kekuasaanku ini! Hahahahaha.”
Datuk Ancala Raya merasa tersinggung karena ucapan tersebut. Dia lalu berkata, “Kurang ajar kau, Iblis Hitam! Hari ini adalah hari kematianmu! Bersiaplah menerimanya!”
Iblis Hitam gelak tertawa mendengar gertakan itu. Dia kemudian menantang, “Coba saja keluarkan seluruh kesaktian kalian jika memang mampu membunuhku! Tubuh kalian berempatlah yang akan kubuat hancur lebur sampai jadi debu!”
Nenek Kumari sudah emosi, dia menghentakkan tongkatnya ke tanah. “Sombong sekali kau, Siluman Busuk! Rasakanlah kekuatan dari tongkat pusaka milikku ini!”
Nenek Kumari pun memulai serangan, dia mengayunkan tongkatnya dari kiri ke kanan. Keluarlah cahaya kemerahan yang menyerupai nyala api. Iblis Hitam tak sempat menghindar dari serangan tersebut. Cahaya merah itu mengenai tubuhnya, membuatnya terpental ke belakang.
Namun hanya sebentar satelah itu, Iblis hitam langsung bangkit dan kembali lagi berdiri. “Dasar keparat kau, Nenek Tua!” makinya terhadap Nenek Kumari.
Iblis hitam melompat tinggi ke udara, tubuhnya melayang dan berputar-putar, dia lalu menerjang Nenek Kumari dengan kakinya yang besar.
Nenek Kumari segera melintangkan Tongkat Tembaga Merah di depan dadanya untuk menahan terjangan itu. Tapi rupanya tenaga Iblis Hitam terlalu kuat, si nenek tak kuasa menahan serangan tersebut, hingga dia terpental dan lalu jatuh.
Pertarungan kini sudah dimulai, Datuk Gastiadi pun mengeluarkan jurus Cakar Lima Jari Penghancur Tengkorak. Dia ikut maju menyerang Iblis Hitam. jurusnya itu hendak mengincar ke ubun-ubun siluman tersebut.
Iblis Hitam dapat merasakan hawa dari serangan itu sebelum cakar Datuk Gatiadi sampai padanya. Sedikit lagi tangan kanan si datuk akan menyentuh kepala siluman itu, tapi Iblis Hitam menoleh dan langsung bertindak, dia menangkap lengan Datuk Gatiadi dengan tangan kirinya.
Tangan kanan Iblis Hitam kemudian memukul perut Datuk Gastiadi, setelah itu dia mencengkram kerah baju pendekar tua itu, lalu diangkat dan dilemparnyalah tubuh Datuk Gastiadi hingga jatuh terguling di tanah.
Melihat kedua orang sahabatnya yang sudah jatuh, Datuk Ancala Raya tidak tinggal diam, dia pun berlari dan ingin menyerang si Iblis Hitam.
“Terima ini, Siluman Biadab! Jurus Tendangan Ekor Hiu Memecah Karang! Hiyaaa!”
Datuk Ancala Raya melompat tinggi, tubuhnya lalu berputar bagaikan angin tornado, tendangan kaki kirinya lalu mengayun sangat deras dengan kekuatan penuh, menghantam tepat ke bagian tengkuk Iblis Hitam hingga membuatnya kesakitan.
Tak berhenti sampai di situ, Datuk Ancala Raya menjatuhkan badannya dan berputar lagi di tanah untuk melakukan teknik sapuan. Kaki kirinya mengayun ke arah dalam dan menghantam kuda-kuda si Iblis Hitam. Teknik sapuan itu berhasil merobohkan siluman tersebut, dia terjungkal ke belakang karena kuda-kudanya kehilangan keseimbangan.
Tidak terima dihajar seperti demikian, Iblis Hitam segera bangkit dan kembali berdiri. Dia melompat ke arah Datuk Ancala Raya. Tangannya yang panjang terulur ke depan dan mencengkeram leher si pendekar tua itu. “Akan kubunuh kau, Kakek Tua!”
Cengkeraman Iblis Hitam sangat kuat, sampai-sampai Datuk Ancala Raya tidak bisa bernafas. Dia mampu mengangkat tubuh Datuk Ancala Raya hanya dengan sebelah tangan saja.
