"Mas, kamu jahat banget sih sama Ega."Mereka berdua telah kembali bergelung di dalam selimut dan melanjutkan menonton setelah berhasil mengusir Ega dan Pras untuk pulang.Meskipun Ega tahu kalau ia tidak punya hak melarang Rhea melakukan apa pun yang ia mau, tapi Ega tetap berpesan kepada Rhea untuk menjaga diri. Tentu saja yang dimaksud Ega di sini adalah menjaga diri dari Naren. Bagaimana pun juga ia tahu hormon laki-laki akan sangat susah dikontrol jika dihadapkan pada situasi seperti mereka, hanya berdua di dalam ruang tertutup."Jahat gimana?""Ya ... gitu tadi, udah lah nggak usah dibahas.""Emang aku nggak mau ngebahas lagi sih. Enakan meluk kamu sambil nonton gini."Rhea tersenyum. Ia baru sadar kalau merindukan seseorang kadang bukan hanya karena keberadannya, tapi bisa juga karena perlakuannya. Beberapa minggu terakhir, Naren memang ada tapi Rhea merasa hampa, mungkin karena perlakuan manis Naren padanya yang tiba-tiba tidak dirasakannya lagi.Dan malam ini, bolehkah ia ser
Saat Naren membuka mata pagi itu, tidak ada yang dipikirkannya kecuali pertengkarannya dengan Rhea semalam.Setelah Rhea meninggalkannya dengan memilih masuk kamar, Naren juga mencoba mendinginkan pikirannya dengan merebahkan diri di kasur. Padahal sejak siang ia dan Rhea berencana menghabiskan malam bersama, tapi kini nyatanya mereka berada di ruangan berbeda, dengan emosi yang masih meluap-luap.Walaupun beberapa bukti yang dijabarkan Rhea mulai mengusik pikirannya, tapi logikanya masih mencoba untuk menolak. "Nggak mungkin Zanna nyiram air panas ke tangannya sendiri," gumamnya.Naren mencoba mengatur napasnya, mungkin pagi ini ia bisa bicara baik-baik dengan Rhea, dengan pikiran dingin, dan tanpa teriakan seperti semalam.Langkah kakinya menuntunnya untuk berhenti di depan kamarnya—kamar yang ditempati Rhea beberapa hari ini. Ia kemudian mengetuk pelan dan memanggil Rhea.Karena tidak kunjung ada jawaban, Naren melanjutkan langkahnya menuju dapur. Mungkin sebaiknya ia membuat sarap
"Vica, cancel semua meeting saya hari ini!" perintah tegas yang disampaikan Naren melalui telepon kepada sekretarisnya."Pak Naren nggak masuk lagi?""Mungkin saya siang baru ke kantor, saya ada perlu sebentar. Cari jadwal kosong Papa saya. Bilang saya mau ketemu. Kalo ada yang urgent langsung hubungi saya.""Baik, Pak," jawab Vica.Usaha pertama yang Naren coba adalah menghubungi Leny dan Amee, meski Naren tidak yakin akan membuahkan hasil. Kalau Leny dan Amee tahu keberadaan Rhea, pasti kedua orang itu akan menutupinya."Halo, Len," sapa Naren saat Leny mengangkat teleponnya."Iya? Kenapa, Kak?" tanya Leny yang cukup bingung dengan telepon dari Naren. Tidak biasanya Naren menghubunginya melalui sambungan telepon."Rhea ... sama kamu nggak?""Hah? Nggak, kan aku di kantor. Kenapa memangnya?""Rhea nggak ngehubungi kamu?""Nggak tuh. Kalian berantem lagi?"Naren menghela napas, inilah risikonya, menanyakan keberadaan Rhea kepada teman-temannya sama saja dengan mempublikasikan kalau ia
-Saat Rhea pergi-Rhea menutup pintu kamar Naren dengan sedikit membantingnya.Sabar macam apa yang harus ia tunjukkan lagi?Ia mengalah selama ini saat Naren lebih memperhatikan Zanna dibanding dirinya.Ia berusaha tidak cemburu karena berkali-kali Naren mengingatkannya agar tidak cemburu pada Zanna. Sekali pun ia cemburu, ia akan menelannya untuk diri sendiri.Ia berusaha mengerti kalau Naren ingin melindungi Zanna karena kisah masa lalu mereka yang bisa dibilang tidak menyenangkan.Dan sekarang Naren membentaknya ketika ia mencoba menyadarkan Naren bahwa Zanna punya tendensi untuk menyakiti diri sendiri demi mendapat perhatian dari Naren, selain karena penyakit autoimun-nya.Rhea tersenyum getir. Rasanya menatap kasur yang ada di kamar itu saja sudah cukup menyakitkan baginya. Tempat di mana ia berpelukan sepanjang hari dengan Naren dan kini menjadi saksi bisu kekalutannya akibat kelakuan Naren.Daripada meniduri kasur itu lagi, Rhea memilih duduk bersimpuh di sampingnya, menjadika
