"Vica, cancel semua meeting saya hari ini!" perintah tegas yang disampaikan Naren melalui telepon kepada sekretarisnya."Pak Naren nggak masuk lagi?""Mungkin saya siang baru ke kantor, saya ada perlu sebentar. Cari jadwal kosong Papa saya. Bilang saya mau ketemu. Kalo ada yang urgent langsung hubungi saya.""Baik, Pak," jawab Vica.Usaha pertama yang Naren coba adalah menghubungi Leny dan Amee, meski Naren tidak yakin akan membuahkan hasil. Kalau Leny dan Amee tahu keberadaan Rhea, pasti kedua orang itu akan menutupinya."Halo, Len," sapa Naren saat Leny mengangkat teleponnya."Iya? Kenapa, Kak?" tanya Leny yang cukup bingung dengan telepon dari Naren. Tidak biasanya Naren menghubunginya melalui sambungan telepon."Rhea ... sama kamu nggak?""Hah? Nggak, kan aku di kantor. Kenapa memangnya?""Rhea nggak ngehubungi kamu?""Nggak tuh. Kalian berantem lagi?"Naren menghela napas, inilah risikonya, menanyakan keberadaan Rhea kepada teman-temannya sama saja dengan mempublikasikan kalau ia
-Saat Rhea pergi-Rhea menutup pintu kamar Naren dengan sedikit membantingnya.Sabar macam apa yang harus ia tunjukkan lagi?Ia mengalah selama ini saat Naren lebih memperhatikan Zanna dibanding dirinya.Ia berusaha tidak cemburu karena berkali-kali Naren mengingatkannya agar tidak cemburu pada Zanna. Sekali pun ia cemburu, ia akan menelannya untuk diri sendiri.Ia berusaha mengerti kalau Naren ingin melindungi Zanna karena kisah masa lalu mereka yang bisa dibilang tidak menyenangkan.Dan sekarang Naren membentaknya ketika ia mencoba menyadarkan Naren bahwa Zanna punya tendensi untuk menyakiti diri sendiri demi mendapat perhatian dari Naren, selain karena penyakit autoimun-nya.Rhea tersenyum getir. Rasanya menatap kasur yang ada di kamar itu saja sudah cukup menyakitkan baginya. Tempat di mana ia berpelukan sepanjang hari dengan Naren dan kini menjadi saksi bisu kekalutannya akibat kelakuan Naren.Daripada meniduri kasur itu lagi, Rhea memilih duduk bersimpuh di sampingnya, menjadika
Tiga hari berlalu sejak kepergian Rhea. Naren masih belum mendapatkan kabar di mana Rhea berada.Benar kata papanya, Rhea terlalu cerdas, ia bisa menyembunyikan jejaknya.Setiap hari Naren menginap di rumahnya, bukan di apartemen lagi. Ia hanya berharap tiba-tiba Rhea kembali ke rumahnya.Kalau nantinya ia harus berlutut untuk meminta maaf pada Rhea, akan ia lakukan, asal Rhea kembali.Naren masih duduk di balkon lantai dua rumahnya, baru saja selesai berbicara dengan kakeknya melalui sambungan telepon. Kakeknya sudah mengetahui apa yang terjadi dari cerita papanya."Kamu salah, Ren. Kamu terlalu larut sama rasa bersalahmu. Kalau kamu masih aja begitu, kamu nggak akan bisa melanjutkan hubunganmu sama Rhea. Nggak ada wanita di dunia ini yang mau dinomorduakan. Sesabar apa pun Rhea, itu cuma akan jadi bom waktu yang akan meledak suatu hari nanti. Kakek selalu bilang, Zanna bukan tanggung jawabmu. Itu semua terjadi karena kesalahan ayah dia sama mama kamu. Nggak ada hubungannya sama kamu
'Udah kuduga. Pasti bakal begini,' batin Naren. Naren lantas mencekal tangan Zanna dan melepaskan belitan Zanna dari tubuhnya."Ya udah kamu istirahat sana," ucap Naren mencoba sabar, walau ingin rasanya ia meneriakkan segala isi otaknya di depan Zanna."Kak Naren udah nggak marah lagi sama aku?""Aku nggak suka kalo kamu nggak serius berobat, Na. Ini bukan demi aku. Ini demi kamu, kesehatan kamu."Zanna menunduk seolah ingin menangis. "Iya, aku tau. Maaf, Kak. Kak Naren nggak akan pergi kan?""Aku nggak akan pergi kalo kamu jujur udah ngelakuin itu semua."Beberapa detik berlalu tapi Zanna masih bungkam."Ok, kalo gitu aku pergi," ancam Naren."I ... iya, Kak. Aku ... aku cuma pengen Kak Naren.""Pengen apa? Perhatianku? Bukannya udah kukasih, Na. Aku juga punya kehidupan sendiri yang harus kuurus.""Aku nggak mau Kak Naren sama Rhea.""Trus kamu maunya aku sama siapa? Sama kamu?"Zanna memandang Naren yang tengah menatapnya dengan frustrasi. "Rhea udah pergi, apa aku nggak bisa gant
