Karena menyesali ucapan jahatnya itu, sekarang Rhea berada di salah satu kursi yang berada di selasar rumah sakit, menunggu Naren yang sedang mengurus administrasi untuk rawat inap Zanna."Kamu mau pulang atau di sini aja?" Naren memastikan kembali jam di ponselnya yang menunjukkan pukul delapan malam. "Kalo mau di sini juga nggak apa-apa, nanti kan di kamarnya ada sofa. Aku khawatir kalo kamu pulang jam segini.""Zanna nggak keberatan kalo aku ikut nunggu di kamar rawatnya?""Dia keberatan pun, nggak bakal bisa ngapa-ngapain, Rhe. Bahkan buat ngusir kamu mungkin dia udah nggak punya tenaga."Naren tidak sedang menyindirnya, tapi ucapan Naren itu membuat Rhea termangu. Sejak kapan ia berubah menjadi orang sejahat itu yang meminta Naren berada di sisinya padahal Zanna sedang membutuhkannya."Ya udah, aku nunggu di sini. Besok pagi aku balik ke rumah, mungkin besok aku stay di Amigos aja."Naren mengulurkan tangannya. "Ayo, kita cari makan dulu sebentar, biar bisa dimakan pas di kamar n
"Kamu lagi di mana?"Naren mengangkat panggilan telepon dari kakeknya saat ia tengah menghabiskan waktu makan siang di salah satu restoran yang ada di dekat kantornya dengan Zanna.Siang itu Zanna tiba-tiba memberi kabar kalau ia sedang berada di dekat kantor Naren. Ini hari keduanya Zanna kembali bekerja setelah beberapa hari sebelumnya istirahat total di apartemen. Karena ia harus menemui klien, kesempatan itu ia gunakan untuk sekalian mengajak Naren makan siang."Lagi makan siang, Kek," jawab Naren.Aditama masih bisa mendengar samar-samar sisa suara Zanna yang tertawa. Ia menghela napas berat, membayangkan Rhea yang sendirian di rumah sakit. "Rhea kecelakaan di ruko—"Naren terdiam, meresapi semua informasi dari kakeknya. Setelah menutup telepon dari kakeknya yang berlangsung tidak lebih dari satu menit itu, Naren langsung berdiri dan meraih jasnya. "Na, aku tinggal ya, Rhea masuk rumah sakit."Tanpa menunggu jawaban dari Zanna, Naren meninggalkan restoran dan melajukan mobilnya m
Naren membuka pintu kamar rawat Rhea. Hatinya bergemuruh saat melihat Ega duduk di dekat Rhea. Keduanya sedang terbahak sambil menatap televisi.Tapi, kenapa ada Ega?"Hai, Ga," sapa Naren."Eh, Ren. Dari mana aja?"Naren tidak menjawab dan langsung beringsut mendekati Rhea. "Gimana, Sayang? Udah enakan atau masih pusing kayak kemaren?"Rhea menatap Naren sesaat. "Udah enakan kok." Kemudian perhatiannya kembali ke layar televisi yang menampilkan drama Korea. Ia kembali tertawa sambil sesekali membahas adegan yang ditontonnya dengan Ega.Naren duduk di pinggir ranjang Rhea, ikut menonton apa yang ditonton Rhea, tapi pikirannya sama sekali tidak terpusat di situ.Setelah satu episode selesai, Ega meminta Rhea untuk istirahat kembali. "Udahan ah nontonnya. Istirahat. Kalo bosen tidur, baru nonton lagi," perintah Ega.Saat ini, barulah Naren memiliki kesempatan untuk bertanya. "Kok kamu di sini, Ga? Tau dari mana Rhea masuk rumah sakit?""Oh ... penasaran banget kayaknya," ledek Ega. "Aku