Tiga hari berlalu sejak kepergian Rhea. Naren masih belum mendapatkan kabar di mana Rhea berada.Benar kata papanya, Rhea terlalu cerdas, ia bisa menyembunyikan jejaknya.Setiap hari Naren menginap di rumahnya, bukan di apartemen lagi. Ia hanya berharap tiba-tiba Rhea kembali ke rumahnya.Kalau nantinya ia harus berlutut untuk meminta maaf pada Rhea, akan ia lakukan, asal Rhea kembali.Naren masih duduk di balkon lantai dua rumahnya, baru saja selesai berbicara dengan kakeknya melalui sambungan telepon. Kakeknya sudah mengetahui apa yang terjadi dari cerita papanya."Kamu salah, Ren. Kamu terlalu larut sama rasa bersalahmu. Kalau kamu masih aja begitu, kamu nggak akan bisa melanjutkan hubunganmu sama Rhea. Nggak ada wanita di dunia ini yang mau dinomorduakan. Sesabar apa pun Rhea, itu cuma akan jadi bom waktu yang akan meledak suatu hari nanti. Kakek selalu bilang, Zanna bukan tanggung jawabmu. Itu semua terjadi karena kesalahan ayah dia sama mama kamu. Nggak ada hubungannya sama kamu
“Hei Ren,” sapa Dio yang terlihat membawa tumbler dengan merk sebuah gerai kopi ternama.Siapa yang tidak mengenal Narendra di perusahaan tempatnya bekerja. Casanova yang juga menjabat Direktur Legal. Tidak ada seorang pun di perusahaan itu, atau mungkin bahkan di Jakarta, yang memiliki jam terbang pacaran sebanyak dirinya.“Lo masih sama Ratri?” Dio menarik lengan Naren untuk mengajaknya ke tukang bubur yang berada di belakang kantor mereka.Dio yang juga merupakan teman semasa kuliah Naren dan masuk ke perusahaan yang sama—hanya berbeda departemen—tentu saja tahu sepak terjang Narendra.“Ratri?”“Shit! Masih aja lo ya. Abis macarin anak orang trus dilupain begitu aja.”Naren masih terlihat berpikir keras mengingat-ingat siapa sosok Ratri yang dibicarakan Dio.“Adiknya Friska, temen kuliah kita. Friska juga pernah lo pacarin. Pasti lo lupa juga. Udah deh, capek bikin lo inget. Intinya, sekarang lo lagi ada cewek nggak?”“Ada. Danisha.”“Siapa lagi itu Danisha?”Naren mengedikkan bahu
“Rhea kenapa?” tanya Dio yang kaget melihat Rhea tiba-tiba menunduk. “Ada yang jatuh?”“Oh, nggak, Pak. Lagi nyari lap buat kacamata saya, Pak.” Rhea berakting membuka tasnya dan mencari apa yang ia sebut tadi dengan asal.‘Oh shit! Gue nggak mungkin buka kacamata gue, pasti bakal langsung ketahuan.’ Rhea merutuki kebodohannya.“Kai, aku ke toilet dulu ya,” bisik Rhea ke Kaira.“Pak, saya permisi ke toilet sebentar,” ucap Rhea meminta izin kepada atasannya.Rhea merasa sedang beruntung, Naren sama sekali tidak memperhatikan sekitar karena sedang sibuk memainkan ponselnya.Setibanya di dalam toilet, Rhea langsung mengelurkan barang-barang bawaannya yang ada di dalam tas. Dia mengingat-ingat kembali bagaimana penampilannya saat SMA.Rhea seketika tersenyum miris, tidak banyak yang berubah pada dirinya. Bahkan panjang rambutnya masih sama. Satu-satunya yang mungkin bisa jadi penyelamatnya adalah kacamata. Dulu semasa SMA ia tidak memakai kacamata, jadi harusnya Naren tidak akan menyadari
“Sore Mel. Pak Dio ada?”Kedatangan Naren ke Departemen Finance bukan hal yang aneh, tapi juga bukan hal yang lumrah. Para pegawai tahu kalau Naren dan Dio berteman. Karena itu, memang beberapa kali mereka mendapati Naren di ruangan Dio atau sebaliknya.Sekretaris Dio menjawab dengan sapaan yang luar biasa ramah. Senyuman menghiasi bibirnya kala sahabat dari atasannya itu menyapanya. “Ada Pak.”Setelah lelah bekerja seharian, kehadiran Naren layaknya oase di gurun pasir. Bukan hanya bagi Amel, tetapi bagi pegawai wanita di departemen itu, entah itu masih single atau sudah bersuami.Naren mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencoba menemukan sosok yang dia cari, yang sebenarnya menjadi alasannya sore itu untuk datang ke ruangan Dio.“Pak Naren, ada yang bisa dibantu lagi?” tanya Amel, sekretaris Dio.“Oh, nggak, nggak, saya boleh langsung masuk?”“Selagi ngga ada tamu kan biasanya Pak Naren langsung masuk.”Menyadari keanehan sikapnya, Naren memutuskan menghentikan aksi pencariannya d