Sorot mata Iblis Hitam menyala bagaikan kobaran api. Dia betul-betul marah sekali! Datuk Ancala Raya tersedak karena menahan lehernya yang sakit, dia berusaha melepaskan tapi tidak bisa.
Datuk Subrata yang dari tadi masih diam akhirnya mulai bertindak. Dia berlari seraya mencabut sebilah pedang yang tergantung di belakangnya.
Pedang ini adalah senjata pusaka yang bernama Pedang Penebas Setan. Kehebatan dari pedang pusaka tersebut sudah masyhur terdengar di seluruh dunia persilatan.
Datuk Subrata melompat, dia mengangkat pedang itu membujur di atas kepalanya, kemudian langsung dipancungnyalah tangan si Iblis Hitam yang sedang mencekik leher Datuk Ancala Raya.
Saat mata pedang yang tajam itu menimpa lengan Iblis Hitam yang besar, seketika lengannya langsung putus dan memuncratkan banyak sekali darah, potongan lengan itu lalu berdebuk jatuh di tanah.
Datuk Subrata lanjut menendang perut Iblis Hitam dengan tumitnya. Siluman itu pun terdorong mundur beberapa langkah ke belakang.
Berkat pertolongan Datuk Subrata, akhirnya Datuk Ancala Raya selamat dari cekikan siluman buas tersebut, padahal hampir saja tadi dia kehabisan nafas.
Pedang Penebas Setan di tangan Datuk Subrata kini basah dengan lumuran darah. Dari ujung lancipnya yang menghadap ke bawah bertetesan bekas darah Iblis Hitam yang berwarna merah pekat.“Kau tidak apa-apa?” tanya Datuk Subrata pada Datuk Ancala Raya.Dengan nafas yang masih ngos-ngosan dia menjawab, “Aku baik-baik saja. Hampir tadi siluman itu membunuhku. Dia sangat kuat sekali.”Nenek Kumari dan Datuk Gastiadi yang sudah bangun berjalan menghampiri Datuk Subrata dan Datuk Ancala Raya.“Kita harus segera menggiring makhluk terkutuk ini masuk ke dalam sarangnya. Karena hanya di sarangnyalah dia akan bisa dibunuh,” kata Datuk Subrata mengingatkan kembali pada para sahabatnya.Lengan kanan Iblis Hitam yang semula tadi sempat putus dan terguling di tanah, sekarang tiba-tiba tumbuh lagi di tempat yang sama. Dengan proses yang sangat cepat, lengan buntung itu kembali sempurna seperti sediakala.Datuk Ancala Raya akhirnya mencabut Seruling Naga Emas yang terselip di pinggangnya. Dia mendekatk
Temaram cahaya bulan purnama membanjiri angkasa, sinarnya yang pucat menembus kegelepan dalam hutan.Malam itu tak terlihat ada awan hitam yang mengawang di antara bintang-bintang, langit begitu cerah, dan suasana hening tanpa desau angin yang menggerakkan daun-daun di pohon.Jauh di dalam hutan belantara yang tertutup oleh pepohonan dan semak belukar, ada sebuah gua yang bagian dalamnya diterangi cahaya obor, di tempat itu duduklah tiga orang lelaki untuk suatu perbincangan.Yang pertama dan sekaligus yang paling tua bernama Datuk Bahuwirya, dia seorang pendekar linuih, terkenal dengan julukan sebagai Mpu Seta, karena kebiasannya yang suka mengenakan pakaian dari kain sutera putih.Yang kedua seorang lelaki muda berbaju coklat dan berikat kepala hitam. Dia duduk sambil mengasuh sebilah pedang di atas pahanya. Namanya Jagat Pramudita. Lelaki muda ini merupakan anak tunggal Mpu Seta.Adapun orang ketiga yang juga duduk di tempat itu ialah seorang pendekar yang gagah perkasa. Dia mengena