"Rhea tinggal sama aku!" Rahang Naren mengeras ketika mengatakannya."Enak aja. Kalian kan belum nikah!" tolak Ega.Keduanya tengah berdiskusi tentang kondisi Rhea. Siang hari itu Rhea sudah diperbolehkan pulang, tapi karena kekhawatiran berlebih membuat dua orang lelaki yang sedang duduk di sofa itu beradu pendapat."Terus yang paling masuk akal, di mana selain di tempatku?" Naren menatap Ega dengan tatapan tajamnya. Ia masih ingat kejadian saat Ega memukulnya, pun ia tidak membalas karena ada bagian dari dirinya yang merasa ucapan Ega benar. Ia salah malam itu telah meninggalkan Rhea sendiri."Ya ... di rumah Leny, Amee, atau siapa kek.""Leny sama Amee kerja. Di sini cuma kerjaanku yang bisa fleksibel.""Kerjaanmu memang fleksibel, tapi waktumu nggak. Bahkan kamu ninggalin Rhea waktu itu, di saat dia paling butuh kamu. Masih merasa berhak untuk ada di samping Rhea?"Rhea yang dari kasurnya mendengar pertengkaran mereka, hanya bisa menghela napas. Kalau sudah begini, pendapatnya pun
"Coba lihat bekas jahitannya." Naren menarik Rhea agar duduk di sampingnya.Keduanya baru kembali dari rumah sakit setelah melepas jahitan Rhea, dengan begitu seharusnya Rhea sudah bisa kembali ke rumahnya. Alasan apa lagi yang akan digunakan Naren untuk menahan Rhea di apartemen? Mungkin juga saatnya Naren kembali ke rumahnya. Dengan pengobatan rutin yang dilakukan Zanna, akhir-akhir ini juga dia sudah bisa beraktivitas normal dan hampir tidak pernah mengeluh sakit lagi.Rhea menunduk, membiarkan Naren melihat bekas jahitan di kepala sebelah kirinya. "Jelek ya? Untung ketutupan rambut.""Cantik kok.""Bekas jahitan dibilang cantik!" Rhea menatap Naren dengan kesal.Naren terkekeh. "Apa pun yang ada di kamu cantik kok."Karena geli mendengar ucapan Naren, Rhea berpura-pura memejamkan mata."Lain kali kalo masuk bangunan yang masih direnovasi gitu pake helm.""Hmm," jawab Rhea dengan gumaman.Naren masih mengamati Rhea dalam diamnya, rasanya sudah lama mereka tidak memiliki quality tim
"Mas, kamu jahat banget sih sama Ega."Mereka berdua telah kembali bergelung di dalam selimut dan melanjutkan menonton setelah berhasil mengusir Ega dan Pras untuk pulang.Meskipun Ega tahu kalau ia tidak punya hak melarang Rhea melakukan apa pun yang ia mau, tapi Ega tetap berpesan kepada Rhea untuk menjaga diri. Tentu saja yang dimaksud Ega di sini adalah menjaga diri dari Naren. Bagaimana pun juga ia tahu hormon laki-laki akan sangat susah dikontrol jika dihadapkan pada situasi seperti mereka, hanya berdua di dalam ruang tertutup."Jahat gimana?""Ya ... gitu tadi, udah lah nggak usah dibahas.""Emang aku nggak mau ngebahas lagi sih. Enakan meluk kamu sambil nonton gini."Rhea tersenyum. Ia baru sadar kalau merindukan seseorang kadang bukan hanya karena keberadannya, tapi bisa juga karena perlakuannya. Beberapa minggu terakhir, Naren memang ada tapi Rhea merasa hampa, mungkin karena perlakuan manis Naren padanya yang tiba-tiba tidak dirasakannya lagi.Dan malam ini, bolehkah ia ser
Saat Naren membuka mata pagi itu, tidak ada yang dipikirkannya kecuali pertengkarannya dengan Rhea semalam.Setelah Rhea meninggalkannya dengan memilih masuk kamar, Naren juga mencoba mendinginkan pikirannya dengan merebahkan diri di kasur. Padahal sejak siang ia dan Rhea berencana menghabiskan malam bersama, tapi kini nyatanya mereka berada di ruangan berbeda, dengan emosi yang masih meluap-luap.Walaupun beberapa bukti yang dijabarkan Rhea mulai mengusik pikirannya, tapi logikanya masih mencoba untuk menolak. "Nggak mungkin Zanna nyiram air panas ke tangannya sendiri," gumamnya.Naren mencoba mengatur napasnya, mungkin pagi ini ia bisa bicara baik-baik dengan Rhea, dengan pikiran dingin, dan tanpa teriakan seperti semalam.Langkah kakinya menuntunnya untuk berhenti di depan kamarnya—kamar yang ditempati Rhea beberapa hari ini. Ia kemudian mengetuk pelan dan memanggil Rhea.Karena tidak kunjung ada jawaban, Naren melanjutkan langkahnya menuju dapur. Mungkin sebaiknya ia membuat sarap