Jantung Naren berdebar saat melihat mobil Rhea berada di pelataran parkir Amigos."Pasti lo berharap ada Rhea di dalam?" ledek Pras yang melihat Naren menegakkan punggungnya dan menatap mobil Rhea tanpa berkedip."Bisa nggak sih gue make keberuntungan gue seumur hidup untuk kesempatan kali ini? Gue rela nuker keberuntungan gue seumur hidup asal gue bisa ngelihat Rhea sekarang.""Jangan sembarangan lo! Lo masih butuh keberuntungan lo buat dimaafin sama Rhea, lo juga butuh keberuntungan lo buat berdiri di pelaminan sama Rhea.""Ah iya." Naren menghela napas berat lalu turun dari mobil yang dikendarai Pras.Lagi, ia menatap mobil Rhea, berharap ada keajaiban yang terjadi.Coffee shop itu tampak lebih padat daripada biasanya. Mungkin karena weekend, banyak pasangan yang menghabiskan waktu bersama. Ada juga beberapa meja yang diisi beberapa orang yang tampak bercanda sampai terbahak.Ah, semua orang terlihat bahagia. Naren merasa semakin terpuruk dengan keadaannya. Kapan ia bisa berduaan l
"Kalian dari mana? Kok bisa bareng?" tanya Brian saat membukakan pintu unit apartemennya.Siang itu, mereka tiba-tiba mengatur janji temu untuk membahas beberapa permasalahan, termasuk hubungan Naren dan Rhea.Naren dan Pras masuk bergantian, lalu langsung menjatuhkan diri di kursi meja makan, di mana Rama sudah duduk menunggu."Kalian kayak baru pulang dari medang perang," ledek Rama melihat kondisi kedua temannya yang kelelahan."Iya.""Emang"Naren dan Pras menjawab bergantian. Keduanya menghela napas. Apalagi Naren yang terlihat seperti benang kusut.Bagaimana mungkin mereka bisa menjawab 'tidak,' atas pertanyaan Rama itu. Keduanya baru saja kembali setelah semalaman mengawasi Zanna, kemudian menerima kalimat-kalimat pedas yang keluar dari mulut sahabat Rhea.Pras yang hanya menemani Naren saja sampai menelan ludah berkali-kali saat menghadapi Amee, apalagi Naren yang terus di-supply cerita penderitaan Rhea.Pasti saat ini lelaki itu semakin hancur. Seakan sakit hati Rhea bermingg
"Kemaren Rhea naik kereta ke Semarang. Tapi ... habis itu jejaknya ilang. Dia nggak pesen hotel, nggak pesen transportasi online. Kayaknya dia bener-bener bertransaksi secara manual. Mungkin juga dia ke rumah saudara atau temennya. Yang jelas jejak terakhir yang didapetin anak buah gue, ya cuma sampe di Stasiun Semarang Tawang."Naren tiba-tiba saja berdiri. "Gue mesti berangkat ke Semarang sekarang.""Trus lo mau lontang-lantung di Semarang? Yang bener aja, Ren." Pras menatap Naren dengan bingung. Sepengetahuannya, Naren adalah orang yang sangat rasional. Yang Pras lupakan, bahwa setiap orang rasional bisa berubah menjadi irasional saat berhubungan dengan 'cinta'."Tunggu dulu sehari dua hari, Ren. Semoga aja anak buah gue bisa nemuin petunjuk lebih jelas."Naren menghela napas berat. "Paling nggak gue selangkah lebih dekat sama dia kalo gue berangkat ke Semarang sekarang."Ketiga temannya hanya bisa menggeleng pasrah melihat tingkah Naren.***"Vic, saya masuk cuma demi rapat gabung
Sekitar pukul delapan pagi, Naren menapakkan kaki di Bandara Dewadaru, bandara yang lebih mirip seperti rumah dibanding bandara. Bahkan rumah Naren yang di Cempaka Putih lebih besar tiga kali lipat dibanding bandara itu.Tak pernah terpikirkan seumur hidupnya ia akan berada di pulau ini, yang bahkan nama pulaunya saja baru menarik perhatiannya beberapa hari lalu.Kalau bukan demi Rhea, pulau ini tak akan ada dalam kamus hidupnya.Naren langsung mengaktifkan ponselnya, membuka salah satu foto Rhea dan bertanya ke salah satu petugas bandara. Ia sangat berharap salah satu saja dari petugas bandara itu mengetahui keberadaan Rhea."Permisi, Pak. Mau numpang tanya." Naren menunjukkan foto Rhea di layar ponselnya. "Mungkin Bapak pernah ngelihat cewek ini? Beberapa hari yang lalu ke sininya."Lelaki yang diperkirakan Naren berusia sekitar empat puluhan itu menatap foto Rhea dengan seksama, kemudian memanggil salah seorang temannya. "Pak Gatot, sini, Pak. Ini masnya nyariin Mbak yang nginep di