Seribu orang pasukan perampok yang berpakaian serba hitam telah datang menyerang ke desa Tanjung Bambu yang berada tidak jauh dari pesisir pantai. Mereka datang lewat jalan laut dengan menggunakan kapal besar.Setiap perampok itu menutupi wajahnya dengan cadar merah, memakai caping, dan mengenakan sabuk merah di pinggang sebagai tanda bahwa mereka adalah Gerombolan Kelabang Merah.Gerombolan ini terkenal sebagai bajak laut ganas yang suka merampok di pulau-pulau kecil dan juga desa-desa di sekitar pantai. Mereka dipimpin oleh seorang penjahat yang bernama Aryajanggala.Di dunia persilatan, Aryajanggala lebih dikenal sebagai Taring Beruang. Julukan itu menjadi lekat karena ciri khasnya yang suka mengenakan kalung dan juga gelang dari taring serta gigi-gigi hewan beruang. Dia sangat dipatuhi oleh para bawahannya. Kedatangan pasukan perampok yang tiba-tiba di malam hari membuat warga jadi terkejut dan tidak siap. Mereka berpencar dan mendobrak setiap pintu rumah untuk merampas uang maupu
Suara pintu depan terdengar roboh akibat kena dobrak. Lima orang perampok kemudian melangkah masuk ke dalam rumah Anindhita. Perempuan itu segera keluar sambil meneteng sebilah Pedang di tangan kanannya.Para perampok itu rupanya telah sampai di ruangan tengah. Anindhita pun muncul dan berdiri di hadapan mereka. Tanpa basa-basi, dia langsung mencabut pedangnya dari dalam sarung.“Kurang ajar! Berani sekali kalian mendobrak pintu rumahku hingga roboh! Dasar kalian para pengikut Iblis!” ucap Anindhita, sambil dia mengacungkan ujung pedangnya ke arah para perampok tersebut.Para perampok itu kaget, ternyata yang muncul menghadapi mereka bukanlah seorang pria, melainkan seorang perempuan cantik berbaju ungu, tapi yang lebih membuat mereka terkejut lagi adalah saat melihat pedang yang dipegang oleh Anindhita.“Lihatlah, dia memegang sebuah senjata pusaka! Itu mirip seperti Pedang Penebas Setan!” kata salah seorang perampok kepada kawan-kawannya yang lain.Kemudian seorang lagi pun berkata,
Jaka Purnama menyapukan pandangannya ke sekeliling, sekarang tersisa enam orang lagi yang belum maju. Mereka masih mencari-cari kesempatan untuk menyerang.“Kurang ajar, ternyata kemampuanmu boleh juga, Pendekar!” teriak Aryajanggala kagum, tapi juga merasa kesal.Dua orang musuh tiba-tiba bergerak secara bersamaan dari arah kiri dan kanan. Mereka menghunuskan golok ke depan!Jaka Purna segera mengelak dengan melakukan teknik kayang sampai ujung jarinya menyentuh tanah. Dua golok yang tersorong dari arah berlawanan itu hanya melintas di atas dadanya, bahkan malah membuat kedua penjahat itu jadi saling bertikaman satu sama lain.Dari posisi kayang, Jaka Purnama bangkit dan kembali berdiri. Dia melepas caping yang menutupi kepala dua orang lelaki itu. Lalu Jaka Purnama pun memegang kepala keduanya dan membenturkan jidat mereka satu sama lain.“Bummm!”Perbenturan itu membuat jidat keduanya jadi benjol dan mengakibatkan keduanya pusing. Untuk sesaat mereka terhuyung-huyung dan lalu akhir
Jaka Purnama masih menghadapi musuh yang tinggal tersisa empat orang. Aryajanggala dari tadi belum juga maju, dia masih diam dan mengawasi, coba memperhatikan seberapa hebat Jaka Purnama bertarung.Keempat musuh itu kembali berkeliling mengepung Jaka Purnama. Mereka memainkan golok dengan gaya bersilat-silat untuk memecah konsentrasinya.Jaka Purnama memandangi lawannya itu satu persatu. Dia tetap waspada dan berusaha agar tidak lengah.“Kali ini kau akan mampus, Pendekar!” ujar Aryajanggala “Cepat serang dan cabik-cabik dia!”Mereka pun menyerang dari empat penjuru secara bersamaan. Jaka Purnama menyilangkan dua kepalan tangannya di depan dada. Cahaya putih pun tiba-tiba terpancar dari tubuh Jaka Purnama dan melingkupi dirinya“Hiyaaaaa!” Jaka Purnama berteriak keras sambil merentangkan kedua belah tangan.Cahaya putih itu seketika melebar dan memukul semua musuh yang maju. Bak daun melayang dihembus angin kencang, keempat penjahat itu terpantal jauh dan jatuh terguling.Aryajanggala