"Vica, cancel semua meeting saya hari ini!" perintah tegas yang disampaikan Naren melalui telepon kepada sekretarisnya."Pak Naren nggak masuk lagi?""Mungkin saya siang baru ke kantor, saya ada perlu sebentar. Cari jadwal kosong Papa saya. Bilang saya mau ketemu. Kalo ada yang urgent langsung hubungi saya.""Baik, Pak," jawab Vica.Usaha pertama yang Naren coba adalah menghubungi Leny dan Amee, meski Naren tidak yakin akan membuahkan hasil. Kalau Leny dan Amee tahu keberadaan Rhea, pasti kedua orang itu akan menutupinya."Halo, Len," sapa Naren saat Leny mengangkat teleponnya."Iya? Kenapa, Kak?" tanya Leny yang cukup bingung dengan telepon dari Naren. Tidak biasanya Naren menghubunginya melalui sambungan telepon."Rhea ... sama kamu nggak?""Hah? Nggak, kan aku di kantor. Kenapa memangnya?""Rhea nggak ngehubungi kamu?""Nggak tuh. Kalian berantem lagi?"Naren menghela napas, inilah risikonya, menanyakan keberadaan Rhea kepada teman-temannya sama saja dengan mempublikasikan kalau ia
“Dek.” Rhea menatap anak bungsunya yang terlihat pucat. “Kenapa, Dek?”Yara menunjuk ke dadanya, ditambah dengan suara napasnya yang tersendat.Dengan panik, Rhea menghubungi Ega untuk mendapatkan pertolongan pertama untuk Yara.Syukurnya, dalam beberapa dering, Ega langung mengangkat sambungan telepon dari Rhea.“Ga. Yara, Ga.”“Kenapa, Rhe? Yara kenapa? Ceritain kondisinya.”“Dia lagi main di deket kolam renang, kucingnya dia kepleset masuk ke kolam renang, Yara ketakutan, trus nangis, sekarang dia pucet banget, napasnya mengi. Aku mesti gimana?”“Bikin Yara duduk tegak, arahin Yara buat narik napas panjang, berulang-ulang sampai normal lagi. Abis itu, kalo udah mulai normal, kasih air anget ya. Aku on the way ke sana.”Rhea memutus sambungan telepon, kemudian melakukan apa yang disarankan Ega. “Dek, ikutin Mama ya. Tarik napas ….”***Mobil Naren memasuki pelataran rumahnya bertepatan dengan sebuah mobil sedan hitam keluar. Dengan penasaran, Naren bertanya kepada security rumahnya.
Aileen dan Ervin masuk ke dalam rumah sambil terbahak membicarakan uang jajan Ervin yang habis karena harus menyuap semua teman sekelasnya demi melindungi ia yang bolos setengah jam pelajaran olahraga.“Lagian pake cabut.” Aileen puas tertawa.Sedari kecil mereka sadar kalau kondisi keluarga mereka jauh di atas rata-rata. Mereka hidup berkecukupan. Apa yang mereka mau sebenarnya bisa dituruti orang tua mereka, tapi orang tua mereka memilih untuk tidak melakukannya.Sejak kelas 1 SMP mereka masing-masing diberikan uang saku per minggu. Hal itu sudah berlangsung sejak era Aileen, sekarang Ervin, dan mungkin nanti hingga Yara.Dan saat itu masih hari selasa, ketika Ervin menghabiskan jatah seminggunya.“Gantiin kek, Kak. Aku kan bantuin Kakak.”“Enak aja. Nggak ada yang minta bantuan kok,” sahut Aileen cuek, walau tentu saja Aileen tidak akan membiarkan Ervin gigit jari di sekolah karena kehabisan uang jajan.“Ck! Uang tabunganku buat beli PS, Kak.”“Pilih game apa pilih makan di kantin?