Wluyo dan Jagat Pramudita akhirnya tiba jua di pantai malam itu. Mereka terkejut menyaksikan ada sesosok tubuh yang telungkup di bibir pantai dengan kondisi mengenaskan. Keduanya segera menghampiri Jaka Purnama.“Jaka, kau tidak apa-apa?” tanya Jagat Pramudita.“Ya, aku baik-baik saja,” jawab Jaka Purnama.Waluyo menepuk bahu Jaka Purnama dan tersenyum. “Syukurlah kalau begitu.” Dia kemudian menunjuk ke tubuh Aryajanggala yang telungkup dalam kondisi sekarat. “Apakah lelaki ini yang dijuluki sebagai Taring Beruang, pimpinan gerombolan Kelabang Merah?”Jaka Purnama menganggukkan dagu. “Iya, dia sudah kukalahkan dengan ajian Sinar Bulan Membelah Samudera.”“Ajian Sinar Bulan Membelah Samudera?” Waluyo mengerutkan kening. “Aku baru mendengar kalau ada nama jurus seperti itu. Apakah itu jurus dari gurumu, Mpu Seta?”Jagat Pramudita tersenyum menatap Waluyo. Dia kemudian yang menjawab pertanyaan tersebut.“Sinar Bulan Membelah Samudera merupakan s
"Sayang, maafkan aku karena datang terlambat. Bertahanlah!” Jaka Purnama mengusap keringat yang bercucuran di dahi istrinya itu dan lalu memeluknya.“Tidak apa-apa, Kang Mas. Musibah ini sudah menjadi takdir,” ujar Anindhita. Suaranya terdengar lemah sebab menahan rasa sakit karena sebilah golok masih tertancap di perutnya.Jaka Purnama tak kuasa menahan air mata. Dia menggenggam tangan kanan isterinya itu dan menciumnya. “Bertahanlah, Sayang. Aku akan menolongmu.”“Tidak usah, Kang Mas,” jawab Anindhita terhengal. “Aku sudah tidak tahan lagi, Waktuku telah hampir sampai. Jagalah buah hati kita baik-baik. Maafkanlah aku yang tak bisa lagi menemanimu , Kang Mas.”Air mata Jaka Purnama mengalir tambah deras karena mendengar ucapan isterinya barusan. Dia memeluk erat tubuh Anindhita dan berkata, “Aku sangat mencintaimu. Jangan tinggalkan aku, Anindhita!”“Aku juga sangat mencintai
Mpu Bhiantar datang dari balik pintu dan menghadap kepada Prabu Surya Buana. Dia langsung menjura hormat dan menundukkan pandangan. Ternyata di tempat itu hanya ada sang prabu bersama dengan dua orang senopatinya, sedangkan Patih Tubagus Dharmasuri masih belum kembali dari Desa Tanjung Bambu.Abirama dan Alindra ikut masuk bersama Mpu Bhiantar, keduanya pun berdiri tegak di belakang pria tua itu. mereka juga turut menjura hormat dan menundukkan kepala.“Semoga kesejahteraan dan kedamaian selalu terlimpah atas Gusti Prabu yang agung,” kata Mpu Bhiantar mengucap doa sebelum akan memperkenalkan para pendekar yang datang bersamanya.Prabu Surya Buana yang duduk di atas singgasana lalu menangkupkan telapak tangan. “Terimakasih atas doamu, Mpu Bhiantar. Siapakah dua orang yang kaubawa ini?”Senopati Taraka dan Senopati Wibisana yang tadi duduk di bawah anak tangga lalu bangkit berdiri untuk menghargai tamu kerajaan. Mereka tahu bahwa yan
Pagi ini adalah pertamakalinya Patrioda datang ke ibu kota sendirian dengan mengendarai kuda. Sebelumnya dia sama sekali belum pernah menginjak wilayah tersebut.Tempat ini sangat ramai dan banyak para pedagang. Patrio da terus membawa kudanya berjalan ke depan sambil menikmati pemandangan di sekelilingnya.Satu minggu sudah lamanya perjalanan yang Patrioda tempuh, dari mulai menyeberangi Sungai Pinang Muda, melewati beberapa kadipaten, menembus belantara yang liar, dan hingga sampailah juga dirinya di tempat yang sangat dia dambakan itu, yakni Istana Kerjaan Jayakastara.Baru melihat pintu gerbang saja pikiran Patrioda sudah mulai mengkhayal jauh, dia membayangkan kalau suatu saat dirinya bisa memiliki kedudukan di istana ini sebagai panglima perang, tentulah dengan begitu derajatnya akan naik, dan nama Perguruan Lenggo Geni juga akan ikut terangkat.Salah satu dari dua pengawal yang menjaga pintu gerbang bertanya pada Patrioda, “Ada urusan apa kaudatang kemari?”Sambil membusungkan
Setelah Abirama dan Alindra menempuh perjalanan panjang yang cukup jauh, akhirnya kakak dan adik itu tiba juga di Istana Kerajaan Jayakastara pada waktu pagi hari.Karena mereka sudah membawa surat undangan, maka mereka pun diizinkan masuk oleh para pengawal yang menjaga pintu gerbang.Baru beberapa langkah saja keduanya berjalan, kedatangan mereka langsung disambut hangat oleh Mpu Bhiantar. Dia sudah tahu dari Senopati Taraka kalau dua orang murid Nyai Maheswari ini akan bergabung dengan kerajaan. Mpu Bhiantar sangat senang bisa berjumpa mereka.“Selamat datang, Anak-anakku. Sudah begitu lama aku tak pernah lagi melihat kalian. Akhirnya sekarang kita bisa bertemu lagi,” kata Mpu Bhiantar sambil tersenyum.Abirama dan Alindra pun juga balas tersenyum dan menjura hormat. Wajah Mpu Bhiantar terlihat awet sangat muda bagai tak pernah berubah dari dulu. Dia berkulit putih tanpa jenggot atau pun kumis. Rambutnya hitam lurus dan panjang tanpa ditumb
Siang hari di dalam hutan yang tertutup pohon-pohon kayu ara, Giandra sedang berlatih ajian Tatapan Rajawali Menembus dibawah bimbingan Tubagus Dharmasuri. Dia sudah berhasil mencapai tingkatan kedelapan, hanya tinggal satu langkah lagi baginya untuk menyempurnakan sampai tingkat kesembilan.Di atas sebuah batu besar, Giandra bersila dan berkonstrasi, berusaha menghidupkan setiap pusaran tenaga dalam pada dirinya. Ini adalah proses penyatuan antara buana alit dan buana agung supaya dapat menyelaraskan jiwa dengan alam semesta.Tubagus Dharmasuri terus memperhatikan Giandra. Lelaki tua itu hanya diam sambil memangku tangannya ke belakang. Dia melihat bahwa peningkatan Giandra cukup bagus dari hari ke hari . Berbagai latihan yang sulit telah berhasil Giandra lewati hingga akhirnya sampai ke titik ini.“Rasakanlah pusaran kekuatan yang berkobar dalam dirimu. Bayangankan setiap pintu tenaga dalam di tubuhmu laksana roda yang berputar, pancaran tenaganya menjad
Persaudaraan Iblis telah berhasil mengumpulkan dua belas mayat anak kecil dan mengumpulkannya dalam sebuah gubuk tua. Anak-anak itu diculik secara paksa, lalu dibunuh dengan sangat kejam dan mayatnya dibawa ke tempat ini.Sebentar lagi Argani akan membelah dada mereka dan memakan jantung anak-anak itu. Karena demikianlah syarat yang diperintahkan oleh Iblis Hitam.Sebelum Argani akan melakukan perbuatan terkutuknya, tiba-tiba Panglima Sanca baru kembali setelah tadi sempat dicari-cari oleh yang lain. Dia datang sambil menggendong Aryajanggala yang dalam keadaan sekarat.Bayu Halimun langsung bertanya, “Ada apa lagi ini? Apa yang terjadi pada Taring Beruang?”Panglima Sanca menurunkan lelaki itu ke lantai dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Dia kemudian menatap pada semua orang di gubuk tersebut. “Taring Beruang telah terkena panah beracun. Dia harus secepatnya diobati, kalau tidak, dia bisa tewas.”Manik Maya pun mendekati