“Vin, kakak lo dipepet sama kakak kelas di deket gudang buat nyimpen alat olahraga.”Saat itu Ervin masih duduk di kelas 1 SMP ketika mendapat laporan dari temannya. Usianya yang hanya berbeda lima belas bulan dengan kakaknya membuat mereka bersekolah di tempat yang sama, beda satu tingkat.Aileen duduk di kelas 3 SMP dan … memiliki musuh bertebaran. Ervin tidak kaget lagi untuk satu hal ini. Ucapan kakaknya yang sepedas cabe dan kegalakan kakaknya yang mengalahkan satpam komplek, tentu saja membuatnya memiliki banyak musuh, baik dari makhluk berjenis kelamin perempuan, maupun lawan jenis.“Cewek apa cowok yang mepet kakak gue?” Karen Ervin yakin kakaknya itu mampu kalau hanya mengatasi sekumpulan gadis puber yang biasa melabraknya karena gebetan mereka naksir berat dengan Aileen dan segala keangkuhannya.“Cowok, dua orang.”Ervin langsung melemparkan bola basket yang sedang ia mainkan. Kelasnya memang sedang ada jam perlajaran olahraga, karena itu ia bingung kenapa kakaknya bisa dipe
"Ibu ... Neng Aileen, Bu."Ucapan dari ujung sambungan telepon itu membuat Rhea langsung tersadar bahwa ada yang tidak beres dengan anaknya."Aileen kenapa, Mbak?" tanya Rhea kepada baby sitter yang biasa menjemput anak-anaknya saat ia tidak bisa menjemput. Seperti kali ini Rhea terpaksa meminta baby sitter untuk menjemput Aileen dan Ervin karena Yara sedang sakit."Neng Aileen nggak ada di sekolahannya."Jantung Rhea serasa mencelos saat mendengarnya. "Mbak udah nanya ke temen-temennya? Ke gurunya?""Sudah, Bu. Ini sekolahan udah hampir sepi, tapi nggak ada yang tau Neng Aileen di mana.""Ervin gimana?" tanya Rhea berusaha menutupi paniknya."Mas Ervin sudah di mobil, Bu.""Kamu minta supir pulang nganter Ervin ya. Kamu di situ dulu, cari di sekitaran sekolah, tanya sama temen-temennya, saya langsung jalan ke sana.""Iya, Bu."Rhea menghela napas, mencoba menenangkan diri walau rasanya sulit. Setelah menitipkan Yara yang sedang demam pada baby sitter, Rhea segera berlari, mengambil k
"Ya ampun Nareeen, kamu tu nggak bisa nahan apa gimana sih? Kasihan kan Aileen masih nyusu, terus sekarang Rhea isi lagi. Mana kemaren pas Aileen kan operasi. Cek ke dokter, pastiin ini bahaya apa nggak."Pukulan bertubi-tubi dan ocehan panjang lebar didapatkan Naren dari tantenya yang langsung terbang ke Jakarta saat mendengar kabar Rhea hamil (lagi).Sementara Naren yang menjadi bulan-bulanan tantenya hanya tersenyum bangga, bukannya merasa bersalah. "Udah ke dokter kok, Mi. Biar rumahnya rame."Adila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan kesal. Kemudian ia mendekat ke sisi Rhea yang sedang menyusui Aileen di atas kasur, yang kadang terkikik mendengar perdebatan unfaedah suami dan tantenya."Rhea lagi pengen sesuatu nggak?""Pengen gelato, Mi.""Naren, tuh denger, Rhea pengen gelato.""Di mana, Sayang? Biar Mas cariin."Rhea menggeleng. "Nggak tau aku."Adila mencebik kesal melihat Naren hanya garuk-garuk kepala. "Udah sana, cari aja di google di mana gelato terenak se-Jakar
"Sayang ...." Naren terdiam sesaat. Sebenarnya ia masih ragu untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya."Kenapa?" Rhea menjawab sambil lalu karena dia juga sedang berkutat memakaikan baju Aileen yang baru saja dimandikan.Sudah seminggu mereka tinggal di kediaman Candra. Rumah itu memang tidak ada yang menempati setelah Aditama pindah ke Dieng dan Adityo memilih tinggal sendiri di rumahnya. Aditama sendiri belum tega menjual atau menyewakan rumah itu. Karenanya, Aditama benar-benar memohon kepada cucu dan cucu menantunya itu agar menempati kediaman keluarga mereka, tidak perlu lagi mencari rumah.Naren mendekat, sambil menowel pipi Aileen dengan gemasnya, mencoba berbicara dengan istrinya. Biasanya mood Rhea lebih bagus kalau Aileen sedang tidak rewel. "Aku nggak tau terlalu cepet atau nggak aku ngomong gini. Tapi kayaknya mulai kita perlu pikirin. Kamu ... setelah ini mau berhenti ngurus Amigos atau gimana?"Rhea melirik suaminya sekilas, tapi kemudian perhatiannya kembali