Sesosok manusia berpakaian serba putih melompat keluar dari bali semak belukar yang menjulang dan tebal. Dia bersalto depan dan akhirnya mendarat tepat di hadapan semua orang.Sosok itu adalah Damayanti yang menutupi wajahnya dengan selembar kain putih. Dia kelihatan cantik dengan bulu mata yang lentik dan rambut hitam panjang yang terganggul di puncak kepala.Panglima Sanca menggeram, “Hmm, ternyata kau hanya seorang perempuan! Berani sekali menyerangku dengan panah diam-diam. Cepat katakan siapa dirimu!”Damayanti menjawab, “Kalian tidak perlu tahu siapa aku, tapi yang jelas, aku adalah orang yang sangat menentang Persaudaraan Iblis! Kalian berdua tentu adalah bagian dari mereka, benar bukan?”Aryajanggala pun maju sambil mengepalkan kedua tangannya. “Sombong sekali, kau ingin menentang Persaudaraan Iblis? Aku baru tahu kalau rupanya masih ada pendekar aliran putih sepertimu. Dari perguruan mana kau berasal?”Damayanti menggantungkan busurnya ke pundak. Dia menatap tajam pada Aryaja
Dua orang anak Gadis Suripto lari dengan penuh ketakutan. Mereka menembus hutan di belakang rumah dan tidak tahu harus pergi kemana. Sang kakak yang berbaju hitam terus menarik tangan adiknya agar lebih mempercepat langkah.“Hah …. Hah …. Hah …. Aku sudah tidak kaut lagi, Kak Sekar,” ucap si adik sambil terhengal capek.“Kita tidak boleh berhenti, Puspita,” kata si Kakak memaksa adiknya. “Dua orang penjahat itu pasti akan mengejar kita. Ayo, kau pasti kuat. kita harus mencari tempat yang aman untuk sembunyi.”Sambil tertunduk kelelahan, si adik berkata pada kakaknya, “Bagaimana keadaan romo dan si mbok sekarang, Kakak? Aku tidak ingin meninggalkan mereka! Aku mau kembali!”“Jangan, Puspita!” ujar si Kakak melarangnya keras. “Saat ini berbahaya sekali kalau kita kembali ke rumah. Ayo, kita lari lagi. Kuatkanlah dirimu, Puspita!”Si adik menyeka keringat yang
Persaudaraan Iblis berpencar dan memasuki setiap rumah warga, mereka hendak memburu anak-anak kecil yang usianya masih di bawah sepuluh tahun. Sambil membiarkan para anggotanya itu menjalankan tugas, Argani Bhadrika menunggu mereka di sebuah gubuk tua yang sudah tak berpengehuni lagi.Sementara itu, Panglima Sanca dan Aryajanggala mendobrak pintu rumah milik seorang petani jagung. Petani itu bernama Suripto, dia seorang lelaki lemah yang sudah tua dan sakit-sakitan, di rumah ini Suripto hanya diurusi oleh istri dan kedua anak perawannya.Istri Suripto yang bernama Juminah pun terkejut. Dia dan kedua anak perempuannya yang saat itu tengah sibuk di dapur langsung menuju ke luar untuk melihat apa yang terjadi.Sesampainya mereka di ruang tengah, ketiga wanita itu kaget melihat dua orang penjahat yang berbadan kekar dan bermuka sangat telah masuk ke dalam rumah mereka.Juminah yang berbadan gemuk dan mengenakan kain batik sebetas dada pun merentangkan kedua t
BAB 84Di waktu pagi saat matahari baru mulai terbit, Argani Bhadrika dan tujuh orang kawanannya telah tiba di Desa Lubuk Cempaka. Enam puluh orang pemuda ternyata sudah bersiap menyambut mereka dengan membawa tombak, golok, dan juga celurit. Warga sudah menduga kalau hari ini desa akan diserang.Kepala desa maju ke depan dan berdiri menghadap kepada Persaudaraan Iblis. Dia sama sekali tidak kenal dengan para pendekar yang datang itu, tapi dia bisa merasakan kalau kehadiran orang-orang ini adalah ingin membuat keonaran di wilayahnya.“Siapa kalian semua? Mengapa datang ke desa kami?” tanya Kepala Desa dengan nada tinggi.Argani Bhadrika yang saat itu wajahnya sudah tidak lagi mengenakan topeng kayu pun menjawab, “Kami adalah Persaudaraan Iblis. Kedatangan kami ingin mencari jantung anak-anak kecil. Aku dengar kalau di desa kalian banyak anak yang masih berumur di bawah sepuluh tahun.”Kepala Desa merasa geli saat melihat waj