“Mau kubantuin?” tanya Naren saat melihat istrinya berjalan tertatih menuju kamar mandi.Hari itu Rhea baru saja keluar dari rumah sakit. Dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan, tapi memang harus pelan-pelan karena jahitannya masih terasa sakit. Naren mengambil cuti dadakan setelah kelahiran Aileen dan setia menemani Rhea dalam masa pemulihan sambil mencoba mengurus Aileen, walaupun masih terlihat sangat canggung.“Bisa sendiri kok, jagain Aileen aja. Nanti kalo nangis dan kamu nggak bisa nenangin, panggil Mama aja, Mas. Aku agak lama kayaknya di kamar mandi.”Naren mengangguk. “Nggak usah dikunci pintunya, kalo butuh bantuan, teriak aja.”“Iya.”Mereka memang tinggal di rumah orang tua Rhea untuk sementara. Seperti umumnya seorang wanita yang baru melahirkan, Rhea juga ingin berada di dekat mamanya untuk mendapatkan perhatian dan bimbingan dari mamanya. Bukan berarti ART di kediaman Candra tidak ada yang mengerti bagaimana mengurus anak, tapi tetap saja menurut Rhea rasanya berbeda de
Tubuh Rhea melemas dan jantungnya mulai berdebar kencang saat menyadari apa yang terjadi padanya.Ia mencoba untuk tenang, walaupun rasanya sangat sulit. Sekarang baru ia tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang lain melebihi dirinya sendiri. Ya, dia jauh lebih khawatir pada keadaan janinnya dibanding dirinya sendiri.Rhea lantas meraih ponsel yang ada di atas meja, mencoba menghubungi dokter kandungannya. Untungnya dokter itu mengangkat panggilannya setelah dering ketiga. Rhea menceritakan semuanya, dan setelah sambungan itu berakhir, ia langsung beralih menekan nomor ponsel suaminya.Naren tidak langsung menjawab teleponnya. Memang saat itu belum masuk jam makan siang, jadi mungkin saja suaminya sedang meeting.Di saat Rhea mengatur napasnya untuk menenangkan diri dan agar tidak terdengar panik, Naren pun mengangkat teleponnya."Iya, Sayang?""Mas lagi apa?""Kerja lah. Masa jalan-jalan ke mall?" jawab Naren terkekeh. "Kenapa?""Mas kira-kira kalo ke sini butuh berapa lama?""Hm
"Sayang, dua minggu lagi perusahaan ngadain dinner party. Perayaan tiga proyek baru kita."Intro pembicaraan yang membuat Rhea bertanya-tanya, apa yang selanjutnya akan diucapkan suaminya."Aku mau ngajak kamu tapi ... udah deket HPL-mu.""HPL-ku kan masih sebulan lagi, Mas.""Iya tapi kan itu riskan banget, tinggal dua minggu sebelum HPL kan.""Jadi aku nggak diajak?" Bukannya Rhea suka datang ke pesta-pesta. Tapi belakangan ini dia suka resah kalau ditinggal Naren, apalagi saat malam hari."Kamu mau ikut? Beneran nggak apa-apa? Nggak bakal kecapekan?""Mau ikut. Anggep aja terakhir sebelum lahiran. Boleh? Atau kamu malu?"Naren mengusapi puncak kepala istrinya. "Ngomong apa sih? Baper banget sejak hamil. Nggak mungkin aku malu ngajak kamu. Aku cuma beneran takut kamu capek."Rhea tidak menjawab lagi. Ia memberi waktu dan membiarkan suaminya mengambil keputusan."Ya udah, kita booking satu kamar aja buat istirahat kalau kamu kecapekan. Tapi kamu tetep nggak boleh pake heels ya. Aku n